āœ”[SEGERA TERBIT ] SWEET PILLS

By DeaPuspita611

371K 23.1K 601

Aksa baru lulus sekolah menengah kejuruan. Niat hati mau ngelamar kerja ke perusahaan otomotif besar di negar... More

[Day 00] ć…” PROLOGUE
[DAY 1] GRADUATION
[DAY 2] ADHIYAKSA COMPANY
[DAY 3] FAMILY AND FRIENDS
[DAY 4] HIS ANGEL
[DAY 5] DEVIL'S STARE
[DAY 6] DEVIL MEET HIS ANGEL
[DAY 7] ALSTROEMERIA
[DAY 8] DEVIL'S DESIRE
[DAY 9] ANGEL'S GIFT
[DAY 10] DANUAR'S GALLERY
[DAY 11] DEVIL'S PROPERTY
[DAY 12] ANGEL'S SCARS
[DAY 13] LAST TASK
[DAY 14] XAVIER ADHIYAKSA
[DAY 15] TRAP
[DAY 16] MESS
[DAY 17] THE BEGINNING
[DAY 18] ONE STEP CLOSER
[DAY 19] BROKEN
[DAY 20] HYACINTH
[DAY 21] SWEET BEHAVIOR
[DAY 22] BEGINNING OF DISASTER
[DAY 23] KING OF THE DEVIL
[DAY 24] LIFE FOR LIFE
[DAY 25] WHAT HAPPEN TO ME?
[DAY 26] BOOM! LIKE FIREWORKS
[DAY 27] THE NIGHT AFTER THE DISASTER
[DAY 28] THE NIGHT AFTER THE DISASTER 2
[DAY 29] THE NIGHT AFTER THE DISASTER 3
[DAY 30] I'M HERE FOR YOU
[DAY 31] CHANCE
[DAY 32] WHAT HAPPENED?
[DAY 33] DISRUPTION
[DAY 34] SWEET LIKE SUGAR
[DAY 35] MONSTER ON THE LOOSE
[DAY 36] UNBEARABLE FEELINGS
[DAY 38] WITHOUT YOU
[DAY 39] WHEN YOU'RE GONE
[DAY 40] THOUGHT OF YOU
[DAY 41] BEHIND THE SHADOWS
[DAY 42] TREAT YOU BETTER
[DAY 43] ESCAPED
PROMOSI
Sweet Pills

[DAY 37] APART

3.6K 273 25
By DeaPuspita611

Happy reading in #day37

#mur

mur
damar yang harum baunya, dipakai untuk dupa dan sebagainya

Aksa berjalan tertatih dengan rasa sakit yang menjalar di setiap tubuhnya, namun ia tidak memedulikan hal itu, Wajah ibunya seketika menghilangkan perih dan nyeri yang ada. Ia sangat merindukan sosok hangat itu.

Lindia dengan senyum yang merekah dan air mata yang membasahi pipinya merentangkan tangannya menerima anak sulungnya itu ke dekapannya.

Ia selalu merindukan hal ini.

Kehangatan sang ibu tidak ada duanya bagi Aksa. Ia sangat menyukai saat ibunya mengusap lembut rambutnya yang mampu membuatnya menjadi tenang dan nyaman.

Lindia tidak bisa berkata-kata saat melihat tubuh Aksa yang dipenuhi banyak luka dan perban di sekujur tubuhnya, air mata Aksa bisa menunjukkan rasa sakitnya.

"Aksa kangen Mama." Isakan Aksa terdengar memilukan.

"Mama juga kangen Aksa. Ayo, kita masuk, Papa sudah menunggu di dalam."

"Papa?" Mata Aksa menyorotkan rasa takut saat mendengar itu, percakapan terakhir kali dengan ayahnya berakhir sangat tidak baik.

Lindia tahu anaknya itu takut melihat kekejaman dari suaminya lagi, tapi kali ini berbeda. "Jangan khawatir," ucapnya sambil mengelus lembut surai Aksa.

Aksa melihat ayahnya yang duduk menunduk menatap kakinya yang seakan kakinya sungguh menarik perhatiannya kali ini.

"Pa ..."

"Aksara?" Reza sontak bangkit dan berlari memeluk putranya. Aksa membelalak kaget, ia tidak pernah merasakan pelukan dan kasih sayang ayah seumur hidupnya, baru kali ini ayahnya itu memeluk dirinya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Reza kepada putra sulungnya. Air matanya terlihat tidak pernah jatuh, kini jatuh setelah mengetahui apa yang terjadi dengan anaknya dan saat melihat kondisi tubuh Aksa, ia tahu Aksa sangat tersiksa selama ini di saat ia tidak memperdulikannya, sekarang musibah seperti ini juga menimpa anaknya.

Aksa menggelengkan kepalanya, air matanya juga mengalir deras saat melihat ayahnya yang menangis karena dirinya.

"Aksa tidak apa-apa kok, Pa. Aksa hanya butuh istirahat."

"Papa sungguh minta maaf, Nak. Papa kira kamu akan baik-baik saja di luar sana, ternyata Papa salah. Maafkan Papa, Sa ..." Reza ingin memeluk Aksa lebih lama lagi, namun mendengar anaknya mendesis setiap kali ia mengeratkan pelukannya membuat hatinya teriris.

"Nak Danu, tolong temani Aksa untuk beberapa hari ini." Reza tahu Aksa membutuhkan sahabatnya juga di saat seperti ini, walau ia tahu skandal yang mereka perbuat tapi itu sudah tidak penting lagi. Yang terpenting adalah kesehatan mental Aksa.

Danuar mengangguk mengerti. Ia membantu Aksa berjalan ke kamarnya.

Aksa merebahkan badannya di kasur miliknya dan menutup matanya, ia mencoba menikmati kenyamanan yang diberikan rumahnya walau pikiran Aksa sedang mengkhawatirkan seseorang.

"Danu .... telpon Ojak sama Ben dong, gue kangen sama mereka."

"Lo gak kangen sama gue, Sa?"

"Lo kan di sini, jadi gue gak perlu kangen sama lo," canda Aksa mencoba untuk lebih dekat dengan sahabat yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

Danuar tersenyum mendengar candaan Aksa, suasana di antara mereka masih sedikit canggung tapi setidaknya ada kemajuan.

"Gue telpon mereka dulu."

~~~~~~~

"AKSAAAA~" Ozarn berlari sambil merentangkan tangannya selayaknya pesawat terbang, bahkan sampai menyeruduk dahi Aksa dengan kepalanya yang membuat pemuda yang paling kecil itu mengaduh kesakitan.

"Lo kenapa sih, Jak. Bukannya meluk gue, malah nyeruduk gue kaya banteng," ucap Aksa lalu meninju bahu Ozarn.

"Ini tanda cinta gue buat lo, Sa! Lo gak tersentuh gitu?"

"Tersentuh kepala lo doang, hati gue kagak," balas Aksa tidak mau mengalah.

"Please, lo berdua bisa gak sih berhenti debat buat sehari aja?" Ben muncul tidak lama dari belakang, Ozarn menghentikan perdebatan dengan sahabatnya itu.

Ben tersenyum saat melihat wajah Aksa, ia kira ia tidak bisa melihat wajah manis itu lagi. Ben mengusak kepala Aksa lembut. "Gue kangen lo, Sa. Demi gue kaget pas dapat kabar ternyata lo diculik sama Xavier Bangsat Adhiyaksa itu. Gue pengen banget beli mur sama kemenyan buat santet tuh demit. Kalau dipikir-pikir, gue rada senang dikit sekarang inget perusahaan itu di bom. Kalau bisa sekalian aja seluruh bangunannya runtuh."

Danuar, Aksa dan Ozarn terdiam dan saling beralih pandang.

"Lo beneran Ben, kan?" Danuar meletakkan tangannya di dahi Ben tapi langsung ditepis oleh si pemilik dahi itu.

"Ya gue lah. Siapa lagi?" Ben menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung dengan sikap temannya yang berubah tiba-tiba.

"Soalnya Ben yang gue kenal gak pernah ngomong panjang kali lebar kali tinggi kaya rumus volume kubus," sahut Aksa. "Tapi gue baru tahu Adhiyaksa kena bom."

"Ya, lo kan baru pulang, Aksa."

"Ah ... iya juga. Tapi kaget banget Ben tiba-tiba banyak ngomong gini." Tawa pelan Aksa mengudara.

"Kayaknya gegara pacaran sama si Elios titisan kapibara tuh makanya dia banyak ngomong gini." Mata Ben seketika menatap langsung ke mata Ozarn saat mendengar kata itu keluar.

Ben berjalan melewati mereka bertiga dan mendudukkan dirinya di pinggiran kasur milik Aksa.

Dihirupnya napasnya panjang-panjang dan menghembuskannya hanya dalam sekali hembusan.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi sama lo, Sa?" Ben mengalihkan pembicaraan dan ia bersyukur kini tatapan Ozarn tidak tertuju pada dirinya lagi.

"Kayaknya gue harus cerita dari awal."

~~~~

Wajah Danuar, Ben dan Ozarn menatap tidak percaya dengan pekataan sahabat mereka itu. Mereka tidak menyangka direktur Adhiyaksa itu menculik Aksa hanya untuk menjadikan Aksa sex doll-nya saja.

Aksa menceritakan segala hal yang dialaminya dan bagaimana perlakuan Xavier terhadapnya kepada para sahabatnya. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi, tidak ada gunanya ia berbohong karena luka-luka di badannya sudah menceritakan segalanya.

Danuar mengepalkan tangannya. Ia kesal mendengar kebejatan monster itu. "Jangan lupa beli mur-nya ya, Ben. Gue mau ikutan nyantet tuh dedemit."

Senyum Aksa untuk sesaat merekah karena mendengar perkataan Danuar, namun detik berikutnya senyum itu memudar.

"Dan, lo ... kenapa lo bisa kenal sama Mattheo?"

Sial. Padahal Danuar tidak ingin membahas tentang pria itu, setidaknya untuk sekarang.

"Gue gak sengaja perkosa dia."

"APA?!"

~~~~

Di ruangan serba putih yang berbau obat-obatan, terbaring seorang wanita dengan alat-alat untuk menunjang kehidupannya. Pasangan paruh baya berdiri di samping ranjang, keduanya menangis sembari merangkul satu sama lain. Nyawa anak mereka berada di ujung tanduk, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa untuk kesembuhannya.

"Nak Nata ..."

Tangan wanita paruh baya itu terulur, menyentuh pundak seorang wanita yang duduk diam di samping ranjang anaknya.

"Maaf, Tante ..."

"Tidak, Tante harus berterima kasih karena telah kebawa Nada ke rumah sakit. Tinggal di mes, membuat kami tidak tahu keadaan putri kami. Bahkan, sejak insiden di perusahaannya membuat kami selaku orang tua selalu was-was."

Tangis Natalie pecah, melihat bagaimana gadis kecil ini disayang oleh kedua orang tuanya membuat Natalie sedikit iri. Ingatannya tentang insiden keluarganya beberapa tahun lalu masih menjadi duri yang menancap di hatinya. Ia masih merindukan keluarganya, namun ia tidak berani pergi mengunjungi makam keluarganya karena belum membalas dendam mereka.

"Maaf tidak bisa menjaga Nada dengan baik."

Clara mengusap rambut Natalie, anak ini terlihat mati ekspresinya. Entah apa yang dilaluinya, tapi melihat bagaimana tangan itu mengepal semakin erat ia tahu banyak dendam yang terselubung di hatinya.

Ia melepas rangkulan suaminya dan berjongkok di depan Natalie, membuatnya langsung menunduk melihat apa yang dilakukan ibu dari Nada ini.

"Tante ..."

Clara menggenggam kedua tangan Natalie, "Tidak apa, semua akan baik-baik saja. Kita hanya bisa mendoakan untuk kesembuhan Nada."

Natalia menatap kembali gadis yang terbaring di ranjang. Hatinya tercabut sakit saat mendengar keadaan Nada. Peluru yang bersarang di dadanya hampir menggores jantungnya, dokter menyatakan jika Nada koma.

Saat itu juga, dunia Natalie seakan runtuh. Ia juga menganggap Tuhan memang tidak adil padanya. Di saat ia sudah kehilangan keluarganya, Tuhan masih mengujinya. Ia semakin tidak percaya keberadaan Tuhan yang adil.

"Tante, Nada akan bangun, kan? Dia hanya tidur, mungkin karena lelah sudah bekerja di Adhiyaksa."

"Iya, anak Tante hanya tertidur. Nanti dia akan bangun dan bertemu dengan kamu."

Ayah Nada hanya diam melihat keduanya, Neval tidak percaya hal seperti ini harus dialami oleh sang putri. Padahal, ia sangat tahu pergaulan sang putri sangat terbatas dan tidak pernah terlibat dalam pergaulan bebas dan liar.

Ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka, sesaat seorang pria masuk.

"Em ... maaf mengganggu. Saya Mattheo Jansendra, selaku sekertaris Pak Xavier Adhiyaksa. Saya di sini ingin meminta maaf mewakili Pak Xavier atas kejadian yang menimpa Nada."

Ayah Nada terlihat menyambut hangat Mattheo yang hanya berdiri canggung.

"Ah, maaf membuat Anda repot, Pak Mattheo."

"Tentu tidak, Pak Andreas. Saya di sini ingin meminta maaf, karena Pak Xavier tidak bisa datang langsung menjenguk putri Anda. Karena urusan yang memang tidak bisa ditinggalkan. Sekaligus, saya datang untuk menjemput Natalie pulang."

Natalie menatap tajam Mattheo, ia ingin di sini untuk menemani Nada. Mengapa pria ini malah datang menjemputnya pulang?!

"Aku tidak mau."

"Tidak bisa, Natalie. Ada sesuatu yang harus dikerjakan, kita juga harus menyelesaikan masalah ini." Mattheo berujar datar, namun dari sorot matanya terdapat ketegasan yang tidak ingin dibantah sama sekali.

"Pak Andreas, saya minta maaf sekali lagi karena tidak bisa berlama-lama. Perusahaan juga mengirim uang kompensasi atas kejadian ini, saya berdoa agar Nada bisa segera bangun dan secepatnya sembuh."

"Terima kasih, Pak Mattheo. Telah berkenan datang ke sini." Tatapan Mattheo beralih pada Natalie yang menunduk menatap tangannya yang masih digenggam oleh ibu Nada.

"Nata janji ..." Natalie mendongak menatap tepat di mata wanita itu, "Nata akan menemukan siapa dalang yang melakukan hal ini. Nata akan bawa pelakunya ke hadapan Om dan Tante."

"Gadis baik." Clara mengusak kepala Natalie.

Natalie berdiri, ia menggenggam tangan Nada yang tidak terdapat infus.

"Gue janji, bakalan bales mereka demi lo, Nada."

~~~

Suara gebrakan pintu terdengar berisik dari arah kamar utama, yang mana kamar itulah yang ditempati untuk mengurung Xavier. Inilah keputusan yang diambil oleh Arthur.

Setelah memulangkan Aksara, Xavier tiba-tiba kembali mengamuk. Pria itu menghancurkan barang-barang di ruangan. Pecahan guci berserakan, bahkan beberapa perabotan sampai bergeser dari tempatnya.

"SIAL!! KEMBALIKAN MALAIKATKU!! BEDEBAH!!"

Di depan pintu kamar Xavier, Arthur menatap malas ruangan yang tidak ada hentinya mengeluarkan suara cacian itu. Di sampingnya berdiri seorang dokter berumur yang mana dokter itu telah mengabdikan diri setengah hidupnya pada keluarga Adhiyaksa.

"Tuan, melihat keadaan Tuan Muda yang seperti ini. Saya takut keadaannya akan semakin parah dari sebelumnya."

"Aku juga tahu, tapi mengingat apa yang yang dilakukan Xavier pada pemuda kecil itu tidak bisa dimaklumi. Dia adalah anak teman lamaku, aku tidak bisa tinggal diam."

Arthur menghela napas, ia benar-benar tidak habis pikir. Apa yang dilakukan putranya tidak bisa diterima, bahkan Reza langsung marah besar.

"Bius dia, aku harus merantainya untuk beberapa hari ke depan. Aku tidak mau mengambil resiko jika dia bisa saja kabur."

"Baik, Tuan."

Arthur membuka kunci pintu kamar Xavier, yang dipikirkannya sekarang hanya menahan Xavier agar tidak melarikan diri dari kamar ini.

Ia mengernyit saat tidak lagi mendengar teriakan Xavier. Namun sesaat kemudian, ia terkejut saat Xavier tiba-tiba menerobos keluar. Untung ia punya refleks yang bagus, dan tenaga yang masih kuat. Ia menahan tubuh Xavier dibantu oleh dokter.

"ANAK DAJJAL MEMANG!!"

"LEPASKAN AKU, SIALAN!! KALIAN MENGAMBILNYA!! KALIAN MENGAMBIL MALAIKATKU!!"

Tanpa perasaan, Arthur meninju keras wajah Xavier, agar pria itu segera sadar. Namun, ia salah. Anaknya malah tambah mengamuk dan memberontak.

Ia mengisyaratkan dokter agar segera membius Xavier. Dokter yang mengerti pun langsung mengambil virus yang sudah ia persiapkan di sakunya, bersiap bila kejadian seperti ini terjadi.

Xavier mengerang saat benda tajam menancap di lengannya, dan secara perlahan tubuhnya melemas dan jatuh. Beruntung, Arthur masih kuat menopang tubuh besar Xavier.

Ia dibantu dokter membawa Xavier ke kamar, beberapa maid ia panggil untuk segera merapikan ranjang Xavier.

Setelah membaringkan Xavier, Arthur mengambil rantai yang diambil oleh maid. Mengikat kedua tangan Xavier, agar nantinya tangannya tidak bisa menggapai satu sama lain.

Kini hanya tersisa Arthur dan putranya yang tengah tertidur, semua izin untuk undur diri. Tatapan Arthur mengedar, kamar Xavier sepenuhnya hancur. Semua berserakan dan beberapa barang juga pecah.

Kini ia berjalan menghampiri sebuah pigura yang jatuh dan pecah. Tangannya terulur menggapai foto yang terdapat di dalamnya.

Seorang wanita yang menggendong bayi dengan dirinya yang berdiri di samping wanita itu. Keduanya tersenyum senang menatap bayi yang tertidur dalam gendongan sang wanita.

"Cassandra ... apa yang harus aku lakukan ..."

Air mata seorang Arthur Adhiyaksa meluruh, semenjak kematian sang istri ia tidak pernah menangis lagi. Kini ia menangis saat melihat kembali wajah ayu sang istri.

Kematian yang menimpa istrinya beberapa tahun lalu, sangat membekas bagi Arthur. Ia bahkan belum menemukan dalang siapa yang membunuh sang istri.

"Cassandra ..."

Siapapun akan menangis untuk orang tercintanya, bukan?

Continue Reading

You'll Also Like

311K 1.9K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
Istri Kedua By safara

General Fiction

88.7K 2.8K 36
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...
623K 58.8K 46
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
137K 8.5K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...