Sanctuary

By MariaPerdana

548 88 10

Skye Walsh dan Keenan Soemaryo dipertemukan dalam kesempatan yang sangat langka. Ironisnya, mereka juga dipis... More

Hello ☕️
☕️ Prolog
☕ Bab 1
☕ Bab 2
☕ Bab 3
☕ Bab 4
☕ Bab 5
☕ Bab 6
☕ Bab 7
☕ Bab 8
☕ Bab 9
☕ Bab 11
☕ Bab 12
☕ Bab 13
☕ Bab 14

☕ Bab 10

30 4 2
By MariaPerdana

KEENAN

Menjelang sore, aku lihat sosoknya setengah berlari memasuki kafe. Aura yang menguar dari dirinya tampak berbeda dari saat kami bertemu pagi tadi. Sudah pasti terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Di Kulon Progo dulu, bila melihat ekspresi seperti ini, aku hampir 100% yakin seseorang baru saja merundungnya. Dia tidak akan tersedu-sedu, tetapi air sudah akan menggenangi mata indahnya. Wajahnya akan merah padam. Tubuh mungilnya kaku. Garis wajahnya mengeras.

Apakah ada temannya yang menyakitinya?

Sebesar-besarnya keinginanku untuk mendahulukannya, aku tetap tidak bisa mengabaikan pelangganku yang sudah mengantre duluan. Jadi, aku hanya melempar senyuman padanya. Memohonnya menunggu. Dia membalas senyumku. Ala kadarnya.

Tidak salah lagi. Suasana hatinya sedang buruk.

Pikiranku tiba-tiba kacau melihatnya tidak bersemangat. Dilemparkannya pandangan ke luar jendela. Saat masih kecil dulu, dia akan melakukan hal serupa bila sedang menuturkan kejadian buruk yang baru menimpanya. Dia sering enggan melakukan kontak mata denganku.

Di waktu bersamaan, aku suka melihatnya tidak malu memperlihatkan suasana hatinya padaku. Itu yang membuatnya terlihat menawan bagiku.

"Kopi," sahutnya saat kepalaku masih menunduk ke mesin kasir. "Sekarang, aku butuh kopi."

"Karena?"

"Sakit kepala dan aku butuh kafein."

Aku mengernyit, mencoba mempelajari wajahnya sejenak. "Oke.... Kamu mau kopi apa?"

Kali ini, gilirannya yang mengerutkan dahi. Tangannya terangkat untuk menggaruk kepala sembari mempelajari deretan jenis kopi yang tertera di papan menu. Semakin lama, dia tampak semakin bingung. Menggemaskan.

"Kamu coba Toraja dulu, ya," kataku. "Kandungan asamnya rendah, jadi masih aman buat lambung pemula. Aromanya juga wangi. Salah satu jenis kopi terbaik di dunia. Mau yang panas?"

Dia mengangguk pelan. Aku hendak meminta Leo untuk meracik kopi, tetapi pria itu memberi kode agar kami berganti posisi. Bola matanya berlari ke Skye sesaat. Tampaknya, lelaki itu juga menangkap raut sendu yang menghiasi wajah Skye.

Perempuan bermata cokelat itu mengikutiku. Mengamatiku menyiapkan kopi untuknya.

"Did someone hurt you?" tanyaku pelan dan hati-hati.

Skye mengambil waktu untuk menjawab. "Nggak cocok aja sama teman satu kelompok."

Sesaat, dadaku terasa seperti diremas karena Skye masih tertutup padaku. Berbeda dengan saat kami masih di Kulon Progo dulu. Aku harus mengingatkan diri bahwa kami telah terpisah selama 18 tahun. Tentu, butuh waktu baginya untuk terbuka lagi padaku.

Maksudnya, 18 tahun adalah waktu yang lama. Waktu 18 tahun bisa mengubah seseorang. Tak terkecuali diriku dan Skye.

Lalu, di luar dugaan, tiba-tiba dia melanjutkan, "Kemarin, aku dapat teman satu grup dari Indonesia. Dia ngenalin aku sama teman-temannya. Salah satunya belagu banget. Satunya lagi, cewek, kayak nggak suka sama aku. Padahal kami juga baru ketemu kemarin. The other two are okay. I can handle the girl. Tapi sama yang belagu ini ..., ugh! Rasanya aku pengin...."

"Nyumpal mulutnya pakai kerikil?" candaku, berupaya mengingatkannya kembali pada masa kecil kami menghadapi para perundung kecil.

Dia menghela napas pendek. "Sayangnya, di kantin tadi nggak ada kerikil."

Aku terkekeh. Beberapa detik kemudian, Skye ikut tertawa. Dia terlihat lebih rileks. Ada kelegaan pula yang mengempas batin karena Skye yang kukenal perlahan kembali muncul ke permukaan. Pelan-pelan, pudar sifat hati-hatinya.

Dengan telunjuk, aku mendorong gelas kopi ke hadapannya. Sedikit membungkuk, aku mendekatkan wajahku ke arahnya, menyeimbangkan tubuh dengan level matanya. Wajah kami cukup dekat sampai aku bisa mencium aroma parfumnya. Wangi yang sesuai dengannya. Lembut, tapi berani.

"Kamu nggak harus selalu setuju sama gimana cara orang menilai orang lain, bahkan dunia ini. Kamu nggak bisa ngatur itu. Nggak pernah ada tolok ukur yang jelas untuk hal itu. Semua orang beda. Kamu nggak bisa memaksa orang lain untuk menerima caramu berpikir. Sama dengan mereka. Tapi, kamu selalu bisa belajar sesuatu dari mereka. Kamu bisa belajar—"

"Untuk tidak jadi mereka," lanjut kami bebarengan.

Kalimat itulah selalu yang mengantar kita pulang ke rumah tanpa luka atau surat teguran. Dan tanpa tangisan. Skye selalu berkata, kalimat itu yang selalu meneguhkan hatinya di saat dia sulit untuk menerima perlakuan jahat dari teman-teman kami. Kalimat itu jugalah yang mengantarku menjadi sahabat Skye. Kalimat yang jelas terurai lembut, tapi tegas dari Ayah. Kalimat yang masih aku pegang hingga saat ini.

Dia melingkarkan jemarinya di gelas. Kepalanya tertunduk. Di momen ini, aku bersyukur. Tak ada satu pun dari kami yang berakhir seperti kawan-kawan kami dahulu. Kami masih memandang dunia ini sama, di tengah beragam perbedaan.

"Kamu nggak berubah. Selalu bisa ngingatin aku. Nasihatin aku buat nggak ngalah sama emosi dan membalas mereka."

Kuulas senyum tipis. "Aku bisa ngomong kayak gitu justru karena kamu."

Skye memiringkan kepala. "Aku?"

Aku mengangguk. "Aku nggak pernah mau ngerti arti kalimat itu waktu Ayah bilang ke aku, tapi setelah melalui semua bullying itu sama kamu, bikin aku yakin sama makna kalimat itu. Setelah ketemu kamu, aku janji aku nggak mau kayak mereka karena aku tahu apa yang harus kita lalui karena ulah mereka. Kamu bikin aku pengin bisa sekuat kamu. Bisa ngelindungin kamu. Bukannya kamu butuh perlindungan atau semacamnya. Aku tahu kamu bisa kuat meskipun kamu sendirian. Aku rasa aku cuma pengin ... kamu nggak ngerasa sendiri."

Skye terdiam sejenak. Sorot matanya berubah. Aku sudah tidak dapat mengira-ngira lagi apa yang dia pikirkan. Sedikit rasa sesal menyambangi hati. Ingin rasanya aku tampar mulutku yang lancang ini, tapi kata yang sudah keluar tidak dapat kutarik kembali. Aku baru saja mendapatkan Skye kembali. Aku tidak ingin kehilangannya lagi gara-gara kelancanganku.

"Maaf," ucapku. "Aku nggak ada maksud—"

"Kayak yang aku bilang tadi. Kamu selalu pintar ngomong kayak gini," potongnya sambil tersenyum. "Kalian buka sampai jam delapan, kan? Aku numpang tempat, ya."

"Boleh. Di pojok sana aja. Ada colokan listriknya," kataku sambil menunjuk tempat kosong di ujung kanan kafe. "Ada tugas kuliah lagi?"

"Tugas bantuin teman aja," jawabnya. "Nanti kalau sudah jadi draft-nya, kasih masukan, ya."

Saat itulah aku baru tahu dia sedang membicarakan iklan promosi untuk bar kami. Kemudian, dia melangkah menuju meja yang tadi kutunjuk.

Tiga jam lebih matanya tidak lepas dari layar laptop. Aku memintanya istirahat sejenak. Setidaknya melepaskan pandangannya dari terangnya cahaya layar laptop. Namun, dia bergeming. Sedikit lagi, katanya.

Tepat pukul delapan, saat kami tutup, Skye memanggilku. Dia menunjukkan hasil desainnya. Masih kasar, tapi draf yang dibuat Skye cukup mewakili apa yang ingin kami sampaikan. Leo dan Kelsey berlomba-lomba berkomentar. Skye tertawa, tapi ekspresinya tampak bingung karena kedua orang itu tak hentinya melempar kata-kata. Tak memberi Skye kesempatan untuk menjelaskan.

"Skye sudah bikin desain bertahun-tahun, dia sudah tahu cara bikin desain yang cocok untuk iklan. Percayain ajalah," sahutku kesal.

"Lah, dia sendiri, kan, yang minta kita kasih masukan," balas Leo.

"Ya, kalau masukannya malah bikin kacau tujuan promosinya buat apa diturutin?" balasku lagi. Aku berpaling pada Skye sambil menutup laptopnya dan mengangkatnya dari meja. "Kamu juga, kelamaan kerjanya. Mana baik kayak gitu. Kamu juga belum makan apa-apa. Bubar, bubar. Kita semua pulang."

Mereka bertiga masih bertatapan. Terlihat enggan beranjak dari tempat mereka masing-masing.

"Mau dikunciin di sini?" tantangku.

Mendengar itu, mereka bergegas membereskan barang-barang. Sambil menunggu mereka, aku mengambil sebuah roti lapis untuk kuberikan kepada Skye.

Aku dan Skye berpisah dengan Leo dan Kelsey di depan kafe dan berjalan ke arah kami masing-masing. Sepanjang jalan, keheningan menemani kami. Bahkan ketika kami sudah melewati kampus, kami masih saling mendiamkan.

"Kamu ... masih marah?" tanya Skye pelan.

Aku menoleh. "Aku nggak marah, Skye. Aku nggak suka aja kamu forsir tenaga kayak gitu. Jangan terlalu dipaksain. Ini, kan, nggak urgent."

"Nggak pa-pa. Aku udah biasa kerja kayak gitu."

"Tapi, kamu ini, kan, nggak lagi kerja."

Perlu kuakui, intonasiku kali ini terdengar lebih keras. Wajar saja kalau kemudian, ada kecemasan yang mewarnai raut muka Skye. Rasa bersalah tak pelak langsung mendera batin.

Aku menghela napas dalam. "Kamu ini cuma bantuin aku, jadi nggak ada tuntutan apa-apa. Kalau kamu kerja, kamu digaji. Wajar dituntut karena ada deadline. Kalau ini, kan, kamu kerja sukarela, Skye. Belum lagi kamu harus mikirin tugas kuliah."

Kepalanya tertunduk. Lirih, dia mengucapkan maaf. Aku tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkah. Dengan lunglai, Skye mengikuti. Kami kembali mengisi perjalanan kami dalam keheningan hingga sampai di depan apartemennya. Kontras sekali dengan perjalanan kami di malam sebelumnya.

"Jangan marah," pintanya manja. "Maafin aku."

Seusai berkata itu, Skye mendongak, menatapku dengan penuh sesal. Hatiku terasa teriris. Ini bukanlah pemandangan yang ingin kulihat.

Tubuhnya tetiba mendekat dan lengannya melingkar di belakang leherku, menarikku pelan dalam pelukannya. "Kamu selalu peluk aku kayak gini kalau aku lagi kesal."

Tanganku kaku di samping badan. Masih tak menduga interaksi ini. Lalu perlahan, aku membawa tanganku menyentuh punggungnya. Lebih tepatnya, menyentuh mantelnya. Aku masih belum yakin apakah kontak fisik ini sudah pantas untuk dilakukan. Saat kami masih kecil, ini tak berarti apa-apa. Hanya ungkapan untuk saling menguatkan. Namun saat ini ..., pelukan ini memiliki arti yang berbeda bagiku.

Lalu tiba-tiba, Skye mengurai dekapan. Dia mengambil laptop dari tanganku. Ketika dia menatapku, terlihat ada sesal di matanya. Ingin aku hapuskan rasa itu, tapi Skye telanjur melangkah mundur. Perlahan sesal itu berubah menjadi rasa malu.

Dia mengucapkan selamat malam sebelum berbalik memasuki gedung apartemennya. Oh tidak, dia pasti salah sangka. Dia pasti berpikir aku tidak menyukai gestur itu.

Aku mencoba menghentikan langkahnya, tapi sosoknya sudah menghilang di balik pintu.

Apa yang kulakukan? Kenapa aku tidak balas memeluknya saja? Apa yang menahanku?

Bodoh!

Dengan penuh keengganan, aku melangkah menjauh. Hanya saja, semakin jauh langkahku, semakin membara rasa bersalahku. Segera aku berputar kembali dan menggedor pintu apartemennya.

Untungnya, Skye bersedia membuka pintu untukku. Dia tampak terkejut. Matanya sembap. Aku tidak pernah merasa semenyesal ini dalam hidupku.

"Maafin aku," ucapku lirih. "Maaf, aku sudah keterlaluan. Nggak seharusnya aku marah-marah nggak jelas sama kamu. Kamu cuma mau bantu aku. Harusnya aku berterima kasih. Bukannya ngomelin kamu kayak tadi."

Dia menggeleng pelan. "Nggak pa-pa. Kamu cuma khawatir."

"Aku bisa ngomong baik-baik dan nggak harus ngomel."

"We can do this all night. Blaming ourselves, but you know nobody's going to win."

Kali ini, aku tidak membantah. Hanya meminta izin untuk memeluknya. Skye mengulum senyum tipis. Kepalanya lantas mengangguk pelan. Lalu, aku memupuskan jarak di antara kami. Namun sebelum aku sempat meraihnya dalam pelukku, Skye yang lebih dulu melingkarkan lengannya di punggungku.

Aku segera mengeratkan dekapan. Menikmati kedamaian yang mengaliri nadi.

Aku sudah rindu. Sudah lama aku hanya mampu membayangkan bagaimana rasanya memeluknya lagi. Kali ini, aku tidak perlu lagi hidup dalam mimpi.


☕☕☕

Continue Reading

You'll Also Like

596K 42.9K 40
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
7.1M 349K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
610K 61.5K 47
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
358K 28K 37
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...