Di teras belakang sebuah rumah terlihat seorang anak laki-laki yang memakai blangkon tengah sibuk sendiri. Ia menaiki umpakan tangga sembari tangan kirinya memeluk sebuah kotak kayu dan tangan kanannya menggenggam jemari seseorang.
"Batari, kamu ndak lihat Kangmas Aryan?" Tanyanya masih tetap berlari kecil.
Sedangkan gadis kecil berkucir dua yang masih dituntunnya menggeleng pelan. "Riri engga tau. Ini Riri mau dibawa kemana?" Tanyanya.
"Sstt! Jangan berisik, nanti ketauan Romo" Balasnya masih terus menyusuri lorong rumahnya.
Kini langkah kedua makhluk mungil itu berhenti di area paling belakang rumah tersebut. Lebih tepatnya di depan pintu gudang di dekat halaman belakang. Anak laki-laki yang mengenakan blangkon itu duduk ditepi teras, membuat si gadis berkucir dua mau tak mau ikut duduk disebelahnya.
"Di dalamnya sudah lengkap, kecuali kamu belum"
Gadis berkucir dua itu merengut tak paham. "Riri engga ngerti" Gelengnya.
Dengan lugunya, anak laki-laki itu berdecak pelan. "Ck, aku sudah bawa foto kita berempat. Kangmas Aryan sudah bawa arloji milik Ibu, dan Hansen sudah bawa bunga tulip. Semuanya ada di dalam, kecuali kamu" Jelasnya.
"Riri engga baw-"
"Arsen!"
Mereka berdua menoleh ketika ada suara dari belakang. Ketika dilihat ada seorang wanita berkebaya kuning datang menghampiri. Wanita itu terlihat marah lalu menarik anak laki-laki barusan sampai berdiri.
"Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan main dengan sembarang orang. Bagaimana kalau Romo tau, ha?! Pasti kamu kena marah!" Semprotnya.
Anak laki-laki yang masih memeluk kotak kayu itu merengut kesal. "Ibu Arsen hanya satu! Lepas! Arsen mau main dengan Batari!"
"Ndak! Cepat masuk! Lagipula kenapa kamu selalu membawa kotak sampah ini? Berikan pada Ibu!"
"Jangan! Itu milik Arsen! Kembalikan!"
Seakan tuli, Wanita itu merebut kotak kayu lalu membuka pintu gudang. Tanpa masuk, ia melempar kotak tersebut ke dalamnya. Tak lupa ia mengambil kunci yang tergantung dan mengunci pintu tersebut.
"Buka! Pintunya buka! Kembalikan kotak Arsen!" Pekiknya sembari berusaha jinjit dan membuka pintu gudang.
Kini wanita berkebaya kuning menatap gadis mungil yang sedari tadi hanya diam saja. "Dan kamu sana pulang! Awas saja kalau kembali lagi, sana!"
Sedikit kasar, wanita itu menarik si gadis mungil dan mendorongnya dari teras. "Pulang sana! Rumah ini terlalu suci untuk kamu injak! Sana!"
"Jangan jahat pada Batari! Kamu yang pergi!" Pekik si anak laki-laki.
Diteriaki begitu, si wanita berkebaya tak terima. "Hei, Arsen! Jaga ucapan kamu, aku ini calon Ibu untuk kamu!"
"Jangan teriak-teriak ih! Riri pusing!"
"Sana pergi!" Ulang si wanita sembari mendorong tubuh mungil di gadis berkucir dua hingga kepalanya terantuk dinding. Sampai..
"Akh!!"
Batari langsung terbangun dari tidur, setelah kepala bagian belakangnya terasa sakit. Seperti terkena lemparan benda tumpul. Tak lama kemudian dari sudut kelas terdengar suara tawa menggelegar.
"Ahahah, makanya bangun Ri! Kelasnya mau dipake tau!" Setelah melempar barang bukti kedua, berupa pulpen. Pemuda itu lari begitu saja.
"Kampret si Ojan" Keluh Batari sembari mengusap kepalanya. "Ck, mimpi itu lagi" Sambungnya kesal.
Masih dengan muka bantal, Batari keluar dari kelas dan mulai menyusuri koridor untuk menuju ke kantin. Sesampainya disebuah kios, ia langsung mengambil sebotol air mineral dingin.
"Ini Bi uangnya" Seru Batari sembari memberikan uang pada penjaga kios.
"Iya, nuhun Neng" Jawab wanita bertubuh kurus itu, namun dengan cepat ia langsung mencegah Batari yang hendak berlalu. "Eh, Neng Riri! Bentar!"
Batari yang hendak pergi, kembali menoleh. "Kenapa Bi?"
Wanita berdaster itu bernama Bi Esih. Ia menyampirkan lap di bahu kirinya. "Tadi ada orang yang nyariin Neng Riri"
Kedua alis Batari langsung mencuat tak karuan. "Nyariin Riri? Siapa Bi?"
"Engga tau. Bi Esih juga baru liat da, orangnya bule hayo Neng" Jelas Bi Esih membuat Batari langsung terdiam.
"Bule?" Gumam Batari pelan. Lalu ia tersenyum pada Bi Esih. "Ya udah, nuhun Bi infonya"
Bi Esih hanya tersenyum sambil melambaikan kain lap, seiring dengan langkah Batari semakin menjauh. Sepanjang koridor, gadis ini terlihat berpikir keras. Tentang siapa yang sedang mencarinya. Seingatnya, Batari tidak punya teman bule selain Hansen.
"Nyariin? Siapa ya?" Batari terus menebak-nebak siapa yang mencarinya tadi. Hingga akhirnya ia berhenti di depan pintu perpustakaan. "Au ah! Pusing!" Keluhnya lalu masuk ke perpustakaan.
Daripada memikiran yang belum pasti, lebih baik Batari melanjutkan tidurnya yang tadi sempat terjeda. Dan menurutnya perpustakaan adalah tempat yang sempurna. Namun baru saja Batari hendak mencari posisi yang nyaman, tiba-tiba ia melihat seseorang muncul.
Batari terdiam memandang sosok tersebut jalan dengan begitu gagahnya. Tubuh jangkungnya sedikit menghalangi cahaya yang masuk ke dalam ruangan, membuat rambutnya yang agak pirang terlihat berkilauan. Tapi tunggu dulu, kenapa sosok itu ada di kampus?
"Hansen?" Batari mengangkat sebelah alisnya bingung, ketika sosok tersebut sudah berada di hadapannya. "Tadi kamu nyariin aku?"
Hansen langsung menggenggam lembut lengan Batari. "Sstt.. kemari" Ajaknya.
Batari hanya terdiam ketika Hansen membawanya terus ke bagian paling belakang perpustakaan. Setelah berada dibalik rak terakhir, barulah ia melepas genggamannya dari lengan Batari. Sedangkan Batari terlihat bingung. Ia celingak-celinguk, kawasan tersebut begitu sepi. Bahkan Batari sendiri baru kali ini menjamah titik tersebut.
"Kenapa engga duduk di depan aja?"
Hansan hanya menggeleng pelan sambil mengusap tengkuknya. "Saya.. tidak suka kebisingan"
Batari mengangguk singkat. "Ohh gitu. Terus kamu ngapain kesini? Atau kamu kuliah disini juga?"
Lagi-lagi Hansen menggeleng. Ia berusaha menatap manik coklat terang gadis di hadapannya. Setelah meyakinkan sesuatu, barulah ia bersuara. "Saya.. ingin meminta maaf"
Dahi Batari berkerut seketika. "Minta maaf? Sama siapa?"
"Kamu" Singkat Hansen kembali menatap kedua manik kesukaannya. "Maaf. Waktu itu.. saya berlebihan"
Waktu itu? Apa maksud pemuda itu waktu dia mengusir Batari dari rumahnya? Ahh, padahal Batari saja hampir lupa dengan hal itu. Lagipula itu kan kesalahannya sendiri, masuk rumah orang tanpa izin dahulu.
Batari menggeleng sambil tersenyum. "Ah, itu. Gapapa kok. Harusnya aku yang minta maaf, engga sopan main masuk rumah orang sembarangan. Maaf ya aku ganggu privasi kamu"
Kini giliran Hansen yang tersenyum. Tampan. Sangat. Bahkan Batari sempat tertegun menatap bola biru itu saat terkena terpaan sinar senja yang menelusup lewat jendela. Namun dengan cepat, gadis itu kembali tersadar.
"Engga akan aku ulangi kok. Janji!" Kekeh Batari lalu menarik tangan Hansen dan menautkan jari kelingking mereka berdua.
Deg.
Senyum Hansen yang merekah tiba-tiba redup seketika. Dadanya terasa riuh bergemuruh tak menentu melihat gadis di hadapannya ini, hingga ia menarik nafas pendek sebelum berbicara.
"Dan.. sebenarnya tujuan saya kemari, ada yang ingin disampaikan. Pada kamu" Sambung Hansen sedikit canggung.
Kini Batari yang dibuat terdiam. Ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Apaan?"
"Boleh.. saya meminta, bantuan kamu?"
Semakin bingunglah Batari ditodong begitu. "Bantuan? Apaan?"
Hansen mengangguk singkat. "Kamu tinggal jawab saja. Jika bersedia, saya akan mengarahkan kamu. Tapi jika tidak, saya tidak akan umm.. mengganggumu lagi"
Batari nampak berpikir. Ia memandangi wajah pucat Hansen sedikit ragu, namun akhirnya ia mengangguk. "Iya, aku bantu kok"
"Jika membutuhkan waktu yang lama?"
Batari tersenyum lembut sambil kembali mengangguk. "Aku bakal tetep bantu kamu, sebisa aku"
Lega rasanya Hansen mendengar itu. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa bersama gadis dambaannya sekarang. Senyumnya mengembang sembari meraih pipi kiri Batari, lalu berucap..
"Terimakasih"
"Sama-sama" Lirih Batari sambil meresapi tangan dingin Hansen yang menyapu kulitnya lembut.
Hansen mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Batari. "Kamu tetap cantik.." Bisiknya lalu kembali beradu pandang. "Seperti dulu" Sambungnya.
Apa?
Meneganglah tubuh Batari saat itu juga. Tatapannya terkunci lurus memandangi manik biru di hadapannya. Bahkan nafasnya tercekat ketika Hansen masih membelai pipi kirinya sayang.
Tap. Tap. Tap.
"Ri?" Panggil seseorang.
Hingga akhirnya Batari mampu bernafas normal setelah mendengar suara langkah kaki mendekat yang entah berasal dari mana. Hal itu membuat Hansen sedikit mengintip ke balik rak dan langsung berpamitan pada Batari.
"Saya pergi dulu"
*****
reginanurfa
-06062023-