Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
lima puluh
lima puluh satu

empat puluh sembilan

6.9K 638 21
By luckybbgrl

"Bar, gue mau ketemu sama Nathan. Boleh?"

Kini Rea tengah berada di salah satu pedagang kaki lima dengan gerobak bertuliskan siomay. Keduanya memilih mampir terlebih dahulu untuk makan sebelum akhirnya pulang.

Bara langsung mendongak ke arah Rea dengan cepat begitu mendengar perkataan gadis itu. Apa tadi gadis itu bilang? Ingin bertemu dengan siapa? Nathan? Nathan mantannya itu? Apa ia tidak salah dengar?

"Kenapa?"

"Gue mau ketemu sama Nathan. Boleh?"

Ia tidak salah dengar ternyata.

Ingin sekali rasanya ia melarang Rea menemui mantan kekasihnya yang kini telah jadi saudara tirinya itu. Tapi apa daya, ia juga tahu bahwa keduanya telah sepakat menjalin hubungan baik sebagai saudara.

Apalagi ia juga sudah mengiyakan ketika gadis itu ingin ia tidak keberatan dengan keakraban keduanya.

"Sendiri?"

Rea mengerutkan keningnya menatap Bara heran. Maksudnya, tentu saja sendiri. Apa ia harus mengajak Mama dan Papanya sekalian untuk bertemu Nathan?

"Ya iyalah. Emang sama siapa lagi?"

"Sama gue."

Mulut Rea membentuk bulatan sambil kepalanya mengangguk pelan, seolah tengah ber-oh panjang tapi tanpa mengeluarkan suara.

"Katanya Nathan mau ngebahas soal keluarga. Kalo lo gausah ikut dulu, gimana?" Bara menatap Rea sedikit lama tanpa menjawab, membuat Rea sedikit bingung. Apakah ia salah bicara? Kenapa menatapnya sampai begitunya? Atau Bara marah padanya?

Memikirkan hal itu membuat Rea reflek mengulum bibirnya.

"Nanti gue ceritain apa aja yang gue obrolin sama Nathan ke lo. Kalo lo ikut takutnya jadi canggung. Pembahasannya kan agak sensitif buat gue sama Nathan. Ya?" jelas Rea dengan hati-hati. Berharap kekasihnya itu bisa mengerti.

"Yaudah kalo gak boleh," jawab Rea menurut.

"Boleh," jawab Bara singkat sembari beralih menatap ke arah piring siomaynya.

"Beneran?" tanya Rea dengan wajah sumringah. Memiliki pacar yang pengertian, bukankah hal yang sangat menyenangkan?

"Ketemuan dimana?" tanya Bara setelah mengangguk sambil menyuapi Rea siomay dari piringnya.

"Di Oceanix," jawab Rea sebelum akhirnya melahap siomay yang disodorkan Bara ke arahnya.

"Jam berapa?" tanya Bara sembari menusuk kembali satu siomay dan melahapnya. Rea menjawabnya dengan isyarat tangan yang menunjukkan angka 7.

"Gue anterin nanti," ucap Bara setelah mengangguk, kemudian melanjutkan makannya lagi. Rea membalasnya dengan anggukan cepat.

"Mau telurnya!" celetuk Rea sambil menunjuk telur rebus milik Bara yang masih utuh. Bara yang mendengar perkataan Rea mendongak, kemudian segera memindahkan telur rebusnya ke piring milik kekasihnya.

"Makasih!" ucap Rea dengan riang sembari tersenyum menunjukkan jejeran giginya. Bara ikut tersenyum dan mengangguk.

"Mau lagi?" tanya Bara sambil menyodorkan garpu yang berisi batagor dari piringnya.

"Mau!" jawab Rea sambil melahap suapan Bara dengan senang.

"Low eghwak kuwrang?" tanya Rea dengan mulutnya yang penuh.

"Ditelen dulu. Entar keselek!" Bara berucap mengingatkan Rea. Gadis itu langsung menurutinya dengan menyelesaikan kunyahan makanan yang masih di dalam mulutnya.

"Lo enggak kurang?" ulang Rea dengan kedua alisnya yang naik.

"Enggak, kalo kurang juga bisa makan di rumah," Rea mengangguk.

"Terus kenapa ngajak gue makan?" tanya Rea dengan senyuman tidak ikhlas yang mematikan.

"Ya pengen aja. Emang gak boleh?"

"Ya boleh aja sih. Tapi kan-"

"Tapi apa?" tanya Bara sambil menopangkan dagu, tatapannya dalam menatap ke arah Rea.

"Tapi kan...," Rea yang sadar ditatap seperti itu tiba-tiba tidak tahu harus berbicara apa. Mulutnya hanya membuka dan menutup tanpa mengeluarkan suara apapun.

"Gak tau deh!" jawab Rea dengan suara sedikit lebih tinggi, kemudian segera beralih kepada makanannya yang masih tersisa sedikit.

Bara yang melihat gadis itu salah tingkah hanya karena ditatap seperti itu tertawa pelan.

••••

"Nunggu lama, Nath?"

Nathan menoleh ketika suara seseorang yang terdengar familiar menyapa. Senyuman tipis tercetak di bibir cowok itu saat melihat Rea sudah berada di hadapannya.

"Enggak, kok. Gue juga baru nyampe," jawab Nathan.

"Lo belum pesen?" tanya Rea dengan ekspresi bingung yang melihat meja tempat mereka masih belum terdapat minum sama sekali.

"Belum, nungguin lo. Niatnya biar sekalian," Rea mengangguk paham mendengar jawaban Nathan.

"Lo mau pesen apa? Biar gue pesenin sekarang," tanya Rea sembari menatap ke arah Nathan dengan kedua alis terangkat.

"Gue aja yang pesenin. Lo kayak biasa, kan?" alis Rea mengerut bingung mendengar perkataan Nathan.

"Kayak biasa gimana maksudnya?"

"Oceanix latte sama cheese cake?" jawab Nathan dengan nada heran. Cowok itu tentu saja bingung mendengar jawaban Rea.

Jawaban gadis itu seolah-olah tidak pernah datang ke cafe ini. Padahal dulu ketika keduanya masih bersama, Oceanix menjadi kafe favorit Rea untuk menghabiskan waktu bersamanya. Dan menu yang selalu Rea pesan adalah Oceanix latte dengan Cheese Cake.

"Oh, lo sering ke sini?" Rea menatap Nathan dengan kedua alisnya yang naik penasaran. Apakah maksud dari kayak biasanya tadi adalah menu yang biasanya ia pesan jika ke sini?

"Dulu kita sering ke sini."

Tubuh Rea menegang mendengar jawaban Nathan. Datang ke kafe yang dulunya sering ia kunjungi dengan Nathan bersama cowok itu tentu saja tidak pernah ada di dalam bayangan atau bahkan otaknya.

"Lo...lupa?" tanya Nathan dengan nada kecewa yang berusaha ia tutupi.

Rea tidak bisa langsung menjawab. Mulutnya terbuka, namun tertutup lagi karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Sorry, Nath...," ucap Rea lirih. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi selain kata itu.

"Oh, it's okey," sahut Nathan berusaha menutupi perasaan kecewanya. "Lo mau pesen menu tadi atau yang lain?" tanya Nathan berusaha untuk menghilangkan suasana canggung.

"Boleh deh yang tadi," jawab Rea dengan perasaan campur aduk.

"Oke, gue pesenin dulu ya!"

Nathan akhirnya berdiri dari duduk dan melangkah menuju ke tempat pemesanan, meninggalkan Rea dengan perasaannya yang masih tetap campur aduk.

Rea merutuki takdirnya yang harus berada di tempat asing dengan identitas diri yang sampai sekarang masih tetap tidak bisa ia ketahui seluruhnya. Kenapa sampai sekarang Rea asli tidak memberikan seluruh ingatannya kepadanya? Setidaknya agar ia tidak berada dalam situasi yang memalukan serta membingungkan di satu waktu seperti ini.

Memang Rea asli pernah memberikannya beberapa penggalan ingatan. Tapi ia yakin itu bahkan tidak sampai dari lima persen seluruh ingatan asli milik Rea,

Kenapa juga ia harus menggali dan meraba-raba segala sesuatu tentang tubuh yang ia tempati sendirian? Ia tidak pernah menginginkan ini. Ini mulai terasa berat untuknya.

"Lo tuh cuma figuran di sini, Adrea!"

"Takdir lo itu mati!"

Ucapan Kiranti tadi siang tiba-tiba kembali terngiang di telinganya. Seolah-olah ingin kembali mengingatkannya tentang takdir tokoh bernama Adrea Putri Admaja yang berakhir mati. 

Apakah semua yang ia lakukan akhirnya akan sia-sia? 

Mungkin ia tidak akan menghindari takdirnya yang berakhir mati jika ia mendapat kepastian berupa ia akan kembali ke dunia nyata. Bahkan mungkin ia akan mempercepat takdir mati raga yang ia tempati jika memang ia mendapatkan kepastian itu. 

Tapi, ia sendiri juga masih tidak yakin dengan adanya kemungkinan ia bisa kembali ke tubuh aslinya di dunia nyata. Ia juga tidak tahu bagaimana nasib tubuhnya di dunia nyata sekarang. Apakah masih hidup dengan diisi jiwa lain atau malah telah berada di dalam tanah.

Rea hanya ingin hidup lebih lama, ia belum siap harus masuk neraka dan merasakan panasnya tempat penyiksaan itu.

Sungguh, baru kali ini rasanya hidup menjadi seorang Rea terasa semenyesakkan ini. Ia butuh... Bara.

Tuk

"Ngelamun aja!" 

Tubuh Rea berjengit mendengar suara Nathan bebarengan dengan diletakkannya sebuah nampan yang berisi dua gelas minuman dan dua porsi dessert. Rea hanya tersenyum menanggapi perkataan cowok itu. 

"Makasih," ucap Rea disertai dengan senyuman saat Nathan memindahkan sebuah gelas dan piring birisi dessert di depannya. "Lo pesen menu yang sama juga?" perkataannya dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan saat melihat bentuk dari minuman dan dessert milik Nathan sama dengan miliknya.

Nathan mengangguk sebagai jawabannya. "Sebentar ya," pamitnya hendak menaruh nampan yang ia bawa ke tempat khusus nampan.

Rea yang tidak ingin ketahuan melamun lagi memperhatikan sosok Nathan yang menjauh dan kemudian berjalan mendekat ke arah meja mereka. Melihat visual Nathan yang memang tidak bisa dibohongi sangat menonjol, membuatnya mewajarkan cowok itu menjadi second male lead yang sayangnya harus menjadi sad boy versi novel.

Karena pada kenyataannya yang sebenarnya patut diberi gelar sad adalah Rea. Rea asli dalam novel sampah ini!

Bayangkan saja, sudah harus menjadi seorang gadis yang bucin pada cowok bajingan seperti Nathan. Diselingkuhi berkali-kali, berakhir mati pula. Tapi yang masih dipuja-puja walau seperti itu tetap saja Nathan. Sedangkan Rea? Ketika mati malah dilupakan begitu saja.

Apakah di dunia ini juga berlaku hukum 'lo cakep, lo aman'?

Padahal menurutnya Rea juga cantik. Walau memang jika dibandingkan dengan sederetan tokoh lain ia kurang menonjol sih. Sungguh, dunia ini tidak adil!

Mengingat-ingat hal itu, membuat Rea kesal sendiri.

"Ngelamunin apa tadi?" kekesalan Rea harus ditelan mentah-mentah saat Nathan telah duduk kembali di kursi miliknya. 

"Enggak apa-apa, kok," jawab Rea sekenanya. Tidak mungkin juga ia mengatakan bahwa ia kepikiran dengan takdirnya yang mati beberapa waktu lagi.

"Kalo soal yang tadi, gausah dipikirin. Udah kelewat juga," Rea tersenyum tipis mendengar ucapan Nathan yang terdengar sangat pasrah. "Ya, walaupun agak nyesek sih di gue," Rea jadi kembali merasa bersalah mendengar perkataan cowok itu meski diakhirinya dengan tawa.

"Sekali lagi gue minta maaf, Nath. Gue juga gak tau kenapa ada beberapa hal yang gue lupain tanpa sengaja," Nathan menatap Rea tepat di mata gadis itu, mencari kebohongan dari sana jika saja memang Rea hanya beralasan agar tidak membuatnya merasa buruk. Tapi, hanya ada kejujuran di sana. Apakah gadis di depannya mengalami stress hingga ingatannya terganggu? Atau benturan di kepalanya hingga amnesia?

"It's okey. Itu juga udah kelewat, Re," Rea mengangguk dengan senyuman tipis di bibirnya. 

"Oh ya. Apa yang mau lo omongin?" tanya Rea pada intinya. Gadis itu menatap Nathan sambil meraih minumannya, mengaduk minuman itu dengan sedotan yang ada dan meminumnya pelan.

"Gue bingung harus mulai dari mana," Nathan menjawab setelah jeda beberapa detik. Rea yang melihat Nathan bingung ikutan bingung. Memangnya apa yang hendak dibicarakan laki-laki ini?

"Sebisa lo aja. Gue usahain paham sama apa yang lo omongin walaupun secara acak," sahut Rea sambil menaruh kembali gelas miliknya. "Asal jangan pake bahasa alien aja sih," Nathan yang mendengarnya terkekeh pelan, Rea yang menyadari perkataannya mencairkan suasana tegang yang ada ikutan tertawa pelan.

"Gue pengen ngejelasin kesalahpahaman yang ada di antara lo sama gue sebelumnya," Rea menganggukkan kepalanya paham.

"Silahkan, Nath. Gue dengerin," Nathan menatap Rea sebentar, kemudian meraih minuman miliknya dan meminumnya cepat hingga sisa setengah. Ia butuh tenaga untuk menceritakan semuanya.

"Waktu itu-"

Seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun tengah duduk di lantai, tepat di depan buffet yang berada di ruang tengah. Di tangannya, terdapat album foto yang tadi ia ambil dari salah satu laci terbawah buffet itu.

Anak itu terus membuka satu persatu foto yang ada di sana. Dalam album itu kebanyakan isinya adalah foto ketika ia dan kedua orang tuanya liburan.

Melihat foto-foto tersebut membuat anak itu kembali teringat dengan Ayahnya yang sudah beberapa bulan ini tidak kunjung pulang.

"Kamu ngapain, Nath?" anak itu menoleh ke arah Mamanya yang baru saja pulang dari kerja dan menegurnya yang tengah berkutik dengan album foto.

"Liat ini!" jawab anak laki-laki yang merupakan Nathan sambil menunjukkan album foto di pangkuannya kepada Diva.

Diva ikut duduk di lantai, tepat di samping Nathan dan ikut memandangi album foto yang tengah dilihat oleh anaknya.

"Papa kemana, Ma? Kok lama gak pulang?" Nathan menoleh ke arah Mamanya. Diva yang ditanya seperti itu tanpa sadar memasang raut wajah terkejut dan bingung.

"Papa ke luar negri, Sayang. Bulan depan pulang kok," Diva menjawab setelah agak lama diam. Tangannya juga terangkat mengelus kepala anaknya sayang.

"Beneran?" Nathan yang masih belum tahu apa-apa langsung percaya dengan apa yang Mamanya katakan. Matanya berbinar-binar mendengar bahwa Papanya akan pulang bulan depan setelah lama tidak pulang.

"Iya," jawab Diva sambil tersenyum manis.

"Tapi, gak sampe bulan depan bukannya gue liat bokap pulang gue malah liat nyokap gue pulang kerja keadaannya udah acak-acakan. Dari sana nyokap gue udah mulai gak ngurus gue karena sibuk ngurung diri di kamar. Gue mau nanya kenapa juga gak bisa," Nathan meraih gelasnya, meneguk kembali minumannya sambil melirik sekilas Rea yang memperhatikannya lekat.

"Gue gak bisa, karena nyokap selalu ngehindar waktu liat gue."

"Ma, Nath-"

Belum selesai Nathan berbicara, Diva langsung melangkah melewati anaknya begitu saja. Dengan keadaan tubuh yang makin kurus dan mata yang sembab serta lengkap dengan lingkaran hitam di bawahnya, Diva memilih abai terhadap anaknya.

Ia juga sudah tidak peduli dengan pekerjaannya. Yang jelas, yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan.

Nathan yang melihat Mamanya melewatinya begitu saja tidak tinggal diam. Anak itu berjalan mendekat kemudian kembali bersuara.

"Ma, Mama gak papa?"

Seolah tidak dengar, Diva membuka pintu lemari es dan mengeluarkan kotak susu dari sana. Beralih berjalan ke meja makan untuk mengambil gelas dan menuangkan susu itu ke sana.

"Ma?" Nathan kembali mengikuti Mamanya.

"Ma, Nath-"

Pyar!

Brukk!

Diva menatap datar ke arah Nathan yang jatuh terduduk karena menubruk tubuhnya. Tidak tampak khawatir walau di dekat anaknya itu juga terdapat pecahan gelas beserta susu yang berserakan di lantai.

"Berisik!"

Hanya kata itu yang diucapkan Diva, sebelum melenggang pergi meninggalkan Nathan yang terdiam dengan mata berkaca-kaca mengikuti kepergian Mamanya.

"Kayak gitu terus selama hampir setengah tahun, sampe akhirnya gue liat nyokap udah gak setertutup dulu. Gue seneng, seneng banget malah. Tapi-"

Nathan yang baru pulang dari kerja kelompok memilih merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Matanya yang sempat ia pejamkan kembali terbuka melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam.

Biasanya, Mamanya telah pulang dan menghabiskan waktunya di ruang tengah ini dengan majalah fashion di pangkuannya. Tapi, kemana beliau sekarang?

Clek

Suara pintu terbuka terdengar, dilanjut dengan suara pintu tertutup dan suara ketukan sepatu berhak tinggi dengan lantai mendekat.

Nathan beranjak dari duduknya. Menatap Mamanya yang berjalan begitu saja melewatinya dengan membawa banyak paperbag dengan logo brand-brand mahal yang tengah ditentengnya.

"Mama dari mana?"

Diva berhenti, menoleh ke arah anaknya yang menatapnya dengan pandangan rumit. Wanita itu tersenyum.

"Habis belanja," jawabnya singkat. 

"Sama siapa?"

"Sama bos," jawab Diva singkat. Setelahnya Diva kembali melangkahkan kakinya, tapi diurungkan dan menatap putranya lagi.

"Ah, iya. Kamu tau?" Nathan mengerutkan keningnya bingung. "Tadi Mama ketemu Papa kamu sama selingkuhannya waktu belanja."

Nathan tertegun mendengar kalimat Mamanya yang terdengar tanpa beban. Jantungnya bahkan terasa berhenti sejenak saat mendengar kata selingkuhan yang lolos begitu saja dengan ekspresi santai dari Mamanya.

Bagaimana bisa Mamanya sesantai itu? Apakah Mamanya tak lagi kecewa atau sakit hati dengan kelakuan Papanya?

"Gue bener-bener bingung saat itu, Re. Itu pertama kalinya gue denger soal bokap gue selingkuh. Tapi, nyokap gue kelihatan kalo gak kepengaruh sama kenyataan itu sedikitpun."

Rea menatap Nathan yang menunjukkan wajah sendunya dengan raut wajah campur aduk. Ia bingung harus meresponnya dengan bagaimana. Tapi, belum sampai Rea mengeluarkan suara sebagai bentuk responnya dari cerita cowok di depannya itu, Nathan kembali melanjutnya.

"Dari sana gue coba cari-cari informasi dari sosial media. Dan gue akhirnya nemu foto bokap sama perempuan lain di instagram-nya bokap. Instagram perempuan itu juga di-tag, akhirnya gue kepoin juga instagram-nya. Dan gue tau kalo perempuan itu nyokap lo," Rea mengerutkan keningnya sedikit mendengar penjelasan Nathan.

Sedikit terkejut dengan kenyataan Papa dan Mamanya memiliki akun instagram. Baiklah, jika dipikirkan lagi akan lebih aneh jika keduanya tidak memiliki akun instagram, mengingat keduanya berkecimpung di dunia bisnis. Sepertinya ia masih lebih akrab dengan fakta-fakta mengenai ibu-ibu yang gaptek seperti Ibu kandungnya di dunia nyata daripada di sini.

"Gue tau, karena gue nemu beberapa postingan nyokap lo yang ada lonya," Rea masih menyimak. Sedikit penasaran dengan foto-fotonya yang ada di akun instagram Mamanya, tapi itu bisa ia cari tahu sendiri nanti. Ia harus fokus pada cerita Nathan.

"Waktu itu gue pikir lo anak broken home yang akhirnya jadi anak tiri bokap gue. Tapi-"

Diva turun dari mobil dengan Nathan yang telah berada di luar menunggunya. Perempuan dengan dress sederhana berwarna rose brown itu berjalan mendekat ke arah pintu pengemudi kemudian menunduk. Nathan di belakangnya memilih menutup pintu mobil dan menunggu Mamanya selesai berbicara dengan pamannya.

"Pulang aja, Kak. Ini gak tau bakal lama atau enggak. Nanti kita pulang naik taksi aja,"  laki-laki di balik kemudi yang merupakan kakak dari Diva mengangguk paham.

"Yaudah, pulang dulu!"

"Heem, hati-hati!" Diva melambaikan tangannya singkat.

"Nath, Om pulang dulu!"  

"Iya, Om. Hati-hati!" Nathan tersenyum singkat.

"Ayo masuk sekarang aja. Biar cepet selesai!" Diva menoleh ke arah Nathan sekilas, hendak mengajak anaknya itu untuk segera mengurus pendaftaran ulangnya di Sekolah Menengah Atas namun harus urung karena melihat anaknya yang hanya diam menatap ke satu arah.

Diva mengikuti arah pandangan Nathan, kemudian matanya menangkap mantan suaminya tengah membukakan pintu penumpang bagian depan yang akhirnya menampakkan teman semasa sekolahnya dulu tengah tersenyum lebar.

Di bagian pintu belakang mobil itu juga akhirnya terbuka, dan keluarlah seorang anak gadis berwajah datar dari sana. Seolah memiliki ide di otaknya, Diva melirik ke arah anaknya yang masih sibuk memperhatikan keluarga yang nampak harmonis itu.

"Sayang, kenapa diem aja?" tanya Diva sambil memegang lengan anaknya lembut. "Kamu ngelihatin apa sih?" pertanyaan selanjutnya yang keluar dari mulut Diva membuat Nathan tersadar.

"Eh, enggak kok, Ma," jawab Nathan cepat sambil buru-buru membalikkan badannya. Takut Mamanya melihat apa yang ia lihat tadi.

"Itu Papa kamu," tubuh Nathan menegang mendengar kalimat yang tidak ingin ia dengar saat ini. 

Posisinya kini berdiri tepat di samping Diva dan saling berhadapan, meski bisikan Diva tidak tepat berada di telinganya karena tubuhnya yang tinggi, tapi tetap sukses membuat bulu kuduknya berdiri.

"Kamu lihat?"  

Nathan seolah bisa merasakan setiap aliran darah yang memompa jantungnya. Ia tidak siap mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Mamanya, apapun itu.

"Perempuan itu mantan pacar Papa kamu sebelum nikah sama Mama."

Satu.

Fakta yang tidak pernah ia duga akhirnya ia dengar hari ini.

"Pasti anak seumuran kamu itu, anak Papa kamu sama perempuan itu."

Dua.

"Kamu punya saudara beda Ibu, Nathan."

Tiga.

Nathan segera melepaskan tangan Mamanya dari lengannya. Dengan segera, anak itu pergi melangkah memasuki gerbang sekolah yang nantinya akan menjadi sekolah barunya. Diva yang melihat itu tersenyum miring.

"Beda ayah juga sih sebenernya," lanjut Diva pelan diakhiri dengan kekehan pelan.

Setelahnya, Diva kembali menegakkan tubuhnya. Berbalik dan menyusul Nathan yang meninggalkannya sendirian di depan gerbang sekolah.

"Gara-gara nyokap gue, gue jadi mikirnya kalo lo itu anak kandung bokap gue sama perempuan yang gue tau dari sosial media," Rea membuka mulutnya tidak percaya. Tidak percaya dengan kenyataan bahwa Nathan tetap memacari Rea asli disaat yang ia tahu adalah Rea saudara satu ayahnya.

"Tunggu, tunggu," Rea mengangkat tangannya, berniat menginterupsi cerita Nathan. "Lo mikirnya gue anak bokap lo sama selingkuhannya, ya kan?" Nathan mengangguk. "Terus kenapa lo tetep pacaran sama gue dulu?" kening Rea bergelombang dalam, menandakan ia benar-benar tidak mengerti.

"Gue pengen bales dendam lewat lo."

Jawaban Nathan lantas membuat Rea membuka mulutnya tidak percaya.

Balas dendam?

Ia jadi teringat dengan isi buku diary milik Rea. Gadis itu juga merencanakan perihal balas dendam pada Nathan dengan cara berpacaran dengannya.

Berarti, hubungan keduanya sama-sama didasari dengan perasaan ingin balas dendam? 

Oke, ini sedikit plot twist dan mengejutkan. Tidak, bukan sedikit. Tapi banyak. Banyak sekali. Rea sampai tidak bisa berkata-kata!

"Gue tau, gue salah, Re. Gue minta maaf banget sama perlakuan gue selama kita pacaran. Gue nyesel banget pas tau ternyata lo bukan anak bokap gue," perkataan Nathan membuat lamunan Rea mengenai hubungan Rea asli dengan Nathan di novel buyar. Gadis itu ikutan sedih melihat wajah penuh penyesalan milik Nathan.

Perlakuan Nathan terhadap Rea tentu saja sudah kelewatan. Apalagi ia juga sempat merasakan sebrengsek apa Nathan terhadap Rea yang seorang perempuan ini. Tetapi, mendengar bahwa semua perlakuannya didasari oleh rasa ingin balas dendam yang muncul karena hasutan Mamanya membuat perasaan kesalnya terhadap Nathan hilang.

Tentu, tentu saja sikap cowok itu tetap tidak bisa diwajarkan dan dimaafkan. Tapi kembali lagi, perasaan kesalnya terhadap Nathan hilang. Karena bagaimanapun, Nathan memiliki alasannya tersendiri.

"Gapapa kok, Nath. Gue juga sama aja. Gue dulu pacaran sama lo juga karena pengen bales dendam. Walaupun akhirnya gue sendiri yang sakit," jawab Rea diakhiri dengan ringisan karena teringat dengan akhir tragis milik Rea.

"Gue juga minta maaf, ya," Rea menatap balik Nathan. Keduanya sama-sama larut dalam tatapan sendu berisi penyesalan masing-masing.

Perasaan lega hadir di hati masing-masing setelah berhasil meluruskan benang merah yang saling terikat di berbagai sisi. Meski benang itu masih tetap saja kusut, tapi setidaknya sudah tidak ada lagi bagian yang terikat.

To be continue...

•••••

halooo

akhirnya saya up lagiii

ini sebenernya pgn up dari kapan lalu, tapi ternyata draft yang lusi bikin cocoknya dijadiin part selanjutnya, huhuu

ya mau gak mau lusi harus bikin part baru sebelum ke part yang lusi bikin kemarin:(

part yang buat besok sebenernya udah ready sihh, tapi belum tau rencana lusi up kapan karena sepertinya masih mau lusi tambahin biar panjanggg

btw, itu pov flashback lusi pake sudut pandang ketiga dan ada juga yang lebih condong nyeritain dari pov mamanya Nathan. biar kalian tau seluruh ceritanya langsung, jadi lusi ga bakal nyeritain di lain part lagi okey? tapi yang diceritain Nathan ke Rea ya sesuai pov Nathannya yaa, soalnya yang cerita Nathan bukan Diva T_T

itu dulu ya gaisss, bai baii

mwahhhh

Continue Reading

You'll Also Like

775K 2.6K 11
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa
2.9M 281K 81
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
382K 44.2K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
1.9M 126K 70
Seorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yan...