RELEASED || BNHA X OC

By amitava_

21.1K 3.2K 182

Ini cerita tentang dendam, ikatan, dan takdir *** Ryuna Seiya. Seorang gadis yang berasal dari garis keturun... More

PRAKATA
#0 : Ryuna Seiya - Origin
#01 : New Start
#02 : Battle Trial
#03 : A vs D
#04 : We Are a Team !
#05 : USJ (1)
#06 : USJ (2)
#07 : USJ (3)
#08 : Hero Debut ! Earthgrazer and Umbra
#09 : Get Ready For The Sports Festival
#10 : Crazy Idea
#11 : Cavalry Battle
#12 : Blue vs Yellow
#13 : A Battle Between Teammates
#14 : Todoroki vs Ryuna
#15 : Not Over Yet
#16 : Codename
#17 : Shield Hero : Zea
#18 : This Makes Me Stronger
#19 : Train for the Final Exam
#20 : Final Exam
#21 : Refreshing
#22 : Arriving in the I-Island (1)
#23 : Arriving in the I-Island (2)
#24 : Arriving in the I-Island (3)
#25 : The Truth About Mara
#26 : Summer Camp
#27 : New Power Unlocked
#28 : Villain Attack
#29 : A Defeat
#30 : Tonight
#31 : Counter Attack
#32 : To My Battlefield
#33 : Eclipse
#34 : Encounter
#35 : Blanche and Noir (1)
#36 : Blanche and Noir (2)
#37 : I Can't Comeback
#38 : Hoping for a Miracle
#39 : Ryuna vs Mara
#40 : Thankyou
#41 : Wondering the Future
#42 : Keep Moving Forward
EXTRA : Wait for Me
CHARACTER VISUAL
#43 : Long Time No See
#44 : Blue Haired Boy
#45 : Akira Novarel : Origin
#46 : I Will Protect Her
#47 : Thankyou for Coming
#48 : Hero License
#49 : Ryuna vs Tori
#50 : Worry
#51 : Rescue Exercise
#53 : Care
#54 : What Have I Done ?
#55 : Big Three
#56 : Put On The Line
#57 : Too Weak
#58 : Campfire
#59 : New Case
#60 : Piece of the Past
#61 : Hero Internship (1)
#62 : Hero Internship (2)
#63 : Hero Internship (3)
#64 : The Cooperation Mission
#65 : Arrow Generation
#66 : Another Consciousnesses
#67 : Stronger ?
#68 : Back to The Dorms
#69 : Aftermath
#70 : Indecisive Thoughts
#71 : Welcome to Nabu Island
#72 : This Is Not Your Place
#73 : Sunset
#74 : The End of a Fun Summer Vacation
#75 : Something I Can Do
#76 : A Path To Become A Leader
#77 : VS

#52 : Fulfill a Promise

95 17 0
By amitava_

Hidup ini entah kenapa makin kesini makin kesana

Dahlah enjoy

*

Kami bertiga berjalan beriringan di sisi sisi tebing batu. Mataku meneliti setiap jengkal bebatuan, mencari korban lain. Belum lama kami berjalan, terdengar suara tangisan anak kecil tak jauh dari tempat kami berdiri.

Kami saling berpandangan lalu bergegas menghampiri asal suara.

"Ketemu !" seruku melihat seorang anak kecil yang terjebak di batu yang menempel di sisi tebing.

"Kami akan segera menyelamatkanmu !" Kirishima mencoba mengulurkan tangannya sambil berpegangan pada pinggiran tebing. Namun letak batu itu masih terlalu jauh.

"Seseorang harus turun ke situ," aku memutuskan, "biar aku saja. Pijakan batu itu bisa saja rapuh dan aku yang paling ringan di antara kita."

Kirishima mengangguk, "wakatta. Berhati hatilah, Ryuna."

"Kalau kau jatuh kau akan terluka parah lho," celetuk Bakugo menakut nakuti walau aku tahu sebenarnya dia juga khawatir.

Aku melompat ke pijakan batu tempat anak itu terjebak. Ketika aku mendarat, kerikil dan batu batu kecil rontok ke bawah menandakan pijakan itu tidak kokoh seperti dugaanku. Aku cepat cepat memeriksa keadaan anak itu. Selain kepalanya yang sedikit berdarah, sisanya baik baik saja.

Aku tersenyum padanya kemudian mengangkat tubuhnya, menyerahkannya pada dua rekanku di atas, "kalian bisa membantuku ?"

Kirishima hendak menyambutnya.

BUM!!

Belum sempat anak itu sampai di tangannya, terdengar suara ledakan dari seberang arena kemudian disusul ledakan beruntun di sekitar kami. Tebing itu bergetar. Batu batu besar dan kecil berjatuhan.

"Cepatlah, Kirishima ! Bawa dia ke tempat yang aman !" aku memberi perintah. Kirishima buru buru mengangkat anak itu sambil memandang ragu padaku. "Jangan cemaskan aku," lanjutku lagi.

"Saat ini telah terjadi serangan besar oleh villain !" suara Mera bergema di seluruh arena. Ternyata skenario selanjutnya.

"Cepatlah naik !" Bakugo mengulurkan tangannya padaku.

Aku bergegas menggapai uluran tangannya. Namun, pijakan batu itu sudah keburu runtuh tertimpa batu. Tubuhku meluncur jatuh bersamaan dengan reruntuhan batu batu.

"RYUNA !!"

Bakugo melompat menolongku. Dia menangkap pinggangku tepat sebelum tubuhku menghantam tanah. Belum sempat aku menarik napas, bongkahan batu besar sudah meluncur di atas kepala, siap menimpa kami. Bakugo mengangkat tangannya menghancurkan batu besar itu dalam sekali serang.

"Terimakasih. Aku selamat," aku menghela napas lega, "aku harap yang lainnya baik baik saja. Kita susul mereka ?"

Bakugo mengangguk. Dia meraih pinggangku lagi, membuatku memekik kaget, "hii ! Kau mau apa hah ?!"

"Diamlah ! Kelamaan kalau jalan !" Bakugo lalu melesat terbang ke udara menggunakan sebelah tangannya yang meledak ledak. Aku dibawanya serta.

Di seberang arena sana terlihat tornado api yang berputar. Para peserta lain juga tampak sedang bertarung melawan para villain. Aku berpikir dimana Akira saat ini.

"Itu Kirishima !" aku menuding ke bawah setelah melihat rambut merah Kirishima yang mencolok.

TENGG!!

Tepat setelah kami mendarat di samping Kirishima, alarm berbunyi. "Saat ini, semua HUC sudah berhasil diamankan dari area berbahaya."

"Eh sudah selesai ?" aku berkata heran.

"Sepertinya kita baru saja menyelesaikannya," balas Kirishima.

***

Ujian Lisensi dengan ini telah selesai. Kelulusan akan diumumkan setelah perhitungan nilai. Kami disuruh berganti pakaian dan menunggu hasil.

Beberapa menit kemudian kami sudah berkumpul di satu titik di depan panggung kecil dengan layar monitor. Mera berdiri di panggung memberi arahan.

"Terimakasih atas usaha kalian di ujian ini. Sekarang saatnya mengumumkan hasil ujian kalian."

Perolehan nilai ini didapat dari penilaian HUC dan orang orang berpakaian serba hitam yang ternyata dari komite keamanan pahlawan. Penilaian diambil berdasarkan ketepatan tindakan peserta dalam menghadapi situasi krisis.

"Nama yang lulus tertulis berurutan di monitor ini," ucap Mera mengakhiri penjelasannya. Urutan nama muncul di layar monitor.

Aku menyipitkan mata mencari namaku dan memekik senang begitu melihatnya, "wah ada !"

"Namaku..." aku menoleh pada Akira di sampingku yang wajahnya tampak pucat. Beberapa detik dia terdiam kemudian tersenyum lebar, "aku lolos hehe."

Aku menghela napas lega, "astaga bikin panik saja. Kerja bagus !"

Toss!!

Teman teman lain juga bersorak sorak ramai. Syukurlah mereka lulus.

Kali ini aku menoleh mencari Bakugo. Aku ingin tahu reaksinya.

Tapi yang kulihat hanya wajahnya yang merengut, "tidak ada ?!"

"Hah ? Apa Bakugo tidak lulus ?" Pikirku.

Di belakangku terdengar ribut ribut dari Todoroki dan Yoarashi Inasa. Kalau kusimak percakapan mereka, sepertinya keduanya tidak lulus. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Dua orang terhebat di kelas kita gagal ?"

Kaminari mengerling pada sahabatnya, "renungkan lagi tentang bahasamu, Bakugo. Nada bicara itu penting."

"Diamlah, atau kubunuh kau !" Bakugo menggeram marah.

"Justru karena mereka sangat hebat, makanya ego mereka malah menjadi masalah," Mineta berkata sok bijak, "hirearki mulai roboh..."

Aku menonjok si cebol itu agar dia diam. Tidak bisakah dia mengerti bahwa teman temannya frustasi ?

"Selanjutnya akan kami bagikan lembaran hasilnya. Disana sudah tertera rincian penilaian kalian. Jadi tolong perhatikan baik baik," Mera berkata lagi seraya para petugas mulai membagikan lembaran kertas pada para peserta.

Aku mengkhawatirkan Bakugo. Dia masih cemberut di belakang rombongan. Aku tahu dia frustasi. Auranya sama seperti saat pertama kali aku dipasangkan dengannya saat battle trial dan kalah. Tidak heran kalau dia akan mengamuk entah pada siapa sebentar lagi. Bahkan setelah mendengar bahwa masih ada kesempatan, itu tidak mengubahnya banyak.

"Masih ada kesempatan, Bakugo," aku menepuk bahunya, "aku akan menunggumu."

Di luar dugaan dia menepis tanganku dan menghindari bertatapan denganku.

Aku hendak mengejarnya, namun Akira menggeleng.

Sudah lama dia tidak memperlakukanku seperti ini. Apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya kesal ?

***

Matahari sudah terbenam ketika kami akhirnya keluar dari stadion. Kami yang lulus mendapatkan kartu lisensi pahlawan sementara.

Aku menatap punyaku dengan senyum mengembang. Di kartu itu terpampang nama hero dan biodataku serta dilengkapi dengan foto diriku. Ini sempurna.

"You're happy, huh ?" Akira menyandarkan tangannya di pundakku. Aku mengangguk semangat sebagai balasan. "Kau tahu ? Midoriya langsung memotret miliknya untuk ditunjukan pada ibunya. Kenapa kau juga tidak menunjukannya pada kakak kakakmu ?"

"Oh ide bagus !" sahutku senang dan segera melaksanakan hal itu.

"Ryuna !" seseorang memanggilku. Lagi lagi Tori.

Aku dan Akira menoleh bersamaan langsung melempar tatapan datar pada gadis burung itu.

Menyadari tatapan itu, Tori mendadak membungkukkan badannya, "sebelumnya, terimakasih atas semua bantuanmu hari ini Ryuna. Berkatmu aku bisa sampai sejauh ini. Tapi, sayangnya aku tidak lolos..." jelasnya dengan tawa hambar, tampak kecewa, "tapi tidak apa apa. Aku akan mengikuti latihan khusus. Aku tidak akan menyerah !"

"Oh semoga beruntung untukmu," balasku datar.

Tori mengernyit lalu meninggikan suaranya, "ano... Ryuna... Akira... aku benar benar minta maaf atas apa yang aku lakukan di masa lalu. Aku..."

"Sudahlah, Tori," aku memotong, "aku sudah memaafkanmu. Sekarang jalani saja hidupmu yang sekarang dengan baik."

"Hahh ?! Kau memaafkan—" aku segera mendekap mulut Akira sebelum dia berkata macam macam.

"Kau memaafkanku ?" Tori menatapku dengan mata berkaca kaca.

Aku menghela napas dan mengangguk pelan. Tori mulai terisak, air matanya mengalir deras di wajahnya, "kau sangat baik Ryuna ! Aku akan membalas kebaikanmu suatu hari nanti. Aku janji ! Aku akan mengingatmu selalu !"

"Iya iya sudahlah, Tori," aku mengangkat bahunya agar dia berdiri tegak. Mata kami bertemu. Aku menatapnya iba. Dia sudah melalui banyak hal beberapa waktu terakhir ini.

"Tori-chan ! Cepatlah ! Kami tinggal lho !" salah satu anak Ketsubutsu berseru memanggil.

"Pergilah. Teman temanmu menunggumu," ucapku lagi.

Tori menggeleng, "mereka sudah sering mendekatiku. Tapi aku terlalu takut menjadi teman mereka. Aku takut mereka jahat padaku."

"Tidak semua orang jahat, Tori. Terkadang kau harus berani untuk memulai sesuatu yang baru. Tidak masalah jika berakhir buruk setidaknya kau sudah mencoba," aku lalu menyerahkan selembar kertas padanya yang berisi nomor teleponku, "mulailah dulu. Kalau terjadi sesuatu yang buruk kau bisa menghubungiku."

Tori menatap kertas itu lamat lamat, "terimakasih, Ryuna. Sampai ketemu lagi."

Aku melambaikan tanganku ketika dia berkumpul kembali dengan anak anak Ketsubutsu.

"Ah kau terlalu baik," komentar Akira.

"Biarlah. Dia sudah melewati saat saat yang berat. Lagipula aku sudah puas bertarung dengannya."

Akira menghela napas lalu mengacak rambutku kasar, "dasar polos. Tapi itulah hal yang kusuka dari dirimu."

Aku tidak terlalu mendengarkan pengakuan Akira barusan. Perasaanku tiba tiba gelisah. Aku menoleh kesana kemari entah mencari apa.

Namun, sesuatu kemudian mengejutkanku. Di balik pintu masuk arena, sepasang mata berwarna merah darah sedang menatapku. Aku tidak pernah melupakan tatapan itu, rambut hitamnya, dan pakaian bernuansa hitam merah itu, namun, tanpa dilengkapi syal merahnya.

Napasku seketika memburu, "Mara ?"

Sosok Mara menghilang masuk ke dalam arena. Kakiku bergerak cepat ke arah arena, mengejar, mengabaikan seruan Akira di belakangku.

Aku sudah masuk ke dalam arena. Mataku menyapu seluruh arena mencari sosok itu dan menemukannya. Sosok Mara muncul dari balik tembok dengan matanya yang menyorotkan tatapan membunuh.

"Lama tidak bertemu, Ryuna," suaranya yang anggun tapi misterius seolah menusukku. napasku berpacu semakin kuat.

"Tidak mungkin. Dia masih hidup ?!"

"Ahh sudah lama ya. Apa kau merindukan Mara, Ryuna-chan ?"

Oh tunggu. Dia bukan Mara tapi Toga Himiko. Aku tahu dari nada suaranya. Astaga aku hampir lupa masih ada dia. Tapi kali ini dia mengubah sosoknya menjadi Mara ? Bukannya tadi dia berubah menjadi Camie ? Apa itu quirknya ?

"Kenapa kau datang kesini hah ? Kalau kau datang untuk menculik Bakugo lagi, akan kupastikan kau tidak akan bisa mendekatinya seinci pun," ucapku mengancam. Tidak akan kubiarkan kejadian waktu itu terulang lagi.

Toga menggeleng, "dia sudah tidak diinginkan. Aku menginginkanmu, Ryuna."

Aku tersentak kaget. Belum genap terkejutku, Toga sudah gesit mengunci tubuhku di tembok sambil mengacungkan pisaunya ke leherku.

"Beraninya kau melenyapkan Mara," desisnya di telingaku, "dia salah satu teman terbaikku. Akan kubalaskan kematiannya dengan membunuhmu !"

Pisau itu mulai mengiris leherku. Aku mengernyit, tidak bisa berbuat apapun.

"Lepaskan dia, wanita gila !" Akira muncul di belakang Toga, siap menyerang dengan tongkatnya, "harusnya tidak kubiarkan kau pergi sendirian, Ryu. Sudah kuduga ada yang tidak beres."

Toga berdecih pelan lalu hendak melarikan diri.

"Tunggu !" seruku menghentikan langkahnya, "Mara... dia menitipkan ini padaku."

Aku mengeluarkan benda yang dititipkan Mara padaku setelah pertarungan. Sehelai syal merah yang mengikat pertemanan mereka berdua. Aku selalu membawanya kemanapun. "Dia menyuruhku memberikannya padamu dan dia sangat berterima kasih atas segalanya."

Ketika angin berhembus, syal itu terlepas dari genggamanku dan terbang tepat ke arah Toga, seolah memiliki pikiran sendiri. Toga menangkapnya lalu menatap benda itu lamat lamat. Matanya menyorotkan perasaan yang amat mendalam.

Hal selanjutnya yang tidak kusangka adalah setetes air mata yang mengalir di pipi villain itu. Setelah itu, dia tidak berbuat banyak. Dia menatapku sekilas kemudian pergi.

Sedari tadi lututku lemas kupaksakan berdiri. Setelah merasa lega aku seketika terhenyak ke lantai. Kepalaku tertunduk dengan tanganku memijat pelipis. Membayangkan Mara masih hidup cukup membuatku jantungku seperti mau copot. Napasku masih menderu deru melepaskan perasaan panik tadi. Aku hampir mati kalau Akira tidak datang tadi.

Akira berjongkok di depanku, menggenggam kedua bahuku lembut untuk menenangkanku, "tenanglah, Ryuna. Sekarang sudah baik baik saja, ok ? Keadaan sudah aman. Kau tidak perlu takut."

Aku meremas baju di dadaku. Jantungku masih berdebar kencang. Tadi itu mengerikan.

Setelah itu, Aizawa sensei menemukan kami di dalam arena. Akira menceritakan semua yang terjadi tadi. Aizawa sensei segera melaporkannya pada panitia dan langsung mencari keberadaan Toga yang tentu saja tidak akan ditemukan.

Akira membawaku ke bus diikuti kekhawatiran teman teman yang lain. Sebelumnya aku masih menyadari tatapan khawatir Bakugo diantara teman teman. Dia hanya berdiri mematung di tempatnya, memandang ke arah Akira yang memapahku ke bus.

Aku tidak ingat apa apa setelahnya. Sepertinya aku tertidur setelah masuk ke bus.

Yah kejadian tiba tiba itu sangat mengerikan. Tapi setidaknya, janjiku pada Mara untuk mengembalikan syal itu pada Toga sudah tercapai.

Continue Reading

You'll Also Like

203K 26.5K 66
"Kupikir, aku bisa bertahan sendirian. Tapi, ternyata untuk sekarang, aku belum sanggup untuk berpisah dengan saudara kembarku. Aku masih ingin berad...
1M 39.5K 92
𝗟𝗼𝘃𝗶𝗻𝗴 𝗵𝗲𝗿 𝘄𝗮𝘀 𝗹𝗶𝗸𝗲 𝗽𝗹𝗮𝘆𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗶𝘁𝗵 𝗳𝗶𝗿𝗲, 𝗹𝘂𝗰𝗸𝗶𝗹𝘆 𝗳𝗼𝗿 𝗵𝗲𝗿, 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗲𝘀 𝗹𝗼𝘃𝗲 𝗽𝗹𝗮𝘆𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗶𝘁𝗵 �...
1.1M 19.4K 44
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...
949K 58.4K 119
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...