END Rahim untuk Suamiku

By Shireishou

246K 20.7K 5.1K

[18+ NOVEL DARK RELIGI] Darah yang membasah tak jua membuatmu peduli. Nyawaku mungkin sudah tak lagi berarti... More

PROLOG
Bab 1 - "Dok, apa istri saya sudah boleh diberi tahu?"
Bab 2 - "Mas Radi marah rahimku diangkat."
Bab 3 - Justru Karena Masih Cinta, Makanya Rasanya Bisa Sesakit Ini, Bukan?
Bab 4 - Apa salah seorang istri menginginkan perhatian suaminya?
Bab 5 - Seperti ikan yang menggelepar saat ditarik dari sungai dengan jala
Bab 6 - "Sadar posisimu lah! Istri ndak perlu ikut campur masalahku!"
Bab 7 - Apa kami mampu bertahan jika Mas Radi kehilangan pekerjaan?
Bab 8 - Aku memang milik suamiku. Namun, suamiku milik ibunya.
Suami Kasar - 9 - Bagaimana mungkin mencintai, jika begitu dingin?
Suami Jahat - 10 - Hadapilah dan Bukan Terus Menghindar
Bab 11 - Apakah ini pertanda aku harus menghentikan semua sebelum terlambat?
Suami Kaku - 12 - Jawaban yang Dinanti
Rahasia Suami - 13 - Kecurigaan pun Mau tak Mau Muncul Tanpa Ragu
Suami Mencurigakan - 14 - Kenangan Masa Silam
Suami Stalking - 15 - Benarkah Masih Cinta?
Debat Suami - Bab 16 - Kecurigaan Memuncak
Hasil Akhir - Bab 17 - Ungkapan yang Mengejutkan
Asiyah - 18 - Penat yang Tak Tertahan
Fatimah - 19 - Kisah yang Terbuka
Asiyah - 20 - Ucapan yang Salah
Kondisi Dahulu - 21 - Rahim yang Memburuk
Kejutan - 22 - Kehilangan Kata-Kata
Patah Arang - 23 - Pernikahan yang Hampir Kandas
Pertemuan - 24 - Kesan Pertama yang Mendebarkan
Kisah - 25 - Masa Lalu yang Tersembunyi
Bicara - 26 - Berkomunikasi Ternyata Sesulit Ini
Bertemu Calon - 27 - Guncangan Kembali Nyata
Syok - 28 - Dada yang Terhimpit Sesak
Gigil - 29 - Negosiasi Penting
Pedih - 30 - Panik Bertubi
Uang - 31 - Pangkal Masalah
Kehilangan - 32 - Pertanyaan yang Mendasar
Sesak - 33 - Mimpi Buruk Terus Menghantui
Roboh - 34 - Pertahanan yang kandas
Pertama - 35 - Perjuangan Asiyah
Akhir - 36 - Awal Kengerian
Lelah - 37 - Akhir Semua Perjuangan
Jujur - Bab 39 - Alasan yang Tersembunyi
Klimaks - 40 - Segala yang Berubah
THE END

Hitam - 38 - Sudut yang Berbeda

3.3K 348 128
By Shireishou

Terima kasih untuk komen dan votenya! Kakak2 memang luar biasa!

Kalau sekarang dapat 134 vote sebelum 24 jam, update lagi Kamis.

Kalau enggak, Jumat, ya! 😍

Ada bab yang dapat vote 140+, lho!
(Prolog malah 300).

Dadaku terasa sesak. Aku bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tanganku yang berusaha menggenggam, tapi ternyata begitu lemah. Kadang aku tersadar, kadang juga aku tak yakin aku bisa merasakan tubuhku sendiri.

Aku didudukkan di kursi depan dan diikat sabuk pengaman dengan kencang. Aku masih bisa merasakan ketika mobil terguncang-guncang menuju rumah sakit. Samar kulihat Mas Radi menyetir seperti orang gila, menekan klakson dan berteriak menyuruh orang-orang menyingkir sembari membuka jendela. Aku ingin menyuruhnya tenang, tapi aku tak mampu melakukannya.

Aku bahkan tak tahu anak-anak bersama siapa sekarang. Ummi kah? Kepalaku tak bisa berpikir banyak. Aku hanya terkulai lemah di jok dengan ditahan sabuk pengaman dan bantal.

Ketika mobil berhenti mendadak, aku masih mendengar teriakan Mas Radi memanggil satpam dan perawat. Tubuhku diangkatnya dengan mudah dan diletakkan ke brankar sebelum kemudian melaju menjauh. Suara Mas Radi tak lagi terdengar.

Ada suara-suara lain menggaung di telinga. Terdengar riuh-rendah bersahutan. Semua kembali terasa gelap ketika aku tak lagi mampu membuka mata. Aku bisa mendengar dokter jaga menanyai kondisiku. Memintaku menggenggam tangannya. Syukurlah, aku masih bisa melakukannya meski susah payah. Kelopak mataku dibuka dan cahaya lampu menerangi. Aku memejam secara refleks. Alhamdulillah, tampaknya aku masih bisa bergerak. Mungkin aku hanya kelelahan saja.

Hawa gigil tetap menusuk meski aku bisa merasakan selembar kain menyelimuti rapat. Aku merasakan jarum infus menusuk tangan kiri. Lalu mereka memasang sesuatu di hidungku.

Napasku sudah lebih baik dari sebelumnya. Masih belum terasa normal, tapi sudah terasa sedikit melegakan. Aku bisa merasakan sesuatu mengganjal di dalam hidungku, tapi jika memang membuatku bisa bernapas, aku tidak akan protes. Lagipula, aku tak bisa membuka suara.

Kasur yang menyangga tubuhku tidak terlalu lembut, tapi cukup nyaman. Syukurlah, Mas Radi membawaku ke rumah sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?

Rasanya begitu capai. Namun, aku takut jika tertidur lagi, aku tak akan bisa tersadar kembali.

Akan tetapi, semua terasa begitu melelahkan. Aku masih berusaha menyebut nama Allah berulang-ulang sebelum akhirnya kesadaran kembali lenyap dari tubuh.

Ada lantunan ayat Al Qur'an kudengar samar bersamaan ketika kesadaranku kembali. Suara yang kurindukan. Sudah berapa lama aku tak mendengarnya bermurojah seperti ini?

Kali ini, tubuhku sudah terasa mendingan. Kubuka mata perlahan. Hal yang pertama kurasa adalah genggaman hangat di tangan kananku.

"Sudah bangun?"

Tepat ketika pandanganku mampu menangkap semua hal yang terpampang di hadapan, wajahnya leganya terlihat nyata. Ia berdiri sejenak, menekan tombol panggilan dan kembali duduk di sampingku. Al Qur'an mungilnya kini sudah terletak di nakas.

Aku ingin bersuara, tapi kerongkonganku terasa begitu kering.

"Nanti kamu cerita ke dokter apa yang kamu rasakan, ya. Kamu pasti sembuh. Aku sudah pilihkan rumah sakit terbaik untukmu," bisiknya sembari membelai kepalaku.

"Be-berapa lama aku pingsan?" Akhirnya aku bisa bersuara. Serak dan parau.

Mas Radi menoleh ke arah jam dinding sejenak. "Sekitar satu jam."

"Apa asmaku kambuh?" Aku kadang masih merasakan sesak mengimpit dada. "Tapi, sudah lama sekali tidak kambuh."

Mas Radi tak menjawab dan justru membelai pipiku lembut dengan tangan kiri, sementara jemari kanannya menggenggam tanganku. Ada kesunyian menyenangkan di sini. Hanya ada aku, dia, dan rasa hangat itu.

"Semoga bukan hal serius." Kalimat itu akhirnya keluar dari mulutnya.

Aku hanya mengangguk lemah.

Kali ini, aku bisa merasakan tatapannya melembut. "Apa kamu stres karena aku kehilangan pekerjaan? Ndak usah dipikirin, aku kan sudah diterima di tempat baru. Memang ada masa percobaan tiga bulan. Tapi, pasti lolos. Aku ndak akan minta tinggi-tinggi. Asal diterima sudah bagus. Kemarin aku sibuk karena tesnya banyak sekali. Bahkan sampai direktur dan pemilik perusahaan sendiri yang mewawancara. Kamu ndak usah pusing lagi, ya. Cepat sehat."

Genggamannya menguat. Aku ingin mengungkapkan semuanya. Mengungkapkan semua ganjalan di hatiku. Penyebabku bisa stres beberapa bulan terakhir.

"Mas, aku ...."

Suara pintu yang terbuka terdengar. Kalimatku kembali tertahan dan melesak kembali ke dada.

Seorang dokter wanita paruh baya tersenyum ramah kepadaku. Dia melakukan pemeriksaan rutin sembari menanyakan banyak hal.

Aku pun menjawab sebisaku. Tentang rasa sesak yang tiba-tiba datang, penyakit asma yang dulu pernah menyerang, juga pertanyaan apa penyakit asmaku ada kemungkinan kambuh?

Dia mengatakan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Belum sempat aku menjawab, aku merasakan dadaku seperti diinjak gajah berkekuatan besar. Aku bahkan tak mampu berkata apa-apa kecuali menggelepar seperti ikan yang diangkat ke daratan.

Setelah itu, semuanya kembali gelap.


Radi mondar-mandir tak karuan di ruang tunggu rumah sakit. Berkali-kali dia menggaruk kepalanya yang terasa berdenyut menyakitkan. Asiyah ternyata harus masuk ICU. Dokter bilang napasnya tersengal dan terpaksa harus dibantu alat. Mereka masih akan melakukan serangkaian tes untuk mengetahui apa sebenarnya penyakit yang dideritanya.

Ada getar terasa di saku celana. Radi mengambil gawainya dan melihat siapa yang menelepon. Ummi.

"Piye kondisine Asiyah?" Ummi langsung bertanya seusai mendapat balasan salam.

"Masih diperiksa dokter. Mungkin asmanya kambuh. Mungkin juga GERD, atau mag, atau tipes. Radi juga ndak paham!" Pria itu masih juga bergerak ke sana-kemari. Wajahnya memucat seiring ujung jemari tangan yang memutih akibat menggenggam gawai terlalu keras.

"Tapi kondisine serius?"

"Kalau masuk ICU yo serius!" Tanpa sadar suaranya naik. "Ah, maaf, Ummi. Radi khilaf." Pria itu menunduk dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Ummi ke sana. Kamu butuh ditemenin. Biar anak-anak sama Fatimah aja."

Telepon pun Ummi putus tanpa menunggu Radi menyetujui usulannya. Tak sampai tiga puluh menit, Fatimah dan Eka sudah tiba di rumah Asiyah bersama tiga anak mereka yang terkecil. Lima anaknya yang lain masih sekolah dan diminta pulang ke tempat Radi sore nanti.

"Ummi nanti biar diantar Mas Eka ke rumah sakit. Aku yang jaga bocah-bocah. Kalau di rumah Mas Radi, lebih luas. Anak-anak bisa main dengan lebih nyaman." Sejenak Fatimah hendak mengucap sesuatu. Akan tetapi, mulutnya urung bicara.

Namun, Ummi tak bisa dibohongi. Dia mendekat pada putrinya itu dan merengkuh bahunya lembut.

"Ada apa?"

Fatimah menggigit bibir bawahnya. "Fatimah takut kalau...."

"Apa sudah siap?" Suara Eka membuyarkan lamunan. Fatimah menarik tubuhnya mundur.

"Ummi sudah siap, Mas. Tolong, ya." Perempuan berjilbab panjang itu berusaha tersenyum. Ummi tak bisa berbuat apa pun kecuali begerak menuju mobil tua Eka dan meluncur membelah kota menuju rumah sakit tempat Asiyah dirawat.

Sementara Fatimah masih menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Namun, dorongan kuat dari hatinya untuk menyambar ponsel dan mulai menekan keypad.

"Mas Radi? Iya, Ummi udah pergi." Fatimah berusaha berbasa-basi sejenak.

"Anu, Mas." Fatimah kembali ragu. Dia tak ingin salah bicara. Sejujurnya, dia tak ingin ikut campur. Namun, jika memang hal itu adalah penyebab ambruknya kakak ipar kesayangannya, Fatimah tak bisa tinggal diam. "Fatimah sebenarnya ndak enak ngomong di telepon. Tadi mau ngomong ke Ummi, tapi lebih enak ke Mas langsung. Iki mendesak," lanjutnya lagi.

Di seberang saluran, Radi hanya diam menanti adiknya bicara.

"Mas pilih rumah sakit itu atas dasar apa?'

Sejenak Radi bingung dengan pertanyaan Fatimah. Namun, tak butuh waktu dia menjawab dengan detail. "Paling dekat dan lebih bagus fasilitasnya daripada rumah sakit saat Asiyah lahiran kemarin. Aku ndak pengin dia hampir meninggal lagi kayak waktu itu. Aku mau rumah sakit terbaik buat Asiyah!"

"Apa dokter sudah pegang data kesehatan Mbak Asiyah yang lama?" Fatimah mulai masuk ke pokok pembicaraan.

Radi menyangkal. "Belum. Untuk apa? Sekarang sedang dilakukan tes darah dan tes lainnya. Mas ndak gitu paham."

Fatimah menelan ludahnya. "Mas, apa Mbak Asiyah pernah mengeluh dadanya sakit? Pegal-pegal? Kakinya bengkak? Stres?"

Rahang Radi mengeras. Tiba-tiba dia tersadar betapa abainya dia pada Asiyah. Sudah berapa lama? Dia terlalu sibuk dengan lamaran demi lamaran pekerjaan dan calon madunya. Semua pertanyaan Fatimah tak mampu dijawab. Namun, saat mengangkat Asiyah dari mobil ke brankar, dia memang sedikit merasa kaki Asiyah lebih menggemuk dari terakhir dia ingat.

Istrinya mungkin juga stres. Asiyah tampak berkali-kali ingin bicara. Namun, dirinya terlalu sibuk memikirkan cara untuk membuat mereka kembali memiliki harta yang sempat hilang. Bukankah Asiyah stres karena penghasilannya lenyap tanpa bekas? Bukankah Asiyah stres karena dirinya tak lagi mampu menghasilkan uang?

"Ka-kalau iya, kenapa?" Radi berusaha menahan rasa gugup yang menerkam.

"Apa dokter tahu, Mbak Asiyah baru melahirkan tujuh bulan lalu?"

Pertanyaan terakhir Fatimah kembali membuat ketakutan mencengkeram Radi erat-erat.

"Ndak usah mbulet. Ono opo?!"

"Ya Allah, Fatimah berharap bukan. Tapi, Fatimah takut Mbak Asiyah kena penyakit yang sama dengan yang Fatimah dapat saat kelahiran terakhir. Kemungkinan karena melahirkan terlalu sering di usia yang sudah tidak lagi muda. Cuma, Fatimah ndak sampai parah."

"Kamu sakit apa? Mas ndak pernah denger."

Ada tawa gugup terdengar. "Maaf, Fatimah ndak bilang. Takut Ummi panik. Soalnya, karena itu, Fatimah dilarang punya anak lagi setelah ini. Fatimah sudah disteril."

Tanpa sadar jemari Radi mengepal di sisi tubuhnya. Fatimah pun mengalami hal yang sama. "Katakan!" Radi menyentak sedikit gak sabar.

"Pastikan dokter tahu kalau Mbak Asiyah baru melahirkan. Fatimah curiga, Mbak Asiyah kena kardiomiopati postpartum. Penyakit jantung paska melahirkan, sama seperti Fatimah."

Kali ini Radi merasakan dunianya dihantam kegelapan yang pekat.

31 Mei 23

salah satu penyebab kematian terbesar bagi ibu hamil 5-12 bulan paska melahirkan. Dan banyak yang nggak tahu soal ini hingga terlambat 😭

Makanya support system busui bener-bener penting.

Salah satu tetangga Shirei juga meninggal mendadak pas bayinya masih usia 7 bulan. Bayinya seumuran anak Shirei yg bungsu.

Ciri-cirinya sesak, kelelahan, bengkak. Sedih banget karena beliau adalah salah satu tetangga yang paling ramaaaah. Shirei yang pemalu sering diajak main dan ngobrol. Masyaallah.

Datang juga menjenguk anak Shirei pas baru lahir sambil gendong bayinya yang juga baru lahir. Hix.... Al- Fatihah

Next part POV 3 Centric : Radi semua.

Apa yang diharapkan dari membaca POV RADI?

Continue Reading

You'll Also Like

437K 37.4K 57
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
398K 28.8K 39
Bukan aku menaruh harapan besar padamu, namun hingga saat ini, hanya Allah dan kamulah yg bisa membuatku nyaman mencurahkan isi hati.
16.9K 1.6K 14
‌‌Sesekali, egois itu perlu, kan? Karena kita butuh memperjuangkan apa pun keinginan kita, meskipun itu juga diinginkan orang lain. Ratita
290K 25.5K 56
Bertahun tahun Ara mencintai Damar dalam diam. Damar hanya tau Ara sebagai sahabat adiknya. Empat tahun berlalu. Ara si anak SMA sudah menjadi anak...