Her Wings / TAMAT

By FreelancerAuthor

14.2K 2K 98

Jemima tidak bahagia. Sejak awal dirinya terjebak di dalam rumah majikan ibunya, Jemima sudah dikutuk dengan... More

Prolog
1. Benih dalam semalam
2. Pembantu Baru
3. Mertua Sengit
4. Terima Keadaan
5. Kemarahan Tuan Rumah
6. Tujuh Bulan
7. Perubahan
9. Bertambah Tua
10. Satu Minggu
11. Dua Minggu
12. Kehilangan
13. Usaha
14. Kejutan
15. Usai
Informasi
Halo πŸ˜‡
Open Pre-order
PECINTA E-BOOK MERAPAT!

8. Sayang

642 124 6
By FreelancerAuthor

[Bab 14 sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Silakan mampir di bab kejutan. Happy reading!]

Tidak mungkin seorang Katrina tidak mengetahui apa pun langkah putranya sendiri. Sebegitu apiknya Aryan berusaha menyembunyikan bantuannya untuk ibu Jemima, nyatanya tetap ketahuan juga. Rasa tak suka Katrina bukan hanya ditujukan pada Jemima saja, melainkan pada ibu perempuan itu yang menjadi pihak keras kepala meminta tanggung jawab. Katrina sudah pasti melimpahkan kesalahan itu pada Jemima dan ibunya, tak peduli fakta yang sudah dibeberkan berulang kali.

Sudah jelas bahwa Aryan memperkosa Jemima hingga hamil. Meski dilakukan tanpa kesadaran penuh, meski yang ada di bayangan pria itu adalah perempuan lain, tetap saja kesalahan terletak pada Aryan.

Sayangnya, sikap Katrina seolah berkata, "Terus kalo anak saya pemerkosa, kenapa? Kalian aja masih butuh anak saya, kok!"

Walau tak diucapkan secara langsung seperti itu, tapi jelas terasa demikian yang ditunjukkan oleh wanita tersebut.

"Bagus, ya! Pulang pergi sekarang diantar jemput anak saya. Bahkan pekerjaan rumah semuanya dilimpahkan ke pembantu baru. Hmmm, kamu sadar nggak, ya, tuan rumah di sini siapa?"

Katrina sudah menyudutkan Jemima yang subuh tadi baru kembali dari rumah sakit. Dia menemani ibunya sendirian, meski Aryan semula ngotot ingin menemani. Akhirnya pria itu menjemput Jemima subuh supaya tidak banyak orang melihat. Semua itu dilakukan atas keinginan Aryan sendiri. Jemima justru lebih memilih untuk tak pulang dan lebih suka berada di rumah sakit menemani sang ibu. Sayangnya Aryan sangat menyebalkan karena menggunakan alasan orang lain bisa melihat kondisi Jemima, jika tak pulang. Padahal orang-orang akan lebih tak menyadari keberadaan Jemima jika tak di rumah.

"Maaf, Bu. Bukan saya yang mau demikian. Tuan Aryan sendiri yang mau melakukannya."

Katrina menoyor kening Jemima dengan kesal. "Heh! Kalo kamu nggak sibuk jengukin Jumaira di rumah sakit, anak saya nggak akan heboh antar jemput kamu! Lagian kalo kamu pergi dan pulang pakai kendaraan umum, yang ada orang akan bertanya-tanya soal kehamilan kamu, dasar bodoh!"

Jemima tidak membalas apa pun lagi. Dia hanya membiarkan Katrina meluapkan rasa kesalnya.

"Sekarang baru kelihatan betapa liciknya kamu. Pelet apa yang kamu pakai buat bikin anak saya nurut sama kamu, hah?!"

Jemima tidak habis pikir, ternyata orang kaya seperti Katrina percaya dengan hal-hal semacam itu. Padahal, uang mereka tidak diraih dengan dukun, kan? Perusahaan mendiang suami Katrina begitu besar, dan Aryan mengurusnya dengan baik. Lalu, kenapa Katrina bisa memberikan tuduhan murahan semacam itu pada Jemima? Apa iya pemikiran orang kaya dan berpendidikan seperti Katrina tidak jauh berbeda dengan orang kaya di kampung yang maunya mendapatkan pelaris dan sumber kekayaan dengan cara cepat?

"Cepetan ngaku! Kamu pakai pelet biar anak saya tergila-gila sama kamu-"

"Mama!"

Katrina menghentikan ucapannya karena Aryan yang muncul di rumah padahal ini masih jam sepuluh pagi. Pria itu baru berangkat jam delapan tadi, lalu kenapa sudah berada di rumah?

"Aryan? Kamu, kok, sudah pulang?"

Aryan berjalan mendekat pada Jemima, melewati sang mama yang semakin kesal melihat pemandangan semacam itu.

"Tuduhan macam apa yang mama kasih ke Jemima? Pelet? Mama yakin masih baik-baik aja?"

"Aryan? Maksud kamu apa? Mama baik-baik aja. Mama sehat!"

"Ya, tubuh mama memang sehat. Tapi aku nggak yakin sama isi kepala mama yang makin hari makin ngaco."

Aryan menatap Jemima yang sebenarnya malas mendengarkan perdebatan ibu dan anak itu. "Ambilin berkas yang ada di kamar. Ambil yang ada keterangan proyek 3. Saya lupa bawa tadi."

Jemima hanya mengangguk dan meninggalkan keduanya.

"Kalo mama masih menekan Jemima di rumah, aku akan bawa Jemima ke kantor."

Bola mata Katrina langsung melebar. Bibirnya berkedut siap meledakan kalimat bombastis. Namun, dia tak ingin melemparkan kalimat apa pun yang berpotensi membuat putranya semakin berani mengambil tindakan ceroboh.

"Mama nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, Aryan. Tapi apa pun itu, semoga kamu kembali sadar. Kamu nggak pantas membela perempuan licik itu. Semoga kamu kembali seperti semula setelah anak dari perempuan miskin itu lahir."

Katrina meninggalkan Aryan dan masuk ke kamar wanita itu sendiri dengan membanting pintu. Aryan hanya bisa menghela napas dan menggeleng tak percaya pada sikap mamanya yang tak berubah sedikit pun meski calon cucunya akan lahir.

"Tuan, ini berkasnya."

Aryan menerima berkas yang Jemima ambil. Pria itu berniat langsung pergi, tapi dia menatap Jemima kembali.

"Kamu mau di rumah, atau ke rumah sakit?"

Jemima terkejut dengan tawaran pria itu. "Apa boleh? Bukannya Tuan bilang berangkat jam segini berpotensi orang lain melihat saya?"

"Pakai kemeja besar saya. Terus bawa jaket. Bawa pakaian ganti juga. Kemungkinan kamu saya jemput besoknya, karena malam ini saya harus lembur sama karyawan yang lain. Dari pada kamu di rumah stres sama sikap mama, lebih baik kamu di rumah sakit istirahat sama ibu kamu, kan?"

Jemima tak peduli apa maksud dari sikap baik Aryan ini. Yang jelas, dia mengangguk patuh dan bersiap pergi ke rumah sakit. Jemima tak peduli dengan kemarahan Katrina. Karena Jemima hanya peduli memanfaatkan longgarnya sikap ketus Aryan belakangan ini. Tak peduli apakah Aryan memang terkena mantra, yang terpenting adalah Jemima yang bisa keluar dari rumah itu meski sebentar.

***

"Tuan Aryan kelihatannya peduli dan perhatian sekali sama kamu," ucap Jumaira.

Jemima mengabaikan kalimat ibunya itu dan fokus menyantap makan siang yang diantarkan perawat untuk penunggu pasien.

"Sebenarnya tuan Aryan nggak jahat, Nak. Mungkin karena malam itu mabuk makanya dia berbuat hal buruk itu."

"Baik atau nggak, sadar atau nggak. Bagi Jemima dia adalah penghancur hidupku, Bu. Lagi pula, aku juga udah bersikap baik dengan nggak melakukan apa pun. Aku mengikuti semua perintah selama tinggal di rumah itu. Kalo tuan Aryan bersikap baik, itu hanya untuk anak yang aku kandung. Setelah anak ini lahir, tabiatnya akan keluar lagi. Karena dia nggak suka lihat wajahku, Bu. Aku bukan perempuan yang dia mau, jadi wajar kalo selamanya kami nggak akan bersatu dengan cara apa pun."

Jumaira terlihat lemas dengan balasan putrinya.

"Kenapa? Ibu mau aku selamanya hidup bersama laki-laki yang menodai aku?"

"Kamu punya pilihan kalo seandainya berpisah sama tuan Aryan?"

"Banyak. Aku punya ijazah SMA. Walaupun lowongan minim, tapi aku nggak bodoh-bodoh banget. Aku juga masih muda, peluang buatku masih panjang. Ibu nggak perlu pesimis, aku sejauh ini nggak depresi aja udah bagus."

Jumaira mengusap kepala putrinya dengan sayang. Dia tahu sudah membesarkan putri yang cerdas. Meski nasibnya tak mujur, tapi semangat Jemima masih ada ditengah masalah hidup mereka yang rumit.

"Kamu sudah yakin bisa melepaskan anakmu? Kamu yakin nggak akan merasa sedih dan kehilangan?"

"Bu, ini adalah anak yang hadir tanpa aku inginkan. Kenapa aku harus sedih dan merasa kehilangan?"

"Jemima, jangan bicara seperti itu. Bayi yang kamu kandung itu pemberian Yang Maha Kuasa. Pasti ada makna dibalik semua kesulitan yang kamu dapatkan, Nak."

Jemima menarik napas panjang sebelum membalas ucapan ibunya.

"Ya, oke. Aku udah bisa menerima semua cobaan ini. Jadi, ibu harus berhenti untuk mengulang pertanyaan yang sama. Aku siap dengan semua rencana yang aku pikirkan. Aku akan menjalani hidupku sendiri setelah bayi ini lahir."

Jumaira hanya khawatir. Dia tahu bagaimana rasa sayang muncul begitu besar kepada bayi yang sudah berbagi kehidupan selama kurang lebih sembilan bulan di tubuh yang sama. Jumaira hanya tak mau Jemima menyesali ucapannya sendiri. Namun, disisi lain, dia juga tak tega melihat putrinya kesusahan hidup bersama keluarga yang tak menginginkannya. Jumaira juga ingin melihat putrinya bersinar dengan kedua kakinya sendiri. Sayangnya, terkadang kenyataan hidup tak selalu berjalan seperti apa yang direncanakan manusia.

"Ibu boleh tanya satu hal lagi? Habis itu ibu janji nggak tanya-tanya lagi."

Jemima mengangguk, tidak terlalu mengambil pusing.

"Apa kamu menyayangi bayi yang kamu kandung? Jangan pikirkan siapa ayahnya, bagaimana cara mendapatkannya. Pahami pertanyaan ibu tanpa semua faktor itu. Kamu sayang sama bayimu?"

Dari sana Jemima menatap perut buncitnya. Terkadang gerakan bayi terasa di sana, terkadang kedutan juga terasa menemani Jemima. Banyak pertanda yang mengingatkan Jemima bahwa bayi itu hidup di dalam rahimnya, dan Jemima menyadari kehadirannya. Bahkan Jemima juga terkadang mengajak bicara bayi itu dari dalam hati. Berharap bayi itu bertahan dan tidak menginginkan hal macam-macam untuk dituruti. Sebab mereka bukan selayaknya ibu dan bayi yang dipuja dan disayang seperti orang kebanyakan.

"Jemima?" panggil Jumaira.

"Sayang," ujar Jemima. Itu seperti jawaban sekaligus panggilan bagi bayinya. "Sayang."

Jika sudah sayang, apa bisa Jemima melepaskannya dengan mudah kelak ketika bayi itu lahir?

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 334K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
998K 147K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
3.3M 49K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
273K 759 7
Vote masa cuma sange aja vote juga lah 21+