Suami-suami Gila

By SariAgustia

12.2K 130 6

Pernah tidak membayangkan suami masa depan kita maunya seperti apa? Secakep Matt Bomer, sang pencuri di seria... More

Prolog
KAMI, Ayunda, Lintang dan Bening
17 Agustus 1997 (1)

17 Agustus 1997 (2)

1.2K 13 1
By SariAgustia

Pagi ini kesel banget ma Ibu yang kelupaan beli sapu lidi baru buat di bawa ke sekolah.

"Pakai yang ada aja kenapa si, Ning?" ibu cuman bisa memelas.

"Ya, Bu, disuruhnya juga beli. Nanti kalau disuruh ditinggal di sekolah, Ibu jadi ga punya sapu lidi lagi, lo!" gue tetap maksa.

"Ya, biarin! Nanti punya ibu aja sapu lidi yang baru." Ibu ngeles dengan tenangnya.

Beliau masih sibuk merapikan kunciran 2 di kepalaku sambil bersenandung kecil lagu anak, "Abdi gaduh hiji boneka ... sakinten saena sareng lucuna ... kuabdi dierokan ...."[1] Terus berulang-ulang membuat gue bête.

"Ibu apaan sih? Nyanyinya ga ada lagu yang agak mature ya?"

Ibu tertawa, "Kan emang ibu punya boneka satu yang cantiknya kaya gini." Sambil mengacak-acak rambut gue.

"Ah ... jangan dong, Bu!" gue berlari menghindar kesal.

Ibu dan Bapak memang selalu memanjakan gue, seakan-akan gue tidak akan pernak dewasa. Menurut gue sih kadang sikap mereka berlebihan, misalnya gue tidak bisa ambil les di luar rumah, mereka lebih memilih gue pulang sekolah langsung ke rumah dan memanggil guru privat dari rumah. Gue juga jarang banget main keluar dengan anak-anak tetangga, habisnya mereka bête sih, kalau main bersama pasti Ibu atau Bapak ikutan nongkrong bersama kami.

Kalau gue protes alasannya klasik, "Kamu kan anak satu-satunya, Bening! Ga ada gantinya lagi kalau hilang."

Setelah gue duduk di SMA sekarang, gue mau bikin proposal ma mereka untuk membebaskan hidup gue. Kata orang masa SMA kan masa paling tak terlupakan seumur hidup. Masa iya, orang tua masih ikut campur juga menentukan masa yang harusnya jadi paling manis ini dalam hidup gue.

Meski akhirnya, proposal itu kandas di hari pertama masuk sekolah.

"Ngapain sih ada penataran P4 segala? Hanya buat ajang nyusahin anak-anak baru." Ibu malah ngedumel sini pas sarapan.

"Tapi kan seru, Bu. Nanti aku bisa ngeceng kakak kelas yang super cool dan ga langsung belajar yang susah-susah. Refreshing lah, Bu!" bela gue

"Bapak antar kamu sekolah ya, Bening." pinta ibu.

"Plis deh, Bu. Tempoh hari kakak kelasnya bilang akan dapat hukuman kalau ketahuan kita diantarin ma orang tua ke sekolah."

"Biar aja, siapa sih yang berani hokum kamu kalau di depan bapaknya." Bapak malah setali tiga uang dengan Ibu.

Emangnya Bapak siapa sih? Pemuka adat bukan, pimpinan Pemda juga bukan. Beliau memang kerja di pemerintahan kodya Bandung sih, hanya sebagai Kepala Dinas biasa saja. Gajinya tampak pas untuk kehidupan kami secukupnya, ada rumah, mobil merk lawas dan sekolahku di SMA negeri. Tidak ada liburan mewah apalagi keluar negeri.

Benar saja permintaan Bapak Ibu tak pernah bisa kulawan, secara nomer saja sudah kalah, 2 lawan 1. Jadinya hari ini gue pergi dengan mood yang amburadul.

Saking amburadulnya, gue baru sadar di mobil kalau kelupaan pake sepatu.

"Oh MY GOD! Gue lupa pake sepatu. Sandal swallow rumah bertengger manis di kedua kakiku yang berkaos kaki putih bersih."

Gue tahan diri sekuatnya agar tidak berteriak, tapi gue rasa hawa panas di bagian pipi, memerah rasanya karena kesal. Hari ini semua rusak!

Gue memilih tetap diam, karena kalau tidak, Bapak akan mengomel dan mengajak pulang balik. Akhirnya gue akan telat dan akan kena hukuman juga. Sekalian saja lah sekarang kena hukuman tapi bisa ikut upacara dari awal hingga selesai. Tumben kali ini upacara bendera yang aku tunggu-tunggu, biasanya sih malas.

Dari jarak 1 kilo dari gerbang sekolah, sudah menunggu kakak-kakak kelas berseragam putih-abu-abu dengan gagahnya, perempuan dan laki-laki yang saling berdiri menyebar. Mereka itu petugas Tantib (Tata tertib) atau keamanan yang tugasnya memastikan bahwa perjalanan orang tua mengantar anaknya hanya boleh sampai di titik ini. Plus mereka yang akan memberikan omelan karena kami masih disebut anak manja yang perlu diantar dengan mobil.

Gue minta bapak menepikan mobilnya di radius aman. Mencium lengannya dan berlalu dengan cepat.

Gue harus menghindari kontak mata dengan para kakak kelas itu dan berlalu dengan cepat. Sapu lidi yang gue bawa ternyata berguna. Warnanya yang sudah sedikit menghitam dan lidinya sedikit berantakan bisa digunakan menutup kaki-kaki ini sambil berjalan.

"Biar sedikit bisa menipu mata," pikir gue.

Benar saja, karena mereka sibuk membentak anak lain yang ketahuan diantar dengan mobil, maka gue yang berjalan kaki jadi tidak mendapat perhatian lebih.

Jantung ini berdebar sangat kencang dan aku memusatkan pikiran harus pakai alasan apa sampai-sampai lupa pakai sepatu.

Sial! Persis di depan gerbang berdiri lagi pasukan yang sama, mereka mudah dilihat karena menggunakan pita warna merah putih sebagai tanda panitia P4. Mereka anak-anak OSIS yang siap unjuk gigi dan tebar pesona kepada semua anak baru. Tapi hari ini gue jadi malas bertemu mereka, "Boro-boro mau ngeceng, yang ada bisa-bisa dapat hukuman karena si sandal jepit."

Gue berjalan beriringan mendekati gerombolan anak-anak baru lain yang jalannya cepat, tak ingin menarik perhatian.

Sampai seseorang berteriak, "Hai ... Kamu!"

Aku terhentak, jantungku serasa mau copot.

"Berhenti! Itu Kamu yang bertas merah ...!"

"Bener itu gue!" gue mengeryitkan dahi kesal dan geram. Tanpa sadar ini kaki langsung berlari kencang menghindar. Sapu lidiku sampai tertinggal saking gue buru-buru dan takutnya.

Untung gue tidak punya kelebihan berat badan, jadi bisa berlari sigap selusup kanan kiri. Orang-orang yang kulalui tampak kesal karena ada penyusup di antara mereka.

Kadang gue berlari sambil nengok ke belakang. Perasaan sih seperti masih ada yang mengejar.

Dan ... BRUK ... gue ambruk.

Sebenernya pas jatuh pengen banget ngambek sama pelakunya, tapi tak tahu deh, refleks setelah lihat mukanya yang asli lucu banget itu malah berasa ingin ketawa dan kasihan. Langsung saja dia gue gandeng, bawa berlari. Anehnya, ni orang mau aja lagi.

Tapi tak lama setelah sampai ke lapangan upacara gue udah kecapekan, napas berasa udah tinggal sejengkal.

"Kamu ...," si gadis tanpa nama itu marah, "Kamu ga sopan ya narik-narik orang sembarangan."

"Loe harusnya terima kasih ma gue. Kalau ga loe yang bakalan kena semprot kakak keamanan." gue hanya senyum nyengir.

Gue masih merasa ada yang janggal melihat gadis ini. Kaca mata lensa tebal, rok di bawah lutut, kaos dalam polos yang menjiplak dari luar seragam ... benar-benar penampilan yang perlu polesan. Dari dandanannya dia pasti bukan dari Bandung. Dari gaya bicaranya, dia pasti gadis yang baik, namun mungkin saja menyimpan hasrat besar ingin popular dan punya masa SMA yang gemerlap, seperti dirinya.

"Kenapa kakak keamanan bisa marah sama saya?" masih saja dia penasaran.

"Nih!" gue tunjukkan arah bawah sambil tersenyum jahil.

"OMG ... sandal jepit? Serius?"

"Ah, dia malah berteriak!" Gue berpikir cepat dan sigap menutup mulutnya dengan tangan.

"Sst, jangan teriak kenapa sih?! Makanya gue kudu cepet-cepet tak terlihat oleh mereka. Tadi baru nyadar begitu turun dari mobil kalau lupa pake sepatu."

Dia melihat lagi ke arah kedua kaki berbalut kaos kaki putih, namun bersandal jepit merk Swallow berwarna biru.

"Kamu yang bersandal terus apa hubungannya dengan aku?" masih dengan nada sinisnya.

"Tak ada hubungan apa-apa. Reflek saja narik dan ajak loe lari bareng."

Gue pun memilih berlalu, pergi. Lumayan dapat hiburan pagi di sela-sela kekesalan yang datang bertubi-tubi pagi ini.

Tiba-tiba saja gue ingat, dan memalingkan muka, "By the way, gue Bening."

Baru berlalu beberapa langkah, gue merasa heran, "Kenapa jalannya kok, berasa ringan sekali, ya? Apa ada yang kurang?"

Belum sempat ingatan ini kembali, sudah terdengan suara nyaring di pengeras suara, "Siapa yang merasa kehilangan sapu lidi tadi di depan gerbang? Silahkan menghadap keamanan!"

"Alamak ... Mau lari lagi juga tak bisa. Cepat atau lambat akhirnya pasti ketahuan juga." Ingin menangis gue dibuatnya, bukan karena kesal tak pakai sepatu, tapi membayangkan akan menanggung dipermalukan di hari pertama masuk sekolah adalah bukan bagian dari ingin jadi populer ala Bening.

Dengan langkah gontai, gue pergi juga menghadap bagian keamanan.

Perjalanan melintasi lorong yang penuh dengan murib lama dan baru yang hilir mudik membuat perjalanan melintasi lorong-lorong balik ke pintu gerbang itu terasa sangat lama.

Dan tiba-tiba ... AWWW!!

"Tuhan ... Apa lagi ini?" Ada yang menginjak kakiku yang nyaris telanjang ini, tepat di bagian jempol depannya. Sakitnya minta ampun.

"Duh, ini yang injak kaki manusia pa kaki gajah, ya?"

Seorang gadis bersepatu tebal ala pantofel, terlihat panik dan berusaha membantuku.

"Duh, maaf banget ya ... aku tak sengaja, kedorong teman tadi."

Gue sudah malas banget buat marah, apalagi jempol ini bener-benar nyeri dan terlihat ada sedikit genangan merah merembes di sela-sela kaos kaki putihku.

"Aduh berdarah ya? Aku temani ke UKS, ya." Gadis itu berusaha sekali menebus kesalahannya. "Kakakku anggota UKS dan sedang bertugas jaga sekarang, biar dibantu sama dia, ya."

Gue menggangguk saja tanpa banyak bicara. Dalam hati sebenarnya sedikit lega juga, tak harus pergi ke pos patroli di gerbang sekolah.

Dia membantuku berdiri dan memapah hingga UKS, letaknya tak jauh dari situ hanya sekitar 100 meter.

"Aku Lintang. Kamu siapa?" gadis itu mencoba memecahkan keheningan.

"Panggil Bening aja."

Dia malah manggut-manggut.

"Uda nyampe nih." Gadis itu, Lintang, berkata lagi.

Dari dalam terlihat seorang pemuda, kakak kelas berlari kecil menghampiri, "Lintang, kenapa kamu."

"Bukan aku, Kak. Ini temen aku jempolnya berdarah. Tadi tak sengaja aku injak dia."

Dia melihat gue aneh, seakan-akan dipikirannya dia sedang bertanya, mana bisa jempol berdarah karena diinjak?

Rasanya gue pengen teriak menjelaskan, "Ya bisa dong, Mas! Ini jempolnya nyaris tak pake busana. Busananya tipis. Itu hak sepatu adik mas gede banget."

Namun itu teriakan gue dalam hati saja.

Dia tersenyum

"Ih, si mas ini ganteng juga lho! Lebih tinggi badannya dariku, rambutnya sedikit gondrong terurai halus, warna kulit sawo matang tapi tak kegosongan atau malah kemudaan. Semuanya tampak pas di mata."

Aku malah tak bisa menahan diri saat dia memapahku ke kursi. Baru kali ini ada pemuda yang melakukan body contact denganku. Meski bukan dalam suasana yang sempurna namun tetap romantis di pandanganku.

"Hei Bening, aku tinggal dulu ya. Nanti kakakku akan urus kamu." Dia pamitan sambil mengerlipkan sebelah matanya.

"Sip ...!" kuberikan 2 jempol tangan terangkat tanda ok.

Karena jempolku terluka, akhirnya dengan dibantu paramedik UKS tampan tadi akhirnya gue bisa istirahat di UKS selama upacara berlangsung. Meski akhirnya gue tetap dapat hukuman karena tak berpakaian lengkap ke sekolah, namun karena jempol yang cedera, jadinya hukumanku tak seberapa sulit, menyanyi Indonesia Raya dan lagu nasional lain sepanjang sesi bersih-bersih lapangan sekolah. Ya untungnya gue gini-gini senang dengan yang namanya main musik atau menyanyi. So, hukuman ini ibarat unjuk kebolehan bakat menyanyi yang selama ini terpendam.

Belum selesai dengan si paramedik UKS tampan tadi, namanya Rangga. Dia kelas 3 saat ini, beda 2 tahun usianya dengan gue dan Lintang. Semenjak insiden jempol keinjek tadi akhirnya kami menjadi dekat, dekat sekali alias pacaran. Selama SMA ini hanya Rangga yang mengisi hari-hari romantisku.



[1]Lagu anak sunda tentang anak kecil yang senang punya boneka baru.

Continue Reading

You'll Also Like

359K 27.8K 59
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
389K 21.8K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...