Sanctuary

By MariaPerdana

661 88 10

Skye Walsh dan Keenan Soemaryo dipertemukan dalam kesempatan yang sangat langka. Ironisnya, mereka juga dipis... More

Hello ☕️
☕️ Prolog
☕ Bab 1
☕ Bab 2
☕ Bab 3
☕ Bab 4
☕ Bab 5
☕ Bab 6
☕ Bab 7
☕ Bab 8
☕ Bab 9
☕ Bab 10
☕ Bab 11
☕ Bab 13
☕ Bab 14

☕ Bab 12

27 3 0
By MariaPerdana

KEENAN

Aku tahu aku baru bertemu dengannya lagi tiga hari lalu. Karenanya, aku tidak mengerti mengapa aku merasakan kecemburuan ketika Skye menceritakan malamnya di The Floating Cinema. Bukan karena dia lebih memilih menonton bersama teman-temannya dibanding denganku. Bukan karena dia sama senangnya ketika dia bersama dengan teman-temannya dan ketika bersamaku. Namun karena seorang Lutz mendapatkan kesempatan melewatkan malam bersamanya. Lutz yang dianggapnya belagu. Lutz yang tiba-tiba mengajaknya kencan.

Skye bilang dia menolak ajakan lelaki itu. Namun, aku skeptis satu kata "tidak" dapat mengurungkan niat Lutz untuk mencoba lagi.

Benar dugaanku. Saat Skye datang ke kedai kopi sore ini, dia menceritakan usaha Lutz mendapatkan kesempatan kencan dengannya. Cerita demi cerita keluar dengan lugasnya dari bibir Skye. Setiap cerita bagaikan sungut rokok yang menekan kulitku, menembus hingga tulangku. Setiap hari, dia mempelajari hal baru tentang Lutz dan setiap hari, aku merasakan panas di dadaku semakin menjadi-jadi.

Lutz hampir selalu menjadi topik pertama yang diangkatnya. Meskipun gerah, aku tidak ingin melewatkan sekecil apa pun informasi tentangnya dan Lutz. Aku ingin tahu apa yang dia sukai ataupun tidak sukai dari Lutz. Aku ingin tahu ekspresi wajahnya untuk menangkap kesungguhan hatinya saat mengungkapkan hal-hal tentang Lutz yang mengganggunya ataupun yang menggetarkan hatinya. Aku tidak ingin menghindarinya karena aku takut jika aku bersikap tidak tertarik, dia akan berhenti bercerita. Lalu tiba-tiba, dia sudah terenggut dariku ketika aku membuka mataku esok hari. Hingga akhir pekan, aku seperti sudah mengenal Lutz sangat baik, mengingat aku baru sekali berbicara dengannya.

Laki-laki itu tiga tahun lebih muda dari Skye. Anak tunggal. Ayahnya seorang diplomat yang membuatnya secara otomatis mendapatkan akses untuk fasilitas terbaik. Pindah ke London empat tahun lalu untuk pendidikan sarjana, langsung melanjutkan studi master setelah lulus. Semua yang dimilikinya di London terdaftar atas namanya. Apartemennya termasuk yang termahal dengan fasilitas asisten rumah tangga. Tentu, dia bukan orang sembarangan. Tidak semua orang mampu membayar asisten rumah tangga di sini, mengingat biaya tenaga kerja cukup tinggi.

Kalau masalah uang yang diadu, jelas aku tidak mampu bersaing.

Aku mendengkus dalam hati. Apa yang kupikirkan? Baru bertemu kembali, sudah memikirkan untuk bersaing.

"Orang pikir hidupnya sempurna karena serbaenak," komentar Skye sambil sibuk memainkan pen di atas drawing pad. Aku duduk tepat di depannya, menemaninya di sela jam istirahatku. Tiba-tiba, dia terdiam dan menatapku. "Tapi, kalau diperhatiin lagi ya, kelihatannya dia tuh nggak terlalu dekat sama keluarganya. Dia selalu ngelak atau ngalihin pembicaraan kalau udah bawa-bawa orangtua dan keluarga."

"Kelihatannya juga ada yang diam-diam mulai perhatian sama Lutz," godaku, mencoba menelan kecemburuanku.

Dia mengedikkan bahu dan kembali mengarahkan perhatian ke layar laptop. Ekspresinya berubah muram. "Nggak sulit lihatnya."

Baru saja aku pikir dia akan mengakhiri pembicaraan tentang Lutz, perempuan itu tiba-tiba melanjutkan, "Teman dekatku ada yang kayak Lutz. Sama-sama anak tunggal. Orangtuanya sama-sama sibuk.  Satu-satunya perhatian yang bisa dikasih orangtuanya cuma uang. Dari beberapa sisi, aku bisa paham perasaan mereka. Daddy sering pergi. Bisa sampai berbulan-bulan. Jadi, aku besar nyaris tanpa kehadiran Daddy, tapi seenggaknya dia nggak pernah lupa nanyain aku, telepon aku walau cuma beberapa menit. Mummy juga kebetulan nggak kerja. Jadi, minimal aku masih punya satu orangtua yang ada buatku, physically."

"Mungkin karena itu kamu dipertemukan orang-orang kayak mereka. Pertama, supaya kamu nggak lupa bersyukur. Kedua, kamu bisa bantu mereka buat nyembuhin diri mereka."

Kami bersitatap. Senyum perlahan tersungging di bibirnya karena dia memahami maksud ucapanku. "Aku sering ngerasa jahat karena merasa beruntung untuk hal-hal kayak gitu."

"Kalau semua orang mikir kayak kamu gitu, dunia bakal dipenuhi orang-orang yang nggak bersyukur," balasku. "Semua rasa syukur itu, kan, berangkat dari keberuntungan yang diterima seseorang, yang nggak semua orang bisa nikmati. Bersyukur punya rumah, karena nggak semua orang bisa punya tempat tinggal yang layak. Bersyukur bisa makan, karena nggak semua orang bisa makan, entah karena nggak punya uang atau nggak punya fisik yang kuat. Bersyukur terhindar dari musibah, karena nggak semua orang dikasih kesempatan untuk bisa mengelak dari musibah. Bersyukur itu nggak jahat, Skye. Bersyukur itu alamiah. Itu yang membuat kita manusia sepenuhnya."

Matanya menatapku dalam. Sampai detik ini, aku masih mencoba memahami arti di balik tiap tatapan matanya padaku. Aku tidak pernah memiliki kesulitan yang berarti saat kami masih kecil. Netranya selalu mengungkapkan isi hatinya apa adanya. Sekarang, aku lebih sering dibuat bertanya-tanya.

Apakah ucapanku terdengar tidak masuk akal? Apakah dia diam-diam berharap tidak terlibat percakapan denganku?

"Aku beruntung kamu masih sama kayak yang aku kenal. Aku dulu sering mikirin kamu bakal kayak gimana pas sudah besar." Dia terdiam sesaat. "Kamu selalu bisa lihat semua hal dari berbagai sisi dan fokus sama hal yang positif. Kamu selalu bisa dewasa." Bola matanya beredar ke seantero kafe. "Kamu nggak biarin mereka yang dulu suka jatuhin kamu memengaruhi kamu dan kamu buktiin kamu bisa berhasil. Dan aku bersyukur aku nggak kehilangan Keenan yang aku kenal dulu."

Entah aku harus bersyukur atau merasa bersalah mendengarnya. Kenyataan bahwa Skye masih sangat naif memandang hidup dan diriku membuat batinku bergejolak. Hidup dan aku sering tidak berjalan berdampingan. Andai dia tahu aku pernah muak berharap hidup dapat memberiku kesempatan untuk berjalan berdampingan dengannya sesuai dengan keinginanku, akankah dia menyalahkanku? Andai dia tahu semua yang dia lihat ini bukan buah dari keberhasilanku dalam bersaing dengan hidup, masihkah dia bisa melihatku sebagai seorang pahlawan baginya? Mungkinkah dia bisa memahaminya?

Aku sudah membuka mulut untuk bercerita. Otakku mulai merangkai kata-kata untuk mengawali kisah yang dia lewatkan, tetapi saraf yang mengaliri tubuh memilih untuk tak mengacuhkan keinginan hatiku. Apalagi dengan pesonanya kala wajahnya dihiasi dengan senyuman bangga seperti ini. Alih-alih jujur, aku malah berdalih "kedewasaanku" adalah berkah persahabatanku dengannya.

Saat waktu menunjukkan pukul 10 malam, aku menghampirinya lagi. Matanya masih melekat pada layar sampai dia tidak menyadari kehadiranku. Dia terperanjat saat jariku mendorong layar laptop untuk menutupnya.

"Kamu udah lembur satu menit," ujarku sambil melirik arloji. "Waktu kerja di kontrakmu cuma sampai jam 10 di weekend."

Dia tertawa geli sambil menggeleng. Aku menyodorkan sebungkus roti lapis. Dia menatapnya selama beberapa detik sebelum mengambilnya. Dia selalu melakukan itu setiap aku memberinya roti lapis.

"Kenapa kamu kasih aku sandwich ini tiap malam?" tanyanya.

Aku terdiam sesaat. "Itu sandwich yang kamu order pas pertama kali kamu ke sini. Aku pikir kamu suka."

"Aku memang suka, tapi kenapa mesti tiap malam?"

"Tenang. Aku nggak bakal bayar kamu semurah itu, cuma sama roti tiap malam."

"Aku sudah bilang, aku nggak mau dibayar. Aku ngerjainnya juga abis selesai bikin tugas kuliah, jadi nggak ada beban juga."

"Aku sudah janji sama kamu dan Bunda, aku bakal bayar kamu. Kalau nggak pakai uang, aku bakal bayar pakai yang lain."

Bunda memaksaku membayar jasa Skye di malam aku menceritakan tentang tawaran perempuan itu. Skye masih menolak untuk dibayar hingga saat ini. Sekarang, aku terjebak di antara keduanya. Akhirnya, aku mencoba mengabulkan keinginan mereka berdua. Aku akan tetap membayar Skye dengan jasaku, kapanpun dia membutuhkan bantuanku.

Skye membuka wadah roti lapis dan mulai memakannya sebelum aku berputar kembali ke dapur untuk merapikan isi dapur dan mengambil barang-barangku. Ketika aku kembali, Leo dan Kelsey sudah berdiri di depan pintu kafe. Sementara Skye baru selesai berkemas saat aku memanggilnya untuk mengajaknya pulang. Lalu tiba-tiba, Leo dan Kelsey mengadang kami di depan pintu.

"Kalian nggak serius mau langsung pulang, kan?" tanya Kelsey sambil menyipitkan mata.

"Hm, iya. Ini sudah malam. Skye juga butuh istirahat," jawabku.

"Bang, ini baru jam 10. Malam Sabtu pula. Malam dari mana?" balas Leo. "Mending kalian ikut kami aja."

Aku menggeleng. "Kami nggak mau ganggu kencan kalian."

"Kami nggak kencan, kok," ucap Kelsey. "Lagian acara ini kalau datangnya cuma berdua nggak seru." Kemudian dia mengarahkan pandangan ke Skye. "Ikut yuk, Skye. Sekali-kali jalan bareng kami."

Skye melirikku. Ada gurat ragu di wajahnya. Kali ini, aku tahu makna di balik ekspresi itu. Dia ingin bergabung dengan mereka, tapi tidak yakin kalau aku setuju dengan keinginannya. Dia suka menggunakan ekspresi ini pada ibunya saat aku mengajaknya bermain ketika siang mulai menjelang di hari Minggu.

"Kamu capek nggak?" tanyaku.

Seketika wajahnya berubah cerah. Ketika dia menggeleng, aku segera mengiakan ajakan mereka berdua. Bersamaan dengan dikuncinya pintu kafe, mobil pesanan mereka datang untuk menjemput. Keduanya tidak ada yang ingin memberi tahu tujuan kami. Bahkan Leo memperingatkan sang sopir untuk tidak mengkonfirmasi lokasi tujuan sebelum kami memasuki mobil. Skye duduk di sampingku di kursi belakang dan aku bisa melihatnya sangat antusias dengan event rahasia Leo dan Kelsey. Dia belum familier dengan jalanan di pusat kota, sehingga dia sama sekali tidak bisa mengira-ngira. Semakin dekat dengan lokasi, aku semakin bisa menebak tujuan kami.

Kami berhenti tepat di depan Natural History Museum. Aku tahu malam ini mereka menggelar After-school Club. Namun, bukan itu tujuan kami kemari, tapi acara setelahnya: The Silent Disco.

Sebelum kami memasuki area, seorang petugas memberikan penyuara jemala. Di dalam, kami hanya mendengar seruan dan dendangan yang dikeluarkan para pengunjung. Barulah ketika memasang penyuara jemala, musik mulai mengisi gendang telinga. Suasana pun terasa meriah seketika.

Cahaya dalam ruangan disko di The Darwin Centre sangat minim. Hanya dihiasi cahaya lampu neon dari headphone pengunjung dan beberapa lampu sorot. Meskipun demikian, aku masih dapat melihat Skye yang terkesima dengan pengalaman pertamanya menikmati The Silent Disco.

Awalnya, dia terlihat malu-malu. Kemudian, Kelsey menarik tangannya dan mengajaknya menari. Perlahan, kepercayaan dirinya tumbuh. Dia mulai menari seiring dentuman lagu di telinganya. Tubuhnya meliuk mengikuti irama. Tangannya bergerak mengiringi goyangan tubuh. Dia tampak lepas. Tenggelam dalam alunan musik, membuatku juga hilang dalam angan-anganku berdansa dengannya.

Tepukan keras di pundak membuatku tersentak. Leo menggumamkan sesuatu. Aku membuka penyuara jemala agar dapat mendengarnya.

"Ajaklah dia menari," ulangnya. "Kalau nggak mau, aku nari sama dua-duanya, nih."

Ucapannya membuatku bereaksi secara refleks. Kutarik lengannya. Sialnya, dia juga tidak kalah sigap dan balas menarik lenganku.

"Kau ini malu-malu."

Tenaganya tidak sebanding denganku yang tidak siap. Aku terdorong hingga berhenti di hadapan Skye. Tentu saja, perempuan itu tersentak oleh kehadiranku yang tiba-tiba. Begitu mata kami bertemu, dia langsung mempersembahkan seulas senyum yang sanggup melemaskan otot kaki. Ketika dia meraih tanganku dan menggoyangkannya, jiwaku ikut terbawa terbang tinggi.

Dia cekikikan melihat gerakanku yang kaku. Aku punya dua alasan mengapa aku menarik layaknya robot. Pertama, kelab malam bukan tujuan akhir pekanku. Kedua, aku sedang berdansa dengan Skye saat ini.

Dia menggoyangkan tanganku ke atas dan bawah, mengisyaratkanku untuk rileks. Lalu, dia menggerakkan kepala, menuntunku mengikuti gerakannya. Tangannya lantas hinggap di pinggangku, mengubah seluruh tubuhku seperti air yang mengalir mengikuti ke mana pun tangannya mengarah. Dan aku dapat merasakan jantungku memberontak di balik tulang rusuk.

Kelsey dan Leo muncul di samping kami. Sayangnya, pikiranku terlalu kacau untuk mengikuti arah pembicaraan mereka. Tangan Skye masih lekat di lenganku. Aku tidak tahu apa dia menyadari efek satu sentuhan darinya pada tubuhku. Dan pikiranku.

Dia dan Kelsey meninggalkan kami terlebih dahulu menuju bar. Dalam hitungan detik, sosok mereka hilang di tengah kerumunan. Sontak, aku panik.

"Rileks," sahut Leo. "Nanti juga ketemu di bar."

"Bukan gitu," balasku sambil terus berusaha menembus lautan manusia di depan kami. "Nanti kalau ada yang macam-macam—"

Leo terbahak, otomatis memotong lanturanku. "Kacau kau, Nan. Kau benar-benar suka sama dia, ya."

Aku tidak menggubris ucapan Leo karena aku melihat seorang lelaki sudah berdiri tepat di samping Skye dan tampak berusaha menarik perhatiannya. Skye terlihat mencoba menghindari laki-laki itu. Matanya berkelana ke seisi ruangan, seperti tengah mencari sesuatu. Ketika matanya menangkap sosokku, dia menyunggingkan senyum tipis dengan matanya yang tidak mengikuti guratan senyumnya. Netranya sekan meminta pertolongan.

Aku bergegas mendekati Skye. Di luar dugaan, lengan Skye langsung menyelinap di punggungku dan menarikku mendekatinya. Lelaki itu dan aku bertatapan sebelum akhirnya dia mengalah.

"Kamu nggak pa-pa?" tanyaku. Skye menjawabku dengan gelengan. "Kamu mau pulang?"

Kali ini, dia mengangguk. Buru-buru aku pamit kepada Leo dan Kelsey dan membimbing Skye ke luar ruangan. Dia sudah terlihat lelah saat kami menunggu mobil pesanan di depan museum. Aku melepas syal dan melingkarkannya di leher Skye untuk menjaganya tetap hangat. Kami bertukar senyum saat aku mengikat syal.

"I had fun tonight," katanya. "Makasih, ya, mau nemanin aku."

Senyumku melebar. "Besok buat istirahat aja, ya. Hari ini, kan, sudah sehari semalam keluar."

Aku kembali menyebelahinya. Melemparkan lenganku di pundaknya. Untuk kedua kalinya malam ini, di luar antisipasi, dia melingkarkan kedua tangannya di tubuhku dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Seketika aroma tubuhnya memenuhi tiap rongga tubuhku.

Wangi kayu cendana.

Wangi yang sering Bunda tinggalkan di berbagai sudut ruangan di rumah kami di Kulon Progo.


☕☕☕

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 107K 35
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
459K 35.3K 16
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
594K 54.5K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
8.7M 108K 43
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...