Dreamcore

By ZiviaZee

501 79 40

[Science Fiction] Aku hidup di dunia Khayalan! Dunia 150 tahun dari era ini di mana robot dan cyborg berlalu... More

𝕆𝕆
𝕻𝖗𝖆𝖐𝖆𝖙𝖆
𝕿𝖍𝖊 𝕮𝖗𝖊𝖜
Prologue
Core 2 • Crash Landing in The Multiverse

Core 1 • Anything, Anywhere, All in My Imagination.

57 7 0
By ZiviaZee

Dreamcore

A novel by Zivia Zee

•••

[Playlist 01 || Imagination]

"In my imagination
I can do so many things
So many things, so many things"

Mimpi-mimpi itu berbicara padaku dengan cara paling menakjubkan yang bisa kulakukan. Aku hanya perlu menutup mata dan boom! Aku akan berada di kota futuristik paling canggih yang tidak pernah ada di dunia nyata.

Aku hanya berbaring di kamarku, di antara tumpukan selimut dan kain-kain perca yang belum selesai kurajut. Akan tetapi, pada saat yang sama aku mengelana ke berbagai dunia, berbagai lini waktu, dan berbagai cerita. Aku menjadi mata-mata remaja jenius yang mengejar dalang organisasi kejahatan, kadang-kadang berpetualang sebagai seorang putri raja berkekuatan bintang di dunia semi distopia yang sedang dijajah. Atau hanya menjadi anak jalanan di era sibernetika futuristik yang berusaha mencari uang dengan bermain papan luncur.

Aku menjadi siapapun yang kumau, dan semua itu berkat kekuatan imajinasi.

"Auriga, bangun!"

Imajinasi itu luar biasa. Papa bilang imajinasi adalah sebuah pintu. Imajinasi bisa membuka kebebasan atau justru menjadi jebakan. Kendati demikian, hanya Papa yang punya pandangan keren soal itu. Keluargaku yang lain terutama kakekku amat tidak suka aku suka mengkhayal. Sebenarnya itu tidak mengapa. Namun kakek terlalu peduli dan menyebalkan sampai-sampai ia membuat banyak sekali acara untuk menyibukkan keluarga agar aku tidak punya waktu berkhayal. Seandainya saja Kakek tidak peduli agar Agatha tidak datang tiap pagi mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan brutal seperti saat ini.

"AURIGA!"

Akhirnya gadis itu mendobraknya juga.

"Aku sudah bangun!" Kusingkap bantal di atas kepala. Menyuguhinya wajah bantalku yang dibingkai rambut awut-awutan. Sebaliknya, dia menyambutku dengan wajah menekuk galak. Gadis itu sudah rapi dengan setelan olahraga dan jaket parasut semi transparan.

"Kebiasaan! Awas ya kamu kalau sampai ketiduran lagi gara-gara ritual halusinasi tiap bangun tidurmu itu. Cepat siap-siap!"

Bulir-bulir debu tersingkap beterbangan di bawah cahaya saat Agatha membanting pintunya. Mataku melirik ke arah jam dinding di atasnya, masih pukul enam. Aku menghela napas panjang untuk mengumpulkan nyawa sebelum bangkit dari kasur. Hari Minggu adalah hari berlari. Itu bukan hari nasional, tapi Kakek yang menciptakannya agar cucu-cucunya yang pemalas keluar dari kandang mereka dan berolahraga.

Aku tidak membenci olahraga. Aku rajin kumpul di Murafitti untuk bermain papan skate bersama anak tongkrongan sana. Akan tetapi aku benci olahraga di hari Minggu. Kakek jelas-jelas tidak mau tahu kalau hari Minggu adalah satu-satunya hari liburku. Satu lagi hal yang paling aku benci dari hari berlari, tidak ada yang bisa menentang kakek. Itulah tidak enaknya punya kakek bekas komandan militer.

Kuputuskan untuk mandi nanti saja, jadi setelah mencuci muka seadanya, aku memakai jaket parasut transparan yang sama dengan Agatha-Papa sengaja membeli empat potong jaket yang sama agar keempat putrinya tidak ada yang memulai drama saling iri-dan celana olahraga berpotongan pendek lalu keluar kamar sembari menenteng skateboard.

"Auri, sudah bangun, Sayang?" Papa menyambutku di bawah tangga. Di lantai bawah rupanya sudah ramai. Alden dan Ciel duduk di sofa. Sementara Lunara membantu Kakek memakai jaketnya.

"Selamat pagi, Papa!"

Aku mendorong skateboard di lantai dan meluncur di atasnya sambil berjongkok.

"Ih, bau bangke! Kayaknya ada kebo belum mandi, nih." Ciel berlagak menyebalkan dengan pura-pura muntah ketika aku lewat di depannya. Buru-buru aku melempar apel yang kuambil dari atas meja yang memisahkan kami tepat ke kepala cowok menyebalkan itu. "Selamat pagi juga, Ciel. Halo Alden."

"Halo, Auriga."

"Anak tolol!" seru kakakku yang nomor dua, Ciel. Aku menjulurkan lidah dan lekas meluncur ke arah Kakek yang tengah berdiri di tengah ruangan.

"Selamat pagi, Kakek!"

Keseimbangannya terganggu ketika aku meluncur cepat ke arahnya-mendarat dengan memeluk kakinya secara tiba-tiba. Kakek mengucap serapah dan dahinya mulai berkerut tak sedap dipandang. Spontan aku meluncur kabur sebelum dia sempat memukul kepalaku dengan tongkat jalannya.

"Hari ini hari berlari bukan hari papan luncur, Auriga!" serunya kesal.

"Aku berlari, kok," kataku di ambang pintu. Turun dari papan luncurku dan mulai berlari di jalan.

Keluarga besarku tinggal di satu tempat yang sama. Kompleks perumahan privat di tengah-tengah Kota Hamburg. Isinya hanya beberapa rumah termasuk empat rumah milik keluargaku. Kami tidak punya banyak tetangga. Hanya ada sekitar dua puluh kepala keluarga. Oleh karena itu, jalanan kompleks selalu lenggang dan sejuk di pagi hari. Faktor inilah yang menginspirasi kakek untuk lari pagi sekeluarga tiap minggu.

Tidak jauh dari rumahku, hanya sekitar sepuluh menit setelah aku meninggalkan rumah, aku melewati rumah sepupuku. Di depan pagar mereka yang menjulang tinggi sudah ada si kembar Aria dan Avery yang tengah melakukan pemanasan

"Mau balapan?" seruku saat melewati mereka.

"Oh, nantangin, ya." Avery merenggangkan kakinya sekali lagi dan mulai bersiap-siap mengejarku.

Cepat-cepat aku naik ke atas papan luncur dan minggat dari sana. Avery meneriakiku curang di belakang sana, tapi siapa peduli. Bersaing dengan cewek itu bukan ide yang bagus, dia orangnya kekanak-kanakan dan tidak mau kalah.

Jalur lari yang telah ditetapkan Kakek adalah dari rumah kami kemudian berkeliling hingga Taman Sentral di tengah kompleks. Namun Taman Sentral bukan taman favoritku, jadi alih-alih ke sana, aku mengendarai skateboard menuju Murafitti. Yang pergi ke Murafitti hanya anak muda, tentu saja. Tidak seperti Taman Sentral yang menyuguhkan taman bunga, arena lari dan lahan duduk dan piknik yang menjadi tempat favorit orang-orang jompo seperti kakek, Murafitti bukan taman yang indah. Tempat itu hanya terdiri dari arena skateboard, cafe serta dinding-dinding mural. Tapi bukan semua itu yang membuat aku betah berada di sini.

Di ujung barat taman ini, ada rumah kosong bergaya minimalis dengan aksen kayu. Jika tiap perumahan memiliki rumah hantu, maka rumah itu adalah rumah hantu perumahan kami. Rumah itu sudah kosong selama tujuh tahun. Dahulu, ada anak lelaki bernama Illias yang tinggal di sana. Namun, suatu malam keluarganya pergi tanpa alasan dan kabar. Meninggalkan rumah beserta seluruh barang-barang yang ada di dalamnya.

Yang membuat tempat itu istimewa bagiku adalah karena aku mengenal Illias lebih dari aku mengenal siapapun.

Meski letak rumah di perumahan ini berjauhan, aku mengenal semua anak yang ada di dalamnya. Biasanya aku mengenal mereka di pesta-pesta bisnis karena hampir semua tetangga di kompleks ini punya hubungan bisnis atau politik dengan keluargaku. Namun Illias berbeda. Aku mengenalnya tidak sengaja, berkat satu peristiwa, dan sejak saat itu aku jadi sering main ke rumahnya. Melihat tempat mainku saat kecil jadi semacam rumah hantu terkadang membuatku merasa aneh.

Tapi aku betah di sana.

Tiap hari berlari tiba, alih-alih beriringan dengan keluargaku piknik di Taman Sentral, aku memilih menyelinap ke dalam rumah Illias. Semua yang ada di dalamnya masih sama seperti yang kuingat saat aku berkunjung kemari tujuh tahun yang lalu. Termasuk Hammock yang digantung di taman belakang. Diam-diam aku suka tidur di sana karena tempat itu jauh dari jangkauan keluargaku.

Hari ini, aku juga melakukan hal yang sama. Saat ini seluruh keluargaku mungkin sedang kebingungan mencari putri bungsu mereka yang hilang di sepanjang Taman Sentral. Semoga kakek tidak terpikirkan mencari ke seluruh kompleks atau menggeledah rumah hantu megah ini atau aku harus mencari tempat persembunyian baru.

Saat aku berbaring di Hammock milik Illias yang ditinggalkan, aku tidak hanya sekedar berbaring. Melainkan, aku memejamkan mata dan meluaskan imajinasi hingga batas-batas tak terhingga. Aku menjatuhkan diri pada dunia rekaan dan orang-orang tak nyata yang kuciptakan dalam pikiranku.

Biasanya prosesnya tak memerlukan waktu lama. Cukup tarik napas, dan mulai bayangkan dunia apapun yang ingin aku bayangkan.

Lalu di sinilah aku.

Kota Eden, sebuah kota futuristik berlatar ratusan tahun dari lini waktu saat ini. Era kejayaan sibernetika di mana manusia dan robot adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

"Auri, ini obengnya." Aku menoleh ke belakang dan meraih obeng dari tangan gadis berkulit coklat.

Itu Nareeya, karakter pertama yang kubuat untuk menempati dunia rekaan ini. Ceritanya dia adalah sahabatku. Sahabat setia yang tidak akan ada di dunia nyata.

"Auri, kamu sungguh bisa memperbaikinya 'kan?"

Aku kembali memandang ke depan. Pada sebuah tangan prostetik sepanjang telapak hingga siku yang tergeletak di meja. Lalu memanjangkan pandangan pada seorang lelaki kurus dengan tangan kanan yang hilang mulai dari siku. Itu Navy, karakter cyborg yang kuciptakan untuk membuatku bersinar sebagai tukang reparasi robot di dunia ini.

"Tentu saja! Apa yang tidak bisa aku lakukan? Jangan lupa aku yang paling jago di daerah ini."

"Minggu lalu kamu membuat tanganku panjang sebelah. Aku tidak akan kemari lagi kalau kamu memang sejago itu!" gerutunya.

Aku berkutat dengan tangan Navy di meja. "Minggu lalu aku salah memasang per. Kamu juga tidak akan kemari lagi kalau ada yang lebih jago dariku."

"Sebenarnya ada." Ujung mata lelaki itu mengelana ke atas. "Tapi semua memasang harga mahal."

"Yah, kamu juga tidak akan kemari lagi kalau aku tidak sebaik hati ini," gumamku. "Nah, sudah selesai. Coba pasang."

Navy maju dan mengambil tangannya. Kali ini tangan prostetiknya terpasang dengan baik. Tidak panjang sebelah, tidak longgar, sempurna. Wajah murung anak itu langsung secerah sinar laser menara kota.

"Kamu memang sejago itu." Pipinya jadi semerah delima. "Terimakasih Hesper!"

Hesper, Auriga Hesper. Namaku di dunia ini. Seorang mekanis jenius yang baik, ramah dan dicintai semua orang. Jangan protes soal spesifikasi diriku yang terlampau bagus untuk jadi nyata, itulah gunanya dunia khayalan. Membuat semua yang tidak bisa kudapatkan di kehidupanku yang sebenarnya menjadi nyata.

"Jangan istirahat dulu. Masih ada yang menunggu." Terdengar suara Nareeya dari ruang sebelah.

Aku bergumam mengerti, lalu meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Tak lama, aku merasakan ketukan di pundak.

Itu pasti Nareeya dan pasienku selanjutnya.

"Selamat datang di Toko Reparasi Hesper, ada yang bisa kami bantu?" ujarku seraya tersenyum.

Begitu aku berbalik, senyum manis ala resepsionis hotel yang sudah kusiapkan langsung luntur seketika. Tidak ada Nareeya, tidak ada calon klien yang akan membuat nama toko reparasiku bersinar. Yang ada malah sebentuk makhluk berwujud kakek-kakek yang melotot lebar, menekuk kasar dan berwajah seram.

"Auriga, bangun!" bentak kakekku sebal. "Bangun atau Kakek kutuk kamu mati dalam khayalan bodoh itu!"

Tongkat jalannya melayang ke atas hendak mendarat di badanku. Sontak aku berteriak penuh teror sampai badanku limbung ke belakang saking takutnya. Aku sudah bersiap-siap jatuh mengenai ujung-ujungnya tajam baut yang berserak di belakangku sehabis membetulkan lengan Navy tadi. Namun aku justru jatuh di atas rumput dan dedaunan kering.

Tidak ada baut, tidak ada kotak-kotak onderdil untuk mereparasi robot, tidak ada Nareeya ... dan tidak ada Kakek.

Aku jatuh dari hammock yang kutiduri.

Jantungku masih berdegup lantang, menyebabkan napasku menyengal. Kulitku terasa panas di sengat matahari. Pundak dan lenganku yang menghantam tanah terasa remuk bak menggasak duri-duri. Namun, di saat yang sama dahiku yang basah oleh keringat terasa dingin saat angin membelai kepalaku.

Aku merebahkan kepala di atas rerumputan. Menghela napas lega.

Hanya mimpi.

Rupanya aku ketiduran.

Sudah lewat tengah hari saat aku bangun. Ketika aku mengecek ponselku, ada banyak panggilan dan pesan yang masuk dari Kakek, Papa dan saudara-saudaraku. Syaraf-syaraf panik langsung menyentrumku keras. Satu pesan dari Papa menyuruhku bergegas ke rumah Kakek.

Sial.

Sontak aku bergegas bangkit dan keluar dari halaman Rumah Illias.

Ini bukan pertama kalinya aku mengkhayal sampai ketiduran dan terbawa mimpi. Namun ini jelas-jelas pertama kalinya mimpiku jadi seseram itu. Saking seramnya, sepanjang perjalanan mengendari skateboard menuju rumah, aku masih bergidik sendiri. Keseraman Kakek mulai meneror alam bawah sadarku. Aku jadi semakin takut padanya.

"Ke mana saja kamu?! Bukannya pulang malah keliaran! Bikin repot semua orang aja." Sesampainya di Rumah Kakek, Avery langsung menyemburku dengan wajah menekuk jelek.

Ciel yang duduk di sofa ruang tamu ikut berujar, "Sudah dibilang si Badung itu nggak usah dicari. Nggak ada yang ngarepin dia di sini, juga."

"Ciel." Papa menegur. Lalu menghampiriku dengan wajah khawatir. "Kamu darimana saja, Sayang?"

"Main skateboard sama temen," bohongku cepat. Atensiku segera teralih pada banyak orang yang di ruang tamu. Semuanya ada di sana. Bibi Nora, Paman Ehrlick, sepupu dan kakak-kakakku. "Kenapa? Kok pada ngumpul di sini?"

Saat itulah suara serak Kakek bergema dari atas balkon lantas atas. Semua mata beralih pandang pada sosoknya yang kini menuruni tangga.

"Kakek yang mengumpulkan kalian di sini," ujarnya. Kemudian mengejutkan kami semua dengan berkata, "Kita akan naik kapal pesiar."


First chapter of Dreamcore!!

Siapapun yang terdampar di sini, I hope u enjoy the story as much as I do. Feel free buat ngasih kritik n saran di kolom komentar.

See you on the other page! Enjoy Fellas 😉

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 341K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...
539K 97.2K 168
[TERJEMAHAN YANG SUDAH DI EDIT] *** Seluruh dunia menjadi sasaran ujian yang sangat berbahaya yang disebut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Global. Peser...
775K 75.1K 64
KARYA ASLI BUKAN NOVEL TERJEMAHAN CERITA INI DIBUAT UNTUK DINIKMATI BUKAN UNTUK DI PLAGIAT, HARAP DIBACA DAN JANGAN DI JIPLAK.? I was kidnapped by...
6.4K 781 14
baca aj