VIA Bagian Pertama

By dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... More

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
11 - bodoh
12 - konyol
13 - gemas
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

10 - usil

8 0 0
By dirgita

Bibir mulut Andre termonyong-monyong sembari menjongkok di depan sebuah mobil. Bibirnya yang sudah maju bersenti-senti itu seperti hendak diadu dengan bumper di depannya. Dua mahasiswi cekikikan melihat polahnya di lapangan parkir kampus.

Terusik, Andre pun menoleh. Matanya membuka lebar. Gadis-gadis itu segera menyingkir, takut Andre akan menggigit.

Tak berapa lama, Andre kembali manyun. Akan tetapi, sebuah getaran ponsel menyentak dirinya untuk segera berdiri. Ia rogoh ponsel dari saku celana. Sebuah nama yang membuatnya sumringah terpampang jelas di layar.

Andre menyapa panggilan telepon yang masuk.

"Halo, Cinta."

"Iiih, Sayang. Kok, kamu gemes banget, sih?"

Andre memainkan alis, seolah aksinya bisa dilihat pendengar. "Gue gitu, loh!"

"Sayang, nanti malam tetap jadi, kan?"

Andre seketika mengernyit. "Nanti malam? Apa? Ngapain?"

"Kamu lupa?"

"Aaah! Iya, iya. Nggak, kok. Ingat."

"Ih! Kamu suka gitu!"

"Buat kamu, apa, sih, yang nggak?" Andre mulai tak jelas.

"Jadi, nanti malam tetap jadi, ya?"

"Oh..., pasti. Konsernya cuma malam ini. Kalau besok, kita cuma nonton orang bongkar pentas. Memangnya, kenapa? Kamu tidak sempat?"

"Justru itu! Lebih dari sempat, Sayang! Kalau perlu, siang nanti kita sudah berangkat."

"Ya, nggak gitu, dong. Kita, kan, sama-sama ada kuliah sampai sore. Pendidikan lebih penting."

"Ih, kamu, kok, keren banget?"

Andre lagi-lagi memainkan alis. "Keren banget gue," benaknya.

"Kamu telepon cuma mau tanya itu?" susur Andre kemudian. "Kayaknya tadi kedengaran gelisah? Tenang, aku tetap jadi, kok. Nanti malam aku jemput."

"Hm..., bukan begitu. Kamu tahu Alex?"

"Alex? Siapa?"

"Mantan cowokku, ih!"

"Ooo...! Kenapa Alex?"

"Alex katanya mau jemput aku malam ini. Dia mau aku balikan sama dia. Aku nggak mau! Kamu ngapain kek supaya dia nggak ganggu-ganggu lagi. Aku, kan, udah jadi punya kamu."

Andre berdehem. "Tenang..., tenang.... Selama ada aku, preman kampung itu tidak akan dapat mendekatimu."

"Preman kampung mana?" Suara usil memutar leher Andre. Wiwid, mahasiswi adik kelasnya itu memainkan alis dengan nakal.

Via yang kebetulan bersamanya, segera menegur, "Tidak baik menyela telepon orang!"

Wiwid malah menyeringai.

Melihat kedatangan Via, Andre bergegas menurunkan ponsel. Jari jempol kanannya refleks menekan tombol putus.

"Aku yakin, yang di telepon itu selingkuhan Bang Andre. Hati-hati, Kak!" ingat Wiwid.

"Apa-apaan, sih?" balas Via. Ia tidak ingin percaya.

"Sekadar jaga-jaga. Dari sini, aku sudah melihat kumis kucing garong di wajah Bang Andre."

"Sekali lagi ngomong aku lempari ponsel!" Andre mengancam. Tangan kanannya sudah siap melempar benda yang ia genggam.

"Ih, takut...!" Wiwid berlari ke belakang Via.

"Untung cewek! Kalau cowok, kugantong kau!"

Wiwid makin menempel ke punggung Via. "Kak Via, Kak Via. Kenapa bisa dapat cowok seram begitu?"

Via pun menoleh. "Andre baik, kok! Kamu itu yang usil!"

Wiwid manyun.

"Kalau usil lagi, aku minta balik bukunya!" Via turut mengancam, dengan maksud menjadi penengah.

Sontak, Wiwid menyatukan dua telapak tangan dan memohon, "Please..., jangan. Aku sangat perlu buku ini."

"Bagus. Kalau begitu...?"

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

Via mengheran. "Eh, sudah mau pergi? Katanya tadi mau tanya-tanya bahan makalah."

"Hehe. Aku sayang nyawa, Kak. Jadi, aku mau menyelamatkan diri. Aku chat kalau ada perlu!" Ia pun permisi meninggalkan tempat.

Tapi belum jauh, ia sudah berjalan mundur. Ditepuknya pundak Via. "Kak, Kak. Jaga Bang Andre baik-baik. Kalau kumis kucing garongnya muncul, cepat-cepat digunting!"

Wiwid memperagakan sebuah gunting dengan dua jari mengatup. Mata Andre pun melebar. Bibirnya mengernyit seperti ada sepotong kumis yang lentik.

"See you!" Wiwid melejit. Ia berlari-lari kecil. Setelah agak jauh, ia menubruk seorang pemuda hingga tergolek nahas. Mawar yang ia bawa ikut terjatuh dan rusak. Wiwid ditodong untuk mengganti.

Andre menggeleng. Perlahan, langkahnya mendekati Via.

"Sejak kapan gadis usil itu dekat denganmu? Kalian, kan, beda prodi, beda fakultas juga."

"Sejak awal semester. Dikenalkan kenalanku."

Andre menatap layar ponsel untuk sekejap. Usainya, alat komunikasi tersebut masuk ke dalam saku.

"Maaf...," sela Via.

Andre menoleh.

"Maaf.... Wiwid tadi menyela. Pasti telepon penting."

Andre berdecak, lalu menggeleng. "No problem. Aku nanti bisa telepon balik."

"Aku juga minta maaf sebelumnya, karena menanyakan ini."

"Apa? Kok, jadi formal banget ngomongnya?"

"Pesan-pesanku tadi malam..., kenapa tidak kau balas?"

"Ha?" Andre seketika mematung. "Pesan yang mana?"

"Aku tanya apakah jadi menjemputku?"

"Aaah! Itu! Iya, itu!" Andre pun menepuk-nepuk keningnya. "Aduh, iya. Handphone yang itu rusak. Nomornya masih nempel di handphone lama. Ini aku pakai handphone baru, nomor baru. Memanglah, ya. Pakai eSIM, tuh, ribet! Kalau nanti operator menawarimu konversi ke eSIM, jangan mau!"

Via tak menggeleng, tak juga mengangguk. Ia hanya membalas dengan suara pelan, "Setidaknya, kabari aku jika tidak jadi menjemput."

Air muka Andre sontak berubah. Secepat kilat, ia memelas. "Ya, Tuhan. Via..., aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf soal ini. Tadi malam, aku dapat musibah. Mobilku mogok. Dan sekarang, ia mogok lagi. Jangan-jangan, untuk malam ini, aku tidak dapat menjemputmu."

Via diam sesaat. Ia melihat ke arah mobil di depannya. "Oh...."

"Iya, maaf, ya?"

Via menghela. "Iya, tidak apa-apa. Malam ini, aku bisa pulang sendiri."

"Gadis pintar!" batin Andre.

"Oh iya, aku permisi dulu." Via beranjak. Wajahnya mendung karena perasaannya masih terasa tidak enak. Panas tubuhnya masih belum turun dan perutnya sedikit mual. Rasa nyeri, walau tidak sesakit semalam, kadang serasa memijit-mijit isi kepalanya.

Melihat mendung itu, Andre merasa tidak enak. Buru-buru ia mencegat Via.

"Aku sungguh menyesal. Bagaimana kalau aku traktir?"

"Tidak perlu."

"Ayolah, jangan buat diriku ini tidak enak perasaan. Wajahmu terlihat sedikit kusam dan harus disiram dengan yang segar-segar. Ayo, kita cari es krim!"

Andre menyeret Via menjauh dari lapangan parkir.

***

Aku baru saja dapat telepon dari kantor. Katanya, dua jam lagi aku harus bertemu klien yang cerewet."

Eldien mencoba mengikuti langkah Danti di pelataran parkir. Agenda jalan-jalan bersama sudah berakhir siang ini. Danti ada kuliah. Dan secara menakjubkan, Eldien juga harus pergi ke kantor, meski sudah izin cuti. Cutinya sendiri potong kompas, langsung di-acc suami sendiri.

"Sudahlah...!" Eldien membatin. Yang penting, ia sudah memiliki waktu untuk kembali mendekatkan diri pada Danti. Walau, waktu yang ada tidak seberapa banyak.

Usai menjelajahi beberapa tempat hiburan keluarga, Danti kini terlihat mengincar sebuah mobil sedan hitam metalik di pelataran parkir pusat perbelanjaan. Sebuah tombol di gantungan kunci ia tekan. Alarm singkat terdengar dari mobil yang ia hampiri. Bergegas ia mengambil tempat di belakang setir, disusul Eldien di kursi samping.

"Kenapa ngotot ikut denganku ke kampus? Aku bisa antar Ibu Eldien ke kantor." Berpikir tidak akan ke mana-mana, Eldien meninggalkan mobilnya di garasi rumah. Praktis, kegiatan hari ini bergantung pada kemurahan hati Danti yang dermawan.

"Apa aku belum pernah cerita, ya?" Eldien malah ikut bertanya.

"Cerita apa?" Danti menoleh dengan kening berkerut.

Eldien balas menatap matanya. Untuk beberapa detik, mereka hanya saling pandang.

"Oh iya, aku lupa...!" Eldien akhirnya memutar wajah ke dasbor. "Nyalakan saja mobilnya. Akan kuberi tahu sembari jalan."

"Baiklah...." Danti memutar starter. Mesin menderu. Mobil mulai bergerak meninggalkan parkir.

Setelah meluber masuk jalan raya, Eldien pun membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan, "Apakah di tempatmu kuliah ada dosen baru?"

"Hm...?" Danti sedikit mengingat-ingat. Jumlah dosen di tempat ia berkuliah tidaklah sedikit. Sebagian di antaranya sama sekali belum pernah ia lihat karena tidak membimbing mata kuliah yang ia tempuh. Membedakan antara dosen baru dan dosen lama adalah pekerjaan yang penuh trik. Tapi jika mengingat-ingat rumor..., "Setahuku memang ada. Sekitar tiga atau empat orang. Tapi, aku sama sekali belum pernah lihat dosen-dosen baru itu. Memangnya, kenapa?"

"Bisa jadi, salah satunya adalah adikku. Adik kandungku. Sudah hampir dua tahun kami tidak pernah ketemu. Tapi, lima hari yang lalu, mendadak ia telepon. Katanya, ia jadi dosen di sini. Kalau tidak salah, di Universitas Tanjungpura," Eldien menjelaskan panjang lebar.

"Jadi, bibiku itu dosen? Di Untan? Mengapa malah ke kampusku?"

"Katanya, dia juga jadi dosen honorer di Universitas Pontianak. Siapa tahu, dia hari ini ada jadwal di tempatmu kuliah."

"Oh...." Danti manggut-manggut. "Silakan saja Ibu Eldien cari. Siapa tahu memang benar."

"Kalau pun nanti tidak ketemu, kau tenang saja. Aku sudah minta Sari untuk jemput di kampusmu."

Untuk beberapa menit selanjutnya, mereka terlibat percakapan kecil. Eldien menyinggung masalah kemarin sore, ketika tiba-tiba Danti pulang dengan wajah yang ruwet. "Kelelahan atau pelatihnya orang iseng? Kamu sering di...?"

"Bukan...!" Danti menggeleng cepat. Tidak begitu membuat gerakan yang besar, untuk menjaga fokusnya ke jalan.

"Lalu?" telusur Eldien.

"Ada pemuda gila. Sudahlah! Jika ingat dia, aku jadi tidak bisa konsentrasi. Ibu Eldien ingin sampai di kampusku dengan selamat, kan?"

"Aduh? Sampai begitunya?" Eldien tertawa kecil. Tak disadarinya Danti merasa tersinggung.

"Jangan tertawa...!" pinta gadis itu, yang segera dibalas Eldien dengan permintaan maaf.

"Ng..., kalau urusan tadi malam, bagaimana? Pulangmu sampai dini hari. Kau membuatku khawatir." Sewaktu Danti membuka ponselnya tadi malam, isinya kebanyakan pesan dan panggilan tak terjawab dari Eldien.

"Temanku. Biasalah, ada masalah sama pacarnya." Cerita Danti memang ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar.

"Oooh...." Eldien menyandar. "Pelan-pelan, Pak Supir," komentarnya kemudian.

"Apaan, sih?"

Tak berapa lama setelahnya, mobil yang mereka kendarai kembali memasuki lapangan parkir. Tanpa pikir pajang, Danti mengambil tempat antara dua mobil lain. Eldien akhirnya mengomel, karena mereka sekarang tidak dapat keluar, terjepit dari dua arah.

Continue Reading

You'll Also Like

806 433 40
(Tamat) "Kau menghilang tanpa jejak bersama akun instagram mu, tanpa kata perpisahan dan putus dari mulutmu.. dan aku masih menunggu." -inara "Semoga...
Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 58.7K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
58.2K 4.6K 23
Judul : L.O.V.E Genre : Romance Cast : Sehun (Exo) Yoona (Girls Generation) Author : Ganis A (@KimGa_Yoon26) Tahun : Januari...
8.5K 699 54
Nadine Alexandria. Seorang gadis biasa yang berprestasi terpilih menjadi salah satu siswa asal Indonesia untuk mengikuti program pertukaran pelajar I...