(,) sebelum (.)

By Arrinda_sell

333K 30.3K 4.3K

Koma sebelum Titik. "Tau gak Mas, soal dua tanda baca ini?" Hujan menatap pria itu lalu melanjutkan kalimatny... More

πŸ’01
πŸ’02
πŸ’03
πŸ’04
πŸ’05
πŸ’06
πŸ’07
πŸ’09
πŸ’10
πŸ’11
πŸ’12
πŸ’13
πŸ’14
πŸ’15
πŸ’16
πŸ’17
πŸ’18
πŸ’19
πŸ’20
πŸ’21
πŸ’22
πŸ’23
πŸ’24
πŸ’25
πŸ’26
πŸ’27
πŸ’28
πŸ’29
πŸ’30
πŸ’31
πŸ’32
πŸ’ending

πŸ’08

9.7K 976 125
By Arrinda_sell

Hujan menatap ibunya yang sedang lahap makan masakannya. Senyumnya terbit saat sang ibu memberikan jempol.

"Masakan kamu gak pernah gagal. Oh ya, suamimu gak datang?" pertanyaan itu meluncur dari bibir Devi.

Hujan bingung memberikan jawaban, tidak mungkin dia berbohong.

Sebagai seorang ibu tentulah Devi menyadari adanya perubahan ekspresi pada anak satu-satunya itu. "Kenapa? Kamu lagi berantem?"

Dan Hujan bertambah gelisah dibuatnya. Mengambil alih piring kotor sang ibu, Hujan menarik napas panjang.

"Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan, Bu. Ini tentang aku dan Mas Awan," tukasnya menjilat bibirnya pertanda gelisah.

"Kami mau cerai." tiga kata itu sukses membuat Devi terkejut. Bahkan wanita itu menggenggam tangan Hujan dan menatapnya lamat. Seakan mencari kebohongan di dalam kalimatnya. Namun Devi tak menemukan demikian.

"Aku dan mas Awan udah gak ada lagi kecocokan. Makin hari masalah kami kian bertambah dan kami berdua udah gak bisa lagi sebab sudah memiliki tujuan hidup yang berbeda." kepala Hujan menunduk dia tau perkataannya ini telah membuat Devi syok bukan main.

Tetapi Hujan tak mungkin menyembunyikannya secara terus menerus.

"Yakin hanya itu? Bukan karena orang ketiga?"

Kepala Hujan terangkat, matanya mengerjap usai kalimat terakhir terlontar dari bibir ibunya. Detik berikutnya kepala Hujan menggeleng.

"Gak, Bu. Mas Awan tipe pria setia." kilahnya meneguk ludah, lagi dan lagi Hujan kembali menabur dusta.

"Tidak usah bohong. Ibu udah tau semuanya."

"Apa?!" tentu saja Hujan terkejut. Netranya meminta penjelasan untuk apa yang Devi katakan.

"Seminggu lalu suamimu datang. Di sana dia mengaku sudah memiliki istri lain yang sedang hamil tua. Pertama kali mendengarnya, ibu gemetar," akunya menatap Hujan yang nampak kehabisan kata.

"Ibu bahkan minta untuk cerain kamu, tapi suamimu itu masih ada keinginan untuk mempertahankan rumahtangga kalian. Akhirnya Ibu serahkan semuanya sama kamu." tandasnya memejamkan mata saat kelopak matanya terasa berat.

"Bu..." Hujan menahan tangisnya, tak menyangka ternyata Awan sudah memberitahukan rahasia itu. Bahkan tanpa ada perundingan, padahal mati-matian Hujan memastikan agar masalah ini tidak sampai ke telinga ibunya.

Devi pun ikut menangis, dibawanya tubuh anaknya itu dalam pelukan lalu membisikkan kata-kata penenang.

"Harusnya dari awal kamu jujur sama Ibu. Kalo gini Ibu jadi gak berguna jadi orang tua."

"Gak, Bu. Hujan gak bilang karena gak mau bebanin Ibu. Selagi aku bisa tanganin masalah pribadi aku, maka aku akan diam." sela Hujan melepas pelukannya lalu mengusap airmata ibunya.

"Yang perlu dipikirin adalah kesehatan Ibu. Biar urusan ini aku dan mas Awan yang selesaiin."

Devi tak lagi berkomentar banyak selain menidurkan tubuhnya.

Menatap ibunya prihatin, Hujan mengusap airmatanya lalu meraih ponselnya. Dia akan menelpon Oci yang kebetulan berprofesi sebagai pengacara.

💍💍💍


Kia menatap suaminya itu sedih, sejak Hujan meninggalkan rumah seminggu lalu, Awan terlihat banyak melamun.

Biasanya bila mereka berdua tengah duduk berdua, maka tak sedikitpun Awan mengabaikannya. Tapi sekarang, pria itu lebih banyak diam akhir-akhir ini.

Proses perceraian sudah Kia ketahui. Ternyata malam di mana ia menelpon Awan ada Hujan yang tidak sengaja mendengarnya. Sungguh, Kia menyesal mengatakan itu melalui via telepon.

"Mas, mending Mas temuin kak Hujan. Bicarain baik-baik. Barangkali kak Hujan bisa berubah pikiran." usul Kia mengelus pundak Awan sekaligus menyadarkan lelaki itu dari lamunannya.

Awan hanya tersenyum lalu menuntun Kia memasuki kamar. "Kamu istirahat dulu. Kata dokter gak boleh banyak pikiran."

Usai mengatakan itu ponsel Awan berdering. Alisnya menyerngit saat mendapat nomor pihak rumah sakit menghubunginya.

"Hallo."

"...."

"Apa?!"

Rupanya suara Awan membuat Kia tak jadi merebahkan tubuhnya. Air muka Awan tampak sulit dijabarkan bahkan setelah telpon dimatikan.

"Mas ada apa?" tanyanya menggenggam tangan Awan. Kini atensi pria itu mengarah padanya.

"Mertua Mas meninggal 30 menit lalu."

Kia menutup mulutnya, terkejut setelah apa yang ia dengar. "Ayo Mas. Kita ke sana. Kak Hujan pasti terpukul."

Dan di sinilah mereka berada.

Sama-sama mengenakan pakaian hitam, Awan dan Kia berjalan masuk kedalam rumah sederhana Hujan. Baru saja sampai, keduanya sudah disambut oleh suara tangisan saling bersahutan dari beberapa orang.

Fokus Awan jatuh pada Hujan yang diam memandang wajah sang ibu di balik sepotong kain putih yang menutupnya.

"Rain."

Hujan mengangkat kepalanya dan kembali menatap wajah sang ibu setelah tau siapa yang memanggilnya.

Awan mengambil posisi di sampingnya kemudian ikut menatap tubuh kaku mertuanya yang telah berpulang. Kembali melirik Hujan di sampingnya, Awan memeluk bahu wanita itu dan mengusapnya lembut.

Saat ini Hujan tak membutuhkan ungkapan semangat dan bela sungkawa. Jadilah Awan hanya diam seraya memberikan kecupan singkat di kepala wanita yang masih berstatus istrinya tersebut.

Beberapa jam berlalu, pemakaman akhirnya selesai. Semua pelayat satu persatu mulai meninggalkan kuburan. Tersisa Hujan beserta keluarganya dan Awan yang berada di sana.

Meski sedari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata tapi melihat dari kedua matanya yang sembab sudah pasti Hujan telah menangis sejadi-jadinya saat ibunya menghembuskan napas terakhir.

"Kadang Ibu ingin pergi duluan. Kalo hidup gini, Ibu cuman nyusahin kamu."
Itu adalah dialog terakhir sang ibu sebelum dinyatakan kritis.

Memang setelah obrolan keduanya mengenai percerainnya bersama Awan. Kesehatan ibunya semakin menurun dari hari ke hari sampai puncaknya adalah kemarin.

Segala upaya Hujan lakukan tetapi Tuhan lebih menyayangi seseorang yang telah melahirkannya itu ke dunia.

"Om sama tante mau pulang dulu. Bentar malam bakal datang ke rumah." sang tante mengelus rambut keponakannya itu sayang. Hujan mengangguk singkat dan menatap kepergian mereka dengan pandangan kosong.

Tinggallah Awan serta Hujan yang diliputi keheningan tak berarti.

"Rain, kenapa gak bilang soal kondisi ibu?"

Pertanyaan itu membuat Hujan menaruh atensi pada lelaki yang mungkin sebentar lagi menjadi mantan. Mengulang kembali ucapannya barusan dalam pikiran, Hujan hanya mampu mendengus lirih.

"Kenapa musti bilang? Bukannya ini yang Mas mau? Ngaku kalo udah nikah lagi, terus niat cerain aku. Setelah itu ibu drop. Sekarang tanggungan Mas udah gak ada. Ibu udah pergi, dia juga udah ninggalin aku." paparnya menahan pilu yang kian menekan raga serta jiwanya. Berusaha terlihat tegar memang tidak mudah, tapi akan Hujan lakukan bila harus bersinggungan dengan Awan.

Pria dengan penabur sejuta luka.

"Rain, untuk masalah itu Mas minta maaf. Mas hanya gak ingin rahasiain terlalu lama, Mas ngerasa dosa. Merasa emang itu waktu yang tepat buat Mas jujur." balas Awan memegang kedua bahu Hujan yang beruntung tidak ada perlawanan kali ini. Ditatapnya lekat manik hitam yang menyimpan banyak duka itu, satu kesadaran yang membuat Awan telah melukai begitu dalam hati Hujan.

"Rain, Mas gak mau kita cerai. Mas ingin kita sama-sama menjalani rumahtangga ini."

Pegangan Awan dilepas begitu saja sebelum Awan menuntaskan kalimatnya. Hujan menatapnya sengit, tapi meski begitu masih ada sisa kelembutan di dalam bola matanya itu.

"Keputusan gak ada yang berubah. Aku rasa surat itu udah lebih dari jelas untuk aku yang ingin melepaskan pernikahan ini," Hujan mengambil langkah mundur, berdekatan dengan Awan hanya akan membuat gemuruh dadanya bertambah.

"Mungkin Mas tidak tau. Tapi setiap wanita selalu menginginkan dia menjadi satu-satunya di hidup prianya. Entah itu aku ataupun Kia. Tidak ada yang benar-benar mengikhlaskan jika bukan ego yang berusaha ditekan. Selama ini aku udah nahan ego aku untuk selalu ngalah, tapi surat perceraian itu adalah titik di mana kamu emang berniat untuk lepas. Persetan dengan khilaf atau sadar diri, nyatanya niat itu muncul saat Mas benar-benar sadar. Dan bila memungkinkan bersama, tak bisa dipungkiri niat itu bakal balik bila Mas merasa mulai jenuh sama aku."

💍💍💍

Ketika ego ditahan maka ada dua kemungkinan. Mendapat rugi atau mendapat untung.

True?

Tim cere mana nih?

Yang misuh2 kapan cerenya, sabar.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 56K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
672K 52.7K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
309K 38.8K 39
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
248K 38.3K 50
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...