Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

17.4K 2.7K 271

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°1°
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°26°
°27°
°28°
°29°
°30°
°31°
°32°
°33°
°34°
°35°
°36°
°37°
°38°
°40°
°The End°

°39°

257 49 2
By slayernominee

.
.
.
.
.

Midoriya bangun dengan tubuh sedikit pegal karena semalaman tidur tanpa alas di lantai kayu yang dingin. Dia mengusap matanya dan beranjak duduk, melihat sekitar.

Ada cahaya dari jendela kecil di ruangan kosong tempat dia berada. Sudah pagi. Kemarin entah Hana membawanya ke mana, matanya ditutupi dan dia tiba-tiba dilempar, dikunci di sebuah ruangan kosong.

Dia penasaran akan sampai kapan dia dikurung di sana, meski jika dipindahkan pun sepertinya juga bukan pilihan yang bagus.

Duduk meringkuk dengan bersandar pada tembok dingin, Midoriya menghela napas pelan. Dia penasaran dengan kondisi panti, Hana sungguh tidak akan mengusik mereka, kan? Lalu soal Bakugou dan Kirishima... apa yang mereka akan pikirkan soal hal ini? Midoriya yakin mereka akan tahu apa yang terjadi padanya.

Menyentuh ke garis leher pakaiannya, Midoriya terkejut saat tak bisa menemukan kalung cincinnya. Dia menoleh ke sekitarnya, tidak menemukan apapun. Pasti jatuh di suatu tempat tanpa dia sadari. Dia merasa sangat bersalah dan sedih karena telah menghilangkan benda berharga itu.

"Padahal aku sudah berjanji akan menjaganya..."

Sepi. Dingin. Kosong. Midoriya memeluk kedua lututnya. Dia ingin pulang, dia ingin ada di rumah dan tempat-tempat yang dia sukai.

"Bodoh, jangan berpikir seperti itu," pikirnya. Dia sudah memutuskan untuk pergi, jadi dia tidak boleh menyesalinya.

Kunci pintu ruangannya terdengar dibuka dari luar. Midoriya menatap sosok yang kemudian masuk dan berdiri di ambang pintu.

"Oh, ternyata sudah bangun sendiri. Baguslah. Aku tidak perlu repot meneriakimu untuk bangun." Hana berjalan masuk.

Midoriya tetap diam, melihat gadis itu kemudian berdiri satu meter darinya. "Berdiri, kita akan pergi."

Perkataan itu membuat Midoriya mengerjap, ternyata dia tidak dikurung terlalu lama. "Ke mana?"

Hana tertawa kecil. "Tidak seru kalau kukatakan sekarang, nanti kau tahu sendiri. Cepat berdiri."

Kemanapun dia akan pergi, Midoriya tahu jelas itu tidak akan menuju tempat yang baik. Tapi tidak ada pilihan. Midoriya berdiri, mengekori Hana keluar dari ruangan kosong itu.

.
.
.
.
.

Dengan bantuan Kaminari yang mendapat informasi jika ada sekelompok orang asing yang kadang terlihat berkeliaran di kota, Bakugou dan Kirishima mendapat petunjuk besar dari koneksi dan penyelidikan yang mereka lakukan. Segera setelah mendapatkan kemungkinan lokasi, mereka bersiap untuk pergi.

Kaminari yang saat itu ada bersama mereka, menemukan bersama petunjuk itu, menatap gelisah pada dua orang yang sibuk bersiap itu.

"Ano, kalian benar-benar akan langsung pergi?"

Kirishima selesai memasang pedang di sabuknya. "Iya. Lebih cepat lebih baik, kan?"

"Benar, tapi..." Kaminari sempat ragu sejenak sebelum kembali bicara. "...aku berpikir... jika mungkin bisa ikut dan membantu..."

"Eh?"

"Bukannya aku meragukan kalian, tapi... aku pasti tidak akan bisa tenang hanya diam di sini..."

"Tidak bisa," ujar Bakugou. "Kau tidak punya keahlian bertarung, di sana pasti akan ada situasi bahaya."

Kaminari menunduk sedih. "Benar... saya nanti memang hanya akan jadi beban."

Bakugou bukannya merendahkan, tapi dia tidak mau adanya korban jika sejak awal bisa dia cegah. "Tetaplah di sini. Kau masih harus menjalan tugas untuk merahasiakan masalah ini dan ketidakhadiran Midoriya dari orang lain."

"Baik..."

Kirishima menyikutnya pelan, tertawa. "Jangan berkecil hati, itu tugas penting dari Yang Mulia, lho. Tidak ada yang bisa melakukannya selain kau sendiri."

Kaminari menyeringai geli mendengar hiburan Kirishima barusan. "Sebenarnya bisa bicara dengan calon kaisar dan jenderal ternama istana seperti ini sudah sangat hebat. Aku mungkin bisa menyombongkannya kalau mau."

"Kalau begitu kau akan melanggar janjimu sendiri."

"Bercanda."

"Tenang saja," Bakugou memakai jubah coklat tuanya. "Aku akan bawa dia kembali. Apa kau meragukan kemampuan kaisarmu sendiri?"

Kaminari segera menggeleng kuat-kuat. "Ti-tidak, Yang Mulia." Dia membungkuk hormat. "Saya serahkan keselamatan Midoriya pada Anda."

Bakugou mengangguk. Setelah semua persiapan selesai, mereka pun pergi. Kaminari melihat kepergian mereka dengan harapan terbaik agar semuanya baik-baik saja.

.
.
.
.
.

Midoriya meneteskan peluh dengan tangan yang terikat dan tubuhnya yang menghadap ke tiang tebal tempat tangannya terikat. Dia gemetar.

Ctar!

Midoriya menggertakkan giginya kuat-kuat saat lecutan kembali diterima oleh punggungnya. Bernapas dan mengerang tertahan.

Ctar!

Satu, dua, tiga lecutan kembali dia terima.

Midoriya menutup matanya rapat-rapat, air mata lolos mengaliri pipinya yang sudah basah karena dia terus menitikkan air mata.

Jeda sejenak. Midoriya menggunakannya untuk bernapas. Napasnya pendek dan berat, setiap menarik napas tubuhnya terasa sakit dan membuatnya meringis perih. Air mata bercampur peluh menetes dari dagunya, membasahi lantai kayu di bawahnya. Tempat dia berlutut tanpa alas kaki.

Pakaian di bagian punggungnya sudah sobek di mana-mana, dengan berbagai garis arah. Menunjukkan banyak garis merah tajam, luka dari cambukan yang sudah dia terima sejak sepuluh menit lalu.

Setelah Hana membawanya ke tempat asing lain, sorenya Midoriya diseret ke sebuah ruang yang berisikan sebuah tiang dan terdapat seseorang dengan penutup wajah, membawa cambuk panjang di tangannya.

Midoriya terdiam kaku, tapi dia didorong maju dan tangannya diikat ke tiang dengan membelakangi orang lain. Setelah Hana memberi perintah, sosok tadi mulai melecutkan cambuk panjang ke punggung Midoriya.

Kini setelah sepuluh menit menerima entah lecutan keberapa kalinya, Midoriya kehabisan tenaga dan jatuh berlutut. Dia bahkan sudah tak punya tenaga untuk berteriak kesakitan, hanya bisa bernapas berat dan mempertahankan kesadarannya.

Punggungnya terasa sangat panas dan perih menyengat, keringat dan darah membasahi bajunya yang terkoyak.

Ctar!

Midoriya mengerang pelan dengan mengertakkan giginya saat lecutan tajam kembali datang. Tubuhnya bertambah gemetar dan sulit untuk bernapas dengan benar.

Hana berjalan ke samping tiang, memandang wajah Midoriya yang penuh peluh dan air mata. Melihat itu, dia tersenyum puas.

"Pantas untuk kau dapatkan."

Midoriya melihat ke atas dengan gemetar.

"Aku sudah lama memikirkan hukuman apa yang pantas kau dapatkan. Hal ini tidak buruk juga, setelah sekian lama aku kesal melihatmu ada di samping Yang Mulia, akhirnya aku bisa balas dendam."

Karena tubuhnya yang sangat sakit, Midoriya butuh beberapa saat sebelum menyadari maksud perkataan itu.

"Hana-sama..." ujarnya lirih, bicara bersamaan dengan bernapas berat. "Anda... memiliki perasaan dengan Yang Mulia...?"

"Ya," jawab Hana. "Aku sudah berada di istana sejak kecil. Melihat Yang Mulia bertumbuh dan menjadi kuat sebagai pewaris kaisar yang sangat berbakat. Sejak kecil aku sudah memimpikan untuk menjadi istri dan menghabiskan sisa hidupku bersamanya, tapi..."

Hana memandang tajam pada Midoriya yang sudah lemas. "...kemudian tiba-tiba saja perjodohan bodoh dilakukan dan kau datang ke istana dan menjadi tunangan Yang Mulia. Kau pikir bagaimana kondisi hatiku saat mengetahui itu semua?"

Midoriya hanya bisa diam. Dia... tidak bermaksud menyakiti siapapun sejak awal.

"Karena Yang Mulia terlihat tak menyikapi perjodohan dengan serius, aku pun tetap berusaha untuk memenangkan hatinya. Segala cara kugunakan untuk menggagalkan perjodohan kalian."

Perkataan itu membuat Midoriya teringat akan masalah-masalah yang terjadi selama di istana yang melibatkan dirinya. Apa semua itu ulah Hana?

"Namun, semuanya tidak berjalan sesuai keinginanku. Seiring hari kalian semakin dekat, hingga sampai pada titik aku menyadari jika Yang Mulia mulai memiliki perasaan padamu." Hana mengepalkan tangannya. "Konyol sekali. Sangat konyol!" Serunya. "Harusnya aku yang ada di posisimu, bukan malah gadis yang entah darimana asalnya datang begitu saja mengambil segalanya dariku."

Midoriya tak bisa berkata apapun. Memang benar, mungkin Hana sejak awal akan menjadi kandidat calon permaisuri yang luar biasa. Dia cantik, pintar, putri bangsawan kelas tinggi yang bahkan tinggal di istana.

"Lalu aku menemukan fakta jika kau bukanlah orang yang sebenarnya akan dijodohkan dengan Yang Mulia. Aku menemui Kisami, menjadi rekannya. Meski aku juga tak menyukai dia, tapi dia bisa membantuku untuk menyingkirkanmu dari istana."

Midoriya mengerang tertahan saat Hana menjambak rambutnya, membuatnya memandang ke atas.

"Rakyat biasa sepertimu sejak awal tidak boleh menginjak ke dalam istana, tapi kau bahkan menipu semua orang. Kau akan merasakan seluruh hukuman yang layak kau terima."

Hana melepaskan jambakannya, berjalan pergi. "Terus hukum dia," ujarnya sebelum keluar dari ruangan.

Lecutan tajam kembali berlangsung, lagi, lagi, terus menerus. Midoriya menerima semua dampak menyakitkan pada punggungnya hingga akhirnya dia tak kuasa lagi untuk bertahan dan jatuh pingsan.

.
.
.
.
.

Kirishima kembali usai memeriksa segala tempat. "Tidak ada siapapun di sini."

Bakugou meringis kesal. Mereka tidak salah tempat, semua petunjuk mengarah ke tempat itu. "Jadi mereka pergi ke tempat lain."

"Benar." Kirishima juga kesal. Hasil penyelidikan mereka hanya mengantar ke tempat kosong, sementara yang mereka cari sudah kabur ke tempat lain. "Kita harus menyelidiki ulang, mencari tahu ke mana mereka pergi."

Hari ini sudah malam, tapi Bakugou tidak memiliki niatan untuk istirahat. Dia sama sekali tidak akan bisa tidur mau bagaimanapun juga dalam situasi seperti itu.

"Kumpulkan informasi dari siapapun yang ada di sekitar sini. Sebisa mungkin aku ingin dapat jawaban hari ini juga."

"Baik." Kirishima bergegas pergi melaksanakan perintah.

Bakugou melihat sekitar, dia juga akan mengumpulkan informasi. Melihat ke langit malam yang gelap dengan sedikit cahaya bulan terlihat samar dari balik awan-awan tebal, dia berharap jika Midoriya akan baik-baik saja.

"Aku akan segera menemukanmu, bertahanlah."

.
.
.
.
.

Seseorang berjalan melewati lorong sepi dengan langkah senyap, dia berpakaian gelap dan wajahnya tertutup sampai ke atas hidung, menyisakan matanya saja yang terlihat. Sesekali dia melirik sekitar untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya.

Dia terus berjalan dan berhenti di depan sebuah ruangan. Setelah mengecek sekitarnya sekali lagi, dia pun bergegas masuk dengan hening.

Secara hati-hati dia menutup pintu dan menoleh melihat ke dalam ruangan. Melihat sebuah tiang dengan tali yang mengurai longgar di bawah. Di sebelahnya, terbaring gadis bersurai hijau.

Dia berlutut di sebelah gadis itu. Melihat kondisinya. Rambutnya terurai berantakan, pelipisnya berkeringat, wajah pucat, tubuh gemetar. Punggungnya terlihat paling parah. Bajunya sobek di sana-sini, basah dan merah oleh darah. Puluhan luka garis merah tebal terlihat.

Dia sedikit mengepalkan tangan, tidak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya, dengan hati-hati dia mengangkat gadis itu dengan berusaha untuk tak menyentuh punggungnya. Dia sedikit memindahkannya untuk bisa bersandar ke dinding dengan bahu, jadi lukanya tetap aman.

Saat itu, gadis itu sadarkan diri, membuka kelopak matanya pelan. Serangan rasa sakit yang mendera membuatnya mengerang dan sedikit bergerak.

"Ah, maaf. Aku sudah berusaha tidak menyentuh lukamu."

Midoriya sedikit menoleh, dia melihat sosok dengan penutup wajah itu dengan mengernyit. "Siapa..."

Sosok itu membuka penutup wajahnya. Manik emerald Midoriya menatap terkejut. "Nobu-san...?"

Nobu mengangguk. "Ya, ini aku."

Midoriya ingin duduk tegak, tapi dia meringis kesakitan. Nobu memintanya untuk tetap bersandar saja.

"Ba-bagaimana kau bisa ada di sini...?"

"Aku salah satu orang bayaran dari gadis bernama Hana itu. Tak lama setelah kau pergi, aku diminta untuk ikut pergi ke seberang pulau. Awalnya aku ragu jika tugasku adalah kembali mencari keberadaanmu, tapi ternyata memang benar."

Nobu menatap Midoriya. "Apa yang terjadi? Kukira akan aman setelah kau pergi."

"Sebenarnya... aku pergi untuk melindungi orang-orangku. Hana tahu itu dan pergi ke tempat asalku."

"Kau bodoh," ujar Nobu. "Kenapa kau tidak pergi selamatkan dirimu sendiri? Kau hanya menempatkan dirimu kembali dalam bahaya."

Midoriya tersenyum kecil. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa mengabaikan teman-temanku..."

"Ceroboh sekali."

"Nobu-san... kau juga. Kau tetap kembali menemuiku meski itu bisa mengancammu jika orang lain tahu."

"Aku yakin bisa membuat diriku sendiri aman, tidak sepertimu."

"Haha, kalau begitu aku minta maaf..."

Nobu menghela napas pelan, dia melihat ke luka punggung Midoriya yang sangat parah. "Aku akan mengobatimu, luka itu akan jadi semakin parah kalau tidak diurus. Kemungkinan akan sakit, apa kau bisa menahannya?"

"Ya... aku akan berusaha."

Nobu mulai bekerja. Karena luka Midoriya memenuhi punggungnya, dia harus meminta gadis itu menurunkan pakaiannya. Midoriya tetap bisa menutupi tubuh depannya, sedangkan tangannya keluar dan punggungnya terbuka lebar.

Nobu melihat puluhan luka merah berdarah yang terlihat sangat menyakitkan itu.

"Apa tidak masalah kau melakukan ini...? Jika Hana tahu lukaku diobati..."

"Tenang saja, aku yang akan mengurus itu. Sekarang fokus saja untuk bertahan saat aku mengobatimu."

Midoriya menahan napas dan erangannya begitu Nobu mulai mengurus luka-lukanya. Dia menutup mata rapat-rapat, juga mulutnya untuk menahan diri tak berteriak.

Punggungnya sudah sangat kesakitan, sekarang semakin terasa terbakar. Midoriya mengepalkan tangannya kuat-kuat dan berusaha untuk tetap diam di tempatnya.

Nobu bekerja secepat mungkin. Dia bisa melihat tubuh Midoriya gemetar, dia tahu itu sangat menyakitkan. Setelah selesai membersihkan luka dan mengoleskan obat, dia membebat luka dengan perban.

"Selesai."

Midoriya langsung bersandar lemas, pipinya basah karena dia menangis menahan sakit, membuat matanya semakin sembab. Punggungnya masih perih, tapi sudah terasa lebih baik. Dia bernapas sedikit lega.

Nobu melihat Midoriya terus gemetar dan wajahnya pucat. Gadis itu demam karena semua luka yang dia dapat. Ruangan itu juga dingin dan sama sekali tidak ada apa-apa selain tiang, lantai dan dinding yang keras.

Dia harus membawanya pergi. "Midoriya, ayo. Aku akan membantumu keluar dari sini."

Nobu berusaha membantunya berdiri, tapi Midoriya menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa pergi."

"Kenapa?"

"Kalau aku sampai kabur lagi, aku yakin... Hana akan melakukan sesuatu pada orang-orangku..."

"Tapi kalau kau terus di sini... Hari ini kau masih bisa baik-baik saja, tapi aku tidak tahu setelahnya..."

"Tidak apa." Midoriya tersenyum. "Aku sudah memutuskan. Jadi, apapun yang terjadi... aku akan menerimanya."

Alis Nobu menukik sedih. Di sini dia tidak akan bisa berbuat banyak.

"Pergilah, aku tidak ingin kau ketahuan oleh yang lain..."

"Situasi di luar masih aman. Aku bisa di sini sampai pagi. Tidur saja, aku akan duduk di sini menemanimu."

Midoriya tersenyum, dia memang masih sangat lelah. "Terima kasih, Nobu."

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

22.7K 5.9K 82
"Aku tidak terlahir sebagai orang yang beruntung, aku terlalu kuat." Dalam perjalanan pulang larut malam, Xiao Li menemukan surat permintaan bantuan...
5K 525 15
Apa kalian percaya tentang Takdir Benang merah?? Lucy seorang gadis yang percaya dengan benang merah... Dia menyukai sahabat ny Natsu... Namun Natsu...
Teman? | Zolu By Vi

Teen Fiction

19.1K 2K 14
[Lokal au] One piece fanfiction | Zolu . . . . . Katanya sih cuma teman, tapi kelakuan seakan bilang lebih dari teman. Yang satu gak peka, yang satun...
1.5K 135 9
Mata itu begitu dingin bagaimana jika aku ditatap oleh mata itu? apa aku akan tenggelam apa aku akan mati aku menyukaimu, apa kau bisa menyukaiku ju...