Get Well Soon

بواسطة macafau

7.2K 885 403

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... المزيد

Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XI : Terjebak Ekspektasi
Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati
Chapter XVI : Di Rumah Ayah

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian

1K 130 116
بواسطة macafau

Di tengah hiruk-pikuk IGD petang itu, seorang gadis datang terseok-seok. Perut dipegangi, wajahnya pucat pasi. Ia menyodorkan KTP dan kartu jaminan kesehatan untuk mendaftarkan dirinya sendiri.

Karisma Atmariani namanya. Hari ini ulang tahun yang ke dua puluh empat. Hadiah terbaik untuk dirinya sendiri adalah datang ke rumah sakit setelah sebulan penuh tak ada perbaikan dari sakit di ulu hatinya yang ia duga sebagai maag, penyakit yang menemaninya hidup dari SMA hingga menjadi seorang pekerja.

Dua hari terakhir penyakit maag itu jadi makin parah. Tiap hari muntah air berwarna kuning kehijauan yang rasanya membakar tenggorokan. Makin hari makin susah untuk memasukan barang sesuap-dua suap nasi ke perut sebab rasanya kenyang sepanjang hari.

Ia menolak berbaring di kasur, duduk tegak sambil menanam mindset bahwa ia baik-baik saja, hanya kelelahan dan butuh obat injeksi. Tak sadar diri kalau keringat dingin sudah membasahi tubuh, mata berkunang-kunang dan napas tersengal-sengal.

Suara di bilik kanan dan kiri begitu mengganggu. Orang muntah menularkan rasa ingin muntah. Orang menangis menularkan rasa ingin menangis. Orang yang sedang melenguh-lenguh menarik untuk dibalas dengan lenguhan atas sakit yang menggerayangi perutnya.

Bukan hanya sakit perut yang mengganggu tapi juga kepala dengan segala pikiran yang tak terkendali. Kemungkinan mati hari ini yang persentasenya tidak diketahui. Kecewa karena orang tua yang menolak keputusannya pergi ke rumah sakit. Kesepian yang melandanya di tengah keramaian.

Ris, begitu gadis itu akrab disapa, berjengit kaget ketika seorang dokter menyibak tirai biliknya di IGD. Seorang perempuan yang masih terlihat muda, tentu bukan dokter koas karena rumah sakit swasta ini bukan rumah sakit pendidikan. Dokter itu melempar senyum tapi yang jadi fokus Ris adalah nama yang dibordir di scrub si dokter, dr. Adila Dwi Putri S.

"Selamat malam, saya Adila, dokter jaga IGD malam ini." Ramah bukan main dokter satu ini, begitu cantiknya luar biasa.

"Malam," jawab Ris lemah sambil memaksakan senyum agar tetap sopan.

Adila berpikir kalau senyum di wajah orang sakit itu tak perlu. Adila bukan bos si pasien aneh yang datang sendirian ini jadi sungguh senyum basa-basi itu tidak perlu dipaksakan. Pun Adila tak bisa berkata apa-apa.

Adila mendorong Ris untuk berbaring di kasur. Ya, orang sakit mana yang datang ke IGD tapi masih sok kuat seperti itu. Ris adalah orang pertama yang Adila temui kondisinya seperti ini. Senyam-senyum sambil menahan sakit.

"Apa keluhannya?" tanya Adila hati-hati.

"Tanggal 30 Mei saya demam tinggi, nyeri tenggorokan disertai sakit di ulu hati. Tanggal 1 Juni ke puskesmas dan diberi obat Lansoprazole, dokternya bilang kalau dalam seminggu tidak pulih saya akan dirujuk untuk endoskopi-" Ris menjelaskan, Adila menyimak sambil menghitung hari, tiga puluh Mei itu sekitar satu bulan setengah yang lalu.

"Sejak hari itu saya tidak bisa makan lebih dari dua sendok nasi. Kalau lebih biasanya mual dan ingin muntah-" Adila ingin bertanya sampai kapan itu terjadi namun urung sebab ia berpikir lebih baik mendengar penjelasan Ris sampai selesai sebab terlihat jelas kalau Ris masih memiliki banyak penjelasan.

"Tanggal 15 Juni, saya ke puskesmas lagi karena feses saya berdarah. Dokternya memberi saya obat antihemoroid tapi karena merasa kurang percaya saya ke klinik dan diberi Lansoprazole lagi."

"Tidak ada perubahan sama sekali dan dua hari yang lalu, 8 Juli kalau tidak salah rasa sakit di ulu hatinya semakin sakit dan sejak saat itu saya belum makan sama sekali."

Tanpa basa-basi lagi, gelang pasien terpasang di pergelangan tangan kanan Ris, infus di punggung tangan kiri, ia tak boleh duduk lagi dan hanya bisa berbaring. Kondisinya tentu tidak baik-baik saja.

Perawat menolongnya untuk mengurus administrasi karena ia hanya sendiri. Sementara, Adila melempar senyum pada Ris, sebuah senyum basa-basi karena tak tahu harus berbuat apa lagi.

"Uhm-" Adila berdehem, matanya melihat langit-langit yang tak menarik. "Kalau boleh saya tahu, anda kesini naik apa?"

"Motor." Dengan santai Ris menjawab.

"Gojek maksudnya?"

"Nggak. Saya bawa motor sendiri, dok. Sudah daftar abodemen tadi buat parkirnya."

Adila menahan ekspresi agar tak melongo. Ris menjawab dengan santai seakan itu hal yang biasa dari pembaringannya.

"Kontak darurat yang bisa dihubungi ada?" tanya Adila lagi.

"Ada, kontak ibu saya. Tadi sudah ditulis di formulir," jawab Ris lagi dengan santai. Dia tampak lebih tenang ketika infus telah terpasang.

"Uhm-" Lagi-lagi Adila berdehem, lagi-lagi dokter yang tampak masih muda itu mencari cara bicara yang bisa dipahami si pasien yang kemungkinan besar menganggap penyakitnya sepele.

"Saya tidak bisa mendiagnosis betul apa sakitnya. Butuh screening lebih lanjut oleh dokter spesialis yang dilakukan nanti selama masa perawatan. Mungkin tidak sehari-dua hari bisa-" Perubahan air muka Ris yang tak terima bahwa ia berkemungkinan menginap lebih dari tiga hari membuat Adila diam sejenak.

"-pulang." Adila mencoba melanjutkan tapi kemudian kepalanya berkabut. Sejenak ia berpikir tentang apa lagi yang bisa ia sampaikan pada Ris.

"Sementara diagnosanya dyspepsia syndrome. Semoga lekas sembuh." Adila membungkuk sopan untuk berpamitan karena masih banyak pasien yang perlu diperiksa.

"Saya permisi." Lalu Adila menghilang di balik tirai yang berwarna putih gading meninggalkan bilik Ris.

Ris diam, kepalanya mulai terisi penuh dengan segala pencarian yang sempat ia cari tentang apa yang dirasakannya. Dyspepsia Syndrome, penyakit saluran pencernaan, entah organ mana di dalam perutnya yang bermasalah.

Kanker lambung. Kebocoran lambung. Ginjal. Usus Buntu. Tiba-tiba semua penyakit yang menurut Ris begitu dekat dengan kematian diurut di kepalanya. Menimbang mana yang kira-kira jadi sebab kematiannya.

Tidak. Ris tak mau mati. Masih ada beberapa proyek yang harus dikerjakannya. Kasihan rekannya kalau ditinggal mati. Tempatnya bekerja adalah tempat yang nyaman, bosnya yang baik hati pasti bersedih.

Ris berbaring. Menatap langit-langit yang membosankan ditemani suara-suara yang tak enak didengar. Memikirkan hal-hal yang membuat asam lambungnya semakin menjadi-jadi hingga lagi ia tertular rasa ingin muntah dari bilik sebelah.

"Ibu Karisma Atmariani," panggil seorang perawat berwajah ramah yang membawa kursi roda kosong.

"Pindah ruangan ya, Bu. Dokternya sudah menunggu," ujar si perawat bertanda nama Hanifah.

"Barangnya ada yang dibawa?" tanya Hanifah dengan ramah sambil membantu Ris untuk berpindah ke kursi roda.

Ris membawa sebuah tas sedang berisi tiga piyama berkancing, enam pasang pakaian dalam, blindfold, bantal dan selimut tipis. Ia menyelipkan sapu lidi, kanebo, sapu dan pengki kecil untuk jaga-jaga. Sarung bantal tambahan tiga pasang dan sprei, handuk kecil dan handuk mandi beserta alat mandinya. Itu yang ada di dalam tas.

Ris juga membawa totebag kecil berisi botol air yang isinya masih hangat dan beberapa biskuit cemilan kesukaannya yang sebenarnya hanya kemungkinan kecil bisa masuk ke perutnya saat ini. Ya, namanya juga jaga-jaga.

Yang terakhir, tas selempang kecil nan tipis yang berisi uang tunai dan segala macam kartu yang diperlukan. Warnanya senada semua dengan tas baju dan totebag.

Dipikir-pikir, banyak bawaannya. Harusnya ada pihak keluarga yang membantunya untuk membawa itu semua namun nasibnya kali ini mengharuskan semuanya ia bawa sendiri.

"Dipangku saja bawaannya, ya, Bu." Tahu bahwa Ris kebingungan cara membawanya, Hanifah menawarkan solusi yang serta merta disetujui oleh Ris.

Tepat ketika adzan Maghrib berkumandang, Ris dibawa ke ruang rawat inap tempatnya beristirahat selama di rumah sakit ini.

Central City International Hospital. Rumah sakit swasta tipe A yang jaraknya empat kilometer dari rumah Ris bersama orang tuanya. Dipilih Ris atas pengalamannya yang baik saat menemani Ibu operasi di sini walau sebagai pasien jaminan kesehatan yang konon sering dibedakan pelayanannya kalau di rumah sakit lain. CCIH tidak diskriminatif, pelayanan mereka nomor satu di kota ini.

Semoga begitu. Pikir Ris dalam hati sambil berempati pada Hanifah yang mendorongnya ke kamar karena Ris sadar diri bahwa badannya gemuk.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

935K 18.6K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
65K 5.4K 42
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...
5.8M 280K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
296K 3K 20
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra