Scenic

By radexn

1.4M 226K 311K

"Indah" bukan hanya tentang sesuatu yang dinilai sempurna, tapi kenapa hanya yang sempurna boleh merasakan ke... More

ʚ SCENIC ɞ
1. Her
2. She's Cute
3. Curious Ai
4. Gadisku
5. Too Innocent
6. Hadiah Terbaik
7. The Warmest Snow
8. Semanis Cokelat
9. Sayang
10. Do-Fun
11. Revenge Kiss
12. Rumah
13. Mulai Cemburu
14. All The Feels
15. Kukira Spesial
16. Nature
17. Naughty and Brave
18. Telah Dewasa
19. Rencana
20. All of a Sudden
21. Need Her
22. Peri Nakal
23. Crazy Rich
24. Gara-gara Sendok
25. Terkejut
26. Dua Hati
27. Kecewa
28. Kehadiran Malaikat
29. Best Moment
30. New Life, New Journey
31. Sparkling Blue
33. Hurt Go Happy
34. Flight and Fight
35. Bocor
36. Peri Cantik
37. Kesedihan Sky
38. Untuk Apa Hidup?
39. New Tattoo
40. Tanah dan Dendam
41. Black Rain
42. Kindness
43. Belajar Berhenti
44. Resah
45. Sea of Tears [1]
45. Sea of Tears [2]
46. Gloomy
47. Semua Memiliki Kesalahan
48. Crying Angel
49. Angin Kebencian
50. Metanoia [END]
CERITA ANAK AISEA

32. Naluri

22.5K 4K 6.5K
By radexn

babygeng, absen dulu yuk sesuai hari dan jam kamu baca bab ini:

32 ʚɞ Naluri

Selepas dari salon, Sky mengajak Ava ke tempat makan untuk mengisi perut yang dari tadi bunyi terus lantaran lumayan lama menunggu rambut Sky selesai diganti warna.

Camilan dari pihak salon sangat ramah di lidah, minumannya juga segar, sayang tak cukup membuat perut Sky puas. Sky itu doyan makan, tapi badannya tetap kurus walau tidak begitu kurus.

"Gue makan apa, ya?" Ava dilema melihat deretan menu pada layar di meja makan mereka.

Sky menyahut, "Gue pengin air fryer steak, Va."

"Oke." Perempuan itu menyentuh gambar makanan sesuai yang Sky sebutkan.

"Minumnya?" tanya Ava kemudian.

Mereka berdua tidak sengaja menyebut minuman yang sama, yaitu lemonade. Sekarang tinggal Ava menentukan ia ingin makan apa. Setelah berhasil menemukan yang sesuai keinginannya, maka Ava menyentuh tombol "total" pada layar. Jumlah yang harus dibayar langsung tertera.

Sky dengan cepat mengeluarkan cip untuk ia tempelkan pada alat sensor di sisi kanan layar. Lunas. Ava telat dalam mencegah Sky membayar pesanan mereka.

"Hey! Gue bisa bayar sendiri." Ava tak enak hati.

"Anggep aja ini traktiran. Lo udah nemenin gue ke salon," kata Sky.

"Tapi, kan, gue juga ada urusan di salon ... abis spa. Enggak nemenin lo aja."

"Ya, enggak apa-apa." Sky cekikikan melihat wajah Ava yang sedikit mengerut cemberut.

Gadis ini tak biasa menerima traktiran dari orang lain, terlebih lelaki. Ia merasa masih mampu membayar kebutuhannya sendiri. Ava pikir, lebih baik uang untuk mentraktirnya dipakai buat keperluan lain, atau diberikan ke yang lebih membutuhkan.

"Sky ...." Ava masih tidak tenang.

"Apa?" Sky angkat dagu, tampangnya itu menantang.

"Sekali ini aja, ya? Lain kali jangan!" kata Ava.

"Iya," sahut Sky, kemudian suaranya mengecil saat berkata, "Enggak janji."

Ava tidak mendengar gumaman Sky. Ia membuang napas berat dan pada akhirnya mengucapkan dua kata singkat sebagai bentuk ia menghargai kebaikan Sky.

"Thanks, Sky." Ava bertutur.

Sky mengangguk. Ia mengecek ponselnya sebentar untuk melihat notifikasi. Ada banyak, tetapi tidak ada dari orang yang sedang ia rindukan.

Laut pasti lagi enak-enak sama Adek. Enggak ngabarin gue sama sekali, batin Sky.

"Gue masih agak asing liat rambut lo enggak biru lagi." Ava menyeletuk, membuat perhatian Sky teralih dari ponsel.

"Rambut biru lo itu iconic banget. Semua orang di kampus kenal banget sama yang namanya Sky Ailaska Lonan, si rambut biru yang cerewet." Tawa kecil Ava bikin Sky senyum-senyum.

Sky tidak lagi memegang ponsel. Ia ingin mengobrol saja dengan Ava. Ucapnya, "Jadi, rambut baru gue enggak bagus? Bagusnya tetep biru?"

"Enggak gitu! Rambut pink gini juga cocok di lo, Sky. Bagus banget menurut gue," puji Ava. "Tapi, si biru enggak boleh dilupain."

Rambut biru atau pink, keduanya cocok untuk Sky. Dia sangat suka bila rambutnya berwarna biru, makanya dari dulu selalu dipoles warna biru di salon. Bahkan Sky pernah berangan ia terlahir dengan rambut asli biru.

Namun, buat sekarang Sky mau mencoba beralih warna. Pink menjadi pilihan kedua yang menarik hatinya.

"Sky, kita pergi berdua gini enggak bakal nimbulin masalah?" Tiba-tiba Ava resah.

"Enggak. Masa makan doang jadi masalah." Sky menjawab.

Ava mengatakan itu karena barusan kepikiran Janessa. Dia tau, Sky ramah dan tidak pikir panjang untuk jalan bareng teman tanpa kehadiran pacar. Ava pun akan merasa tenang bila Sky pergi bersamanya tanpa sembunyi-sembunyi dari pacar.

Setelah berjam-jam terlewat, mendadak Ava merasa diintai. Apalagi Ava dan para penghuni kampus tau Janessa itu orangnya seperti apa. Janessa sangat populer di Amber University padahal dia tidak berkuliah di sana. Orang-orang mengenalnya sebagai pacar Sky yang posesif dan agresif.

"Bagus, deh. Berarti lo udah bilang Janessa," tanggap Ava.

Sky tidak mengerti. "Janessa?"

"Iya," respons Ava.

Nama itu berefek besar bagi kepala dan jantung Sky. Pening serta debaran kencang seketika berlomba-lomba menyerangnya.

Ava terkejut melihat ekspresi Sky berubah drastis, dari ceria menjadi suram. "Sky? Sorry, gue salah ngomong?"

Akhir-akhir ini kepala Sky jarang sakit, tapi sekarang ia merasakannya lagi cuma gara-gara Ava menyebut nama Janessa. Sampai detik ini peningnya belum reda. Sky tertunduk, ia berusaha meredamnya tanpa mau membuat Ava panik.

Dua detik berselang, seorang pelayan datang membawa dua gelas lemonade. Ava pindah ke sebelah Sky, ia menyodorkan lemonade dan meminta Sky meminumnya.

Sky teguk cepat sampai tersisa setengah. Dahaganya hilang, tapi denyutan di kepala masih berseliweran. Nama Janessa benar-benar bahaya untuk Sky.

"Va, kenapa kepala gue sakit banget waktu lo nyebut 'Janessa'?" Sky berkata.

Ava bungkam sesaat. Dia sendiri tidak tau kenapa Sky bereaksi demikian ketika ia menyebut nama Janessa. Sejujurnya Ava kaget juga.

"Ada keterkaitan apa gue sama Janessa?" tanya Sky.

Posisi Ava saat ini tak aman. Ia tidak mengerti kondisi Sky secara keseluruhan, sekadar tau insiden yang menimpa Sky membuatnya kehilangan banyak memori. Kalau dia menjawab seadanya, Ava takut respons Sky di luar perkiraannya lagi.

Kayaknya keluarga Sky enggak pernah bahas Janessa di depan dia sampe-sampe dia sekaget ini waktu gue nyebut Janessa, batin Ava.

"Em ... enggak ada apa-apa, Sky." Ava ragu mengatakannya.

Sky menatap Ava sedikit lebih mendalam, maka Ava mengalihkan wajah dengan mengambil lemonade miliknya.

"Lo temen gue di kampus. Lo tau banyak soal keseharian gue. Tadi lo nyebut Janessa, berarti lo tau sesuatu tentang Janessa yang berhubungan sama gue." Sky bicara serius, tapi ujung-ujungnya dia meringis. "Ah, lo ngerti kalimat gue? Gue pusing sendiri dengernya."

"Iya ... gue ngerti." Ava masih tak mau membalas tatapan Sky.

Ucapan Sky makin membuktikan perkiraan Ava benar. Keluarga Sky tak memperkenalkan kembali siapa Janessa kepada Sky. Lelaki itu sama sekali tak ingat apa-apa mengenai Janessa.

"Biasa aja, sih, Sky. Kayak gue sama lo gini. Buat asik-asikan aja," sahut Ava berusaha sesantai mungkin menjawab pertanyaan Sky.

"Kenapa tadi lo cuma nyebut nama dia? Temen gue cuma lo sama dia?" Sky menyeletuk.

"Gue keinget dia doang. Lagian, dia bukan temen lo. Bukan temen yang sedeket itu." Ava menggaruk leher belakang. "Semua aman, kok. Lo jangan panik."

"Gue jadi bingung kenapa tadi nyebut namanya. Harusnya enggak usah. Kan, enggak ada hubungan penting sama lo," papar Ava dengan mimik seolah-olah bingung terhadap diri sendiri.

Sky tak lagi bersuara. Ava meliriknya sekilas, memastikan Sky sudah lebih tenang dan berhenti menyodorkannya banyak pertanyaan.

"Sebentar lagi makanan kita dateng. Makan yang tenang, jangan pikirin itu lagi. Oke?" ujar Ava.

"Oke." Sky menurut. Ia setuju untuk berhenti memikirkan hal yang hanya membahayakan kesehatannya.

"Jangan diem-diem dipikirin. Enggak boleh dipendem sendiri. Muka lo itu keliatan banget kalo lagi mikirin sesuatu." Ava bertutur tegas.

Sky tersenyum lucu, senyuman yang biasa ia tebar ke tiap orang. "Iya, Ava."

Kebersamaan mereka kembali seru tanpa ketegangan memikirkan Janessa. Makanan itu akhirnya datang dan mereka melahapnya dengan riang, meski masih ada sedikit kecanggungan yang Ava rasakan.

ʚ༺❀༻ɞ

Janessa ditinggal di apartemen, sementara itu Kahr melesat ke rumahnya setelah menerima kabar kondisi ibunya drop mendadak.

Tadinya Janessa mau ikut, tapi Kahr melarangnya. Kahr tidak mau ibunya mencari tau lebih dalam tentang Janessa, apalagi bila mengetahui Janessa sering menginap di apartemennya. Itu sangat berbahaya sekaligus menjengkelkan menurut Kahr.

Andai hal tersebut terjadi, Kahr akan dipindahkan tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Bisa saja tiba-tiba Kahr diusir dan dipaksa kembali tinggal di rumah aslinya. Otomatis Kahr tak bisa hidup bebas lagi.

Ry merupakan wanita yang bisa membayar segalanya demi kepuasan dia. Ry hanya melakukan apa pun sesuai keinginannya. Dia cuek terhadap Kahr, lebih mengutamakan pria simpanannya, tetapi Ry tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Kahr.

"Ma." Kahr tiba di kamar Ry.

Kahr mendengkus tak senang saat menemukan seorang pria duduk di tepi kasur Ry. Pria itu setia menemani Ry yang saat ini butuh pendamping seharian penuh.

"Kahr," sebut Ry sangat pelan.

Kaki Kahr enggan bergerak. Ia tidak mau mendekati Ry selama pria itu masih ada di sini. Muak sekali rasanya.

"Kahr ... ada yang mau Mama sampaikan ke kamu." Ry berkata.

Kahr tak menjawab, ia memilih diam menunggu. Dia bahkan tidak melirik ibunya. Pandangannya mengarah ke jendela yang tertutup rapat.

"Kenapa kamu berdiri di situ terus? Kemari, Kahr. Mama perlu bicara serius sama kamu." Ry bertutur lagi.

Pria itu menilik Kahr dari atas sampai bawah. Kahr merasakannya, maka ia balas tatapan itu dengan tajam dan menusuk. Ingin Kahr pukul kepalanya sampai bocor.

Terpaksa Kahr mendekati Ry. Ia ogah berdiri di sisi kanan kasur yang berarti berdekatan dengan pria tersebut, maka Kahr berdiri di sisi kiri.

"Mama sudah membaik. Dokter bilang Mama banyak pikiran. Benar, Mama kepikiran kamu terus. Tiba-tiba drop karena Mama kangen kamu. Mama kangen putra satu-satunya Mama," ungkap Ry.

"Kamu benar-benar betah tinggal di luar, ya? Kalau Mama minta kamu balik ke rumah ini, hidup bersama Mama, gimana?" Ry melanjutkan.

Tampaknya Kahr tidak menyukai pembahasan ini. Dia menyahut, "Kahr enggak mau tinggal di sini lagi. Enggak ada Papa dan Kakak."

"Kahr ...," sambar Ry, wajahnya mulai sendu.

"Males kalo ada orang asing." Pada kalimat itu Kahr sengaja menyindir pria simpanan Ry.

Ry menanggapi, "Siapa orang asing?"

Kahr tidak langsung menjawab terang-terangan. Ia semakin tidak suka berada di sini terlalu lama. Sebentar lagi Kahr akan melarikan diri dan tak mau kembali.

"Jangan anggap kekasih Mama orang asing. Sebentar lagi kami akan menikah dan kamu harus menerimanya sebagai pengganti Papa," papar Ry.

Mata Kahr terbuka lebar. Dalam beberapa detik jantungnya terasa tak berfungsi. Tubuhnya seperti melayang pada gumpalan awan penuh petir.

"Ini berita penting yang ingin Mama sampaikan ke kamu. Mama siap melepas status lama sebagai janda. Mama mau bahagia bersama pria pilihan Mama." Ry berseru lembut, begitu bahagia dan berseri-seri, sama sekali tak menjaga perasaan Kahr.

"Jangan hidup dalam duka terus, Kahr. Kamu harus ikhlas. Papa dan Kakak sudah semestinya bahagia di sana tanpa beban kesedihan yang berasal kamu," tutur Ry.

"Kejadian itu sudah lama. Move on, Kahr. Jangan bangga jalan di tempat." Ry berimbuh.

Kahr menahan marah dengan mengepal kedua tangan. Ry tidak mengerti perasaannya, dan ini terlalu menyakitkan untuk Kahr. Ia menyesal datang kemari karena yang ia dapatkan bukan kelegaan, malah luka baru di hati.

"Kahr nyesel dateng." Suara Kahr terdengar lebih berat dari biasanya.

"Kenapa? Mama sedih mendengarnya, Kahr. Itu artinya kamu tidak bahagia bertemu Mama." Ry menyentuh dada.

Kahr membalas, "Emang. Mama cuma bikin perasaan Kahr makin kacau."

"Bukan cuma kamu yang punya perasaan dan bisa mengalami itu. Mama juga bisa. Kamu mana tau seperih apa hati Mama setiap teringat kamu. Kamu masih hidup, tapi enggan menemui Mama. Itu bikin Mama sedih."

"Mama enggak pernah mau tau perasaan Kahr. Itu fakta. Mama asyik sama simpenan Mama si A, B, C, entah ada berapa," sambar Kahr.

Ry tatap Kahr yang rahangnya makin tegang serta wajahnya semakin merah. Kahr teramat marah. Ini termasuk pemandangan langka di mata Ry karena Kahr itu jarang marah.

"Mama tetap memikirkan kamu, Kahr." Ry membela diri.

"Omong kosong," ketus Kahr, kemudian bersiap meninggalkan kamar.

"Buang-buang waktu dateng ke sini. Bikin capek pikiran sama tenaga!" Kahr setengah berteriak sambil berjalan ke pintu.

"Kahr, Mama belum selesai!" Ry agak panik.

Anak itu berseru lantang bersamaan figurnya menghilang dari kamar. "Nikah lagi aja sana, Ma! Kalo perlu nikah sama semua simpenan Mama. Mau puluhan atau ratusan, terserah! Tapi, jangan undang Kahr. Kahr enggak bakal dateng ke pernikahan baru Mama!"

Tujuh detik dari itu, terdengar bunyi benda besar pecah menghantam lantai. Kahr barusan melampiaskan kekesalannya dengan menghancurkan guci antik berbahan keramik milik Ry.

"Anak itu ...." Pria tersebut terkejut mendengarnya dan spontan beranjak dari kasur.

Ry menahannya agar kembali duduk. "Biarkan. Terkadang Kahr bertingkah kekanakan kalau dia kesal."

"Kalau dibiarin terus, dia bisa makin seenaknya, Sayang! Anak berwatak keras kayak Kahr harus dikasih teguran keras juga," papar pria itu.

"Percuma." Ry merespons. "Hanya papanya yang bisa meredam amarah Kahr. Dia tenang ketika papanya masih ada. Semenjak kecelakaan itu, Kahr berubah."

"Jadi, jangan kamu pikir mudah menghadapi Kahr. Dia hanya satu, tapi rasanya aku menghadap sepuluh anak keras kepala. Masih bagus tadi dia mau bicara. Biasanya sama sekali tidak," lanjut Ry.

Ry pasrah dan akhirnya ia biarkan Kahr bertindak sesukanya. Ia bebaskan putranya melakukan apa saja. Bila sudah puas, Ry bisa mengambil tindakan sesukanya juga sebagai pembalasan.

"Sudahlah. Kamu diam saja di sini, temani aku sampai tidur. Jangan beranjak ke mana-mana." Kemudian Ry memejamkan mata.

ʚ༺❀༻ɞ

Zennor memandangi sebuah rumah cantik yang merupakan hadiah darinya untuk Ai. Ia sangat berharap Ai segera menempati rumah itu. Tak masalah bila bersama Laut.

"Saya ingin sekali Aequa menetap di Faigreene seperti yang seharusnya," kata Zennor.

Que yang terbang di sampingnya spontan menoleh. Ia baru akan memberi tanggapan, tapi terselak oleh suara riuh dari depan istana. Suaranya teramat bising sampai-sampai Que dan Zennor terkejut bersamaan.

"Suara peri? Kedengarannya mereka sangat banyak, Raja." Que mengernyit.

Zennor terbang lebih tinggi, tentu Que mengikutinya. Mereka melaju cepat menuju istana yang entah mengapa malam ini didatangi banyak sekali peri. Zennor tidak henti bertanya-tanya dalam hatinya.

Para peri terbang rendah nyaris menyentuh tanah. Mereka menunggu Zennor keluar, tapi ternyata Zennor muncul dari luar istana. Mereka begitu kompak menunjuk Zennor dan Que yang baru datang.

"Itu dia! Pengkhianat! Penghancur keharmonisan Faigreene!" Mereka memaki Zennor.

"Tidak pantas menjadi raja! Tidak layak menjadi pemimpin! Dia membela putrinya yang cacat! Dia memilih kehidupan di planet kita terancam punah dengan membiarkan Malaikat Maut datang!"

"Pernikahan putrinya akan menghasilkan peri-peri cacat. Hancur sudah kesempurnaan Faigreene! Semuanya telah rusak!"

Que tersentak mendengar banyak kalimat jahat untuk Zennor dan Ai. Tanpa berlama-lama, Que maju dan suaranya menggema menyuruh mereka diam. Ia bisa menjadi tegas bila perannya dibutuhkan Zennor sebagai pengawal.

"Putri Aequa tidak cacat! Berhenti berkata demikian!" sentak Que.

"Dia cacat! Apakah kau cacat juga? Buta? Tidak bisa melihat di punggungnya tak ada sayap?!" sahut satu peri.

"Kalian yang cacat! Fisik sempurna, tapi logika dan perasaan tidak ada! Cacat! Sangat-sangat cacat!" Que membalas.

Riuh semakin tak terbendung. Mereka geram mendengar Que dan itu memperparah keadaan. Peri-peri yang berdiri di barisan paling depan serentak mendorong pintu raksasa istana.

Pintu kokoh ini tidak akan terbuka semudah itu. Tenaga mereka akan terkuras untuk hal sia-sia, dan Zennor tak akan repot-repot meminta mereka berhenti.

"Istana bukan tempat untuk peri nakal yang tidak punya nurani! Marah terus saja! Itu tak akan membuat pintu terbuka! Itu tidak akan membuat Putri Aequa bercerai, atau membuat Malaikat Maut tidak datang dadakan lagi!" Que memekik.

Zennor lelah melewati hari berat seperti sekarang. Ia sedih karena Ai masih dibenci penghuni Faigreene. Andai mereka tau siapa kembaran Ai dan apa penyebabnya tak memiliki sayap.

"Turun saja dari kedudukanmu itu. Kami tidak sudi memiliki raja sepertimu!"

"Pergi dari Faigreene! Susul putri cacatmu itu!"

"Pergi dari Faigreene!"

"Pergi dari Faigreene!"

"Pergi dari Faigreene!"

"Kami tidak sudi memiliki pemimpin bodoh! Kami tak mau hidup di tengah kesengsaraan karena pemimpin yang egois!"

Zennor meraih pergelangan tangan Que ketika peri jantan itu hendak terbang menukik untuk membubarkan seluruh peri. Que telah siap badannya menubruk mereka hingga terpental, tapi tekad Que tertahan karena tak mendapat izin dari Zennor.

"Sebelum datang kemari, kami sudah membicarakan ini dari bulan-bulan lalu. Kami tidak bisa tenang! Kami ketakutan bila sewaktu-waktu Malaikat Maut datang lagi untuk melaksanakan tugas. Kami tidak mau mati cepat!" cetus peri.

"Anda turun jabatan sebagai raja, atau kami pindah ke hutan lain dan menjadi peri pemburu?! Kami buat planet ini menjadi gelap gulita!"

Zennor tak mengindahkan kalimat itu. Mustahil Zennor berhenti memimpin kerajaan yang telah dibangun tetua di keluarga Silvermoon sejak ratusan tahun lalu. Apalagi bila berhentinya dengan alasan konyol.

"Cepatlah! Turun jabatan saja!"

"Turun!"

"Turun!"

"Turun!"

Kesabaran Zennor terguncang. Dia tidak mau menambah rumit keadaan, maka Zennor mengajak Que masuk ke istana lewat pintu rahasia. Mereka terbang kencang ke bagian paling tinggi istana. Di situ terdapat pintu yang warna dan wujudnya menyatu dengan tembok.

"Jangan kabur!" Para peri kalang kabut.

Mereka berpencar mengejar Zennor dan Que. Belum ada tiga detik mereka terbang, semuanya berbarengan menghentikan gerak sayap karena lampu-lampu indah di depan istana mati total. Gelap gulita. Pantulan cahaya bulan ikut redup.

Terjadi kerusuhan di luar istana. Di tengah kehebohan itu Zennor berseru, hanya suaranya yang terdengar, wujudnya tersembunyi.

"Rakyatku yang tak beradab, jangan mengharapkan sesuatu yang mustahil. Saya tidak bisa meninggalkan kerajaan, tetapi saya bisa menciptakan gelap gulita. Maka, pulanglah dengan keadaan gelap gulita seperti keinginan kalian."

ʚ༺❀༻ɞ

Laut masih penasaran dengan sesuatu mirip galaksi di telapak tangan Ai. Sampai mereka tiba di tempat penginapan dan selesai mandi, Laut belum berhenti mengamati tangan istrinya.

Sekarang mereka berada di kasur, bersiap pergi tidur karena malam makin larut. Hening yang menenangkan ini tak mampu membuat Laut mengantuk, justru dia makin sulit memejamkan mata.

Ibu jari Laut memijat pelan telapak tangan Ai. Seraya itu ia amati wajah istrinya yang ternyata sudah terlelap. Cantik, manis, dan lugu. Barisan titik putih persis mutiara kecil di wajah Ai selalu berhasil meningkatkan pesonanya.

"Ini bukan gadis saya lagi," gumam Laut penuh arti.

Tatapannya itu dibalut rasa bangga memiliki Ai. Meski Ai sering bertingkah seperti anak-anak, Laut tak pernah malu akan hal itu. Sifat Ai tidak bisa disamakan dengan perempuan dewasa di Bumi. Seiring berjalannya waktu, Ai pasti bisa menyesuaikan diri dengan sendirinya.

Laut memandang Ai sebagai sosok dengan keindahan dan keunikan tak biasa. Indah yang tidak bisa ia temukan di tempat lain. Unik yang hanya tersisa satu di semesta.

Ia usap kepala Ai lalu mencium pipinya. Laut pastikan Ai tidur dengan tenang. Sentuhan lembut Laut merupakan kesukaan Ai, titik ternyaman Ai, dan yang paling Ai harapkan selalu menyentuhnya tanpa akhir.

Pandangan Laut turun ke tangan Ai yang berada dalam genggamannya. Kilauan cantik masih menghiasi telapak Ai. Saat di danau, Laut sempat mengira beberapa jam ke depan warna biru dan ungunya akan memudar, nyatanya makin terang.

"Ini apa, ya?" Pertanyaan Laut terulang dan tetap tak terjawab.

Pikirannya melambung ke sebuah ingatan. Laut membatin, Telapak tangan Mamiley juga ada simbol khas.

Amberley memiliki dua simbol di masing-masing telapak tangan. Sebagai Dewi Musim Dingin dan Dewi Kematian.

Laut tidak pernah melihat simbol-simbol di tangan Amberley secara langsung, ia mengetahuinya dari cerita Zae dan lukisan. Kendatipun Laut bisa membayangkan seelok apa simbol tersebut di dunia nyata.

"Apa ada hubungannya sama Mamiley?" Laut mengusap telapak tangan Ai.

Laut terus menebak-nebak, sampai tiba-tiba Ai terbangun dan yang pertama ia lihat ialah Laut sedang menilik telapak tangannya dari jarak dekat.

Gerak jari Ai yang membuat Laut tersadar istrinya bangun. Laut menoleh. "Keganggu, ya?" Ia spontan melepas genggamannya.

Ai menggeleng disertai mengulas senyum tipis. Ia tidak berkata-kata, bibirnya terkatup seperti menahan sesuatu yang hendak keluar. Kemudian Ai merangkak ke tepi kasur dan turun.

Istri Laut berlarian ke kamar mandi. Laut pikir Ai tidak tahan ingin buang air, namun yang Laut dengar malah kucuran air wastafel disusul suara Ai berusaha memuntahkan isi lambung.

Laut beranjak cepat. Ia susul Ai ke sana dan memastikan apa yang terjadi. Pintu kamar mandi tidak dikunci, jadi Laut langsung masuk.

"Kenapa, Sayang?" Laut bertanya, ia khawatir bukan main.

Ia terdiam sejenak melihat noda cantik di wastafel. Noda cantik. Warnanya betul-betul cantik, semirip corak galaksi di telapak tangan Ai.

"Perut Ai terguncang ... sepertinya mau meledak, Laut." Ai panik.

"Enggak, Ai. Kamu cuma muntah." Laut meredakan kepanikan Ai.

Aliran air membawa muntahan ke saluran pembuangan. Tubuh Ai gemetar lantaran kelewat cemas, lantas ia dipeluk Laut. Sebelumnya Ai tidak pernah mengalami muntah separah itu. Banyak dan warnanya tak lazim.

ʚ༺❀༻ɞ

Di lokasi lain, di sebuah pulau penuh salju, seekor serigala raksasa terdiam kaku menatap langit malam. Hewan menyeramkan ini tak lain dan tak bukan adalah peliharaan Atlanna, penjaga pulau, dan sahabat setia Amberley.

Mata tajam Fenrir memantulkan gemerlap indah yang bertebaran di langit. Sesekali Fenrir mengalihkan pandangan ke makam Amberley yang tidak jauh dari posisi ia duduk. Fenrir lihat refleksi langit pada permukaan makam putih Amberley.

Sekelebat cahaya terang mencuri perhatian Fenrir. Asalnya dari tanah dan sayap besarnya membawa dia menuju langit yang luas dan tak terbatas.

Fenrir kembali menengadah dan seketika melolong. Itu merupakan lolongan Fenrir paling lantang dan panjang selama ia hidup.

Dia seperti melihat sesuatu yang dirindukan sejak lama lalu merayakannya dengan cara melolong. Nadanya agak melirih, tapi binar di matanya menunjukkan Fenrir bahagia.

Ini perdana terjadi fenomena langit biru bercampur ungu di Pulau Levanna. Dan, pertama kali Amberley menampakkan diri di hadapan Fenrir.


🎀✨🤍✨🎀

Gimana chapter ini? thanks udah baca, vote, dan comment, Babygeng! 🤍

selamat berpikir tentang teori Scenic 🙂💜

next? wajib VOTE sekarang juga! klik bintang di pojokan ⭐️

spam "💜" di sini!
6K comments next yaa

——————————————
——————————————

‼️⚠️‼️

BABYGENG, karyakarsa AISEA kali ini aku selipin adegan Atlanna, Fenrir, dan sedikit Amberley sebagai pembukanya. ☔️

Harga: Rp4.000 / 40c bisa kamu baca berulang kali tanpa batasan waktu, asal akun kamu ga ganti yaa <3

rate 21+

Saranku: beli di web KaryaKarsa (jangan di aplikasi) biar enggak perlu ubah uang jadi coin, karena kalo begitu bakal lebih ribet dan lebih mahal. kalo dari web kayak kamu jajan online biasa~ 🤍 tapi kalo kamu maunya top-up di aplikasi, enggak apa-apa juga! 🤍 thank you!!

——————————————
——————————————

BABYGENG, Scenic ada versi AU-nya di instagram aku (radenchedid). Judulnya "Sea & Sky", "Sea & Sky 2" dan "Aisea". Alur beda sama yang di wattpad. Di IG itu buat hiburan aja~ hayu bacaaa 🥰


——————————————

jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)

Thank you, Babygeng 🦋✨🍃

((( akun Janessa baru lagi. usernamenya riz.janessa )))

Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—

Continue Reading

You'll Also Like

2.9K 2.1K 12
Jembatan Seoul, entah kenapa aku selalu merasakan keganjalan saat melewati jembatan ini. Setiap kali aku melangkah, akan nampak dengan pudar kepingan...
14.3K 1.7K 19
Apa jadinya jika dua orang yang saling membenci harus terpaksa menikah karena insiden pembunuhan misterius yang terjadi disekitar mereka? Gerlan amat...
286 116 7
Namanya Nala. Perempuan yang sekelilingnya biasa saja, tidak ramai. Hanya sepi sendiri. Perempuan yang susah jatuh cinta. Tidak, hanya sulit untuk di...
1.2M 199K 45
[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ Brittany Amberley Raja. Lahir sebagai Dewi Kematian dan Musim D...