What should we do?

By Secrettaa

337K 32.3K 5.3K

[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan singkat di lampu merah justru menjad... More

PROLOG
ARJUNA ARTAWIJAYA
ARIKA ANGELINA
1 | PERTEMUAN PERTAMA
2 | CEMARA
3 | PERMINTAAN ARIKA
4 | 00:00
5 | VAMPIR
6 | PECAL AYAM
7 | HUKUMAN
8 | INSIDEN DI TAMAN
9 | TAMU SPESIAL
10 | MALL
11 | SEKOLAH
12 | TEMAN BARU
13 | BAD MOOD
14 | PAGI BAHAGIA
15 | ROOFTOP
16 | NATAYA BAGASKARA DAN DUNIANYA, ANGKASA
17 | ARJUNA VS ARION
18 | TIDAK BISA DITEBAK
19 | TETAP TEMAN
20 | I LOVE YOU
21 | SUNSET
22 | SEMUA PERLU JEDA
23 | SALAH PERASAAN
24 | PROMISE
25 | IT'S OKAY
26 | PULANG
27 | PARTY
28 | BEAUTIFUL NIGHT WITH BEAUTIFUL GIRL
30 | FAMILY SECRET
31 | BACK TO SCHOOL
32 | MY LOVE
33 | LOOKING NIGHT SKY
34 | CAN WE ALWAYS TOGETHER?
35 | PEOPLE'S HAVE PAIN
36 | I'M SORRY
37 | SUNSET
38 | SELAMAT TIDUR
39 | MEET AGAIN
40 | YOU MUST STILL LIFE
SEE YOU

29 | SHE'S COME

2.9K 317 67
By Secrettaa

FOLLOW Secrettaa
INSTAGRAM @aleeeeeeeee_0019
TIKTOK @authorta
Pakai tagar: #secrettaa#wpwhatshouldwedo#arikaangelina#arjunaartawijaya#arionharsadarma

🌻HAPPY READING CHINGUDEUL🌻

"Bawa ke kamar aja langsung Den," ujar Bi Siti ketika baru saja membuka pintu utama dan disambut dengan kedatangan pria berjas yang sesuai dengan apa yang nyonya nya katakan di telepon tadi.

"Enggak pa-pa, Bi?" tanya Arjuna ragu. Walaupun ia merasa memang harus langsung membawa Arika ke kamarnya, tetap saja Arjuna merasa kurang sopan dan tidak enak.

Bi Siti mengangguk menyakinkan, "Tadi nyonya udah ngasih tahu kalau Den ngantar Non Arika pulang dan kata Nyonya kalau Non Arika nya tidur, disuruh langsung bawa ke kamar aja. Enggak pa-pa kok Den, kan Bibi ngawasin juga."

Seolah tahu dengan pikiran Arjuna, Bi Siti pun menjelaskan apa yang majikannya sampaikan tadi.

"Yaudah Bi, kamarnya Arika dimana?"

"Di lantai dua. Den kuat 'kan?"

Arjuna mengangguk sambil tersenyum pada Bi Siti. "Kuat dong, Bi."

Bi Siti pun menuntun Arjuna menuju kamar Arika yang berada di lantai dua. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat kesusahan ketika menggendong Arika yang tampak nyenyak dalam tidurnya.

Setelah melewati tangga dan sampai di kamar bernuansa kuning milik Arika, Arjuna segera merebahkan tubuh kekasihnya dengan penuh hati-hati, takut Arika terbangun dan tak lupa ia juga menarik selimut untuk menutupi tubuh itu.

"Tidur yang nyenyak ya, cantiknya Juna," bisik Arjuna sambil merapikan rambut Arika yang menutupi wajah cantiknya. Sebelum menegakkan tubuhnya dan keluar dari kamar itu, Arjuna kembali menatap wajah damai sang kekasih. Hatinya merasa hangat melihat Arika sudah terlelap.

Bi Siti yang sedari tadi mengawasi dari depan pintu hanya tersenyum tipis melihat apa yang Arjuna lakukan pada Nona mudanya.

"Makasih banyak ya, Den."

Arjuna yang baru menutup pintu kamar itu langsung mengangguk, "Iya, Bi. Sama-sama."

"Mari saya antar," ujar Bi Siti kembali melangkah mengikuti Arjuna yang sepertinya hendak langsung pulang.

Namun, langkah laki-laki itu terhenti sebentar. Ia seolah baru ingat sesuatu dan Bi Siti yang sadar akan itu pun hanya diam menunggu Arjuna menyampaikan apa yang ingin dia katakan.

"Bi, saya boleh tanya enggak?" Arjuna tampak ragu, tapi ia juga harus memastikan hal yang satu ini.

"Tanya apa, Den. Sok atuh, tanya aja."

"Itu disamping kamar Arika, kamar Arion ya Bi?"

Bi Siti hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Arjuna. "Iya, kamarnya Den Arion. Tapi sekarang udah kosong, enggak ada penghuninya lagi."

Arjuna mengernyitkan dahinya, bingung dengan pernyataan yang Bi Siti katakan. "Kenapa kosong, Bi?"

"Habis kejadian yang kemarin Aden pingsan itu, Den Arion dihukum sama Tuan dan Den Artan. Terus disuruh tinggal di apartemen sebagai hukumannya," jelas Bi Siti. "Aden jangan khawatir lagi, Non Arika udah aman sekarang."

Jadi ini jawaban atas perkataan Arika yang tidak sengaja ia dengar beberapa saat tadi. Mengenai ucapan Arion yang mengatakan akan ke rumah besok pagi, membawakan pisang dan susu kesukaan kekasihnya.

"Makasih ya Bi informasinya, saya juga titip Arika ya Bi. Jagain pacar saya, hehe. Kalau ada apa-apa, telepon saya ya, Bi."

"Iya, siap Den. Makasih juga sudah mau mengantar Non Arika ke rumah dengan selamat."

Arjuna tersenyum menanggapinya. Ia menyalami Bi Siti sebelum keluar dari rumah besar itu.

"Arjuna pamit pulang dulu Bi, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Bi Siti tidak bisa menutupi kekagumannya pada sikap sopan Arjuna. Ia merasa ikut bahagia dan senang, ketika tahu kekasih dari Nona muda nya sebaik dan sesopan ini.

•What should we do•

Mobil yang Arjuna kendarai baru saja masuk melewati gerbang. Dari dalam mobilnya, Arjuna menatap heran pada dua buah mobil yang terparkir di halaman. Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya pun tampak tergantikan dengan raut penasaran. Bergegas ia memarkirkan mobilnya, setelah ingat mobil itu milik siapa.

"Kakek datang?" tanyanya pada bodyguard yang berdiri di dekat pintu.

"Iya, Tuan muda," jawab sang bodyguard sopan.

Perasaan Arjuna menjadi tidak karuan sekarang, entahlah ia juga bingung dengan dirinya yang tiba-tiba merasa sesak di dada, seolah takut dengan apa yang ada di dalam sana.

"Ayah enggak bisa tiba-tiba bawa dia ke sini! Aku enggak setuju sama keputusan ayah!"

Teriakan itu semakin membuat Arjuna merasa tak nyaman dan tanpa banyak berpikir lagi ia pun melangkah masuk.

Terlihat ayah, bunda, kakek dan satu orang perempuan berambut sepunggung yang terus menunduk menjadi pemandangan pertama kali yang Arjuna lihat. Ia tidak tahu entah sejak kapan ayah dan bunda nya meninggalkan pesta ulang tahun Kakek Darma, yang jelas situasi sekarang cukup menegangkan bagi Arjuna.

"Mau sampai kapan kamu mengasingkan anak kamu sendiri Gino? Dia darah daging kamu, putrimu satu-satunya!"

Lagi, Arjuna kembali dibuat tak berkutik. Langkahnya bahkan terhenti dengan tangan mengepal menahan amarah. Apa maksud kakeknya itu?

Perempuan yang sedari tadi menunduk itu menarik tangan Kakek Argala Wijaya, lalu menggeleng lemah dengan wajah pucat pasi yang kentara. Arjuna seolah dibuat terpana dengan wajah yang hampir mirip dengannya itu, tapi ini versi perempuan.

"Ayah sendiri yang bilang sama aku kalau anak perempuan lemah, nggak bisa diandalkan. Lagian kita cuma butuh Arjuna. Bukan anak berpenyakitan seperti dia!" Gino terlihat sangat marah sekarang, apalagi saat sosok kepala keluarga itu tanpa segan menunjuk pada anak perempuan yang kentara sekali ketakutan.

"M-mas, dia anak kita. Putriku yang aku rindukan selama ini. Kenapa Mas nggak mau menerima kehadiran dia, padahal ayah pasti udah susah-susah nyari anak kita, putri kita, Mas." Arinda tidak bisa menahan tangisnya dan menatap penuh permohonan pada Gino yang langsung membuang muka.

"K-kalau Ayah nggak mau nerima aku, nggak pa-pa kok, aku bisa balik lagi ke panti--"

"Enggak!" jawab Kakek Argala dan Arinda bersamaan.

"Kakek mati-matian cuma buat nyari kamu, Asyilla. Kakek nggak mau kamu ke sana lagi sedangkan kamu memiliki keluarga yang lengkap dan utuh. Kakek mau menebus semua kesalahan kakek karena udah nganggap kamu lemah, cuma karena kamu memiliki riwayat penyakit yang sama dengan mendiang istri kakek. Kakek enggak mau kamu menghabiskan waktu di sana, sendirian dan kesepian. Kakek mau kamu tinggal di sini, di keluarga ini tempat kamu pulang sesungguhnya Asyilla."

"Maksudnya apa?" Arjuna tidak bisa lagi menahan dirinya untuk tak bersuara. Tatapannya tertuju pada perempuan yang juga menatap padanya sekarang. "Dia siapa?"

Arinda langsung memeluk tubuh Arjuna, mengusap tangan yang tampak bergetar itu. Arinda merasa mungkin saja putranya syok dengan apa yang terjadi sekarang.

"Dia siapa, Bunda." Arjuna kembali bertanya, suaranya kali ini jelas sekali terdengar bergetar. Pun maniknya tak bisa lepas dari sosok perempuan yang memiliki paras hampir sama dengannya itu. Bahkan, tatapannya pun seolah membuat Arjuna melihat dirinya sendiri, tapi dalam sosok perempuan.

"Ini adik kamu, adik kembar kamu, Arjuna."

Prang!

Sebuah guci yang berada di dekat ruang keluarga itupun pecah ketika Gino dengan amarahnya menendang benda mati tak bersalah itu. Ia tampak frustrasi dengan wajah kusut tanpa ekspresi.

Semua orang yang ada di sana tentu saja terlonjak kaget, terlebih lagi Asyilla yang langsung memegang dadanya. Ia kaget, bahkan sangat kaget sampai-sampai detak jantungnya langsung berdetak tak normal.

Begitupula Arjuna yang juga merasakan hal sama, bahkan tubuh laki-laki itu sudah ambruk ke lantai seperti kehilangan tenaga.

"Arjuna! Kamu kenapa, Nak?!" Secepat kilat Gino menghampiri putranya, wajahnya yang awalnya begitu kusut tanpa ekspresi tergantikan perasaan khawatir.

"Kamu nggak pa-pa, Nak? Apa yang sakit, bilang sama Bunda?" Arinda pun terlihat begitu khawatir, tapi ketika Arjuna menganggukan kepala pertanda ia baik-baik saja rasa khawatirnya sedikit mereda.

"Dia yang sakit, Yah, Bun." Penuturan Arjuna menyadarkan kedua suami-istri itu bahwa bukan hanya mereka bertiga saja yang ada di sana.

Asyilla sudah pucat, ia juga terus menggenggam tangan Kakek Argala yang begitu khawatir.

"E-enggak pa-pa, Syila c-cuma kaget," ucapnya terbata dengan sebelah tangan memukul bagian jantungnya berkali-kali. Tentu Kakek Argala menahan lengan itu dan langsung memeluk tubuh kecil itu.

Ia tentu tahu apa yang terjadi pada cucu keduanya ini, penyakit jantung yang sudah ada sejak awal ia lahir adalah penyebabnya. Kembali air mata Argala mengalir, merasa tidak becus pada anak dan cucunya sendiri.

Sedangkan Gino terdiam di tempatnya tanpa ada niatan mendekati sang putri yang terus saja menatap padanya. Gino hanya merasa tidak siap untuk yang namanya kehilangan lagi, ia merasa takut sampai dengan tega menitipkan anaknya yang baru lahir ke panti asuhan.

Bahkan, ia tidak peduli dengan penyakit bawaannya dan mungkin ia dulu terlihat jahat, berharap sang putri tidak akan bertahan lama, tapi nyatanya sekarang anak yang tidak ia harapkan kehadirannya itu tampak jelas di depan matanya. Mungkin Gino bukan tidak mengharapkan kehadiran putrinya, ia hanya tidak mengharapkan penyakit itu ada.

"Yah, dia adik Arjuna?" tanya Arjuna ketika rasa sakit yang ia rasakan sudah hilang sepenuhnya. "Ayah kenapa diam aja, dia adik Arjuna 'kan? Dia kembaran Arjuna yang setiap Arjuna ngerasa sakit, dia pasti juga ngerasa lebih sakit."

Ya, harusnya Gino berpikir ke sana. Setiap putranya sakit ia hanya merasa itu demam biasa, sebab sudah beberapa kali diperiksa tidak ada penyakit serius di tubuh putranya, melainkan putrinya yang memiliki riwayat penyakit. Harusnya Gino bisa berpikir lebih jauh, bahwa ada yang merasa lebih sakit dibanding dirinya yang hanya takut kehilangan. Harusnya ia tidak membuang putrinya begitu saja.

Bagaimana hari-hari yang dilalui anaknya tanpa sosok orang tua di sisi nya? Bagaimana putrinya bisa bertahan sejauh ini, tanpa ada yang mengharapkan hadirnya. Harusnya Gino sadar, bahwa putrinya jauh lebih terluka dari dirinya yang bersikap egois.

"M-maaf." Hanya kata itu yang bisa Gino ucapkan sebab setelahnya, tubuhnya luruh ke lantai. Sosok yang selalu terlihat berwibawa itu kini justru terlihat begitu menyedihkan dengan tangisan yang juga ia tunjukan terang-terangan.

Sikapnya yang tadi begitu keras kepala, kini tergantikan dengan raungan penuh luka.

"Mas ...." Arinda merengkuh tubuh bergetar itu, ia bisa merasakan bagaimana suaminya benar-benar berada di titik terbawahnya. Sama seperti saat Gino kehilangan sosok malaikat tanpa sayapnya, jauh sebelum mereka memiliki anak. "Kita bisa perbaiki semuanya, Mas. Kita mulai lagi dari awal ya. Aku enggak bakal ninggalin Mas, asal Mas juga mau buat rumah kita jadi tempat ternyaman untuk anak-anak kita."

"Mas, jahat. Mas udah buang putri Mas sendiri. Harusnya kamu marah, pukul Mas sekuat-kuatnya, bukan malah gini ...."

Arinda hanya menggeleng. Ia tidak bisa melakukan itu semua, meski seharusnya memang itu yang ia lakukan. Arinda marah, tapi ia juga tidak bisa membiarkan suaminya merasa terluka sendirian. "Ini salah kita berdua, Mas. Asyilla, putri bunda mau 'kan maafin ayah dan bunda ini?"

Asyilla yang masih berada dipelukan Kakek Argala itu terlihat mengangguk lemah. Dari awal hidupnya ketika tumbuh di panti asuhan, ia tidak pernah marah pada takdirnya yang begitu kejam. Pun pada kedua orang tuanya yang saat itu entah berada di mana. Asyilla merasa ia diberi hidup oleh Tuhan bukan untuk merasa terasingkan ataupun tidak diinginkan, ia hanya berpikir bahwa ia ada di dunia ini adalah karena keinginannya sendiri dan begitulah jalan hidup yang harus ia jalani.

Takdir yang awalnya begitu kejam padanya. Jantung yang harusnya bisa berdetak normal seperti orang biasa, justru tempat bersarang penyakit di sana. Ia juga tidak tahu kenapa masih bisa bertahan di dunia, padahal dokter berkali-kali mengatakan bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi.

Mungkin semua yang terjadi hari ini jawabannya bagi Asyilla, alasan ia masih diberi nyawa untuk terus hidup sebab ada sosok kakek, ayah, bunda dan kembarannya yang belum pernah ia lihat wajahnya.

"Boleh Abang peluk?" ujar Arjuna yang sudah berada di dekat kakek dan kembarannya itu.

Otomatis Kakek Argala segera melepas pelukannya ketika Asyilla mengangguk, mengiyakan permintaan Arjuna.

Pelukan Arjuna kali ini terasa berbeda, laki-laki itu kembali menjatuhkan air matanya ketika merasakan pelukannya dibalas.

"A-abang Juna ...."

"Hm, ini Abang." Arjuna semakin mengeratkan pelukannya tak lupa juga menggusap punggung itu ketika Asyilla menangis.

Keduanya sama-sama menangis, bahkan mungkin siapa saja yang ada di sana akan menitikkan air mata juga, melihat pemandangan haru ketika dua saudara kembar bertemu setelah sekian lama tidak saling tahu-menahu.

Ternyata yang beberapa jam lalu Arjuna tidak sengaja dengarkan dari kedua orang tuanya bukan hanya persoalan biasa, sebab sekarang kenyataannya membuat Arjuna tersadar, ia benar-benar memiliki seorang adik sekaligus kembaran.

•What should we do•

"Asyilla tidur di sini nggak pa-pa 'kan?" ujar Arinda seraya menuntun sang putri duduk di ranjang milik Arjuna.

"Soalnya kamar sebelah ranjangnya kecil. Abang Arjuna juga kok yang minta buat Asyilla tidur di sini, jadi putri bunda ini jangan ngerasa enggak enak ya?" Seolah tahu pemikiran putrinya, Arinda langsung menjelaskan.

"Terus abang tidurnya di mana, B-bun?" tanya Asyilla gugup, sebab ia belum terbiasa memanggil sosok wanita di depannya ini Bunda.

"Tidur di kamar sebelah. Udah tenang aja, Asyilla pasti capek. Sekarang istirahat ya, Bunda temanin."

Asyilla hanya menurut ketika tubuhnya dibaringkan dan dipeluk oleh Arinda. Cukup lama hening menguasai, sampai Arinda kembali bersuara.

"Sekali lagi Bunda minta maaf ya, Nak. Maafin Bunda dan Ayah kamu."

"Iya, Bunda. Jangan bahas itu lagi ya, Asyilla nggak mau liat Bunda nangis lagi."

"Hm, anak Bunda besok mau sarapan apa?" ujar Arinda mengalihkan pembicaraan, meski ia masih merasa bersalah dan tidak tahu kapan perasaan itu akan hilang darinya.

"Kalau Asyilla biasa di panti sarapan nasi uduk atau nasi goreng sama anak-anak panti. Emm, abang biasanya sarapan apa, Bun?" ujar Asyilla malah balik bertanya. Entah kenapa ia merasa sangat ingin tahu tentang saudara kembarnya itu.

"Abang kamu sarapan apa aja, kadang roti, kadang nasi, tapi yang pasti dan nggak boleh ketinggalan ya, bekalnya ke sekolah."

Asyilla mengernyitkan alisnya bingung. "A-abang suka bawa bekal ke sekolah?" tanyanya terdengar tak percaya, sebab jika Asyilla perhatikan orang sekeren abangnya itu masa iya membawa kotak bekal ke sekolah.

Anggukan Arinda menjadi jawaban. "Dari kedua sahabatnya, cuma dia yang selalu bawa bekal. Katanya lebih suka masakan Bunda dibanding masakan ibu-ibu kantin. Aneh ya, keliatannya keren, tapi padahal anak Bunda banget."

Asyilla tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar penuturan sang bunda.

"Bunda jangan cerita macam-macam ya sama adik Juna!" teriak Arjuna yang kebetulan melewati kamar itu.

Sontak kedua perempuan berbeda usia di ranjang itupun tersenyum, terlambat. Bahkan, Arinda sudah menceritakan tentang anak laki-laki nya itu yang suka sekali membawa bekal bila ke sekolah.

"Asyilla sekolah?"

"Sekolah, tapi udah libur hampir seminggu karena kemarin sakit dan tadi tiba-tiba Kakek jemput Asyilla terus kata Kakek jangan khawatir soal sekolah," jawab Asyilla jujur. Ia sudah merasa mengantuk sekarang, sebab usapan di rambutnya benar-benar nyaman. Seperti bius yang memaksa matanya untuk terpejam.

Tidak lama setelah itu, deruan nafas Asyilla yang teratur dengan wajah teduh menjadi pemandangan pertama yang dilihat oleh si wanita berstatus sang bunda.

Arinda kembali menangis, tapi kali ini ada perasaan senang yang ia rasakan. Sebab penantian dan doa-doa yang selalu ia panjatkan, terkabul juga akhirnya. Tangannya mengusap pipi tirus itu, lalu mengecup dahi Asyilla yang tertutupi poni.

"Selamat tidur putri Bunda, tidur yang nyenyak ya."

Dari celah pintu kamar yang memang tidak terlalu tertutup rapat itupun terlihat Gino berdiri di sana, menatap pemandangan haru yang lagi-lagi berhasil menyetil hati nya. "Maafin Ayah."

_
_
_

Tbc


Thanks for reading and i hope you're still with me until the end chingudeul💗

Mohon maaf lahir dan batin semuanya.

Maaf juga baru bisa update ya.

Gimana sama part ini?

Satu kata buat part ini?

Spam next dulu yuk.

Bentar lagi ending nih, udah siap? Tapi agak lama kayaknya lagi wkwk gimana sih😣

Makasih buat yang udah follow, vote dan komen cerita-ceritaku, semoga bahagia selalu ya.

Karena votement kalian adalah semangatku🌻

See you next part chingudeul!

Dipublikasikan:
Sen, 24 April 2023
14:04

Continue Reading

You'll Also Like

1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
2.6M 142K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
563K 43.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...