CATATAN PRESMA

By nawanday

9.3K 547 105

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang... More

PRAKATA
PERKENALAN
1. Informasi Mengerikan
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
19. Persiapan Kongres
20. Pelantikan
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional
26. H-7
27. Konferensi Nasional
28. Sidang Pleno

14. Jeda

149 10 0
By nawanday

Pertengahan bulan kedua setelah pemilihan, Naela sengaja menyisihkan waktu dua hari untuk ia habiskan bersama Sisil disela rumitnya urusan organisasi. Dibawah redupnya lampu balkon, keduanya berbincang lirih sembari memangku toples berisi kue bawang buatan ibu Sisil.

Sebenarnya obrolan mereka tidak selaras dua arah. Sebab sedari tadi hanya Sisil yang mengoceh tiada habisnya. Naela sama sekali tak membahas apapun tentang dirinya. Gadis itu memilih diam mendengarkan sahabatnya bercerita tentang kisah pendekatannya dengan seorang pria dari kampus sebelah.

Sejenak, Naela berhenti mengunyah. Gadis itu mendongak hanya untuk menjumpai sang rembulan perlahan ditelan awan hitam. Bintang-bintang pun menghilang. Entah kenapa tiba-tiba ada yang berdesir dalam hatinya. Seakan jiwanya merasa pilu menyaksikan langit benar-benar diselimuti kegelapan pekat.

"Tar," panggil Naela. "Kok aku tiba-tiba kangen Hisyam yaa?"

Mulanya, Sisil hanya berhenti bicara. Dia menoleh dan menemukan raut wajah Naela dipenuhi kesuraman. Hingga kejadian berikutnya menggaduhkan suasana syahdu yang sejak tadi melingkupi keduanya. Tanpa permisi Sisil menepuk keras pundak gadis itu.

"HEI, SOPO WAKMU?" seru Sisil menatap nyalang.

Diperlakukan seperti itu, tentu Naela terkejut. Dia terdiam sesaat seolah tengah meresapi rasa sakit akibat gaplokan tangan sahabatnya. Detik selanjutnya, Naela mendelik lantas menaruh toples dan merubah posisinya menghadap Sisil.

"JANGKRIK! MBOK KIRO AKU KESURUPAN, TAH?!" pekik Naela.

Sisil tidak menjawab. Dia justru memandang ragu Naela dari atas ke bawah.

"Kamu beneran Naela?"

"Bukan. Aku dedemit." jawab Naela asal.

"Nae, aku nggak guyon!" Tersirat ketakutan dari suara Sisil. Perempuan itu mengusap lengannya karena merasa bulu kuduknya berdiri.

Sementara Naela, gadis itu tak berekspresi apapun. Dia pandangi balik sahabatnya dengan sorot mata kosong. Suasana mendadak hening. Menyisakan bunyi hewan malam di kejauhan yang terdengar saling bersahutan.

Malam semakin larut. Tentu Sisil tak mampu menepis gelisah akibat sikap Naela yang tidak wajar baginya. Terlebih keberadaan pohon pisang disamping rumah, makin-makin menciutkan nyalinya. Dengan perasaan gamang, perempuan itu kembali menatap gadis dihadapannya. "Nae, aku serius loh Nae." Tuturnya pelan.

Sisil yang tak lagi sanggup bersuara, membiarkan manik matanya beradu tatap dengan milik Naela yang masih tampak hampa. Perempuan itu menggertakkan gigi sebagai pengalih rasa takut yang semakin menjadi-jadi. Rasanya, waktu sungguh berjalan melambat.

Cukup lama mereka hanya saling pandang, Sisil dibuat terperangah karena tiba-tiba melihat mata Naela menyipit diikuti suara tawa yang menggelegar. Dia mengusap pelan dadanya sembari memperhatikan Naela yang kini justru tertawa terpingkal-pingkal.

Disela tawanya, Naela berujar sesuatu namun tak terdengar jelas oleh Sisil. Perempuan itu bergidik ngeri lantas meraih bantal kecil yang akan dia timpukkan pada sahabatnya itu. Tetapi, bukannya berjalan sesuai rencana, gerakan Sisil terhenti karena lampu mendadak mati. Sekali lagi suasana menjadi hening.

Dalam gelap Naela meraba ke sembarang tempat. Hingga gadis itu berhasil menemukan ponsel miliknya kemudian buru-buru menyalakan senter.  Perlahan dia mulai menyisir tiap arah dengan bantuan cahaya digenggamannya. Benar-benar gelap gulita, pikirnya. Sejauh ia memandang, sedikit pun Naela tak menemukan cahaya yang berpendar.

"Tar, kok moro-moro padam ngene yo?"

"Aku nggak ngerti pisan."

Karena suara Sisil terdengar tertahan, Naela segera mengarahkan ponsel padanya dan mendapati Sisil tengah meringkuk ketakutan ditempatnya.

"Tar," panggil Naela pelan. "Kamu kenapa?"

Alih-alih menjawab, Sisil justru memukul Naela menggunakan bantal kecil yang sedari tadi ia jadikan tumpuan wajahnya. "Wakmu sopo?" tanyanya masih memejamkan mata.

"Naela."

"Naela sopo?"

"Naela Ayu Azalia, lah! Anaknya Pak Hardi mantan ketua OSIS pas SMA dulu."

Mendengar itu, Sisil pun mendongak. Namun lekas menutup matanya kembali karena sinar senter tepat mengenai netranya. 

"NAE, ASTAGHFIRULLAH !! NGGAK KETOK LOH MOTOKU!" serunya sambil melambai-lambaikan tangan.

Sebetulnya Naela masih memiliki ide untuk menjahili sahabatnya itu. Tapi melihat suasana yang kian menakutkan, Naela mengurungkan niatnya. Gadis itu memilih mengajak Sisil untuk masuk ke dalam kamar. Bermodalkan cahaya minim dari dua ponsel, keduanya sekali lagi berbincang lirih seraya menatap langit-langit kamar.

"Nae."

"Hm?"

"Kamu beneran kangen Hisyam?" Sisil berhenti bicara lantas memiringkan tubuhnya untuk menatap Naela. "Sebenarnya hubungan kalian itu apa sih?"

Naela yang sebelumnya memainkan tangannya di atas lampu flash ponsel, dibuat termangu oleh pertanyaan kedua Sisil. Gadis itu cepat menoleh dan mendapati dirinya tengah ditatap serius oleh perempuan disampingnya itu.

"Pertanyaanmu .... Kok tiba-tiba?"

"Ya kamu kenapa tiba-tiba ngomong kangen Hisyam tadi?!"

"Oalah ..." Naela menarik napas dalam-dalam kemudian menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan kepala. "Kamu tahu kan akhir-akhir ini sikap Hisyam beda banget? Hal itu yang bikin aku kangen sama dia."

"Jadi kalian masih belum baikan?"

"Emang kita berantem?"

"Secara kasat mata sih enggak. Eh tapi ini bisa disebut sebagai perang dingin nggak, sih?"

"Bisa jadi." Naela mengangguk-angguk. "Ini kan musim hujan, jadi hawanya emang agak dingin."

"Jencek!" Sisil refleks menoyor kepala Naela menggunakan jari telunjuknya. "Ngene iki nek pas bayi overdosis gedang kluthuk."

Tak terima, Naela pun membalasnya bahkan lebih kasar hingga membuat Sisil mengaduh dan mengusap-usap sisi kepalanya. "Daripada awakmu overdosis Amer Khan!"

"Lah iku kan ibukku. Tapi yo heran, pas meteng ngidam ndelok Amir Khan tiap hari, eh anak e malah bucin artis Korea."

"Iku berarti nutrisi dari makanan yang dikonsumsi ibukmu nggak diserap baik oleh bayi dalam kandungannya."

"Maksudmu aku?"

"Emange ibukmu nduwe anak piro?"

"Sumpah Nae obrolane nggak iso sing lebih berbobot, tah?"

"Nggak iso. Nggak ono timbangan neng kamarmu."

Naela merubah posisinya membelakangi Sisil. Gadis itu berniat memejamkan mata karena ruangan redup seperti ini membangkitkan putri tidur dalam dirinya. Ketika nyaris terlelap, tiba-tiba Naela merasa pinggangnya ditimpa beban. Dia melirik sekilas dan menemukan kaki Sisil bertengger nyaman disana. Netranya membelalak sebelum wajah dan tangan Sisil turut menyembul dari balik punggungnya.

Semakin lama, Naela merasa Sisil makin menempel pada tubuhnya. Perempuan itu sengaja menggoda Naela dengan cara mengendus-endus seolah bau tidak sedap menguar dari badannya. Semula, Naela bersikap tak acuh dan mendorong dirinya menjauhi sahabatnya itu. Hingga gadis itu sampai di ujung kasur sekalipun, Sisil terus mengejar kian membuat kesabarannya berada diambang batas.

Naela menghembuskan napas kasar. Ia membalikkan badan kemudian mendorong Sisil dengan kedua tangan dan kakinya. Bukannya marah, Sisil justru tertawa tanpa suara. Disaat yang bersamaan, salah satu ponsel mereka mati. Menyebabkan ruangan itu makin redup. Untuk sesaat Naela melirik salah satu pojok kamar yang tampak lebih gelap dari sebelumnya.

"Awakmu nggak ngantuk?" tanya Naela. Setelah adegan dorong mendorong tadi, jarak keduanya cukup jauh. Menyisakan space kosong yang masih bisa ditempati satu orang lagi.

Alih-alih lekas menjawab, yang ditanya malah melakukan peregangan otot sembari membuka kakinya lebar-lebar. Membuat Naela geleng-geleng kepala akibat kelakuannya yang tak terduga itu.

"Aku nggak iso turu nek lampune mati koyok ngene," jawabnya, lantas menguap dan menoleh kearah Naela. "Nae, besok kerumah Hisyam, yuk!"

"Mau ngapain?"

"Memperbaiki hubunganmu sama dia. Katanya masih belum baikan?!"

Naela masih berpikir. Dia khawatir jika kedatangannya nanti justru menambah masalah baru untuknya dan Hisyam.

"Kalau kita diusir, gimana?"

Jelas saja Sisil tergelak mendengar pertanyaan bodoh itu. "Nae, Nae ... nggak akan diusir. Hisyam nggak sejahat itu."

Andai ajakan Sisil terjadi saat hubungannya dengan Hisyam baik-baik saja, tentu Naela tidak akan lama menimang-nimang keputusannya. Sejak dulu ia ingin sekali berkunjung ke rumah pemuda itu. Dia amat penasaran dengan dua motor klasik milik ayah Hisyam yang katanya disimpan di garasi khusus rumahnya. Naela juga ingin melihat langsung beragam tanaman hias yang kerapkali pemuda itu pamerkan padanya.

Sekitar sepuluh menit Naela geming, akhirnya gadis itu mengangguk semu.  Hal itu mampu menghadirkan senyum merekah di wajah Sisil.

"Ayo tidur!" ajak Sisil, kemudian memangkas jarak.

Belum sempat Naela protes karena lagi-lagi dirinya dipojokkan di ujung kasur, Sisil membalik badan dan memunggunginya. "Biasanya di film horor--setan kan suka ada di tengah-tengah kasur. Makanya aku memepetkan diri sebagai bentuk antisipasi." Jelasnya.

Naela sedikit mengangkat kepala untuk mengintip sahabatnya itu. Gadis itu menahan tawa kala menyaksikan posisi tidur Sisil yang melengkung dengan wajah ditutupi sebuah bantal kecil.

"Opo iso nafas turu koyok ngunu?" Batin Naela saat deru napas berat Sisil lolos ke telinganya.

Bertumpu dengan sebelah tangan, Naela masih betah diposisinya. Dia hanya mau memastikan--seberapa tahan Sisil tidur dibekap bantal seperti itu?

Saat suara cicak mulai mengusik, lampu tiba-tiba menyala. Hal itu membuat pandangan Naela memburam sesaat. Gadis itu mengambil ponsel milik Sisil yang mati untuk ia isi ulang baterainya. Ditengah kegiatannya, samar-samar terdengar suara burung hantu. Naela berdecak sebal kala benaknya menampilkan cuplikan film horor yang mana ada hewan itu didalamnya.

Secepat mungkin gadis itu kembali ke tempat tidur. Pelan-pelan Naela menarik bantal yang menutupi wajah sahabatnya sebelum akhirnya dia benar-benar merebahkan tubuhnya dengan nyaman.

Detik menjelma menit. Menit mengikis kantuk diujung malam penuh rindu. Setelah sekian kali berusaha menutup mata, Naela mengusap kasar wajahnya sebab ia tak mampu menepis debaran yang menjalar membentuk angan-angan buruk tentang hari esok.

Meski dirinya tak dapat menampik rasa rindu pada seseorang yang kini sedang memberi jarak untuknya, Naela masih menyimpan puing-puing gengsi manakala harus mendekat lebih dulu demi mengembalikan sebuah hubungan pertemanan yang harmonis.

Gadis itu gelisah. Sebersit kecurigaan mengenai sikap Hisyam yang tiba-tiba berubah--membuat detak jantungnya berirama lebih cepat.

"Apa Hisyam cemburu karena belakangan ini aku sering ngebela Bayu yaa?"

"Masa sih Hisyam suka aku?"

"Tapi kalau misalkan suka--bukannya nggak bisa jauh-jauhan kayak gini?"

Naela praktis memukul pelan kepalanya karena memikirkan hal tak masuk akal seperti itu. Walau ia tak bisa menyangkal jika sikap Hisyam selama ini memang terkesan memprioritaskan dirinya. Semakin lama gadis itu makin kesulitan terlelap. Sampai akhirnya dia meraih bantal kecil milik Sisil dan ia gunakan untuk menutupi sebelah telinganya.

Seraya menatap ke arah balkon, perlahan Naela memejamkan matanya. Sebuah doa ia rapalkan dalam diam. Apapun yang terjadi besok, semoga hubungannya dan Hisyam segera membaik agar dirinya bisa benar-benar konsentrasi mengurus segala macam agenda organisasi.

°°°°°°

Rambut pemuda itu masih basah saat dirinya terpaksa harus keluar kamar untuk menemui tamu yang tak mengabarinya lebih dulu. Sedari tadi Hisyam sibuk mengalihkan diri pada ponsel karena tak sanggup memandang seorang gadis yang terus menatapnya tanpa jeda.

Sebagai satu-satunya insan yang tak memiliki perkara disini, Sisil turut merasa kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas memandang dua temannya bergantian.

"Syam," panggil Sisil, membuat Hisyam kontan menoleh ke arahnya. "Ibumu ngapain di dalem?"

Hisyam mengernyit. "Ngapain nanya ibuku?"

"Mau ngobrol-ngobrol aja. Males disini udah kayak simulasi memasuki dunia lain. "

"Lagi nonton TV kayaknya."

Sisil segera bangkit dari duduknya begitu mendengar jawaban Hisyam. Sebenarnya ia lumayan bimbang tentang keputusannya yang akan menghampiri ibu pemuda itu. Sebab dirinya bahkan tak memiliki hal menarik untuk dijadikan topik obrolan. Ini juga kali pertama dia berkunjung ke rumah Hisyam. Akan tetapi, Sisil merasa jauh lebih tak berguna apabila idenya untuk mendatangi Hisyam tidak membuahkan hasil apapun. Dengan perasaan cemas yang ia bawa, Sisil mulai melangkahkan tungkainya meninggalkan dua orang yang masih tak mau membuka suara.

Sementara Naela, gadis itu sengaja tak menahan sahabatnya. Dia yakin Sisil melakukan itu karena ingin memberi ruang bagi dirinya dan Hisyam berbicara. Maka setelah mereka hanya benar-benar tinggal berdua, tanpa menunggu lama Naela langsung memulai obrolan.

"Segitu marahnya kamu ke aku?" tanyanya menyebabkan si lelaki menoleh dengan ekspresi terkejut.

"Aku bahkan nggak tahu salahku apa, Syam." Kini mata Naela mulai berkaca-kaca. "Tapi kalau memang aku bikin salah yang nggak aku sadari, aku minta maaf."

Setelah dirinya berhasil mengutarakan apa yang mengganjal di hati, Naela membuang pandangan ke arah lain. Ia biarkan Hisyam menatapnya persis seperti dirinya menatap pemuda itu tadi.

Alih-alih memberi penjelasan, Hisyam justru mengambil gelas berisi jus buatan ibu yang sejak tadi tak Naela sentuh sama sekali. Tiba-tiba dia menyodorkannya pada Naela hingga menyebabkan gadis itu tersentak.

"Minum dulu!" katanya. "Kamu butuh tenaga buat marah-marah lagi."

Naela yang mulanya masih bisa menahan diri untuk tak meluapkan semua kekesalannya, begitu mendengar perkataan Hisyam--amarahnya berhasil tersulut. Gadis itu menatap tajam pemuda yang entah sejak kapan sudah berada didekatnya.

Kendati demikian, bukan Hisyam namanya jika menghadapi keadaan semacam ini tanpa candaan. Mendapati raut jengkel dari perempuan yang ia suka selama ini, justru membuatnya bersikap tengil dengan menampilkan deretan gigi putihnya. Hal itu kian menjadikan perasaan dongkol dalam diri Naela bertambah berkali-kali lipat. Bahkan tanpa sadar bibir gadis itu mengerucut saking geramnya.

"Aku ndak guyon!" ketus Naela.

"Aku nggak serius." Hisyam membalasnya santai.

Keduanya malah saling tatap. Alis Naela tampak menukik memberi kesan judes. Sampai akhirnya Hisyam meletakkan kembali gelas yang ia pegang sebab tangannya mulai terasa kebas.

Pemuda itu berdeham sebagai pengalih rasa gugup yang mulai melanda. "Aku nggak pernah marah ke kamu." Hisyam merubah mimik wajahnya. "Kalau kamu merasa seperti itu, berarti-"

"Aku yang salah?" serobot Naela.

"Dengerin dulu!" Karena geregetan, Hisyam mengacak-acak rambut gadis itu. "Butuh klarifikasi, nggak?"

"Iya apa?" Nada suara si perempuan mulai terdengar tak bersahabat.

"Kalau kamu merasa seperti itu, berarti ... kamu beneran lagi stres banget ngurusin BEM."

"Nggak nyambung!"

"Nyambung."

"Enggak!"

"Iya enggak."

Naela berdecak lalu beranjak dari duduknya. "Mboh wes! Aku te muleh ae!"

Menyaksikan itu, Hisyam kontan meraih pergelangan tangan Naela. Dengan tampang serius pemuda itu berucap, "kamu ... apa kamu punya rasa ke Bayu?"

Jantung Hisyam berdetak tak terkendali begitu menyelesaikan kalimatnya. Dia mengamati wajah Naela sembari menerka--kira-kira apa yang dipikirkan gadis itu saat ini, sehingga kerutan di dahinya tampak makin jelas?

Dalam masa penantian jawaban si gadis, baik Hisyam maupun Naela tak menyadari jika ada dua manusia tengah mengintip dari balik jendela.

Bermodalkan kisah mereka yang diceritakan dengan bumbu-bumbu penyayat hati, Sisil berhasil menggaet ibu Hisyam untuk ikut menyaksikan bagaimana usaha anak bujang-nya menghadapi sang gadis pujaan hati, yang tengah merajuk sebab persoalan tak berarti.

......

Continue Reading

You'll Also Like

10K 1.3K 6
Bagian dari Klandestin Universe Connecting hearts despite physical distance. "True love doesn't know the distance. It only knows a strong connection...
16.6K 1.9K 26
Tau apa yang paling membuat Bandung itu, istimewa? Kalau kata Pidi Baiq, Bandung bukan sekedar urusan wilayah belaka, lebih jauh dari itu. Dan Bandun...
45.6K 6.3K 37
[Spin off Dear Renza] ⚠️Belum direvisi, masih berantakan. #1 on Semesta [06-11-22] Kepergian mu sangat menyakitkan untukku. Seolah semesta tak ingin...
90.9K 11.7K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...