IBUKU DUKUN

By Ramdan_Nahdi

31.8K 3.5K 208

Aidan merupakan ketua gank motor di sebuah SMA di Jakarta, yang memiliki ibu seorang dukun. Keduanya bergelut... More

Jimat
Kesurupan
Pak RT
Sarapan Bubur
Pingsan
Syarat Melepas Jimat
Gendong Genderuwo
Markas SMA 11
Hukuman
Diskusi
Ibu Datang ke Sekolah
Jin Yang Menempel
Pesan Ayah
Salat Magrib
Kuntilanak
Kaki Menempel Tanah
Ibu Datang ke Mimpiku
Jin Nasab
Jin Kiriman
Pulang
Perdebatan
Puasa Terakhir

Rukiyah

1.1K 149 3
By Ramdan_Nahdi

Setelah salat ashar berjamaah, aku dan teman-teman lain ikut kajian sebentar. Setelah kajian, aku kembali ke kamar untuk beristirahat. "Dua jam lagi berasa lama banget, ya." Tingkahku seperti anak kecil yang baru pertama kali puasa.

"Maen Mobil Lejen dulu, yuk!" ajak Agus.

"Lu aja deh, gua masih lemes," sahutku.

"Maen, yuk, Bim!" Agus mengajak Bimo.

"Skip, ah! Gua takut emosi terus keluar kata-kata mutiara kalau maen sama lu." Bimo pun menolak.

"Yaudah deh, gua maen sendiri aja." Agus duduk di sudut kamar dan membuka ponselnya.

"Eh, Dan. Nyokap lu gak bakal dateng ke sini, kan?" tanya Bimo.

"Kagak akan berani dia." Selama ini ibu selalu menjaga rahasia agar kiprahnya sebagai dukun tidak diketahui banyak orang. Jadi, datang ke pesantren adalah pilihan yang buruk baginya.

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Kami diminta pergi ke masjid untuk berbuka bersama. "Ya Allah, gak nyangka bisa kuat puasanya," seru Agus.

"Sadar diri, Gus. Lu tuh udah bangkotan!" sahut Handeka.

"Yang bangkotan tuh si Idan. Jalannya udah lemes kaya gak ada semangat idup."

"Gus, abis buka puasa kita duel di lapangan belakang!" sahutku.

"Ampun, Dan!"

Sesampainya di masjid, terlihat takjil yang sudah disusun rapi. Kami memilih tempat duduk. "Lumayan dapet kolek candil," ucap Handeka.

"Itu biji salak, Dek!" sahut Agus.

"Sama aja, Gus. Cuman beda nama doang," balas Bimo.

"Beda!"

"Astaga, masalah beginian aja didebatin," ucapku.

"Gua sebagai anak penjual kue kudu ngejelasin dulu bedanya."

Aku baru ingat ibunya Agus memiliki toko kue. "Yaudah buruan jelasin, biar masalahnya kelar. Bentar lagi mau buka."

"Gini, biji salak itu terbuat dari ubi sama tepung, kalau candil itu tepung doang," jelas Agus.

"Ah, di rumah gua nyebutnya tetep candil, Gus," sahut Handeka.

"Nah itu kudu diluruskan."

"Emang lu yakin ini terbuat dari ubi?" tanya Bimo.

"Kayanya sih begitu." Agus tampak ragu.

"Lu cobain dulu! Baru komentar."

"Ya sabar, bentaran juga gua coba."

"Berarti bener kata Handeka, ini candil." Bimo memanas-manasi.

"Biji salak!" Agus tetap ngotot.

"Udah sih, lima menit lagi juga bakal tau mana yang bener." Aku berusaha menengahi perdebatan unfaedah ini.

Azan magrib berkumandang. Agus dengan semangat membuka penutup gelas plastik tempat kolak. "Tuhkan bener, biji salak!" serunya.

"Dah clear ya. Gak perlu dibahas lagi masalah percandilan," ucapku.

"Siap, komandan!" sahut Handeka.

"Eh, Dek. Kalau abis makan wudhu lagi, gak?" tanya Bimo.

"Ya gak usah, soalnya makan dan minum gak membatalkan wudhu," balas Handeka.

"Oh gitu. Sip-sip."

Setelah perut ini terisi kolak biji salak dan gorengan, aku menjadi lebih bertenaga. Tidak lagi lemas seperti tadi. Suara iqamat terdengar, bergegas kami bangkit dan bergabung dengan santri lain untuk salat magrib.

"Ini makan besarnya kapan, ya?" tanya Guntur saat selesai salat magrib.

Ternyata pertanyaannya itu didengar oleh santri yang duduk di depannya. "Makan besarnya di asrama, Mas," balasnya.

"Oh, oke," sahut Guntur sembari bergeser mundur. "Gua dipanggil Mas, dong!" ucapnya, pelan.

"Lah terus mau dipanggil apa? Neng? Ses?" sahut Bimo.

"Kakak atau Bang gitu."

________

Setelah salat Isya berjamaah, aku diperbolehkan kembali ke asrama karena tubuh ini masih lemas. Suasana di asrama begitu sepi, karena sebagian besar penghuninya sedang berada di masjid, termasuk teman-temanku.

Aku mengambil makanan di kantin. Makan sendirian tuh rasanya kurang nyaman. Tak ada teman mengobrol.

Duk! Duk! Duk!

Aku mendengar ada suara orang berlari di lorong. Kebetulan posisi dudukku berada di bagian tengah, jadi bisa melihat langsung lorong bagian kiri dan kanan. Tak ada siapa-siapa. Aku berpikiran positif, mungkin suara tadi berasal dari atas.

Sehabis makan, bergegas aku naik ke lantai dua, melewati lorong bagian kiri. Saat melewati kamar mandi, terdengar suara orang sedang mandi. Oh, berarti suara langkah tadi berasal dari anak itu.

Aku menaiki anak tangga satu persatu. Tiba di depan pintu kamar, baru ingat kalau kuncinya di bawa oleh Bimo. Tak mungkin kembali ke masjid untuk memintanya. Terpaksa harus menunggu di luar.

Dari pada duduk di depan pintu seperti anak terlantar, aku memilih pergi ke ruangan tengah yang ada proyektornya. Duduk di sana, sembari menyandarkan punggung ke tembok. Perut yang kekenyangan malah membuatku ngantuk. Tak lama, aku tertidur.

Aku pun bermimpi. Mimpi yang sama dengan tadi subuh, dikejar-kejar oleh banyak hantu. Adegan terakhirnya masih sama. Aku terjatuh dan dikerubungi hantu, lalu ... terbangun.

Saat membuka mata, ada sambutan hangat dari sosok Kuntilanak yang sedang duduk di atas meja, tempat proyektor. Dari tampangnya, seperti Kuntilanak yang aku lihat tadi subuh. Ia tertawa cekikikan berusaha menakut-nakuti.

"Udah deh, gua lagi mager banget. Mending lu pergi!" gerutuku, lalu kembali menutup mata.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, yang pasti aku terbangun karena mendengar suara jeritan seseorang. Saat membuka mata, ada seorang santri yang sudah tergeletak di depan ruangan.

Beberapa santri lain pun mulai berdatangan, termasuk teman-temanku. "Lu apain dia, Dan?" tanya Bimo.

"Gua kagak ngapain-ngapain, orang lagi rebahan nunggu lu balik teraweh," sahutku.

"Lah, kenapa rebahan di sini?"

"Kan kuncinya dibawa sama lu, Bim!"

Bimo merogoh kantung celananya, "Ah, iya."

Tak berselang lama, Ustad Walid datang dan menanyakan apa yang terjadi dengan anak santri itu. Aku jawab tidak tau, karena kenyataannya begitu.

Ustad Walid meminta seorang santri membawakan air. Kemudian air itu didoakan dan diusapkan ke wajah santri itu. Ia pun terbangun dan langsung menatapku ketakutan.

"Apa yang kamu liat, Mim?" tanya Ustad Walid. Aku sampai bingung, untuk apa ia mengajukan pertanyaan itu.

"Saya liat Masnya lagi tidur bareng Kuntilanak," balas Si Mim. Entah siapa nama aslinya.

"Emang bener, Dan?" tanya Bimo.

"Ya mana gua tau! Kan gua lagi tidur!" Aku agak ngegas.

Ustad Walid memperkenalkan anak yang tadi berteriak. Namanya Hamim. Ia memang agak sensitif dan sedang melakukan terapi rukiyah untuk menutup mata batinnya.

Sebagai anak yang mata batinnya terbuka, aku bisa bilang ia sangat penakut. Masa baru melihat Kuntilanak sudah menjerit dan pingsan. Aku dikejar banyak hantu masih biasa saja. Ya ... walaupun itu hanya mimpi.

"Terapi rukiyahnya di sini aja, biar sekalian bertiga," ucap Ustad Walid.

"Pak Ustad, saya gak bisa liat begituan," protes Bimo.

"Jangan percaya Pak Ustad. Dia suka kesurupan." Aku tak akan membiarkan Bimo lolos.

"Kalian duduk berjejer menghadap kiblat," ucap Ustad Walid. Kemudian ia meminta santri mengambil tiga botol air kemasan.

Proses rukiyah pun dimulai. Ustad Walid melantunkan ayat-ayat suci. Aku fokus mendengarkan lantunan ayat yang begitu indah. Sementara, Hamim dan Bimo malah tampak gelisah.

Bimo mulai bersendawa saat Ustad Walid memegang pundaknya. Begitu pula Hamim. Namun, entah kenapa tak ada pengaruh apa-apa bagiku. Aneh sekali.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 137 22
Oneshots of yandere characters from various fandoms x female reader. Fandoms: Attack on Titan, Twisted Wonderland, Demon Slayer Ouran High School Hos...
20.5K 56 5
Coming Back on June 18th, 2024 ⚠️ UNDER CONSTRUCTION ⚠️ BASED ON SCREAM (1996) BY WES CRAVEN BOOK ONE OUT OF FIVE "What's your favorite scary movie...
16K 388 12
The infamous killers get transferred to a dangerous asylum where only people that are very dangerous for humanity was locked up there, and unfortunat...
13.4K 2.5K 27
ΨΉΨ§Ψ¦Ω„Ψ© سعيدة ΨͺΩ†Ω‡Ψ§Ψ± في Ω„Ψ­ΨΈΨ© ΨΊΨΆΨ¨ وغيرة ΩˆΨ¬Ω†ΩˆΩ† وΨͺفقد Ψ³ΨΉΨ§Ψ―ΨͺΩ‡Ψ§ Ψ§Ψ«Ψ± ظروف Ω…Ψ³ΨͺΨΉΨ¬Ω„Ψ© وغريبة