VIA Bagian Pertama

By dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... More

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
10 - usil
12 - konyol
13 - gemas
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

11 - bodoh

10 0 0
By dirgita

Tiga jam lalu, setangkai mawar merah tergeletak tenang di atas meja kerja Mita. Satu jam kemudian, sebuah vas bertengger di dekat bunga itu. Dan kini, ketika Mita kembali dari ruang kelas menyampaikan materi kuliah, mejanya yang rapi telah berubah bagai taman kota.

"Aku rasa, aku dapat meja yang salah. Mejaku sepertinya masih bagian Taman Alun-Alun Kapuas."

Komentar pelan Mita ternyata didengar dosen wanita lain. Ia duduk di kursi yang agak jauh, tetapi masih bersebelahan. "Kau tidak salah dapat meja," tegurnya. "Yang salah itu dirimu sendiri."

"Aku...?" Mita bertampang bingung.

"Di universitas ini, ada sekitar dua puluh dosen pria yang masih lajang. Beginilah jadinya jika ada dosen wanita lajang lainnya yang cukup bening."

Mita menghela. Ia malah lunglai di depan warna-warni kelopak bunga.

"Bunga-bunga ini harus aku apakan?"

"Buang saja," komentar rekannya yang sebaya itu. Ia kembali menghadap laptop dan mulai mengetik.

"Dibuang?" Keberadaan bunga-bunga itu malah membuat Mita tidak sanggup duduk di kursi. Ia masih berdiri di depan meja kerjanya.

"Jangan memberi harapan jika kau memang tidak suka. Jadi, buang saja."

"Jika nanti aku diculik, bagaimana?"

Ucapan Mita membuat sang rekan berhenti mengetik. Ia terbatuk-batuk, lalu cepat menyambar segelas teh hangat yang sudah ada di atas meja. "Jadi orang, kok, polos banget? Setidaknya, mereka orang terpelajar, Mita. Meski masalah hati akan membutakan mereka, kemungkinannya sangat kecil. Nol koma nol nol nol noooool satu persen."

Mita memutar sekeliling. Hanya ada beberapa dosen di meja mereka masing-masing. Mereka pun sepertinya tidak ingin ambil peduli, tampak sibuk dengan pekerjaan mereka, persis seperti rekannya itu yang bernama Yasmin Melati, M.I.Kom. Dosen wanita di sebelahnya itu sekarang malah memasuki halaman depan situs jejaring Facebook, lalu membuka grup "Dikatakan Benar juga Tidak Salah".

Mita menghela, kemudian merangkul bunga-bunga itu.

***

"Jadi, nama bibiku itu Rimita Rivani?" Danti membimbing Eldien menyusuri koridor. Ibu tirinya langsung menodong untuk diantar ke ruang dosen begitu keluar dari mobil.

"Dan ingat, nama panggilannya itu Mita, bukan Rimi. Ia benci dipanggil begitu. Entah kenapa."

"Tapi, aku sangsi. Siapa tahu Bibi tidak ada di kampus sekarang."

Eldien berhenti. Danti menyusul.

"Benar juga. Lalu, harus bagaimana?"

"Ibu Eldien bilang, Bibi pernah menelepon. Mengapa tidak ditelepon saja?"

"Benar juga...!" Eldien merogoh tas kecil yang ia sandang. Sebuah ponsel ia ambil. Jemarinya mengetuk layar, lalu mulai menggulir mencari-cari sesuatu. "Bodoh sekali tidak kutelepon dari tadi," ratapnya kemudian.

Danti menggeleng-geleng. Seandainya Eldien belum menjadi ibu tirinya, mungkin sudah ia ledek habis-habisan.

***

Sekitar dua tikungan lorong dari mereka, seorang wanita terlihat ramah membagi-bagikan banyak tangkai bunga. Mita merasa sayang untuk membuang bunga-bunga itu. Mereka masih terlihat segar. Dari pada masuk ke tong sampah, lebih baik jatuh ke tangan para mahasiswa. Hitung-hitung, sebagai salah satu metode pendekatan.

Sementara bertingkah beberapa puluh meter, ada Wiwid yang melangkah tersendat-sendat. Sesekali ia berputar ke belakang, untuk memastikan kondisi wajah Alwi yang sedari tadi menjadi ekor. Tahu bahwa semua bunga yang ada di toko sekitar kampus diborong entah oleh siapa, menjadikan Alwi jengkel setengah mati. Bunga terakhir yang ia miliki telah rusak gara-gara diseruduk Wiwid di halaman parkir.

"Jangan menatapku begitu terus...!" Wiwid terdengar merengek. Alwi menatap dengan sorot mata tajam. Mukanya bertekuk-tekuk bagai papan penggilasan.

"Aku janji akan ganti bunga itu. Tapi, tidak sekarang. Kau lihat sendiri, kan? Bunga-bunga di toko sudah habis. Aku pernah lihat ada dosen yang beli banyak. Aku rasa, bunga-bunga itu untuk Ibu Mita. Dia, kan, masih lajang. Cantik pula."

Wiwid lagi-lagi berputar. "Menurutmu, Ibu Mita itu bagaimana?"

Wajah Alwi kian semrawut, mirip kondisi lalu lintas di sekitar Jembatan Kapuas 1 pada jam masuk dan pulang kantor. "Jangan ganti topik...!" gerutu Alwi.

"Oke..., oke.... Tapi, kau harus sabar!"

"Tidak!" Alwi membalas singkat. "Jika tidak kau ganti hari ini juga, kau akan aku cekik. Aku tidak main-main."

Wiwid memegang batang lehernya sendiri. "Iya, aku paham. Sudah aku rasakan tadi."

"Lalu, kau mau ke mana sekarang?"

"Aku tidak tahu! Ini gara-gara muka jerukmu itu, aku sendiri sampai tidak tahu mau ke mana!"

Giliran Wiwid yang terlihat marah. Wajahnya kini tak kalah ribet dengan alur-alur jengkel di wajah Alwi. Mita yang hanya tahu mereka belum mendapat bunga, bergegas menghampiri mereka. Setangkai bunga mawar akhirnya meredakan wajah kusut milik Wiwid.

"Salam kenal, nama saya Rimita Rivani. Saya dosen baru di sini. Mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi dan Analisis Sistem Informasi." Mita begitu ramah. Wiwid sempat terbengong, dan akhirnya menyahut tak kalah bersahabat.

"Senang bertemu dengan Ibu. Saya Wida Safrina. Dan sahabat saya yang cemberut itu namanya Alwi Awalan."

"Alwalan...," geram Alwi, meralat namanya yang dikorupsi satu huruf oleh Wiwid.

"Kalau begitu, mohon maaf jika saya mengganggu. Saya permisi dulu untuk membagikan bunga kepada yang lain."

"Terima kasih, Bu."

Mita beranjak. Bunga-bunga di pelukannya masih ada sekitar dua puluh batang. Wiwid yang segera menyadari sesuatu, bergegas mengejar Mita.

Mita berhenti dan menoleh. "Ada apa, Wida?"

"Hehe...," Wiwid nyengir dahulu dengan napas kembang kempis. "Maaf, Bu. Jika tidak keberatan, boleh saya minta lima tangkai bunga lagi?"

"Untuk apa?" Mita malah heran.

"Ng..., itu...."

Belum sempat Wiwid berbohong bahwa ia ingin membantu Mita menyebarkan bunga, lima batang bunga yang ia pinta telah tersodor.

"Ambil saja...."

"Terima kasih...!"

Wiwid kembali ke Alwi. Dengan bangga, ia menyerahkan bunga hasil meminta pada sang dosen baru.

"Lain kali, kalau lari, jangan jelalatan!" Alwi sedikit masih merasa kesal.

"Oke...!" Wiwid mencoba mengalah. Ia bisa saja menyahut. Tetapi belajar dari pengalaman, sikap ceplosnya itu malah dapat menambah masalah.

Mereka kembali menyusuri lorong. Kali ini, dengan langkah lebih santai.

"Hei, bunga itu sebenarnya untuk siapa?" Giliran Wiwid menjadi ekor. Pertanyaannya sama sekali tidak disahut oleh Alwi. "Pasti untuk Kak Danti, ya?" Wiwid mencoba menebak.

"Memangnya, kenapa?"

"Aku heran, bagaimana kau bisa jatuh hati pada gadis itu? Kak Danti tomboi, ia kasar sama cowok."

"Namanya juga cinta."

"Ih!" Wiwid bergidik. "Eh, jangan pikir aku tidak tahu, ya. Kau itu selama ini menguntit Kak Danti, kan? Bahkan, kau ikut semua kegiatan-kegiatannya. Tapi, apa yang kau dapat? Kau dilempari saat main basket, ditendang saat latihan karate. Mengapa kau tidak pilih... yang itu saja?"

Keduanya kembali berhenti. Dalam dua detik, dua pasang mata tersebut bertumpu pada suatu sosok gadis dari lorong di depan.

"Putri?" Alwi cukup mengenalnya. Mereka satu kelas, satu angkatan, satu prodi, satu fakultas.

"He-e. Ratu kampus itu. Dia cantik."

"Danti juga cantik."

"Dia kaya."

"Danti juga kaya."

"Dia pintar."

"Danti juga pintar."

"Dia lembut."

"Ng...."

"Mengapa tidak dia saja? Putri paket komplit." Wiwid secara terselubung mempromosikan teman sekelasnya sendiri semasa SMA.

Alwi menarik napas. Kerutan di wajahnya telah cukup banyak hilang sekarang.

"Aku akan menghitung sampai tiga. Seorang pemuda pasti akan menghampiri Putri. Satu..., dua...."

Belum sampai pada hitungan ketiga, seorang mahasiswa benar-benar menyapa putri. Mereka pun terlibat percakapan. Sesekali tertawa kecil dan terlihat begitu akrab.

"Aku tahu diri. Kembang kampus begitu mana mungkin single. Dan menurut survei, masih banyak mahasiswa di kampus ini yang menanti dirinya jomblo. Meski kami satu kelas, aku selalu jaga jarak. Aku tak mau ambil risiko. Aku tak mau bersaing dengan mereka."

"Jadi, alasanmu jadi ekor Danti, karena cari aman?" simpul Wiwid.

"Bukan hanya itu, aku memang benar-benar suka Danti."

"Ya, Tuhan. Ternyata, masih ada pemuda bodoh yang hidup di dunia ini," sindir Wiwid. "Mengapa tidak Engkau musnahkan saja pemuda bodoh ini, Tuhan? Ikhlas kamek kalau die balek agen."

"Eh, mulut! Harap dijaga, ya, Mbak!"

"Awokwokwok!" Wiwid tertawa. Benar-benar tertawa awokwokwok. Membuat Alwi sangat ingin merengkuh bibirnya dengan ujung kuku.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 3.7K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
5.6M 274K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
408K 35.8K 56
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
69.8K 6.9K 76
#1 Tzukook (13-7-2019) #1 bangtwice (25-7-2019) Masih ingat kan kebencian Tzuyu yang malah membawanya pada kebenaran yang begitu mengejutkan untuknya...