ASAVELLA [TERBIT] ✓

jerukminii

8.2M 601K 48K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... Еще

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁31
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁35
Asavella 🍁36
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁60
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella 🍁70 (A)
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA

Asavella 🍁67

86.5K 6.4K 1.2K
jerukminii

“Bangun, Ga! Jangan bikin kita semua khawatir!”

“Kak …”

Laki-laki yang tengah dibangunkan paksa oleh teman-temannya menjadi bahan kekhawatiran hebat bagi mereka semua hari ini.

Bayangkan saja, dua jam lebih lelaki tersebut tertidur dengan teriak nama Asavella berulang kali tanpa tiada henti. Air mata dengan kelopak yang terpejam mengalir deras hingga berjatuhan pada ubin lantai dingin menyeruak kulit sosok Yuga Claudius Permana.

Napasnya tidak karuan. Sesak. Mimpi buruk itu seolah nyata. Hingga akhirnya seperti ada percikan air serupa dengan darah yang mengenai wajah Yuga sehingga membuatnya terperanjat bangun.

“Ga … kamu kenapa? Mimpi apa?” Sang mantan menanyakan apa yang tengah terjadi pada mimpi sang lawan bicaranya penuh cemas. Sesekali ibu jari kanan Jysa menyentuh—mengusap sisa-sisa kristal bening yang masih mengalir.

Masih setengah sadar. Laki-laki itu memegang kedua bola matanya yang terasa basah. Napasnya tak karuan. Ia pun juga kebingungan teman-temannya melingkar mengelilingi Yuga. Namun suara badai di luar menjadi pusat perhatian Yuga. Kepalanya sedikit memiring—dua netra bergerak cepat ke kanan dan ke kiri. Napasnya sekali lagi tidak teratur. “Hujannya mirip di mimpiku, Jy.”

“Asayangku …,” lirih Yuga yang membuat bingung teman-temannya. “Asayang? Langit? Asavella di mana?? Apa ada kabar? Dia udah pulang?”

“Tio, lo dapet informasi dari Asa kita, ‘kan?” lontaran pertanyaan langsung mengarah pada Tio. Mustahil jikalau lawan bicaranya mengangguk, ia justru dengan wajah letihnya menggeleng lemah.

“Ponsel kita mati semua, kak. Sudah tiga hari ini ponsel, laptop, MacBook, ipad menyala selama 64 jam penuh sampai enggak menyisakan satu persen baterai,” info Mutiara yang merasa pasrah sudah tidak tahu menahu kembali apa yang ia lakukan jika alat paling penting sudah tidak bisa digunakan lagi.

Jysa dan Tio saling bertatapan. Ini sudah hari ketiga pencarian Asavella yang dihalangi hujan Badai serta angin kencang yang menghantam menghancurkan beberapa kota di sekitar. Sementara Riri—Ibunda dari Yuga Claudius juga belum ditemukan. Bahkan, permukaan air di daerah mereka mulai menggenang sebagian. Untungnya daerah tempat tinggal mereka tidak terkena banjir.

Hujan hanya berhenti di dini hari hingga menjelang fajar tiba. Selepas itu, hujan kembali turun tanpa adanya jeda.

Tak hanya itu, Bara yang berstatus ayah dari Jysa dan Asavella keberadaannya masih belum juga diketahui, bahkan polisi juga bersiaga selama tiga hari ini di kediaman Keluarga Bara. Jysa dan Mutiara tidak sedikitpun mendapatkan informasi yang pasti. Di seluruh kota mengalami pemadaman listrik selama tiga hari berturut-turut. Disebabkan arus listrik yang terpotong akibat hujan badai.

Semua teman Asavella memilih berkumpul pada kediaman rumah Keluarga Gerald. Mengandalkan lilin, para laki-laki sebagian bergantian untuk berjaga dan mengandalkan bahan pokok yang tersedia di rumah Yuga. Sekalipun ada stok banyak, dari mereka bertujuh tidak menyentuh sama sekali makanan atau minuman. Pikiran mereka kalang kabut. Di keadaan genting seperti ini, Tuhan menghalangi proses pencarian Asavella. Sekalipun itu meminta bantuan kepolisian.

“Daerah kita enggak pernah sampai banjir walau menggenangnya dikit,” ungkap Bagus seraya mengusap-usap kepala Mutiara yang tengah menyandar di bahu Bagus untuk menghilangkan penat.

Keci membuang napas gusar. “Hari wisuda juga di tunda. Sekaligus perayaan satu tahun sekali kenaikan kelas,” sambung Keci seraya menyandar pada kepala sofa tunggal dengan kaki yang ia jadikan bahan dekapan tubuhnya.

Jysa menghela napas berat. Menatap hujan dari gorden jendela dan kembali pada posisinya. “Hujan selalu melambangkan Asavella saat sedih, bukan?”

Semua mengangguk setuju. Ini bukan karangan namun ini sebuah kenyataan yang dibenarkan. “Bahkan nama tengah dia berhubungan dengan Langit dan Hujan. Apa ….” Mutiara menjeda sejenak hingga mendapatkan enam sepasang sorot mata ke arahnya. “Kematian Vella juga akan berhubungan dengan hujan tiga hari ini?”

“Ra …, plis,” keluh Keci yang mulai overthinking. “Kita semua udah capek. Banget. Kalo gue bisa mati, hari ini kita mending mati semua ikut Asavella.”

Yuga mengusap wajah yang terlihat sudah begitu lelah. Pikiran mulai tidak karuan seusai mimpi buruk itu datang ketiga kalinya, ditambah perkataan Mutiara yang membuatnya tidak tenang.

“Hujan diluar masih terus mengguyur,” monolog Dodit yang tiba-tiba masuk di dalam rumah seraya membawa dua bungkus nasi makanan dan sup hangat. Laki-laki itu nekat keluar rumah hanya untuk mencari makanan untuk teman-temannya. Mengandalkan jalan kaki berharap di luar sana masih ada pedagang yang berjualan.

Jysa berpindah duduk pada sofa tunggal yang bersebelahan bersama Keci. Melihat Dodit yang menenteng kantong bening. Perut mereka yang di dalam ruangan mulai merasakan lapar.

“Memang … ada yang jualan?” tanya Tio memastikan. Sebab hujan sederas ini yang tiga hari tidak kunjung reda.

Dodit menggeleng. “Aku buat sendiri sup ini, kalau nasi … nasi aku ambil dari rumah makan padang yang tutup. Ada nasi di tong sampah. Ada rendang juga yang dibuang sama tempe di sana, tapi udah banyak ulatnya, yang selamat cuma nasi ini walaupun basi. Aku panasin di rumah, aku juga sedikit kasih garam supaya baunya tidak menyengat.”

Jysa refleks langsung meneteskan air mata. Menggigit pipi dalam—dikala relung kepalanya memutar bagaimana Asavella pernah makan sisa dari sampah yang udah basi untuk menetralkan lapar.

“AKU PUNYA FOTO AYAM GORENG SAMA TEMPE DI DOMPET!” seru Bagus yang langsung merogoh saku celananya dan mencari selipan gambar tersebut.

“KITA BISA MAKAN SAMBIL LIHAT FOTO INI! INI ASA KASIH KE AKU BIAR AKU BISA NAHAN LAPER DI DALAM KELAS!” ucapnya penuh semangat memperlihatkan bidikan gambar di mana ada watermark bertulis Asavella, Januari 2019.

“Itu pertama kali Aca masak keluarga,” lirih Jysa mengingat penuh kenangan tersebut bagaimana ia mengendap-endap menonton sang saudari belajar masak di shubuh hari untuk membuat makanan pertama kali di ulang tahun ayah mereka.

Yuga tersenyum samar. Mengingat nama dari gadis yang suka mengabadikan hal-hal sederhana.

“Kalian makanlah, sudah tiga hari loh, kalian enggak menyentuh makanan. Ara harus makan, kasihan bayi kamu,” titah Dodit yang ikut duduk bergabung di lantai yang dingin tanpa alas. Melihat Mutiara yang menyandar lemas pada bahu Bagus dan di mana terlihat juga Bagus yang mencoba membujuk kekasihnya untuk makan.

Mutiara menggeleng. “Kalo Ara di sini makan, Vella diluar makan apa?” Air mata Mutiara jatuh—gadis itu kemudian kembali menangis. Menyembunyikan wajahnya pada dada datar Bagus di kala mereka berpindah tempat untuk duduk pada ubin yang begitu dingin.

Yuga dan Tio yang mendengar langsung menatap Mutiara. Mereka berdua menarik napas panjang bersamaan. Semua terasa begitu ngilu. Hingga salah satu dari mereka membawa sebungkus nasi serta sup yang masih hangat.

“Makanlah, setidaknya jika bukan buat kamu, buat keponakan Asavella dan kita,” kata Tio seraya membuka bungkus nasi yang ia sajikan untuk Mutiara. “Kalian pakai foto ini kalo pengen lihat lauk untuk sementara.”

“Keci dan Kak Jysa harus juga makan. Jangan buat Asavella kecewa kalo Asavella ketemu terus lihat kalian tinggal kulit dan tulang,” lanjutnya.

“Kalian?” tanya Keci menatap Yuga, kemudian ke Tio dan berakhir pada Dodit.

“Kalo kalian udah kenyang, kita baru bisa makan. Kalian lebih berharga saat ini,” ujar Yuga. “Selamat makan.”

“Selamat makan juga,” sahut Jysa dan Keci bersamaan.

Dua gadis tersebut kini berdiri—melangkah—mendekat untuk bergabung dengan Mutiara. Mereka mendengarkan Tio dan Yuga tanpa menolak. Sementara Bagus pindah posisi duduk untuk gabung bersama Yuga dan Dodit. Mereka bertiga melihat dewasanya sosok Tio Mahardika yang bisa membuat para gadis patut kepadanya.

“Asa gimana ya, kak?” cicit Bagus terdengar samar untuk tidak terdengar oleh para cewek yang perlahan mau menelan nasi hangat dengan sup biasa.

Yuga masih mengingat mimpinya yang tidak berani ia ceritakan kepada siapapun. Mimpi yang begitu menakutkan. Seolah itu nyata. Sangat nyata.

“Asa udah makan atau belum di sana?” Sekali lagi suara Bagus membuyarkan lamunan Yuga.

“Dia gadis pintar. Dia akan pulang dan kembali pada pelukan kita,” ucap Yuga seraya menepuk dua kali punggung Bagus. Laki-laki yang melepas topeng komedi dan memperlihatkan air matanya jatuh untuk kesekian kalian di hadapan Yuga Claudius.

Iyah. Bagus Rey Mahendra. Laki-laki dengan seni topeng komedi andalannya terlihat cowok penuh lawak serta menjadi seni terindah Asavella kali ini menangis. Ia tidak ingin memperlihatkan air matanya di depan Mutiara ataupun Tio Mahardika. Ia hanya berani memperlihatkan kepada Yuga dikala ia mengisyaratkan jika begitu lelah karena langit dan hujan menghalanginya untuk mencari sosok gadis yang begitu ia paling rindukan dua hari ini.

“Jadi ke ingat cerita wattpad yang aku baca,” lontar Bagus seraya mengusap-usap kedua telapak tangan seraya melirik begitu lahapnya sang kekasih ketika makan.

“Di situasi genting pasti ada sang penengah. Ibarat geng motor, pasti ada ketua yang sigap dan bisa mengatasi segala lara yang ada pada tiap anggota,” sambung Bagus melontar sedikit senyum manis.

“Kenapa kita enggak terlahir menjadi jadi fiksi aja, ya?” lirih laki-laki penyuka dunia oren dan segala fantasinya.

Tio dan Yuga tidak terlalu tertarik. Tetapi pembahasan ini sedikit mencairkan suasana yang dua hari membuat otak mereka meledak.

“Kenapa harus jadi karakter fiksi jika kita terlahir nyata dari Sang Penulis pemilik meta galaksi ini?” tukas Tio Mahardika seraya menguncir beberapa bagian rambutnya menggunakan karet dari bungkus makanan.

Bagus tersenyum. “Ya … karena kita akan dicintai banyak perempuan. Andaikata kita terlahir sebagai psikopat, cewek-cewek bakalan tetap jatuh cinta dengan kita.”

Ucapan Bagus justru disambut senyum tipis serta gelengan dari Yuga dan Dodit.

“Psikopat? Jatuh Cinta? Mustahil. Psikopat sangat menyeramkan,” sela Dodit menjelaskan seberapa bahayanya seorang psikopat jikalau sudah bertemu dengan targetnya.

Tio menepuk paha sepupunya. “Tadi kamu nanya, ‘kan? Kenapa kita enggak terlahir menjadi fiksi dari rajutan indah penulis bukan?”

Bagus mengangguk mantap.

“Untuk apa?”

“Supaya kita abadi seperti cerita fiksi yang lain. Seluruh lara kita akan abadi.”

Yuga mengerutkan alis. “Abadi seperti apa yang kamu maksud? Abadi di dalam tanah atau abadi menjadi orang yang harus rela kehilangan setengah jiwanya dan terpaksa berjalan melanjutkan hidup sendiri?”

Bagus mengangkat kedua bahu. “Tergantung, sih. Penulis kita nanti seperti apa? Kita menikmati arus alurnya. Jika penulis kita sedang jatuh cinta, kita beruntung. Sebab, ia akan mengabadikan secara indah dengan tulisan yang tersusun sederhana, di mana dua tokoh utama akan menjadi abadi dengan cinta yang diinginkan gadis-gadis seperti gadis kita sekarang. Aku jamin cerita seperti ini bakalan bikin gamon.”

“Tapi …, jika penulis kita sedang patah hati. Kita semua akan patah hati. Aku sudah menjumpai penulis dengan tulisan berbeda dan aku mendeskripsikan mereka menulis dengan sisi berbeda yang satu jatuh cinta dan satunya terluka.”

“Dan terkadang pola pikir penulis itu sama. Tapi bukan berarti mereka plagiat, cara penyampaiannya bisa dilihat. Jadi, jangan menghakimi sesuka hati.”

Tio menarik senyum tipis. Sementara Bagus langsung merenung melihat senyuman sepupunya. Ia seakan mendapat suara batin jikalau mereka semua enggak akan yang berhasil menjadi karakter fiksi jika di dunia nyata seperti ini mereka orang paling jahat untuk sosok gadis yang sekarang tidak diketahui keberadaannya.

“Plis! Kenapa semesta sejahat itu sama kita, Kak Yuga!” protes Bagus yang langsung membenamkan diri pada dada Yuga Claudius. Ia sudah tidak tahan menahan sesak di dada yang berkepanjangan. Caranya membuat Tio Mahardika menatap punggung sepupunya yang sudah lelah.

“Semesta tahu, Asavella enggak pernah bahagia! Dan semesta sekarang menyembunyikan Asavella dari kita semua! Sakit kak!”

“Sstt …,” Yuga menepuk—mengelus punggung Bagus dengan memberi dekapan paling hangat. “Kamu kenapa menangis dikala semesta sedang mengajak kita bercanda dan bermain? Ayo ketawa!”

Tio langsung tertawa paksa dengan jantung yang berdenyut nyeri. ia juga menepis air mata dengan kepala menunduk dan kemudian menerbitkan senyuman masam—membuka dua bungkus nasi dan satu sup bening yang tersisa. “Yang dikatakan Kak Yuga benar. Semesta sedang mengajak kita main-main, seharusnya kita ikut bermain, bukan? Bukan malah nangis dan menyalahkan semesta, ayo makan! Asavella bakalan balik. Tadi aku mimpi Asavella cantik banget.”

Bagus memendarkan pelukan yang diberi oleh Yuga. “Aku juga mimpi Asavella cantik banget tadi, Dia bilang dia baik-baik saja.”

“Sama,” lirih Yuga yang terdengar spontan seraya memberi senyuman masam yang singkat. Padahal ia tengah membual. Alibinya seolah ia tengah mimpi Asavella juga seperti dua lawan bicaranya.

Dodit hanya menatap dengan senyum begitu tipis sampai siapapun tidak bisa melihat sosok laki-laki tersebut tersenyum kecil. “Kalian aneh, ya? Mencoba baik-baik saja. Padahal hati dan pikiran selalu overthinking dan berakhir lelah sampai menangis. Seolah juga, kalian saling menguatkan padahal batin sudah mengatakan menyerah berulang kali.”

Tio, Yuga dan Bagus menatap Dodit seksama. Kemudian melontar tawa kecil. Mereka bertiga mulai mau untuk menyantap makanan. “Aku pernah bilang ke Asa, kalo bukan diri kita yang menguatkan, siapa lagi? Dan aku menerapkan supaya Asavella di luar sana menguatkan dirinya,” sahut Tio yang menuangkan sup pada nasinya.

“Asa beruntung punya kalian,” sahut Dodit.

“Lebih tepatnya kita semua beruntung bisa menjadi bagian dari jiwa gadis pecinta hujan,” jawab Yuga yang mencoba menyuapkan nasi kepada Tio Mahardika dan berganti pada Bagus.

“Bagaimana jika sosok Asavella sudah usai? Apa jiwa kalian akan melebur bersamanya?”

Pertanyaan Dodit membuat tiga lelaki tersebut terdiam. Tio mengingat perkataannya yang dulu pernah ia ucapkan pada Asavella. Jikalau ia akan menghilang jikalau Asavella usai dengan perannya.

Bagus menunduk dan kemudian berucap. “Bukankah sebuah cerita tidak akan pernah berjalan jika tokoh-tokoh penting kehilangan tokoh utamanya?”

“Kata siapa?” sela Tio Mahardika. “Buktinya Asavella bisa berjalan tanpa Brian Claudius. Tanpa Yuga Claudius, Asavella tidak akan ada mungkin? Sebab penggerak cerita Asavella sesungguhnya ialah Yuga.”

“Tapi …,” Bagus mengangkat satu alisnya. “Pertanyaan dari Dodit, jika kita kehilangan Asavella apa kita akan terus berjalan sendiri atau ikut menghilang?”

“Kita tidak akan berjalan sendiri atau menghilang,” terka Yuga dengan cepat. “Kita akan di sini bersama dan selamanya. Udah ayo makan lagi,” sambung Yuga yang kemudian kembali menyuapi Bagus kembali bergantian dengan Tio.

“Mas Yuga juga makan.” Tio mengarahkan tangannya yang menjadi sendok ke arah bibir tipis Yuga. Laki-laki tersebut kemudian terdiam dikala sosok Tio Mahardika pertama kali memanggil Yuga dengan panggilan ‘Mas’.

“Iya! Mas Yuga harus makan!” seru Bagus kali ini ikut-ikut memberikan sesendok kuah sup dengan daging super lembut ke arah bibir Yuga.

Yuga menunduk—menyembunyikan senyuman. Ingatannya kali ini berputar pada diri Brian Claudius Permana. Laki-laki yang menjadi separuh jiwanya. Tio dan Bagus tersenyum sumringah. Seperti inilah cara mereka menghibur diri untuk menambah energi supaya tak larut dalam tangisan sepanjang hari.

“Enak ya makan nasi pakek kuah sup gini. Aku jadi ngerasain kehadiran Asavella, deh!” seru Bagus yang membuat Tio dan Dodit geleng-geleng kepala. Kali ini yang terlihat lahap sampai menghabiskan seluruh makanan yang ada ialah Bagus Rey Mahendra.

Para perempuan sudah habis terlebih dahulu. Mutiara mencoba duduk pada sofa di ruang tamu bersama Keci hanya untuk meluruskan punggung mereka. Sementara Jysa berjalan keluar rumah—menyaksikan hujan yang masih turun membasahi bumi tanpa henti. Aroma semerbak tanah basah begitu menenangkan.

Gadis itu mencoba memeluk dirinya sendiri. Mengingat kembali memori masa kecilnya dengan saudarinya, bahkan bagaimana ia selalu mengendap-endap kamar Asavella hanya untuk memastikan gadis yang tiap hari mendapatkan cambukan oleh sang ayah.

Ia juga kadang mengintip teman-temannya yang mulai melaksanakan kewajiban yang tak lain menghadap Sang Pencipta. Yuga yang tengah mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat dhuhur. Bagus yang kembali menemani Mutiara. Keci yang tengah berdoa sembari memegang salib yang menggantung pada lehernya. Tio juga sedang berdoa menghadap dewa pada sebuah gambar yang tadi keluarkan pada dompetnya.

Jysa mencoba menatap langit-langit. “Apa Tuhan memang ada?

“Jika ada, bisakah aku mengadu untuk dilahirkan kembali bersama adikku dengan agama islam di masa depan?”

“Tuhan, Kau sembunyikan di mana adik kecilku? Apa karena aku bukan kakak yang baik dan sekarang Kau sembunyikan adik perempuanku sampai tiga hari ini?”

Tangisannya menggema di kala ia merasa berdosa tiap tersenyum setiap sabuk atau ganggang sapu mencambuk tanpa henti tubuh Asavella.

“AYO BALIK ASAVELLA!!! BALIK! KAKAK MOHON!!” jerit Jysa dengan membungkam mulutnya supaya tidak didengar keras dan menganggu teman-temannya dikala tengah berdoa dan menghadap Sang Maha Kuasa.

“A-adek, a-adek dengerin kakakmu ini.” Jysa menatap hujan yang semakin deras. Seolah hujan merendam suara Jysa yang seolah ia berbicara dengan adik kecilnya; Asavella.

“Adek …” Jysa menatap langit—menyatukan kedua telapak tangannya. “Ka-kalo kakak bilang, kakak enggak sama sekali sayang kamu dan benci kamu bahkan selalu mendoakan kematianmu itu adalah anonim di mana aku sangat menyayangimu, ingin melihat kehidupanmu yang benar-benar hidup ….”

Jysa mengarahkan tangannya pada dadanya. Mencengkeram erat sebab bagian dalam sana begitu sakit sampai-sampai ia membungkuk dalam keadaan duduk di teras yang basah sampai sujud demi menahan sesak yang hebat.

Disisi lain, Yuga Claudius yang sudah melakukan dua salam terakhir hingga membaca ayat kursi. Ia langsung bersujud begitu lama. Tangisannya pecah hebat di dalam kamar. “Ayo pulang, Langit. Pulang.”

“Pulangkan setengah jiwa kami, Ya Rab!! Pulangkan dia pada pelukan kami …,” mohonnya dengan sujud berbisik pada bumi dan didengarkan semesta.

Sementara Keci Van Dijk. Gadis itu menggenggam salib serta membaca doa-doa. “Ya Tuhan Yesus, tolong kirimkan sahabatku kembali padaku. Berkati dia, jaga dia, dan kembalikan pada kami dengan tubuh yang baik-baik saja. Kami merindukan sosoknya yang begitu hangat.”

Di sisi lain, Tio Mahardika dengan telapak tangan menyatu. Air mata yang mengalir deras. “Om Om jaya jiwat sarira Raksan dadaisme Om Mjum Sah Waosat Mrityun Jaya Namah Swaha.”

(Oh Sanghyang Widhi Wasa Yang Maha Jaya Yang Mengatasi Segala Kematian, Kami Memujamu. Lindungilah Kami dari Marahabaya)

Di pojok sana bagaimana jemari Bagus tengah berdzikir. Di sebelahnya sang gadis tengah berdoa. Ya. Mutiara duduk dengan posisi punggung tegak tidak menyandar. Air matanya terus mengalir. Ia menganut agama yang sama seperti Tio Mahardika.

Dan semua sedang melakukan doa masing-masing dengan penuh tulus. Tanpa suara yang mengeras namun hati menjerit hingga bumi mendengarkan jerit tujuh remaja.

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Saka mengerutkan alisnya di kala ia menatap grup yang dimana begitu asing memasukkannya. Grup itu These lips are sealed.

Tujuh rekaman singkat membuatnya kebingungan. Laki-laki yang tengah memandang hujan seraya menatap foto di mana ada tiga orang pada bidikan tersebut. Ia ingat, bagaimana yang dulu begitu dekat dengannya. Kini ia langsung menjatuhkan pigura tersebut hingga pecah.

Sosoknya juga langsung menghapus noda merah pada lengannya. Dengan tergesa-gesa ia menerobos hujan seraya berkendara. Urusan sampai tujuan atau tidaknya ia tidak peduli. Tatkala dua wanita paruh baya yang berada di rumah Saka Biru Pratama merasa gelisah.

Riri membersihkan serpihan kaca pigura yang dijatuhkan oleh Saka dengan jalan yang tertatih-tatih. Wanita itu baru saja mengalami musibah yang membuat keningnya berdarah dan beberapa tubuhnya lebam.

Ia membalik kertas foto yang terpisah dari pigura. Memperlihatkan sosok Saka Biru Pratama di sebelah kanan dengan membawa piala Basket dan di tengahnya sosok gadis bernama Almaurellia dan di sisi kiri Alma adalah pemilik gummy smile yang juga memperlihatkan medali dari juara basket awal bulan maret tahun 2019.

Itu adalah bidikan gambar tahun lalu sosok Saka bersama sahabatnya yang tak lain adalah Brian Claudius Permana. Di mana di belakang gambar yang diabadikan tersebut terdapat tulisan.

Selamat atas kemenanganmu, Kapten basket Brian! Dan selamat Hari lahir yang ke 17! Semoga kemenanganmu mendapatkan cinta Asavella terwujud, bro! Biar kita bisa double date bareng!  9  Maret 2019. –Saka Perisai Brian, Almanya Saka, Kapten Briannya Saka-

Riri mendapatkan usapan punggung dari wanita yang usianya tak jauh berbeda dari dirinya seraya menatap jalanan yang sudah tidak memperlihatkan motor Saka dan pemiliknya.

Riri membuang napas berat. “Semua karena kesalahpahaman,” lirih Riri kecewa.

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Spoiler:

“JANGAN, KA! JANGAN CONGKEL MATA GUE! SAK—ARGHH!!” jeritan itu begitu nyaring ketika pecahan gelas bening ditancapkan hingga memuncratkan cairan putih dari mata sosok laki-laki.

Jeritan pecah di luar rumah Keluarga Gerald menjadi jeritan paling pilu para remaja di mana hujan kali ini menenggelamkan suara tersebut hingga tidak ada orang lain yang mendengar.

“Mu—Mutiara? Mutiara di mana?”

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Next?

Yakali enggak next doang. Jangan lupa votenya juseyooo (⁠ ⁠⚈̥̥̥̥̥́⁠⌢⁠⚈̥̥̥̥̥̀⁠)

Ternyata oh ternyata Saka itu ... Sahabatnya Brian toh. :) pantes kalo tau nama panggilan 'Langit'

oh ya, ada beberapa yang chat minta grup ya? Btw ada pembaca aku yang udah ada kok yang bikin grup Asavella.

Oh ya, Part ,68 aku juga udah nulisss. Udah ada tinggal publish. Kalo votenya bisa 1k ya sehari. (⁠~⁠ ̄⁠³⁠ ̄⁠)⁠~

jangan lupa buat sapa dan ikuti aku di sosial media:

Instagram: @jerukminii
tiktok: @jerukminii
wattpad: @jerukminii

ingat ya, asavella dan tokoh lain enggak punya sosial media apapun itu. jadi kalo ada yang pakai itu bukan mereka. karena aku enggak bikin.

dan terimakasih yang udah baca Asavella Sampek sini.♥♥♥

Продолжить чтение

Вам также понравится

THE BLOCKADE (TERBIT) Partikel__Atom

Детектив / Триллер

721K 63.1K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...
HEI, BODYGUARD! (A Secret) ✔ Dipiiii🦋

Подростковая литература

6.5M 694K 93
[SUDAH TERBIT + PART MASIH LENGKAP] "Ck! Gue bakal bikin lo nggak betah!" "Dan gue bakal tetep jagain lo." "Gue nggak bakal nurut sama lo, wlee!" ...
Dongeng 00.00 Hujan Pelangi

Короткий рассказ

12.6K 1K 12
Sangat sadar aku membenci cinta. Aku tak mempercayainya. Cinta bagiku semacam ajaran sesat yang mengotori pikiran manusia. Sedari kecil aku sudah di...
Aku Kamu Dan Dia It'sMeSellll

Подростковая литература

1.4K 1K 22
"Aku mencintainya, tapi aku juga menyayangi orang lain." -All "Don't expect too much, manusia itu gampang berubah." -Sya "Jangan merasa penting dalam...