(,) sebelum (.)

By Arrinda_sell

333K 30.3K 4.3K

Koma sebelum Titik. "Tau gak Mas, soal dua tanda baca ini?" Hujan menatap pria itu lalu melanjutkan kalimatny... More

πŸ’01
πŸ’02
πŸ’03
πŸ’04
πŸ’06
πŸ’07
πŸ’08
πŸ’09
πŸ’10
πŸ’11
πŸ’12
πŸ’13
πŸ’14
πŸ’15
πŸ’16
πŸ’17
πŸ’18
πŸ’19
πŸ’20
πŸ’21
πŸ’22
πŸ’23
πŸ’24
πŸ’25
πŸ’26
πŸ’27
πŸ’28
πŸ’29
πŸ’30
πŸ’31
πŸ’32
πŸ’ending

πŸ’05

8.8K 747 113
By Arrinda_sell

"Bunda udah baik, nak." sahut Devi lantaran Hujan terus menerus menanyakan perkembangannya.

"Tapi kan kesehatan Bunda kadang masih suka menurun. Masa mau balik aja."

"Rain benar, Bun. Setidaknya di sini Bunda udah terjamin." seloroh Awan yang berdiri di sisi brankar berlawanan dengan Hujan.

Devi menghela napas pendek. Kedua anaknya sangat protektif terhadap kesehatannya. Padahal Devi sudah cukup bosan tinggal di sini. Dia ingin pulang.

Pedebatan alot ini akhirnya dimenangkan oleh Hujan dan Awan. Awan berpamitan pulang sementara Hujan memilih menemani sang ibu yang tidak ingin jauh-jauh darinya.

"Kamu kenapa, nak? Coba bicara sama Bunda."

Hujan yang sedang mengupas apel mengangkat kepalanya dengan kedua alis nyaris menyatu.

"Maksudnya Bunda? Hujan gak ngerti." akunya kembali melanjutkan kegiatannya.

"Bunda liat kamu kek ada berubah gitu. Dari wajah kamu yang hilang binarnya Bunda tau ada sesuatu." ujar Devi tepat sasaran akan tetapi Hujan begitu piawai menyembunyikan segala perasaannya. Baginya urusan rumahtangganya tidak boleh Hujan bagi meskipun itu kepada bundanya sekalipun.

Takut kesehatannya menurun.

"Gak ada Bunda. Namanya juga rumahtangga ada aja dramanya. Tapi Hujan bersyukur ada mas Awan yang selalu bersikap dewasa ketika menyikapi masalah." tutur Hujan memberikan piring berisi apel hasil potongannya.

Devi menerimanya kemudian memakannya. Dia tak melanjutkan lagi pembicaraan. Tentunya Devi mengerti Hujan tidak ingin berbagi. Cukup tau watak sang anak yang sukar membagi masalahnya sekalipun Devi sendiri.

"Moga segera isi, ya. Kalo ada anak diantara kalian, pasti hubungan kalian tambah erat. Bunda ingatin jangan lupa berdoa serta usaha. Kadang Bunda khawatir, di saat belum liat kamu gendong anak Bunda tutup umur."

"Bunda gak usah ngomong gitu. Ini juga lagi usaha kok. Mungkin takdir Hujan yang belum dikaruniai anak." timpal Hujan. Segalanya akan ia tutupi, termasuk masalah yang menjadi obrolan mereka.

Bagi Hujan, kisahnya biar ia saja yang baca. Tak akan Hujan biarkan orang lain ikut membacanya.

💍💍💍

Hujan pulang setelah semalam berada di rumah sakit. Ia meringis sakit ketika melangkah. Tadi saat perjalanan pulang, Hujan mengalami kecelakaan. Gojek yang tumpanginya di sambar kendaraan lain dan berakhir kaki Hujan serta pelipisnya robek.

Memasuki rumah, Hujan langsung disambut pekikan heboh ART-nya yang baru keluar dari dapur.

"Astaga Non Hujan!" bibi langsung membopong tubuh Hujan menuju sofa ruang tamu.

"Ya Allah Non, ini kok gini?" tanyanya berlalu mengambil kotak P3K yang terletak di laci tv tidak jauh dari posisi Hujan saat ini.

"Kecelakaan kecil, Bi. Emm, mas Awan sama Kia gak ada ya?" tanyanya setelah tak melihat kehadiran dua orang itu di mana-mana.

Bibi kembali mendekati Hujan, mimik mukanya sulit untuk menjelaskan. "Tadi tuan ama Kia, keluar Non. Katanya mau swep foto-foto gitu selama kehamilan. Mungkin bentar lagi mereka balik."

Hujan ber oh ria lalu tak lama meringis saat bibi mulai membersihkan lukanya pada betisnya.

"Tahan ya, Non."

Beberapa menit dihiasi keheningan, akhirnya bibi selesai mengobati luka Hujan. Sebagai penutup, ada plester serta perban yang digunakan untuk bagian yang terluka.

"Sini, Non. Bibi bantu." katanya hendak membantu Hujan yang ingin ke kamarnya.

"Gak usah, Bi. Aku masih bisa kok." tolaknya tersenyum lalu meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Tujuannya saat ini adalah kasur, Hujan butuh istirahat.

30 menit menuju alam mimpi, Hujan merasakan seperti ada yang mengusap pelipisnya. Membuka matanya enggan, dia sudah mendapati sosok Awan duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Tidur aja, Mas gak akan ganggu." katanya sembari terus mengelus pelipis Hujan yang di plester. Hujan menggumam, mencoba menutup kembali matanya, namun tidak bisa.

Dia tipe yang kalau terlanjur bangun maka susah akan tidur lagi.

"Gak bisa tidur?" tanyanya yang dibalas Hujan anggukan singkat. Kepalanya pening, sepertinya akan demam.

"Mas, pengen peluk." Hujan memeluk paha Awan, kebiasaannya ketika akan sakit pasti sifatnya berubah manja seperti sekarang.

Tak lama Hujan merasakan pergerakan Awan, ternyata suaminya sedang memperbaiki posisinya agar bisa memeluk Hujan dalam posisi tidur.

"Lain kali telpon supir. Mas udah larang kamu naik gojek, tapi gak mau denger. Jadinya gini."

Satu hal yang Hujan sukai adalah omelan Awan ketika larangannya tidak didengar. Tetapi Hujan juga cukup bosan bila kemana-mana naik mobil, terlebih jalanan tadi macet.

Makanya dia mengambil jalan pintas supaya lebih cepat menuju rumah.

"Tergantung Mas, kalo kendalanya macet panjang kek tadi aku juga paling milih naik motor."

Terdengar helaan napas panjang yang dikeluarkan Awan, ia hanya mengelus rambut hitam Hujan membuat wanita itu mulai merasakan kantuk.

Malam harinya Hujan benar-benar demam. Suhu tubuhnya meningkat dan beruntung juga ada Awan yang selalu setia menemaninya sedari tadi.

Suaminya terus mengompresnya, sebenarnya Kia ingin masuk. Namun tertahan larangan Awan, yang mengatakan jangan sampai ikut tertular.

"Besok Mas bawa ke rumah sakit kalo demamnya gak turun." katanya usai memberikan obat penurun demam. Hujan hanya mengguman kemudian merebahkan tubuhnya di saat pening kembali menyerangnya.

Tok! Tok! Tok!

"Tuan, Nona. Ini Bibi." suara bibi dari luar pintu mengalihkan atensi Awan. Pria itu beranjak kemudian membuka pintu untuk bibi.

"Ada apa, Bi?" tanyanya setelah melihat air muka ART-nya jauh dari kata baik.

"Nghh, itu Tuan. Non Kia dari tadi ngeluh sakit perut. Katanya kram, sebut nama tuan terus." lapornya membuat Hujan yang masih mendengarnya membuka matanya.

Awan terkejut mendengarnya, raut wajahnya menunjukkan khawatir yang kentara.

"Kasih tau Kia, nanti saya ke sana."

Bibi mengangguk lalu berlalu dari kamar Hujan dan Awan.

"Rain, Mas ke Kia dulu, ya. Saat ini dia butuh Mas." katanya mengelus dahi Hujan yang terdapat bulir keringat.

"Tapi, aku juga butuh Mas. Seharian ini Mas udah ngabisin waktu yang cukup buat Kia." sela Hujan. Entah mengapa dia menjadi sensitif, sisi egoisnya itu akhirnya muncul tanpa bisa Hujan cegah.

"Rain, kok ngomong gitu? Jangan mikirin diri sendiri, bisa? Kamu demam, Kia kram perut. Mas harus selalu siaga." ujar Awan meraup mukanya frustasi.

Kondisi kedua istrinya memang tidak baik-baik saja, tetapi kondisi Kia adalah yang paling di prioritaskan bagi Awan.

"Mas nanti suruh bibi tidur di sini, temenin kamu. Mas pergi dulu."

Hujan tak lagi menghentikan, dia biarkan Awan berlalu meninggalkannya.

Awan benar, seharusnya Hujan jangan memikirkan diri sendiri. Kia adalah fokus utama terlebih di usia kandungannya yang rentang.

Menghela napas pendek, Hujan memejamkan mata. Namun alih-alih tertidur, Hujan malah menangis dalam diam.

💍💍💍


Habis di puk puk, sekarang ditinggalin. Emang gak enak banget sih kalo di posisi ini.

Seperti lagi sayang2nya eh doi ngilang dan pergi gitu aja.

Bertambah galau kah kalian setelah baca part ini?

Sabar, ini sekaligus melatih hormon kesabaran kita ya ReLuvi. Hehehe.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

586K 56.2K 125
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
706K 1.8K 5
Siapa tak kenal Yola, siswi yang selalu menggunakan pakaian ketat dan pendek, hanya untuk memperlihatkan betapa besar payudara nya. Terlibat hubunga...
595K 84K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
207K 10.6K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia