VIA Bagian Pertama

By dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... More

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
10 - usil
11 - bodoh
12 - konyol
13 - gemas
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

09 - cukup

5 0 0
By dirgita

Suara khas lenting bola basket kembali terdengar dari pekarangan rumah. Akan tetapi, ini baru setengah enam pagi dan terlalu awal dari hari-hari sebelumnya. Lagi pula, orang yang selalu bermain di pekarangan rumah saat ini masih terbuai di sisi tempat tidur. Sepulang mengantarkan Via dan dari rumah sakit, Danti kesulitan untuk memejamkan mata. Ia sendiri bingung, apakah itu efek dari kopi pahit buatan Eldien, atau karena mengetahui Via yang sedang dalam kondisi buruk?

Yang mana sajalah!

Danti pun mencoba untuk tidak terkatung-katung di tempat tidur dengan wajah melongo menunggu kantuk. Maka, diambilnya beberapa buku tentang teori ekonomi. Sengaja ia pilih bab-bab yang penuh tabel dan rumus. Sehingga setelah satu jam membaca, ia pun tergolek tak sadarkan diri. Saking pulasnya, ia tak sadar telah berbaring di bibir ranjang, dengan tubuh bergulung selimut persis kue dadar.

Begitu tubuhnya berputar, tanpa penghalang sedikit pun Danti meluncur jatuh menghempas ubin. Buku-buku tebal yang sempat ia baca ikut terseret dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Bagaikan disiram seember air, Danti tergopoh-gopoh membuka mata. Ia terduduk dengan wajah kaget seakan telah mengalami mimpi yang nahas.

Perlu waktu kurang lebih lima detik bagi sistem saraf di kepala gadis energetik itu untuk kembali online. Begitu kesadaran yang ia miliki berangsur pulih, sayup-sayup gendang telinganya menangkap fibrasi yang cukup familier.

"Basket? Siapa yang main basket?" Danti membuka mulutnya lebar-lebar untuk menguap, sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Sedikit banyak, ia belum mampu lepas dari cengkeraman kantuk yang masih menggelayut. Kelopak matanya terasa berat, sehingga langkah-langkah yang mengayun diseret bagai orang kelaparan. Namun, karena didorong oleh rasa penasaran yang begitu kuat, Danti akhirnya menyibak tirai dan mendorong pintu di balkon agar terbuka.

Sosok tubuh dibalut atasan ketat tanpa lengan dan celana training panjang, terlihat mahir beratraksi dengan bola. Drible-nya mengagumkan, bahkan sesekali ia terlihat bagai memutar bola dunia di ujung jarinya, kemudian disusul tembakan dua angka dengan sangat mulus.

"Siapa itu?" Danti menjeling dengan kelopak mata yang masih lengket. Perlu dikucek beberapa kali untuk mampu melihat lebih jernih.

Baru kali ini Danti menjumpai ada wanita lain dengan tubuh langsing dan atletis sedemikian di lingkungan rumah ini. Bisa dibilang, setara dengan dirinya yang sudah tergolong aktif berolahraga. Apakah mungkin wanita yang tengah asyik bermain bola basket di sana adalah saudara tirinya? Atau jangan-jangan, wanita itu adalah saudaranya saudara tetangga?

Ah, nekat sekali kalau memang benar saudaranya saudara tetangga. Untuk saudara tiri, juga tidak masuk akal. Dari mana Ibu Eldien punya anak? Sebelum menikah, status wanita itu adalah lajang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Suatu ketika, wanita di pekarangan mendongak. Hampir saja Danti menebak bahwa ia adalah anak gadis Bi Ijah, pembantunya yang sedang cuti. Jika bukan karena senyum itu, senyum khas dari lesung pipi ibu barunya. Eldien benar-benar membelalakkan kelopak kedua mata Danti.

Masih dengan pakaian tidur, ia menyusuri anak tangga. Karena bagai diburu hantu, nyaris ia terguling-guling hingga ke lantai ketika kakinya sedikit melintir di sebuah anak tangga. Sesampai di muka rumah, napasnya pun berlomba turun naik.

"Pagi, Danti," sapa Eldien sembari melempar bola ke keranjang. Masuk dengan mulus.

"Pagi...." Danti mencoba mengatur irama napasnya yang setengah-setengah. Begitu agak mendingan, baru ia berujar, "Aku pikir siapa pagi-pagi main bola basket."

"Kamu pikir siapa?" Eldien tersenyum lagi.

"Ng...." Danti tolah-toleh. "Anak tetangga? Saudara tiri?"

Eldien cepat-cepat berputar. Sebelah tangannya menelekan pinggang. "Aku masih seksi ini!"

Danti tertawa tak enak. Lalu, tiba-tiba ia teringat. "Ibu Eldien tidak ke kantor?"

"Baru setengah enam. Kantor mana yang buka? Lagi pula, hari ini aku ambil cuti. Jadi, sedikit bisa bermain."

Danti memperhatikan sekelilingnya. Ujung matanya menemukan dua mobil di garasi. "Ayah mana?"

"Ayahmu tidak pulang. Mobilnya masuk bengkel di Singkawang. Jadi, ayahmu menginap di hotel."

"Masuk bengkel? Lagi?"

"Ayahmu itu sudah berkali-kali aku ingatkan. Kalau perjalanan jauh, lebih baik pakai mobilku. Tapi, kau tahu sendiri. Ayahmu tetap ngeyel."

"Ibu Eldien tidak ingin jemput Ayah?"

Eldien menggeleng-geleng. "Ayahmu sudah telepon anak buahnya untuk jemput."

Bibir Danti membulat. "Oooh..."

"Ah, iya. Karena aku hari ini tidak masuk kerja, bagaimana kalau kau menemaniku? Kita jalan-jalan."

Sebuah tembakan jauh meluncur menerobos keranjang di tiangnya. Eldien menoleh Danti usai membuat atraksi itu. Bukannya mendapat jawaban, ia malah disodori wajah Danti yang bengong.

"Halo?" sapa Eldien menyadarkan Danti. "Kau kenapa?"

Danti salah tingkah untuk beberapa saat. Ia kemudian menyahut, "Ibu Eldien bisa main basket?"

Eldien menghampiri handuk kecil di sisi pekarangan dan menyambar sebuah botol berisi air. "Dulu, di SMA, aku ketua tim basket siswi. Waktu kuliah, aku juga aktif di perkumpulan basket kampus. Tapi rupanya, panah nasib membuatku harus betah duduk di kursi sekretaris."

Danti mendekat perlahan. Seolah ia masih belum dapat menerima. Seorang wanita yang ia anggap gila, karena mau menikah dengan pria lima belas tahun lebih tua dari usianya itu, kini berpenampilan lain dari hari yang lain.

"Eh, dipikir-pikir, jalan ceritaku hampir sama sepertimu." Eldien mengedipkan sebelah mata.

"Sama dari mananya?" Danti bermonyong-monyong.

"Aku dulu juga agak-agak aktif sepertimu."

"Bagus dongengnya."

"Hanya saja, aku berasal dari keluarga yang tidak berlebih sepertimu."

Danti bungkam sebentar, sebelum akhirnya menyahut, "Aku harap, aku takkan berakhir di pelaminan bersama pria yang belasan tahun lebih tua dariku."

"Ayahmu itu orang baik. Dan kaya. Sulit cari laki-laki seperti dia. Ya, aku akui ayahmu itu kadang-kadang terlalu sibuk. Janji inilah, janji itulah, bahkan beberapa kali 'janji' dengan perampok."

"Aku pikir karena uang," komentar Danti dengan enteng.

"Ya, bisa juga dianggap begitu," sahut Eldien tak kalah ringan. "Harta ayahmu bisa membantu setengah lusin saudaraku."

Danti terus memindai dari ujung sepatu wanita itu hingga ujung rambut.

"Aku tak masalah apa pun alasannya. Aku hanya masih belum bisa terima Ayah menikah dengan Ibu Eldien." Danti akhirnya menyentuh bola basket di sisi Eldien. Sebuah dorongan tangan menjebloskan bola melewati keranjang.

"Kalau bukan karena niatku, lalu apa yang membuatmu tidak terima aku jadi ibu tirimu? Sampai sekarang, aku bingung dengan sikapmu. Kau tidak menentang, tidak juga menerima."

Danti mendesah. "Pagi-pagi udaranya sudah berat, ya?"

Eldien juga ikut mendesah. "Iya. Hidup memang sungguh berat."

Danti berputar. "Aku merasa tidak cocok saja. Kau sudah kuanggap kakak sendiri. Kenapa Ayah harus menikahimu?"

Saat itu, jarak di antara mereka hanya serentang tangan. Eldien tiba-tiba melompat mendekat lalu memeluknya. "Danti! Aku sayang kamu! Kamu memang anak yang baik!"

Danti kaget. Bola yang sudah ia pungut jatuh kembali. "Eh?" Ia bingung. "Apa ini?"

"Kau boleh panggil aku Kak Eldien seperti dulu. Kau boleh anggap aku kakak seperti dulu. Danti memang anak baik!" Eldien masih memeluknya.

Danti tak balas memeluk. Ia pasang muka pasrah. "Mana bisa aku memanggilmu Kak Eldien lagi? Bisa-bisa aku durhaka."

Eldien merenggangkan pelukan. Wajah mereka saling hadap. "Itu! Barusan kau tak panggil nama. Pakai 'kau', pakai 'kamu'!" Lalu, pipi Danti ia cubit. "Ih, gemesnya!"

"Cukup, ah. Cukup!" Danti melepaskan dirinya dari Eldien. Ia hendak memungut bola. "Aku bukan anak-anak lagi. Aku sudah gede!"

"Hm...?" Eldien menjeling. "Sudah segede apa?"

Danti menoleh. Dilihatnya Eldien membusungkan dada. Seketika itu pula Danti pasang wajah datar.

"Serius ini? Pagi-pagi kita adu bumper?"

Eldien malah tertawa. Ia lalu meliuk-liukkan tubuh. Suara gemeretak tulang belakang pun terdengar.

Danti menggeleng-geleng seraya membelakangi ibu tirinya. "Ada-ada saja," ujarnya sembari bersiap mendorong bola.

"Hei, anak muda!" Eldien membetulkan ikat rambut. "Bermain basket seorang diri sepertinya tidak asyik. Mau melawanku?"

Danti tersentil oleh tantangan suara dari belakang. Ia berputar.

"Berani...?"

"Siapa takut!"

Continue Reading

You'll Also Like

462K 4.5K 6
"Aku menyukai bintang... Kemerlap cahayanya yang indah membuatku jatuh cinta padanya. Namun aku tidak akan bisa untuk memilikinya meski aku berusaha...
JAKA EL WILSON By RIPKI

Historical Fiction

1K 130 30
Jaka El Wilson adalah seorang kesatria yang memiliki darah campuran Jawa × Inggris. Banyak sekali masa-masa sulit yang dialaminya dari ia kecil hingg...
1.1M 3.6K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
5.6M 273K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...