#day6 clue
#Ailurophile
Todd Hafer dalam buku berjudul 101 Amazing Things About Cat Lovers (2016) menyebutkan bahwa ailurophile adalah seseorang yang mencintai kucing. Ailurophile adalah kata lain dari pencinta kucing yang sangat menyayangi tidak hanya kucing peliharaannya, namun semua kucing yang ditemuinya.
Pov Axcel
Aroma petrichor memenuhi indra penciuman ku, malam di tengah gerimis seperti ini seharusnya kuhabiskan dengan menghangatkan diri di dalam kamar. Tapi pemandangan di hadapanku lebih nyaman untuk dinikmati.
Senyum menawan miliknya benar-benar menghipnotis ku, andai bisa kuraih dia kali ini, mungkinkah sekarang aku juga bisa tertawa bersamanya? Seperti gadis itu. Aku sungguh iri dengan gadis itu, tapi aku juga tidak ingin berada di posisinya, dan cukup menyedihkan hanya bisa menahan rasa suka yang tidak bisa diungkapkan, meski orang yang di suka ada di depan mata.
Seharusnya aku bersyukur, meski aku diam tapi sepertinya dia terlihat tertarik untuk memulai pembicaraan dengan ku. Tapi aku yang bodoh ini justru membeku, tanpa bisa membalas ucapannya yang berakhir dengan kecanggungan di antara kami.
Mereka pergi sebelum hujan benar-benar mereda, meninggalkan benda bulat menggelinding dan berhenti tepat di bawah kakiku. Dia cukup ceroboh, tapi aku tetap menyukainya. Benar-benar menyukainya, Aruna Jovandra.
Petir menggelegar mengejutkan ku, membuyarkan lamunan sejenak ke hari itu. Aku hanya bisa membiarkan Aruna pergi dengan senyum cerah.
Laptop masih menyala, aku memandangi sesuatu yang belum selesai, pekerjaan? Ya anggap saja begitu, faktanya selalu ada data baru setiap harinya.
Termasuk Aruna yang ternyata merupakan Ailurophile sejak kecil, melihat ia bermain dengan kucing jalanan atau kucing manapun yang ia temui sungguh pemandangan manis. Meskipun aku belum tahu kenapa ia tak memiliki kucing di tempat tinggalnya, entah karena dilarang atau mungkin ada alasan khusus, aku harus mencari tahu nanti.
oOo
POV Normal
"Axcel!" panggil Aruna dari belakang.
"Mau tanya dong," sambung Aruna ketika mereka berhadapan, napas Aruna tampak memburu. Melihat itu Axcel terdiam untuk memberi waktu Aruna menyampaikan maksudnya.
"Ya?"
"Ini beneran ada acara kemahnya?" tanya Aruna memperlihatkan brosur yang sudah sedikit kusut yang ia keluarkan dari kantong jaketnya.
"Iya, kenapa?"
"Ng, aku boleh ikut gak?" tanya Aruna ragu-ragu.
"Tentu aja boleh. Jangan lupa bawa tenda," jawab Axcel mengingatkan.
"Tenda? Aduh lagi di pinjem si Denis lagi," ujar Aruna menepuk keningnya sendiri.
"Panitia ada minjemin tenda gak? Akucuma punya satu tapi lagi di pinjem buat naik gunung," terang Aruna.
Hening sejenak tampak Axcel tengah berpikir lalu menjawab. "Setenda sama aku juga bisa."
oOo
Arkan melihat temannya cukup intens sejak 20 menit yang lalu, bukan karena dia penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya, tapi ekspresi aneh yang diperlihatkan Axcel cukup untuk mengetahui jika mungkin sahabatnya sedang bahagia.
Memandangi kertas brosur bukanlah hal yang menarik, tapi sepertinya kisah di baliknya yang membuat Axcel tersenyum tipis, kemudian menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Kenapa dia?"
Arkan menolehkan kepalanya, menemukan Felix yang baru saja kembali ke kantor BEM dengan tangan kosong, itu artinya brosur yang dia bawa sudah habis.
"Mabuk kali," jawaban Arkan cukup direspon oleh Axcel, tapi hanya lirikan saja.
"Gue udah nemuin Dekan, kayaknya rapat diundur dari hari yang kita ajukan."
"Gak masalah, yang penting acara ini sukses. Oiya, kenapa lu senyum-senyum gitu?" Felix tersenyum jahil, ingin mengetahui apa yang dilamunkan Axcel.
Tapi bukan jawaban yang ia dapatkan, Axcel justru berdiri mengabaikan pertanyaannya kemudian keluar dari kantor BEM meninggalkan Arkan dan Felix di sana.
"Temen lu kesambet ya?" seloroh Felix, yang di jawab helaan napas dari Arkan.
Bagi Axcel tidak wajib menjawab pertanyaan orang lain jika itu menyangkut privasinya, jadi suka atau tidak, jangan tanyakan sesuatu yang jelas tidak akan ia jawab, jika tidak ingin kecewa karena diabaikan.
o0o
Bersemu merah seperti tomat, senyum yang membuat matanya tertutup rapat, adalah pemandangan indah untuk Axcel yang sebenarnya memang sangat lelah. Akhir-akhir ini dia kekurangan jam tidurnya, semuanya kacau karena gadis yang tempo hari mengacaukan mimpi indahnya.
Pernyataan suka dari beberapa gadis jelas kerap kali didapatkan olehnya, namun berbeda kali ini. Karena gadis itu menyukai Aruna, seseorang yang ia sukai. Bagaimana cara Aruna menolaknya, cukup untuk membuat Axcel menciut, karena takut jika ia bernasib sama seperti mereka.
Kegigihan gadis itu mendekati Runa cukup ia apresiasi, Axcel tahu gadis itu memanfaatkan status Aruna yang seorang Ailurophile untuk mendekatinya dan itu berhasil, kerap ia lihat gadis itu berada di sekitar Aruna. Apakah ia juga harus melakukannya?
Axcel menyadari dirinya tidak seagresif orang lain. Ada hal yang tak bisa Axcel jelaskan, berbeda dengan Aruna yang mudah bergaul membuatnya banyak teman. Sempat bertanya dalam hati kenapa Aruna tidak menjadi anggota BEM juga seperti dirinya, tapi pertanyaan itu belum pernah terlontar.
Getar benda pipih di saku celananya membuyarkan lamunan Axcel, segera ia ambil ponselnya membuka aplikasi chatting di sana.
"Paketnya udah aku kirim kak, jangan lupa dimakan ya."
"Oke thanks," balasnya sebelum mengantongi kembali ponsel itu.
Mengingat tentang ponsel, seharusnya Axcel tadi meminta nomor whatsapp Runa sebelum pria mungilnya pergi entah kemana.
"Tenang Axcel, dia tak akan kemana-mana," gumam Axcel dengan senyum anehnya.
oOo
Mendekati hari teyan dan beberapa acara pendukung, panitia terlihat sibuk. Axcel beberapa kali melihat Aruna di sekitar kantor BEM tapi hanya sempat bertegur sapa, ooh tidak, lebih tepatnya Aruna yang menyapanya. Sampai hari ini Axcel belum mendapatkan nomor Aruna.
Jika kalian berpikir kenapa tidak meminta kepada yang lain karena teman-teman yang lain pasti memilikinya, itu karena Axcel tak ingin melakukannya.
Sisi gengsi dan egois pada diri Axcel memintanya untuk bertanya langsung kepada Aruna, hasilnya seperti yang kita lihat, nomor Aruna belum ada di kontak chat Axcel hingga saat ini.
"Axcel udah makan?"
Alih-alih menjawab dia hanya mendongakkan kepalanya melihat siapa yang bertanya.
"Hei, ditanya kok diem, udah belum?" ulang Aruna.
"Belum."
"Ya udah ayo makan, yang lain udah duluan lho."
"Oke."
Ini kesekian kalinya mereka makan satu meja berdua. Tak jauh dari sana ada Felix, Brianna dan Arkan, lalu tak jauh dari mereka ada beberapa anggota lain yang sedang makan juga.
Axcel tahu mereka berdua menjadi pusat perhatian ketiga sahabatnya. Tapi siapa yang peduli. Axcel hanya sibuk memikirkan cara untuk mendapatkan nomor Aruna.
"Axcel minta nomor kamu dong. Kayaknya cuma kamu aja yang belum aku masukin kontak," kata Aruna tiba-tiba yang membuat Axcel terdiam.
"Ng, gak boleh ya?" selidik Aruna karena tak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya.
"Boleh," ujar singkat Axcel mengeluarkan benda pipihnya, membuka aplikasi WhatsApp lalu membuka kode barcode agar Aruna mudah menyimpan nomornya.
Disambut baik oleh Aruna lengkap dengan senyum manisnya membuat Axcel tidak dapat berkata apa-apa, tapi percayalah ada ribuan kupu-kupu di perutnya yang membuatnya bersemangat. Selesai sudah masalahnya. Mungkin ini definisi memperoleh tanpa usaha, Aruna sendiri yang mempermudah semuanya, atau mungkin Axcel lah yang mempersulit apa yang sebenarnya mudah. Tapi begitulah seorang Axcel.
oOo
Benda pipih itu tergeletak begitu saja di meja di samping tempat tidurnya. Menyala beberapa kali menandakan ada notifikasi atau mungkin pesan yang meminta dibalas.
Axcel keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk abu-abu kesayangannya yang melilit hanya bagian bawahnya saja. Rambut basah yang sangat kontras dengan wajah datarnya, Axcel mengabaikan cahaya yang keluar dari ponsel itu, ia hanya duduk di ujung ranjang dengan handuk kecil ditangan dan sibuk mengeringkan rambut yang bagian depannya sudah menjuntai menutupi mata tajamnya.
Setelah berpakaian, barulah ia meraih ponselnya. Jemarinya mengecek setiap notifikasi yang kebanyakan dari grup chat anggota BEM yang menurutnya tidak terlalu penting, seperti biasa awalnya membahas tugas lalu beberapa menit kemudian berubah menjadi obrolan tidak berguna lainnya, setidaknya itu menurut Axcel.
Jemarinya berhenti disebuah pesan dari nomor tak dikenal.
"Axcel, ini Aruna," kata si pengirim yang ternyata adalah Aruna lengkap dengan emoji senyumnya.
"Kok gak bales, udah tidur ya?" tanya si pengirim lagi, membuat Axcel sadar ia hanya membacanya.
"Belum," jawab Axcel singkat.
"Ganggu ya?"
"Enggak, kenapa?"
"Ga apa-apa cuma mau mastiin nomor aku kamu simpan."
Tampak jari Axcel menekan tombol di ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu di telinganya.
"Halo?" jawab suara di ujung sana.
"Nomornya udah aku simpan," ucap Axcel langsung tanpa salam.
"Oh gitu, sip deh. Ng, kok malah nelpon ada apa Cel?" tanya Aruna yang tampak terkejut karena Axcel justru menelponnya.
"Males ngetik."
Suara tawa terdengar di telinga Axcel, ia hanya tak tahu apa yang lucu dari ucapannya hingga Aruna tertawa.
"Haduh Axcel, kamu tuh lucu ya."
"Aku kan ga lagi ngelawak, Kak."
Hening. Entah ada yang salah dengan jaringan atau memang Aruna tiba-tiba terdiam. Tak ada lagi suara tawa seperti tadi. Apa ada yang salah?
"Kok aku ngerasa aneh ya kalo kamu yang manggil Kak ke aku," ucap canggung Aruna tampak dari intonasi suaranya. Axcel berpikir apakah suatu kesalahan memanggilnya seperti itu, bukankah memang Aruna itu kakak tingkat Axcel.
Axcel yang diam menambah kecanggungan makin terasa, terlebih saat Aruna mengatakan hal yang mungkin membuat langit malam Axcel terlihat berbeda kali ini,
"Aku deg-degan dengernya."
Tbc
Wooooooh, chapter 6 guys, ga nyangka masih bisa up cerita di tengah tekanan kanan kiri depan belakang. Terima kasih buat kalian yang udah mampir. Yang mau koment jangan ragu-ragu, yang mau sampein kritik saran boleh banget. Tenang, emak ga baperan kok. Karena belajar bisa dari siapa aja ya kan. Oke deh sampai ketemu di chapter selanjutnya.