VIA Bagian Pertama

Autorstwa dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... Więcej

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
10 - usil
11 - bodoh
12 - konyol
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

13 - gemas

8 0 0
Autorstwa dirgita

"Baiklah, kuterima...."

Alwi membatu. Dadanya sesak, seakan-akan dihimpit isi dunia. Terlebih, ketika jemari sang dosen akhirnya menarik lembut kumpulan mawar yang ia genggam.

Wiwid turut syok. Kepalanya pusing. Dengan mata yang berkunang-kunang, ia tersandar di tiang koridor. Kacamata bulatnya ia lepas, ikatan rambutnya ia gerai.

Mawar-mawar itu kini berpindah di dekapan Mita. Tak seperti mawar-mawar sebelumnya, yang akan ia bagi-bagikan gratis. Kini, kumpulan beberapa tangkai bunga uluran Alwi, sepertinya akan ia simpan baik-baik.

Bibir Mita menggores senyum. Tampak tulus dan anggun. Namun bagi Alwi, justru sungguh menyayat perasaannya. Dan sembari hanya tersenyum, Mita kembali mengayun langkah. Ditelantarkannya Alwi bersama tabuh-tabuh gendang perasaan hancur yang semakin keras.

Mita dan Danti akhirnya semakin jauh. Sementara Alwi, masih serupa patung batu. Wiwid menghampirinya dengan langkah yang terasa gegar. Disentuhnya pelan pundak Alwi. Namun, pemuda itu terus bergeming. Wiwid pun hanya bisa menunduk tanda turut berduka. Ia lalu berputar hendak beranjak.

Genggaman tangan tiba-tiba mengurungkan niatnya. Wiwid menoleh. Kedua tangan Alwi tidak lagi mengacung. Keduanya telah berlabuh, dan salah satunya kini menggenggam hangat pergelangan Wiwid.

Mata Alwi yang semula kosong mulai pendar berkaca-kaca. Keduanya sontak saling rangkul dan terisak.


***


Antara Wiwid dan Alwi sebenarnya bukan tetangga jauh. Semenjak Alwi berkuliah di universitas yang sama dengan Wiwid – Universitas Swasta Pontianak – Alwi mengontrak salah satu rumah kepunyaan orang tua Wiwid. Setidaknya, ada sepuluh rumah yang posisinya dalam satu kompleks tanah milik Juragan Darsono, ayah Wiwid. Salah satunya yang terdekat, bersebelahan rumah, adalah yang dikontrak oleh Alwi. Bahkan, jendela kamar mereka saling berhadapan.

Wiwid sempat protes kepada sang ayah, takut aktivitasnya bisa dimata-matai oleh Alwi.

"Dia, kan, cowok, Pak. Wiwid risih. Lebih-lebih menurut statistik, 80 persen laki-laki itu hidung belang, mata keranjang, dan tidak bisa dipercaya." Wiwid menyerang ayahnya seusai makan malam, dengan bukti empiris asal comot di internet.

"Halah, kamu itu!" cengkok Jawa sang ayah terdengar kental. "Belum berkenalan sudah berkata jelek. Anaknya baik. Selain bapakmu ini, dia pasti masuk kategori yang sisa 20 persen. Tidak hidung belang, tidak mata keranjang, dan dapat dipercaya."

"Paling-paling cuma luarnya saja...!" Bibir Wiwid sudah serupa bibir ikan mas koki.

"Halalalah!"

Wiwid mendelik. Ayahnya tiba-tiba meluncurkan ajian pamungkas saat berdebat. Jika diteruskan, ayahnya bisa berubah menjadi pelempar apa saja. Apa saja yang ada di dekatnya.

"Pokoknya, Bapak ndak suka kamu ngomong begitu! Titik! Kamu harus terima. Lagi pula, kamu sendiri yang minta rumah di depan jendela kamarmu itu secepatnya dikontrak orang, bukan dihuni hantu."

Wiwid hanya bisa menunduk, sembari matanya mencuri lihat. Bapaknya sedang duduk di kursi rotan, di depannya ada meja, di atasnya ada segelas kopi. Bapaknya sudah menyalakan lampu kuning tadi. Kalau ia menyahut, bisa jadi benda-benda yang baru saja ia lihat akan terbang ke arahnya.

Lagi pula, apa yang dikatakan ayahnya itu sedikit ada yang benar. Rumah di depan jendela kamarnya itu menyimpan cerita tragis. Seorang mahasiswi yang mengontraknya empat tahun lalu ditemukan tewas gantung diri. Dan setelahnya, cerita seram mulai beredar.

Singkat kata, tidak ada yang tahan tinggal di rumah itu untuk waktu yang cukup lama. Setidaknya, setelah tiga minggu mengontrak, pasti sudah hengkang karena takut. Terlebih, selama ini yang suka mengontrak rumah itu adalah para gadis. Hanya Alwi pengontrak laki-laki pertamanya. Dan, Alwi bisa dikatakan awet di rumah itu. Sudah setahun lebih dan sepertinya tidak bermasalah dengan isu roh gentayangan.

Oleh karenanya, pagi-pagi sekali ketika embun sudah mulai tipis, Wiwid bisa menemukan wajah Alwi terpajang di depan jendela rumah seberang. Tanpa ekspresi. Menatap langit.

Penasaran, Wiwid yang belum cuci muka karena baru bangun tidur turut mengekori arah mata Alwi. Yang terlihat oleh matanya hanyalah langit yang mulai membiru dengan dihiasi bercak-bercak putih serta beberapa titik berpijar redup.

Wiwid menggeleng. Ia segera pergi ke kamar mandi. Sepuluh menit berlalu, ia muncul lagi dengan wajah sedikit segar. Kedua tangannya cekatan menghimpun rambut dengan karet gelang di belakang kepala. Ia juga menyempatkan diri meraih ponsel untuk mengecek pesan-pesan yang masuk selama ia tidur.

Ada sebuah pesan yang membuatnya merenung sejenak. Pengirimnya Putri, si kembang kampus.

"Wid, Bu Mita lagi nyari-nyari mahasiswa yang punya kontaknya Alwi. Aku bilang saja Alwi itu tak punya ponsel, tak punya akun medsos. Tapi, dia dekat sama kamu."

Wiwid tersedak. Lekas ia membalas pesan. "Kok, bilang begitu?"

Tak disangka, langsung mendapat respons. "Kan, kamu rumahnya sebelahan dengan Alwi. Rumahku juga sebelahan dengan Bu Mita."

"KEBETULAN MACAM APA INI?????" Wiwid melengkapi pesannya dengan emotikon wajah marah.

"Kasihan Bu Mita, Wid. Sepertinya putus asa banget. Tak ada ruginya, kan, bantu orang yang sedang kasmaran?"

Wiwid manyun. Belum sempat ia membalas, sudah ada pesan baru.

"Kontakmu sudah aku share ke Bu Mita. Ini kontak Bu Mita. Di-save, ya?"

Wiwid mendelik. "Kau, nih! Bise gituk, ye?"

Putri kemudian mengiriminya emotikon wajah menjelir. Di bawahnya, menyusul pesan lain.

"Bu Mita bilang, barang siapa yang berbaik hati menghubungkannya dengan Alwi, akan diberi kuota."

"Eh, benarlah?"

Putri mengiriminya capture sebuah percakapan. Setelah zoom in dan zoom out berkali-kali, Wiwid yakin itu percakapan antara Putri dan sang dosen baru. Percakapan itu terjadi tadi tengah malam, saat dirinya tengah asyik berkelana di alam mimpi. Dalam percakapan itu, Mita sadar akan merepotkan mahasiswa yang membantunya. Jadi, ia akan memberikan paket data sebagai bentuk kompensasi.

Wiwid pun menyeringai. Ia berhenti memajukan bibir. Segera ia ketuk kontak Mita, lalu mengirim pesan basa-basi mengenalkan diri. Tidak lupa pula ia sebut dirinya bertetangga dengan Alwi. Ia siap membantu jika diperlukan.

Sembari menunggu pesannya dibalas, yang mungkin tidak akan secepat Putri, Wiwid berlenggang mendekati jendela. Wajah Alwi ternyata masih terpampang. Matanya masih lurus ke langit. Mata itu pelan-pelan mulai berpendar.

"Hei!" Wiwid tergoda untuk menegur pemuda itu. Pelan, Alwi menoleh. "Jadi cowok, kok, cengeng?"

Alwi malah mengangkat sebuah buku. Wajahnya kini tak terlihat ditutup sampul. Lalu, sedikit samar terdengar suara dari balik buku tersebut, "Kasih, jika aku tak bisa menggapaimu, lebih baik aku mati saja...!"

"Idih!" Wiwid bergidik kaget. Ditariknya sebuah kamus tebal dari meja. Dilemparnya begitu saja ke arah Alwi. Dengan mulus, menghantam wajah dan membuat Alwi terjengkang.

"Aduh...!" Wiwid kini malah meringis. Tak disangkanya ia mampu melempar begitu tepat.

"Apa-apaan?" Alwi tiba-tiba muncul.

"Biar situ sadar!"

"Sadar dari apa?"

"Ratapan anak tiri!" jawab Wiwid asal. "Kau, kan, sudah dapat Ibu Mita. Kenapa masih ngarep Danti? Kemaruk!"


***


"Hatchieh!" Danti yang tengah menggosok gigi tiba-tiba bersin.


***


Mita berhenti mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seperti ada sesuatu yang mengitari pendengarannya.

"Telingaku, kok, berdengung, ya? Kemasukan air?"


***


Wiwid sempat bersyukur. Buku yang ia lempar tadi pagi bukanlah buku materi pokok Ekonomi Makro. Pasalnya, buku hasil meminjam tersebut menyebelah dengan kamus. Jika ia lempar, sudah pasti ringsek. Dan jika ringsek dengan lembarannya yang burai, bisa menimbulkan masalah gawat. Dijamin, ia bakal terkena embargo meminjam buku dari Via. Terlebih, ia berjanji mengembalikan buku tersebut keesokan hari. Meski bukan jurusan yang ia ambil, Via memiliki koleksi buku dari mata kuliah khusus jurusan-jurusan lain, menjadikannya tempat favorit untuk meminjam bahan belajar, selain perpustakaan.

Di antara seliweran mahasiswa di lorong kampus, Via adalah salah satunya. Rasa tak begitu enak yang membelit di hatinya memang berangsur pergi. Pagi ini, ia dapat kabar bahwa para pemuda yang tulangnya telah ia buat remuk sudah berangsur pulih. Lebih cepat dari yang dibayangkan.

Namun, masih ada yang mengganjal. Alangkah baiknya pagi ini bila ia bisa berjumpa dengan Andre. Mungkin, rasa itu akan hilang dengan cepat. Ia jadi tidak perlu khawatir akan memporak-porandakan isi kampus.

Sayangnya, meski setahu dirinya Andre memiliki jadwal kuliah hari ini, mobil milik kakak tingkat sekaligus kekasihnya itu tidak tampak di pelataran parkir. Sudah pasti pula Andre tidak menyambangi kampus. Ada apa gerangan? Semalam tidak menjemput, pagi ini tidak kuliah, chat dan SMS tidak dibalas, ketika ditelepon nomornya malah tidak aktif.

"Kak Via, ada apa?" Wiwid tiba-tiba muncul.

Refleks, Via menjawab, "Entahlah, Andre sama sekali tidak ada kabar."

"Waduh!" Wiwid pun kaget dengan apa yang ia dengar. Via segera menutup mulut. Akan tetapi, ucapannya itu sudah terlanjur merasuk di gendang telinga Wiwid.

"Kakak punya masalah dengan Bang Andre? Ya, Tuhan. Sungguh suatu keajaiban. Hari ini, dua orang kukenal, masing-masing punya masalah dengan asmara mereka. Jangan-jangan, kalian jodoh."

"Sembarangan!" tegur Via. "Aku tidak punya masalah dengan Andre."

"Tadi, katanya...?"

"Yang mana?"

Wiwid berpikir sejenak. "Sudahlah, itu bukan urusanku," putusnya kemudian. "Tapi, Kakak mesti ingat pesanku kemarin. Kumis kucing garong Bang Andre mulai kelihatan. Kau harus segera ambilHarus cepat digunting." Lagi, ia memperagakan dua jemari yang saling mengatup.

"Kamu ini ada-ada saja! Ngomong begitu lagi, aku marah, nih!" Via menggembungkan pipi.

"Ih, ih, gemasnya...!" goda Wiwid. Dagu Via juga sempat ia cuil.

Via mendengkus. Dicubitnya pinggang gadis itu. "Aku serius tahu!"

"Aduh, beneran dicubit!" Wiwid lekas mengusap-usap bagian pinggang yang sempat dicapit oleh Via. "Pake kuku lagi!"

Via kontan menyahut, "Jangan fitnah, ya! Ini, lihat! Aku pakai kuku apa tidak?" Kembali, ia menjumput pinggang gadis usil itu dengan mengatupkan ujung ibu jari dengan sisi ruas telunjuk. Kali ini, lebih lama. Langkah mereka di lorong juga sampai berhenti.

"Iya, iya, iya! Ampun!" Wiwid menepis-nepis tangan Via, tetapi Via tak mau lepas. Mahasiswa lain yang melintas cuma bisa geleng-geleng.

"Lebai! Mana sakit!" ejek Via.

"Memang ndak sakit, Kak, tapi geli! Aku nanti pipis di celana!"

"E-eh?" Via seakan kaget. Cepat ia melepas jepitan jemarinya. Matanya lalu menyisir lantai lorong, terutama susunan ubin di bawah kaki Wiwid. Kalau-kalau sekiranya ada genangan.

Tapi, kering.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

1K 130 30
Jaka El Wilson adalah seorang kesatria yang memiliki darah campuran Jawa × Inggris. Banyak sekali masa-masa sulit yang dialaminya dari ia kecil hingg...
400K 35K 55
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
69.8K 6.9K 76
#1 Tzukook (13-7-2019) #1 bangtwice (25-7-2019) Masih ingat kan kebencian Tzuyu yang malah membawanya pada kebenaran yang begitu mengejutkan untuknya...
6.9K 812 42
Ada yang salah dengan hubungan kami Ada sesuatu yang tidak beres padanya Ada sesuatu yang sama sekali tidak kumengerti Salah siapa? Bukankah ia yang...