AN ART GALLERY

Da jie7hyp

179 50 147

[ Drama - Romance - Angst - Fanfiction ] #SUNGHOON (Long Story) Bermula dari Aura mendatangi sebuah galeri se... Altro

PROLOG
02 ; Schaduwen Van Het Verleden.
03 ; Er Is Iets Gebeurd.

01 ; Een Gedroomd Evenement.

32 14 61
Da jie7hyp

SEVEN berdiri menghadap gedung yang bila dilihat melalui eksterior gedung tersebut jelas sebuah galeri seni lantaran tampak logo De'I Gallery terpanjang di bagian sisi atas gedung. Satu menit telah berlalu dan Seven akan tetap pada posisi jikalau seseorang tak bertegur sapa dengan laki-laki ini.

"Seven, ya?"

Seven tersentak. Ia lalu mengangguk. "Pak Sam?" tanya Seven balik, memastikan.

"Astaga. Saya pikir kamu gak akan hadir ke acara ini. Karena kata asisten saya, butuh lima kali kirim undangan padamu sampai benar-benar dibalas." Samuel tergelak. Seven turut tertawa, kalem. Omong-omong ia adalah Samuel De'I Wiratama, sang owner dari De'I Gallery. Asal mula Samuel mengenal Seven kala ia menghadiri pameran tunggal Seven di Amsterdam tahun lalu.

"Maaf, Pak Sam. Saya memang sulit dihubungi. Laman email saya penuh notifikasi, beruntung undangan Pak Sam terlihat saat saya lagi santai." Eksplikasi Seven dibalas anggukan paham oleh Samuel di sela suara tawa.

"Iya, iya, saya mengerti kok. Oh ya, makasih udah menyempatkan waktu buat hadir ke acara peresmian galeri seni saya, Ven." Tangan Samuel terangkat menepuk pundak Seven sebanyak tiga kali.

"Selamat atas peresmian De'I Gallery setelah beroperasi selama dua tahun, Pak Sam." Seven mengulas senyum. "Semoga pula acara ini berjalan lancar."

Samuel memanggut. "Amin. Gimana? Masa kita diem aja di sini? Ayo?" bentangan tangan Samuel memberikan isyarat pada Seven untuk segera memasuki gedung baru De'I Gallery.

•••

Pukul 18:00. Lobi De'I Gallery dipadati oleh begitu banyak tamu, wartawan, komisaris, pengunjung serta kerabat dekat Samuel duduk di masing-masing tempat kala menanti kehadiran pidato pembukaan acara dari sang pemilik galeri seni yakni Samuel De'I Wiratama. Jenjang kamera rekam serta foto milik wartawan terpampang berbaris rapih paling depan sebagai media dokumentasi.

Seven mencari tempat area para tamu undangan yang pantas ia duduki ketika tak sengaja ia melihat namanya tertera pada kertas yang menempel di salah satu meja kosong paling ujung deretan kerabat Samuel. Kendati ragu sebab merasa aneh lantaran Samuel menempatkan Seven di antara jejer kerabat atau dikenal keluarga Samuel, Seven memilih duduk di meja tanda namanya tersebut.

Indra penglihat Seven melirik salah satu meja kosong persis berada di sebelah kanan. Meja itu tak ditandai nama, hanya kosong. Acuh tak acuh. Seven berhipotesis meja itu sebagai pembatas Seven sebagai kerabat tanpa darah dari keluarga asli Samuel. Terdengar agak miris, namun hakikatnya memang begitu.

Cukup lama hingga kedatangan Samuel serentak menghadirkan bunyi jepretan kamera mendominasi ruangan. Seven mendongak, melihat Samuel berdiri gagah di podium. Samuel tersenyum sumringah ke hadapan awak media, tamu, serta para pengunjung seraya melambaikan tangan.

"Halo," Samuel memulaikan pidato. "Pertama-tama saya ucapkan terimakasih kepada para hadirin sekalian yang telah menghadiri acara pembukaan resmi galeri seni De'I Gallery. Kehadiran para tamu sungguh merupakan pangkal keistimewaan bagi kelangsungan acara agar lebih terkesan meriah dan ... " sejenak penjedaan. "Legendaris." Samuel tertawa diikuti oleh para hadirin.

"Atas acara ini saya harap De'I Gallery berkembang lebih pesat dari 2 tahun lalu yang hanya beroperasi sebagai galeri seni kosong tanpa koleksi, jujur, saya sedih bila mengingat kembali galeri seni saya kosong melompong," Samuel tersenyum tipis. "Oh—tentu saja rasa terimakasih besar kepada pemerintah dan komisaris pilihan setempat yang telah berkontribusi untuk mendukung De'I Gallery berkembang menjadi galeri atau museum besar."

Seven membayangkan. Ia membayangkan Samuel adalah dirinya, dirinya di masa depan. Seven nyaris gila oleh imajinasinya sendiri yang tanpa sadar Seven kini tertawa getir sebab sibuk tenggelam dalam pikiran alih-alih menonton pidato Samuel. Sungguh, impian Seven ada di depan matanya sekarang maka tak salah ia berhalusinasi. Menjadi pemilik galeri seni sekaligus pelukis terkenal. Seven merapalkan doa sepanjang Samuel berpidato. Tularkan kesuksesan Pak Samuel padaku, ya Tuhan, aku ingin Ibu bangga. Begitu katanya.

Kepala Seven tertoleh ke arah perempuan yang baru saja mengisi meja kosong hasil hipotesis asal Seven; pembatas dari keluarga sedarah Samuel. Konyol sekali.

"Dunia yang sempit atau Bandung yang sempit deh, Ra?" Seven berujar. Perempuan itu tersentak kaget.

"Astaga, kirain Kak Abim. Seven, ya?" Binar mata Aura menangkap eksistensi Seven juga duduk di sebelahnya.

Terus terang, Aura pangling dengan penampilan Seven dibaluti setelan jas motif kotak-kotak abu terang serta tampangnya yang begitu rupawan membawa kesan kharismatik. Bila diperhatikan lebih teliti Seven memiliki rupa yang unik, mungkin karena Aura jarang melihat pria tampan di daerahnya.

Menyelisik sudut demi sudut wajah Seven mengingatkan Aura kepada sosok Ayah. Seven sekilas; 80% memiliki visual yang lumayan mirip Ayah Aura. Pantas saja Aura rasa tak asing melihat paras Seven.

"Kamu kerabat Samuel?"

Lamunan Aura buyar, perempuan itu mengangguk. "Aku keponakan Om El, eh maksudku Om Samuel."

"Oh begitu.. "

Aura melirik nama yang tertera di meja, Sebastian Van Eindhoven. Baik, Aura akui bahwa Seven tidak menipunya tempo hari mengenai identitas Vanhov. "Lucu, ya. Aku malah ngira kamu bohong waktu itu."

Butuh beberapa detik untuk Seven menyadari maksud tutur kata Aura. Kemudian ia tertawa. "Masih belum percaya nih?"

Aura terkekeh. "Percaya setelah Om Samuel bilang kemarin bakal ngundang maestro lukis asal Belanda namanya Van Eindhoven, ternyata sosok maestro itu ada di depan aku."

"Saya lupa bilang terimakasih pas kamu puji lukisan saya," Seven tersenyum tipis. "Makasih ya, Aura. Saya apresiasi penuh pujian itu."

Aura terenyuh. Ia nyaris salah tingkah saat Seven menatapinya begitu lekat. "Oh iya, gimana? Kok bisa kenal Om Samuel?"

Seven melirik Samuel yang masih berpidato di podium. "Udah lama. Pas acara pameran tunggal pertama saya." Aura memanggut-manggut.

"Funfact aja sih, De'I Gallery itu sebetulnya milik Ayah aku lho." Aura memasang mimik bangga. Seven tergemap. "Milik Ayahmu?"

"Iya. Semuanya milik Ayah, tapi yang pegang Om Samuel. Ayah juga jago ngelukis, hebat banget! Tapi sayangnya Ayah gak mau tunjukin kehebatannya ke publik."

Seven mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Sesuatu alasan," Aura mengedikkan bahu. "Aku juga gak tau pasti alasannya."

Seven mendadak teringat pada sosok Ayahnya. Ayah Seven pula seorang pelukis kala ia masih bayi. Seketika bayangan wajah sang Ayah melintasi pikiran Seven tanpa permisi. Benci. Seven amat membenci Ayahnya.

•••

17 years ago —

Dahulu Seven memiliki sosok Ayah di hidupnya. Ketika Seven menginjak umur 8 tahun, sikap sang Ayah berubah. Ayah menjadi pemabuk berat akibat pengangguran dan sering melakukan kekerasan kepada Ibu. Meneriaki sang Ibu, memaksa meminta uang. Seven nyaris kehilangan nyawa kala melindungi Ibu dari pukulan Ayah. Masa lalu Seven yang kelam pun mengubur mimpi Seven sebagai pelukis. Namun pesan sang Ibu membangkitkan Seven kembali untuk terus mengejar mimpi sebagai pelukis.

"Bastian," Ibu duduk memandang si kecil Seven.

"Iya, Bu?"

"Dengar pesan Ibu. Kamu harus kejar cita-citamu, ya?" Ibu memandang si kecil Seven nanar. Keadaan wanita paruh baya ini sangat lemah selepas dijatuhi pukulan hebat bagian kepala oleh suaminya.

"Bastian gak mau. Bastian bakal terus di sisi Ibu. Bastian gak mau tinggalin Ibu sendirian." Si kecil Seven menggeleng-gelengkan kepala. Deras matanya mengalir membasahi pipi. Tangan kecil itu menggengam erat tangan sang Ibu.

Ibu tersenyum. Tangannya terangkat mengusap pucuk kepala Seven. "Cita-citamu adalah cita-cita Ibu juga. Bastian mau 'kan jadi pelukis hebat?" Seven kecil mengangguk pelan. "Maka dari itu Seven harus semangat, ya? Jangan jadikan alasan apapun sebagai pemutus cita-citamu. Apalagi Ayah, jangan mau mimpi kamu terkuburkan karena Ayah. Ayah itu cuma iri karena kamu hebat sedangkan dia nggak bisa kayak kamu. Mengerti, anak Ibu?"

Seven kecil menangis. Ia menubruk sang Ibu, mendekap sosok wanita kesayangannya itu erat, berharap Ibu berada di sisinya, selamanya. Namun Semesta mengatur jalan lain. Ibu meninggal karena gegar otak tepat setelah Seven memeluk sang Ibu, si kecil Seven panik tak kepalang didapatinya sosok Ibu tak berkutik bahkan ketika Seven mencoba memastikan napas Ibunya selama 1 menit. Tak ada tanda kehidupan.

Seven menangis, lagi.

Menangis sangat keras. Sakit. Sangat sakit.

Tangan mungil itu melingkari pinggang sang Ibu. Dadanya berkontraksi. Seven belum siap kehilangan sosok Ibu di hidupnya.

"Ibu.. " Seven terisak-isak. "Bastian takut."

•••

Acara telah selesai tepat jam 9 malam. Kini Seven duduk sendirian di meja persegi berisi empat bangku setelah penat memperkenalkan diri kepada orang asing. Para insan yang menghadiri acara Samuel seberapa sudah ada yang pulang, gedung De'I Gallery perlahan sepi.

Seven meneguk wine hingga tetes akhir. Kepalanya terasa agak berat akibat efek alkohol menjalar di seluruh tubuh.

"Oh, astaga, jangan terlalu banyak, Sev. Kamu sedang menyetir 'kan?" Samuel menahan pergerakan Seven ketika tengah menuang wine sekali lagi ke dalam gelas kosongnya. Presensi Samuel serta Aura membuyarkan lamunan Seven.

Seven terkekeh. "Saya masih sadar, Pak Sam. Oh iya, terimakasih sudah mengadakan acara ini. Berkat acara ini saya belajar banyak hal." Seven beringsut dari duduk. Berhadapan dengan Samuel.

"Terimakasih kembali, Seven."

"Saya pamit pulang, Pak. Semoga di lain hari kita bisa mengobrol lagi." Keduanya berjabat tangan. Kemudian pandang mata Seven teralih ke Aura. Ia mengulas senyum. "Sampai jumpa lagi, Ra."

Samuel menunjuk Aura dan Samuel bergantian. "Kalian saling kenal?"Aura dan Seven mengangguk kompak. "Owalah, Seven si pemuda tampan yang kamu ceritain waktu itu, Aura?" mendengar pertanyaan Samuel, Aura terkesiap. Matanya mendelik.

"Om El, ih.. " Aura hanya bisa memasang senyum kaku karena malu.

Samuel tergelak. "Astaga. Sev, ternyata kamu yang Aura maksud—"

"Om, udaaaah!" Aura merengek. "Sev, katanya mau pulang? Kok masih berdiri?" Pertanyaan sekaligus pengusiran secara tidak langsung, Seven hanya tertawa menanggapinya. Daripada datang masalah antar Om dan Keponakan, Seven memilih kabur. Toh setidaknya ia sudah berpamitan.

Dirasa kepergian Seven hilang dari jangkauan. Aura mengentak kaki. Kesal. "Om, ah! Ngeselin. Nanti ketahuan secara gamblang aku suka Seven!" Hardik Aura kepada Samuel.

Samuel tetap tertawa geli. "Salah, ya? Padahal Om bantuin kamu loh."

Aura melipat tangan depan dada. "Ya jangan dibongkar soal pemuda tampan-nya. Malu!" Sungut Aura. Samuel mencubit pipi tembam Aura gemas.

"Iyaaa, maafin Om. Nanti Om traktir sehari penuh sebagai permintaan maaf deh."

Mata Aura seketika berbinar. "Beneran? Kalo gituuu, tiga hari!"

Samuel mendengkus. Menyentil dahi Aura. "Malah ngelunjak, hm?" Aura meringis, bibirnya menekuk cemberut sambil mengusap titik hasil sentilan Samuel.

"Ayahmu mana? Kok gak hadir?" Kedua tangan Samuel merosot masuk ke saku celana.

Aura mengedikkan kedua bahu. "Hadir kok. Sebelum Aura dateng, Ayah lebih dulu ke sini, eh pas Aura papasan sama Ayah,"

Aura mengerutkan dahi kala melihat Ayahnya keluar dari lobi gedung De'I Gallery. "Ayah? Mau ke mana?" Aura nenghentikan langkah di pintu utama.

"Ayah ada keperluan mendesak. Bilangin ke Om El, maaf Ayah gak bisa hadir ya." Aura hanya mengangguk, menurut. Lalu memandang kepergian sang Ayah.

".. gitu, Om." Aura mengulum bibir. "Om tau keperluan Ayah ngapain?"

Samuel berdeham sekilas. "Pekerjaan kantornya, mungkin."

"Ra," panggil Samuel. "Kamu liat gak Seven ke mana pas acara pembukaan De'I Gallery?"

Aura mengerut dahi, bingung. "Om gak liat? Padahal jelas Seven duduk di sebelah Aura."

"Apa katamu?" Samuel menatap Aura. Mimiknya seperti sedang kebingungan. "Di sebelah Aura?"

Aura mengangguk. "Iya loh. Om gak liat Aura juga?"

"Aura duduk di bagian kerabat 'kan?" tanya Samuel memastikan.

"Aura disuruh Ayah sama Om 'kan buat duduk di situ? Malah pas Aura dateng tuh udah pembukaan, terus liat ada cowok duduk di paling ujung deretan meja keluarga Om Samuel, aku kira awalnya Kak Abim, ternyata Seven." Aura menguraikan. Samuel memanggut-manggut. "Kenapa emangnya, Om?"

Samuel menggeleng. "Nggak kok. Mungkin meja tamu undangan udah penuh, Kak Abim 'kan gak bisa hadir karena sakit jadinya mumpung ada meja kosong, Seven duduk di sana, mungkin." Spekulasi Samuel. Omong-omong Abim adalah anak pertama Samuel, satu tahun lebih tua dari Aura.

"Padahal Om El sendiri yang nempelin nama di meja Seven." Ujar Aura. "Apa?" Samuel melontarkan pertanyaan untuk memastikan.

"Nggak kok," Aura menepis pertanyaan itu. "Kondisi Kak Abim gimana, Om? Kok bisa sakit? Aura mau jenguk dong!"

•••

— new cast approved —

<>

Aura & Seven Outfits
when attended Samuel's (De'I Gallery) event

<>



5 votes to unclock the next chapter!

Continua a leggere

Ti piacerà anche

43.2K 6K 36
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
70.3K 7K 20
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
55.8K 5K 45
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
45.7K 7.1K 38
Rahasia dibalik semuanya