The Consequence Of Freedom

De rinasuiii

262 52 52

PG 15 Seberapa inginkah kamu kabur dari kehidupanmu? Emily tidak menyangka perjalanannya kabur dari kehidupa... Mais

Pembuka
2. The Victim
3. The Tragedy (I)
4. The Tragedy (II) (15+)
5. Culprit on The Run
6. Caught The Culprit
7. The Rich Kid

1. The Culprit

50 8 9
De rinasuiii

Happy Reading!

****

Emilia Kusuma hanya bisa menatap sepatu hitamnya yang mulai pudar dimakan tanah dan pasir ketika laporan hasil belajarnya tengah dibaca Bu Jasmine. Tidak banyak yang dapat dilakukan seorang siswa saat dipanggil ke ruang guru selain pura-pura sibuk.

Bu Jasmine menutup laporan itu. Wajahnya tidak puas. Diteliti nilai raport oleh wali kelas pastinya membuat semua siswa ketar-ketir, namun karena wajah Bu Jasmine awet muda dan polos, sering kali dia tidak disegani siswa. Emilia pun berpikir begitu, dia tidak menyeramkan, katanya dalam hati meski kelanjutan kehidupan SMA-nya ada di tangan guru bertubuh mungil itu.

"Nilaimu kurang memuaskan untuk aplikasi pendaftaran beasiswa, kamu enggak aktif kegiatan organisasi sekolah, ada catatan beberapa guru tentang kamu tertidur di kelas." Bu Jasmine mengembalikan buku raport itu pada Emilia. "Saya enggak yakin ada pihak yang bisa bantu meringankan biaya uang sekolahmu dengan performamu ini."

"Saya mengerti," ungkap Emilia, tidak kecewa.

Emilia atau kerap disapa Emily itu sudah menduganya bahkan sejak dia mendapat panggilan ke ruang guru karena menunggak uang sekolah selama hampir dua bulan. Emily tahu syarat menjadi penerima beasiswa sangat ketat, hampir mustahil murid biasa sepertinya mendapat beasiswa, namun paling tidak dia ingin mencoba. Rekomendasi guru bisa jadi cara bagus meningkatkan peluang, namun itu pun tidak bisa ia dapatkan.

"Emily," panggil Bu Jasmine, suaranya lembut dan sabar seperti seorang ibu. "Apa ibu bisa ketemu orang tuamu?" Jasmine tercekat, sadar sesuatu. "Ah, maksud saya, ketemu ibumu. Apa bisa?"

"Dia sakit," jawab Emily lancar seperti robot yang diprogram.

"Untuk yang kedua kalinya dalam bulan ini?"

Emily mengangkat bahu. "Ibu sering sakit."

Selama setengah tahun Bu Jasmine menjabat sebagai wali kelas Emily, selama itu pula dia ingin ketemu ibunya Emily, namun selalu saja ada halangan. Halangan itu ia yakin tak lain adalah Emily sendiri.

Bu Jasmine melepas kacamatanya. "Saya mengerti kondisi keluargamu enggak bagus setelah ayahmu meninggal. Sulit mencari pekerjaan bagi ibu rumah tangga, keuangan keluargamu pasti terguncang, tapi ini bukan sesuatu yang harus dipikirkan siswa. Ibu harus membahas ini dengan ibumu."

Saya juga enggak yakin itu bisa dibahas dengan Ibu, Emily membatin.

Bu Jasmine memberi Emily keringanan bayar uang sekolah sampai minggu depan, lalu menyuruh Emily masuk kelas saat mendengar bunyi bel masuk berdentang.

Satu minggu. Itu bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang. Andai saja dia masih bekerja di Tobey's Kitchen, dia bisa meminta bos gendut cerewet tapi tidak pelit itu gaji di muka, namun satu bulan lalu dia dipecat karena guru olahraga sekolahnya datang sebagai pengunjung dan melihatnya bekerja. Peraturan ketenagakerjaan untuk anak di bawah umur rupanya lebih ketat dari penjualan alkohol di restoran ayam. Tobey tidak mau cari masalah dengan polisi dan tenaga pendidik, lalu memecat Emily.

Emily melipir ke jendela saat gerombolan cewek melintas di lorong. Mereka berlari sambil cekikikan, seperti para anak-anak usil kompleks yang suka memencet bel rumah orang. Salah satu di antaranya memegang dua kotak susu.

****

"Awas!"

Cewek berambut pendek yang berdiri dekat pintu masuk kelas menoleh ke arah suara ketika kotak susu terlempar menepuk kepalanya. Kotak susu itu telah dibuka. Isinya berhamburan menciprati rambut cewek itu, kerah kemeja, bahkan lantai lorong yang sudah digosok sampai licin. Tiga orang cewek berlari menghampirinya. Salah satu di antara mereka, yang bertubuh paling tinggi, memungut kotak susu yang terjatuh di lantai.

"Sori! Gue bener-bener enggak sengaja." Si pelempar kotak susu, Caroline atau Carol untuk semua orang yang mengenalnya—yang adalah seantero sekolah—berbicara dengan cemas. "Lo enggak apa-apa?"

Cewek itu menjawab, "Enggak apa-apa," sambil mengelap rambutnya yang ternodai susu dengan sapu tangan. Membohongi diri padahal ini sangat apa-apa, dia punya kelas sampai sebentar sore dan bajunya ternodai susu sapi yang lengket dan dingin.

Tes. Tes. Tes.

Bunyi titik-titik air jatuh dari kepalanya. Air itu mengalir di belakang kepalanya, masuk ke kemejanya, mengalir ke roknya, lalu menetes sampai lantai tempatnya berdiri. Genangan warna susu putih tercipta di lantai.

"Hoo. Maaf, ya." Carol menyiram susu ke atas kepala cewek itu. "Maaf, gue tumpahinnya enggak bener."

Ucapan Carol diiringi tawa mendukung dari dua minionnya. Yang nadanya makin meninggi sampai hampir memekik saat Carol memiringkan kotak susu untuk memastikan semua isi susu ditumpahkan di atas kepala cewek itu. Sementara itu, tanpa mereka sadari orang-orang di lorong mengerebungi keempat orang itu. Beberapa di antaranya mengangkat ponsel untuk merekam kejadian.

Cewek rambut pendek itu mengelap kacamatanya yang dibasahi susu dengan sapu tangan, namun malah menyebabkan jejak lengket di kacamata. Ia melempar tatap pada Carol dengan bingung.

"Carol ..., kenapa lo ngelakuin ini?"

"Carol, kenapa lo ngelakuin ini?" Carol meniru dengan nada mengejek. "Tatapan lo itu tuh sedihnya dapat banget! Enggak usah sedih gitu. Gue kasih lo susu karena tahu lo suka. Kan lo sendiri yang ngomong mau jadi teman gue. Sesama teman sudah seharusnya berbagi."

Cewek rambut pendek itu menatapnya tidak percaya. Matanya merah mulai berlinang air mata.

"Kok lo enggak senang?" Carol memegang pipi cewek itu—lebih mirip meremasnya. "Senyum yang manis dong sama bilang makasih. Gimana? Maka ...."

'...sih' adalah jawaban yang Carol harapkan, tetapi cewek rambut itu tidak meneruskan. Tangannya berusaha melepaskan cengkraman Carol di wajahnya. Mukanya merah karena malu dan karena remasan di pipinya. Semua orang di lorong seperti satu kubu mendukung penindasan itu. Mereka diam, tidak bergerak seolah ada yang memaku tangan dan kaki mereka.

"Apa? Lo masih mau susu lagi?" Carol mengambil satu kotak susu yang disodorkan teman minionnya. "Nih, minum susu!"

Carol memaksanya buka mulut sementara cewek itu meronta-ronta.

Seseorang tiba-tiba datang merebut kotak susunya.

"Apa-apaan lo!" teriak Carol.

Emily atau yang dipanggil "Lo!" oleh Carol itu, menegak susu 100% asli sapi itu dengan nikmat. "Dingin," gumamnya setelah menghabiskan susu kotak itu.

Carol merebut kotak susu kosong itu. "Apa-apaan lo datang-datang main sambar susu orang? Ini bukan buat lo, tauk!"

"Daritadi gue teriak minta jalan tapi kalian enggak minggir-minggir. Lorong ini tempat umum. Ini kelas gue." Emily menunjuk papan XI IPA-2 yang tergantung di sebelah pintu.

Carol bertolak pinggang, wajahnya superkesal. "Enggak lihat gue lagi ngapain?"

"Lihat," jawab Emily, lalu berpaling pada cewek berambut pendek yang sedang gemetar ketakutan. "Tapi itu urusan kalian. Urusan gue masuk ke kelas ini." Dan memikirkan bagaimana cara menebus uang sekolah. "Minggir, deh lo." Emily mendorong Carol ke samping hingga ia terjengkang ke lantai.

Kerumunan orang itu membelah menjadi dua sisi untuk memberi jalan bagi Emily masuk kelas. Orang-orang bersorak dan mengelu-elukan nama Emily atas aksi heroiknya saat ia lewat. Carol meneriaki nama Emily dengan semangat balas dendam, namun kerumunan orang-orang itu tidak bisa ditembus.

****

"Seseorang melapor restoran ini menjual bir dan ayam goreng. Siapa pelanggan yang peduli apa tempat ini punya Surat Izin Penjualan Minuman Beralkohol atau enggak? Mereka datang untuk menikmati pengalaman makan ayam yang menyenangkan! Polisi-polisi itu cuma mau mencuri uang pedagang-pedagang kecil. Mereka menuduh gue menjual alkohol pada anak-anak di bawah umur! Semua orang juga tahu gue bukan orang selicik itu!"

Emily menendang tong sampah dengan kasar. Tanpa peduli tongnya mulai penyok dengan sepatunya atau sepatunya yang solnya hampir robek akan menemui ajalnya.

"Lo mau balik kerja? Gimana ya, Em. Kondisi resto lagi sulit karena masalah surat izin itu. Besok gue harus ke pengadilan buat sidang pertama. Resto juga kayaknya bakal harus tutup sementara buat penyelidikan. Sori, gue enggak bisa bantu."

Tong sampah jatuh ditendang Emily. Seluruh isinya berhamburan di tanah.

Karena letih, Emily duduk di sebelah sampah-sampah berserakan itu, tanpa rasa jijik tangannya hampir bersentuhan dengan kulit pisang atau tisu bekas di tanah.

Ia baru saja pulang dari Tobey's Kitchen untuk melamar kerja ulang agar bisa membayar uang SPP sekolah, tetapi bosnya bilang tokonya akan tutup sementara waktu karena masalah perizinan. Apa perizinan lebih penting dari pendidikan wajib seseorang?

"Omel orang yang bahkan enggak peduli belajar. Ini cuma karena dia," lanjut Emily dalam hati, merasa miris pada dirinya sendiri. Hidupnya bagai makan buah simalakama saja.

Gang itu sempit namun panjang. Diisi rumah-rumah sederhana satu tingkat yang model bangunannya seolah telah ada sejak tahun 80-an, minim penerangan jalan, dan terang hanya didapat dari rumah warga.

Di seberang tempatnya duduk, berdiri satu-satunya rumah yang tidak memiliki lampu teras. Pot-pot tanaman layu berjejer di depan rumah itu, catnya telah berubah warna menjadi keabu-abuan dan dindingnya seperti habis dikerat cakar binatang. Rumah tidak terawat itu adalah rumahnya Emily. Dia dan ibunya pindah ke sana enam bulan lalu, namun semua tentang rumah itu masih tidak terasa seperti rumah.

Dan dia benci pulang ke rumah itu terutama pada hari seperti ini.

"Aku pulang!"

Emily melepas sepatunya di pintu depan, lalu ia melihat sepasang high heels mengilap telah teronggok duluan di sana. Ia merasa terhibur di hari seperti ini ibunya pulang cepat. Kemudian dia melihat kantung sampah yang isinya hampir meledak di sebelah sofa, botol-botol alkohol bekas teronggok di atas meja dan lantai, ada bau seperti saos pedas dan bawang di suatu tempat, dan sepasang kaki mengintip dibalik sofa, Emily tidak jadi senang.

"Kamu sudah pulang, anakku?" tanya wanita berumur 40 tahun yang tengah berbaring di sofa itu, matanya setengah tertutup masih teler.

"Ibu minum lagi?" Emily mengangkat satu botol kosong dari meja.

"Cuma sedikit saja. Dua botol. Botol-botol lain itu bekas kemarin. Ibu butuh makan ayam goreng dengan bir. Perasaan Ibu sedang sangat baik!"

"Kita enggak makan ayam kemarin."

"Kemarin Ibu sedih. Hari ini Ibu sangat, sangat senang. Si bodoh pirang memberi ibu tiga ratus ribu karena menemukan uangnya yang tertinggal di kantung bajunya. Dia enggak tahu sebelumnya Ibu sudah mengambil dua ratus ribu! Dasar bodoh!" Ibunya tertawa keras.

Si bodoh pirang yang dimaksud adalah bos dari ibunya. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga selama empat bulan ini. Dia tidak menyukai pekerjaannya. Ibunya tidak suka pekerjaan bersih-bersih atau memasak, rumahnya saja dikelilingi tanaman layu, tetapi tidak banyak pekerjaan yang bisa didapat seseorang yang tidak pernah bekerja dan tidak punya skill apa pun selain bersolek dan belanja.

Emily mengambil kantung kresek lalu mulai memungut botol-botol bir itu. Botol-botol kaca itu berdenting saat bersentuhan di kantung.

"Bagus untuk ibu," desah Emily, meski hatinya seperti dicubit ketika teringat bagaimana uang-uang itu bisa menutupi uang SPP-nya.

Ibunya bangun, kakinya bersila di atas sofa. "Kamu mau dibelikan apa? Ibu masih punya sisa uang. Kita bisa memesan burger dan es krim. Ibu tahu kamu suka McFlurry!"

"Bagaimana kalau kita simpan uang itu untuk kebutuhan yang lebih penting nanti?"

Ibunya mengerutkan dahi, tampak tidak suka ide itu. "Kamu makin mirip sama ayahmu. Selalu bicara simpan uang, kebutuhan masa depan, gimana kalau ibu punya banyak kebutuhan sekarang? Jangan jadi seperti ayahmu. Dia ngajarin soal moral, moril, lalu pergi meninggalkan kita miskin seperti ini!"

"Dia enggak meninggalkan kita karena kemauannya."

"Apa pentingnya itu? Ibu enggak lihat di ada di sini. Kalau ingin bertahan hidup utamakan dirimu sendiri. Gaetlah cowok kaya, jangan yang terlalu baik." Ibunya menunjuk wajah Emily. "Gunakan wajah turunan Ibu itu. Kamu akan bahagia."

Emily memandangi wajah ibunya. Di usia 38 tahun ibunya masih tampak bugar. Tubuhnya langsing, hidungnya mancung dan kecil seperti bangsawan Inggris, matanya besar bersahabat, meski wajah putih mulusnya itu kini sudah mengerut sana-sini dimakan umur dan kemiskinan. Dia masih tampak cantik. Penampilannya menurun pada Emily, kecuali pada bagian bibir tipis dan kulit kecokelatannya, itu turunan dari ayahnya Emily.

Ponsel ibunya berdering. Ia mengambil ponselnya di meja pendek dekat meja, kelabakan melihat nama pengirim pesan, wajahnya berseri-seri saat mengirim balasan.

"Itu dari pacar baru Ibu. Dia saudara bosnya ibu, usianya agak tua, enggak sekaya bos Ibu, tapi dia punya mobil sedan." Ibunya bangkit dari sofa. "Ibu membelikanmu satu kotak ayam goreng di atas meja makan. Jangan lupa dipanasi!"

Ibunya masuk ke kamar saat ponselnya berdering nada panggilan. Meninggalkan Emily dengan botol-botol kosong yang harus dibuang.

****

Emily tinggal berdua bersama ibunya. Tiga tahun lalu keluarganya serumah bertiga, tetapi ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari dinasnya di pelosok Jawa Timur. Sejak saat itu, keluarganya tidak pernah sama.

Emily harus bergantung pada ibunya, Erika Kusuma.

Erika Kusuma adalah ibu biasa, berpenampilan menarik, manja, menyayangi anak dan punya suami yang membanggakan, namun ia tidak pernah bekerja seumur hidupnya. Bila diringkas seluruh hidupnya berisi: lulus SMA, menganggur di bawah rumah orang tuanya, lalu dipersunting calon tentara—yang adalah ayahnya Emily. Di usianya yang ke-21 tahun ia melahirkan Emily, lalu menjadi ibu rumah tangga. Seumur hidupnya ia bergantung pada keluarga, kerabat, suaminya, dan orang lain. Jadi, ketika umur 35 tahun, ditinggal mati suami tentaranya, menanggung satu anak dan rumah tangga sendirian, hidupnya bak jungkir balik.

Selama dua tahun Erika terluntang-lantung mencari pekerjaan. Yang ia bisa dapatkan hanya kerjaan part-time. Beberapa kali dia keluar-masuk kerjaan karena tidak cakap bekerja. Lalu, setelah dua tahun yang menyengsarakan itu, Erika mendapat satu pencerahan yang aneh.

Ia membagikannya pada anaknya saat makan malam setelah mabuk dua botol alkohol, "Selalu utamakan dirimu sendiri, dengan begitu kamu akan bahagia."

Erika memberitahu, suatu saat semua orang, entah kerabat, keluarga, sahabat, dan suamimu pun akan meninggalkanmu. Tidak perlu berpura-pura menjadi orang suci yang hidup untuk mengabdi pada negara ataupun orang lain. "Orang-orang itu enggak akan mengingatmu sebagai pahlawan. Mereka cuma memedulikan dirinya sendiri. Jangan jadi orang seperti ayahmu yang mengabdikan diri sebagai tentara, mati dalam perjalanan pulang dinas setelah menyelamatkan orang lain, lalu membiarkan keluarganya sengsara dan hidup berkekurangan. Hiduplah dengan egois," kata Erika saat itu.

Tanpa ibunya beritahu, Emily tahu dia mirip ibunya.

Dia bukan orang yang membela pihak tertindas dan memperjuangkan keadilan seperti ayahnya. Dia adalah orang jahat yang melapor bisnis illegal bosnya—orang yang sering meminjaminya uang saat ia butuh—karena sakit hati dipecat diberi alasan tidak cukup umur. Dia adalah orang yang menabung sepuluh persen dari gajinya agar bisa kabur dari rumah.

Emily ingin bebas dari ibunya. Emily ingin secepatnya lulus dari sekolah, mendapat pekerjaan layak, dan hidup lebih layak. Impiannya adalah untuk kabur dari gubuk sengsara ini.

Emily mengusap foto ayahnya. Dalam foto itu, ayahnya mengenakan seragam tentara sementara gadis kecil dengan topi tentara longgar di kepalanya duduk di pangkuannya. Keduanya tersenyum lebar ke kamera seolah sedang menertawakan sesuatu.

Dibalik foto sangat manis itu, itu adalah hari pertama ayahnya dinas ke Papua selama beberapa bulan. Emily kecil tidak mau lepas dari ayahnya dan mempertanyakan mengapa ayahnya mau bekerja untuk orang asing yang tinggalnya sangat jauh. Ayahnya menjawab, ia mau ke sana untuk membasmi orang jahat. Emily tidak terima jawaban itu.

"Em," panggil ayahnya waktu itu sambil menurunkan Emily dari pangkuan. "Semua orang terlahir jahat, tetapi hanya beberapa orang yang bisa 1% jadi lebih baik tiap harinya. Yaitu, para orang-orang yang peduli. Mereka butuh Ayah."

Emily membuka laci kedua meja kamarnya, lalu memasukkan foto itu ke dalam laci. Kemudian mematikan lampu untuk tidur.

Bzzt. Bzzt.

Ponsel Emily yang ada di atas meja bergetar. Seseorang mengiriminya pesan video. Dia tidak mengenali nomor itu, tetapi dia mengenali video yang dikirimkan. Itu video tentang tiga orang remaja yang menindas seorang siswi dengan menyiram susu di kepalanya, lalu datang remaja cewek lain membela yang tertindas dengan merebut kotak susu itu.

Tidak, remaja cewek terakhir itu tidak sedang membela. Dia hanya benci seseorang menghalangi jalannya ketika dia sedang ingin tidur.

Lima detik setelahnya, pesan berisi kata-kata dikirim dari nomor yang sama.

"Gue tahu lo orang yang ada dalam video itu. Kita harus ketemu."

****

Continue lendo

Você também vai gostar

289K 13.1K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...
4.1M 317K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
ALZELVIN De Diazepam

Ficção Adolescente

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...