VIA Bagian Pertama

By dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... More

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
10 - usil
11 - bodoh
12 - konyol
13 - gemas
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

06 - gundah

12 0 0
By dirgita

Farah merebah. Selimut ditarik.

Ia sudah memejam ketika sayup-sayup terdengar sirene.

"Hm...?" gumamnya dengan mata mengatup. "Kebakaran di mana itu...?"

Suara sirene makin terdengar jelas. Seperti mendekat. Farah akhirnya sadar telah salah menerka.

"Bukan...," ralatnya masih memejam. "Kayaknya ambulans. Hm...."

Siulan sirene bertambah. Tumpang tindih.

"Ngh...!" Farah mulai gelisah. "Tambah banyak? Ada kecelakaan?"

Suara sirene-sirene itu tak kembali menjauh seperti biasanya. Farah seketika celik.

"Kok, nggak pergi-pergi? Kecelakaannya di dekat sini, ya?"

Tiba-tiba, senyap.

"Benar-benar berhenti dekat sini! Pasti di Ahmad Yani!"

Farah bergegas turun dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, lalu mengambil ponsel di meja belajar.

"Kok, jadi kepikiran Kak Via? Kak Via sudah pulang belum, ya? Semoga nggak apa-apa!"

Baru saja Farah mengetuk PIN, ponselnya serta-merta bergetar. Sejumlah pesan masuk bertubi-tubi. Semuanya berasal dari grup kelas.

"Kecelakaan, budaaaaak! Ahmad Yani berdarah!" tulis seorang temannya.

"Ahmad Yani mane?" dibalas tanya oleh yang lain. "Bapaknye Rahmad?"

"Bukan name bapak Rahmad! Name jalan!"

"Oh."

"Ahmad Yani di manenye tuh?"

"Depan kompleks rumah aku!"

"Gang Purnama Baru?"

"Tempat budak-budak mabok!"

"Iye!"

"Tak jaoh dari rumah Farah?"

"Iye."

"Ape pulak Farah kau sebot? Udah tidok die."

"Online die tuh! Ngintip die di sini."

"Bodo!"

"Farah, I love you!"

"Bale!"

"Bapak aku tadik lewat sanak. Banyak yang mati ketenye!" potong yang lain.

"Benarlah?"

"Berape banyak yang mati?"

"Ih, seram. Takot aku besok lewat sanak!"

"Aku kawankan. Tenang jak kalau dengan aku."

"Tak sudi!"

"Tadik Farah, sekarang Susan. Jadi-jadilah!"

"Oke, siap."

"Kecelakaan ape, tuh? Tabrakan ke?"

"Tak tahu kamek. Baru jak datang nih ha. Baru nyampai TKP. Gile aspalnye. Merah! Darah semue!"

"Jangan sampai kau kirim fotonye ke sinik ye. Kublokir kau!"

"Iyeee!"

Akan tetapi, ia tetap mengirim sejumlah foto. Menampakkan kerumunan orang-orang, garis polisi, deretan ambulans, serta seorang pemuda berwajah pucat meringkuk di bawah tiang lampu jalan dengan kening lebam.

Farah kenal laki-laki kurus itu. Ia memang tidak tahu namanya. Akan tetapi, wajah orang yang hampir memeluknya dengan mulut bau menyengat takkan mungkin dengan mudah ia lupa.

Segera ia menutup obrolan grup. Dicarinya kontak Via dan mendapati status rekan kerjanya itu masih online. Ia coba menelepon, tetapi terdengar sibuk.

"Lagi ngobrol dengan pacarnya mungkin?" Farah coba berpikiran positif. Akan tetapi, rasa gundah itu belum juga sirna.

Ia akhirnya mengirim pesan.

"Kakak sudah sampai rumah?"

***


Ada tiga ambulans di lokasi. Satu di antaranya sudah siap berangkat ketika seorang pemuda telah dinaikkan ke dalamnya. Pemuda itu tidak sadarkan diri dengan tubuh berlumuran darah. Ia menjadi salah satu dari belasan pemuda yang tanpa sebab tiba-tiba terkapar di jalan raya bersimbah darah dengan beberapa tulang di tubuh mereka patah dan remuk.

Polisi terpaksa menutup separuh badan jalan serta memasang garis polisi. Lalu lintas yang seharusnya masih lancar berubah macet karena kendaraan memelankan lajunya. Warga setempat turut berdatangan ingin mencari tahu. Di antara mereka, ada seorang wanita yang menangis tersedu-sedu. Memohon polisi membolehkannya ikut masuk ambulans.

"Itu anak saya, Pak! Itu anak saya!" jeritnya. "Dia memang bodo, tapi anak saya!"

Dua polisi yang berjaga saling toleh. Akhirnya, wanita itu mereka perbolehkan ikut ambulans yang sudah siap berangkat.

Sementara itu, satu ambulans lain baru saja datang. Petugasnya turun untuk menjemput seorang pemuda lagi. Pemuda terakhir yang masih tergeletak di jalan di antara genangan darah.

Meski tak bergerak, pemuda terakhir itu masih sadar. Hanya saja, matanya sama sekali tidak membuka. Ia mengerang lemah dengan tubuh tengkurap. Dari mulutnya meluber darah kental. Cairan itulah yang memenuhi batang tenggorokannya, membuat ia bernapas tersendat-sendat.

Sementara dirinya diurus oleh petugas medis, seorang petugas polisi yang mengamankan lokasi memergoki seorang remaja usia SMA melintasi garis polisi untuk menjepret pemuda kurus yang tengah duduk lunglai memeluk tiang lampu jalan.

"Heh, bukan artis, tuh! Ngape kau poto-poto?" tegur sang polisi.

Remaja itu segera balik arah. "Maaf, Pak! Maaf, Pak! Khilaf!"

Pemuda yang dijepret itu jadi satu-satunya yang tidak terluka parah. Sejak polisi tiba, ia sudah meringkuk di tiang lampu jalan dengan kening lebam. Tubuhnya gemetar seolah menggigil. Karena tak kurang satu apa pun, petugas medis lebih mendahulukan rekan-rekannya yang sudah seperti sosis dilumuri saus tomat.

Meski menjadi satu-satunya dengan tubuh tidak bermandikan darah, pemuda itu sama sekali tidak memberikan informasi yang jelas mengenai kecelakaan yang menimpa mereka. Sesaat sebelum kejadian, ia mengaku bersama rekan-rekannya tengah menggoda seorang perempuan. Perempuan yang mereka goda kemudian menjerit dan mereka tiba-tiba sudah seperti itu. Rekan-rekannya rebah di aspal, sementara dirinya adu banteng dengan tiang lampu.

Setelah cukup lama tak dipedulikan, polisi yang tadi berjaga mendapat perintah untuk mengangkut pemuda itu ke dalam ambulans. Segera ia menyambangi tiang lampu lalu berdiri berkacak pinggang.

"Oi, bise bediri tadak kau?"

Si pemuda melenguh. Tiang lampu ia peluk makin erat. "Bantulah, Pak Polisi," ucapnya kemudian separuh bergumam. "Kite, kan, kawan...."

"Ha? Ape?" balas sang polisi. "Hari ini kau bilang kite kawan. Kemaren-kemaren kau lagak nak ngajak duel."

"Gurau kamek."

Petugas itu akhirnya menggelengkan kepala. Ia tarik lengan pemuda itu hingga terpaksa berdiri dan melepas pelukan dari tiang lampu.

"Aku sudah bilang kemarin kalian jangan mabuk-mabuk lagi, kan? Sudah aku ingatkan, kan?" omel sang polisi. "Kenak kitak!" Lalu, dipanggulnya pemuda itu seperti karung beras.

Beberapa ratus meter dari sana, Via mendudukkan tubuh di atas tembok rendah di depan lapangan parkir Ahmad Yani Mega Mall. Lututnya gemetar seolah tak sanggup lagi menjauh dari tempat para pemuda itu ditemukan terkapar. Sementara telapak tangannya yang mendingin, terus mengepal erat ponsel yang baru saja ia pakai untuk menghubungi Danti.

Sekali lagi ia mendongak, memperhatikan petugas medis dan polisi yang sibuk. Pemuda terakhir yang tengkurap di jalan akhirnya diangkat. Lengan kanannya kemudian jatuh menjuntai di bibir brankar. Darah tiba-tiba deras mengucur. Petugas-petugas itu melonjak kaget. Via yang masih mampu menangkap keganjilan tingkah mereka dari jauh, kian cemas dengan wajah memucat. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris terluka.

Pemuda-pemuda itu. Merekalah yang diceritakan oleh Farah. Sekelompok pemuda berkumpul di depan gang. Mereka tertawa terbahak-bahak, seraya menyulang minum-minuman keras. Gaduh yang mereka buat kemudian terhenti ketika Via melintas. Masing-masing mata mereka mengikuti langkah Via yang terburu-buru menyusuri trotoar. Via harus mencari bis antarkota yang masih beroperasi untuk tiba di rumahnya sebelum dini hari. Atau jika tidak, maka ia harus berjalan kaki sejauh dua jam.

Memperoleh tatapan seolah dirinya makanan yang lezat, Via terus berlalu tanpa gentar. Kepalanya sudah terlanjur diisi rasa kecewa terhadap Andre, sehingga keselamatan dirinya tidak lagi ia pikirkan. Lagi pula, ini bukanlah kali pertama ia harus melewati pemuda-pemuda kurang kerjaan tersebut. Bahkan, sudah berkali-kali pula ia harus berhadapan langsung dengan mereka dan terpaksa bertindak kasar.

Namun rupanya, otak laki-laki itu terlalu kecil untuk berpikir. Sedangkan syahwat mereka terlalu besar untuk dibendung. Setelah puas hanya membiarkan Via melintas, mereka kemudian kompak membuntuti langkah gadis itu dan mencegatnya. Via mencoba memperingatkan. Namun seperti biasa, pemuda-pemuda itu tidak mau mendengar. Mulut mereka meracau kotor dengan bau alkohol menyembur. Tangan-tangan mereka menjalar untuk menjamah tubuh Via yang kelelahan. Via mencoba menepis, tetapi tingkah mereka kian menjadi. Salah satunya malah mencubit lengan kiri Via dengan cukup kencang. Via melejit menjauhi trotoar. Namun, seorang lainnya merangkul dari belakang.

"Cukup!" Via menjerit. Perlakuan mereka kali ini lebih keterlaluan. Berbareng dengan suara jeritan itu, angin kencang tiba-tiba berembus, mematahkan ranting-ranting bahkan dahan pohon di sekitarnya, serta menyapu pemuda-pemuda itu.

Mereka terlontar, lalu bergeletakan di jalan raya dengan tubuh berlumur darah.

Continue Reading

You'll Also Like

69.8K 6.9K 76
#1 Tzukook (13-7-2019) #1 bangtwice (25-7-2019) Masih ingat kan kebencian Tzuyu yang malah membawanya pada kebenaran yang begitu mengejutkan untuknya...
13.2K 1.2K 20
"Selama 3 tahun Han Ji Pyeong ngapain aja?" FF ini akan mengisahkan usaha Han Ji Pyeong untuk mendapatkan hati Seo Dal Mi usai gadis itu putus dari k...
8.5K 699 54
Nadine Alexandria. Seorang gadis biasa yang berprestasi terpilih menjadi salah satu siswa asal Indonesia untuk mengikuti program pertukaran pelajar I...
1K 155 44
Kumpulan tugas cerita pendek Mi Casa