The Presence of Your Absence

By stanzaalquisha

274 56 9

Setelah pertengkaran hebat di malam ulang tahun pernikahannya yang ketiga, Vel terbangun dan menyadari suamin... More

PART I
1 - ooh, make love to me
2 - one more time
3 - before you go away
4 - why can't you stay?
5 - ooh, my love--
6 - come home to me
7 - just for a while
9 - don't slip away, my dear

8 - don't run away

21 4 0
By stanzaalquisha

"Silakan masuk, Bu Evelyn," suara Amanda membuat Vel tersentak. "Pak Thomas sudah menunggu Ibu dari tadi."

Tadinya, Vel sempat membayangkan sosok Amanda seperti idol K-Pop versi Indonesia. Kurus langsing, putih tinggi, wajah semulus lantai lobi hotel, lengkap dengan rambut kecoklatan panjang bergelombang. Sama sekali tidak terlintas di pikirannya sosok gadis dengan potongan rambut pendek yang tidak sama panjang kiri kanannya, serta tinggi badan di bawah rata-rata. Dia tampak masih sangat muda, seperti baru saja lulus SMA. Pakaiannya memang baju kerja formal biasa, namun yang membuat Vel tertegun adalah warna lipstiknya. Hitam legam.

"Baik, terima kasih, Bu—" menyebut 'Ibu' sepertinya tidak tepat. Vel buru-buru mengganti ucapannya. "—Mbak Amanda."

Amanda mengangguk. Wajahnya ramah, tapi di saat yang sama, tanpa ekspresi. Sama seperti suaranya.

Vel menyadari betapa gemetar jari-jemarinya saat mendorong pintu kaca menuju kantor pribadi Pak Thomas. Dia bahkan nyaris tersandung di karpet.

Helai-helai rambut abu-abu yang tidak sepenuhnya menyembunyikan kebotakan yang mulai muncul adalah hal pertama yang Vel lihat ketika dia memasuki ruangan. Laki-laki itu tengah memunggungi pintu, wajahnya menghadap jendela sebesar dinding di sebelah meja kerjanya. Dia baru berbalik ketika mendengar kedatangan Vel.

"Evelyn!"

Seperti ingin memeluk Vel, laki-laki paruh baya itu membuka lengannya, tapi kemudian segera dia turunkan lagi. Wajahnya berseri-seri, dan Vel teringat tawanya yang membahana di meja makan di restoran semalam, ketika mengajak Tantra dan Vel bergabung ke mejanya.

"Ini istri kamu, Tan?" tanya Pak Thomas dari seberang meja restoran. Tantra yang cengar cengir bodoh mengangguk sambil memperkenalkan Vel.

"Evelyn juga pernah kerja di Simulatech, Pak. Tiga tahun lalu. Dia kerja di bawah " ujar Tantra.

"Ooo," hanya sesingkat itu tanggapan dari Pak Thomas, dan hanya sebegitu saja yang meluncur dari mulutnya yang ada kaitannya dengan Vel. Seterusnya, dia sibuk menyambungkan pembicaraan antara klien-klien Koreanya dan Tantra. Dia bahkan sempat memuji Tantra setinggi langit, menjulukinya karyawan teladan dan berbakat.

"Tantra ini yang menjadi project manager pengembangan software kami yang terbaru," kata Pak Thomas, yang langsung diteruskan kepada para klien Korea-nya dengan bantuan seorang penerjemah. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi kepada Bapak-Bapak di sini, software ini bukan hanya terbilang breakthrough, tapi juga sangat tepat bagi kebutuhan perusahaan Anda. Untuk ... yah, Anda tahu lah, memilah yang layak di antara yang tidak."

Kalimat ini nampaknya sangat lucu bagi pria-pria Korea itu, karena mereka terbahak mendengarnya.

Seterusnya, Vel sudah tidak memperhatikan lagi arah pembicaraan mereka. Pikirannya kosong, dipenuhi suara dengung kekesalannya. Sepanjang malam, dia merasa tidak ubahnya pot tanaman di sudut ruangan: hanya dianggap dekorasi semata.

Dan kini, berhadapan langsung dengan atasan suaminya yang mengobrak-abrik makan malamnya itu, Vel ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi sulit rasanya sebal pada orang yang menyambut kedatangannya dengan begitu ramah.

"Tadi pas meeting kamu ke mana?" tanya laki-laki itu, tanpa tedeng aling-aling. Auranya hangat, dan nada suaranya mengingatkan Vel pada papanya sendiri. Berbeda sekali dengan sikapnya semalam. Tetap saja, Vel gelagapan.

"Sudah, tidak apa-apa. Tidak penting. Duduk dulu, Vel. Ada kabar bagus."

Tangan Pak Thomas menunjuk sofa di dekat meja kerjanya. Vel duduk dengan patuh, setengah karena penasaran, setengah karena tidak tahu musti berbuat apa lagi.

"So," begitu Vel duduk, senyum Pak Thomas semakin melebar. "We did it."

Vel hanya bisa bengong menatapnya. "Did.. apa?"

"Hyogsin, Vel! Hyogsin! Akhirnya mereka tanda tangan kontrak retainer juga untuk pakai produk kita!"

Vel berkedip. Hyogsin? Merek perusahaan teknologi terbesar di Korea Selatan itu?

"Semua ini berkat kamu, Vel. Negosiasi alot berbulan-bulan, beres hanya dengan dinner satu kali bersama kamu. Kamu benar-benar bisa bikin mereka terpesona tadi malam! Tahu begitu, dari awal saja saya bawa kamu setiap rapat sama mereka. Tidak salah memang, kamu memang karyawan paling teladan dan berbakat di sini."

Kalimat itu persis dengan yang diluncurkan Pak Thomas tadi malam untuk membanggakan Tantra. Sesuatu berbunyi 'klik' dalam kepala Vel. Klien Korea semalam itu berarti orang-orang Hyogsin.

"Ada satu hal penting, sebenarnya. Mereka request ke saya khusus untuk menjadikan kamu head of production!"

Dan dengan kalimat itu, Vel akhirnya yakin bahwa realitasnya memang resmi, seratus persen, jungkir balik jumpalitan.

"Saya, Pak? Mereka minta saya?"

"Ya iya! Kamu jangan rendah diri begitu, lah. Saya yakin betul sama kemampuan kamu. Kalau kamu tidak hebat, mana mungkin orang-orang Hyogsin mau project ini di-handle sama kamu. Bayangkan, Vel. Ini bisa jadi adalah deal terbesar yang pernah Simulatech punya. Kita bisa jadi software developer terbesar se-Asia kalau ini lancar!"

Pak Thomas nampaknya salah mengartikan ekspresi mencekam di wajah Vel sebagai rasa ragu, sehingga dia berseloroh, "Sudah pasti ... kenaikan jabatan kamu akan ditambah dengan insentif dan, ehem, penyesuaian gaji. Nanti saya suruh Amanda menghubungi bagian akunting dan HRD."

Pak Thomas menyambar buku catatan bersampul kulit di atas mejanya dan merobek selembar kertas dari sana. Dengan pena Cartier-nya, dia menuliskan sesuatu.

"Segini, cukup?" ujarnya, menyodorkan robekan kertas itu kepada Vel. Mata Vel meloncat dari rongganya melihat angka yang tertera di sana.

"Ini baru gaji pokok. Yang lain-lain nanti menyusul. Sudah tidak ragu lagi kan, kamu?"

*

Karena kejadian tadi lah, Vel sekarang mencoba menenangkan dirinya di dalam ruangan ber-AC, beraroma kopi campur vanilla yang lembut, dengan pintu bertuliskan namanya ini. Dari semua keanehan yang menimpa dirinya hari ini, tawaran Pak Thomas tadi justru yang paling mengguncangnya.

Bukan raibnya Tantra dan bagaimana orang-orang di hidup Vel tidak ada yang mengenalinya. Bukan Bram yang seperti muncul begitu saja dari udara kosong.

Tapi karena, dia sadar bahwa dia sama sekali, sedikitpun, tidak memiliki pengetahuan apa-apa soal dunia pekerjaan Tantra.

Vel adalah lulusan Sarjana Hukum, dan posisinya sebagai salah satu staf HRD di waktu singkatnya bekerja di Simulatech tidak memberikan banyak informasi tentang apa saja yang dikerjakan para pegawainya masing-masing. Apalagi soal software development dan marketing. Jangankan jago software, mau restart ulang laptop-nya saja dia harus minta tolong Tantra.

Tapi kemudian dia teringat akan angka yang Pak Thomas tulis di secarik kertas tadi, dan adrenalinnya memuncak.

Uang bulanan yang Tantra berikan pada Vel memang terbilang besar. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, plus budget untuk skincare, make up, dan baju-baju Vel. Namun Vel curiga, Tantra diam-diam punya tabungan rahasia yang tidak dia beritahukan pada Vel. Awalnya Vel enggan ambil pusing. Toh, dia tidak pernah kekurangan. Tapi beberapa kali Vel dibuat geram, karena setelah menolak bujukan Vel untuk pergi liburan ke luar kota, selalu ada saja gadget baru atau game baru yang tiba-tiba sibuk dimainkan Tantra di komputer rumahnya. Beberapa kali mereka berdebat soal ini, namun lama kelamaan Vel sudah malas.

Percayalah, pernikahan tiga tahun itu jauh dari kata cukup untuk bisa benar-benar mengenal seseorang.

Sementara itu, Vel kerap harus menahan miris setiap kali foto-foto liburan teman-temannya bersama suami mereka masing-masing berseliweran di beranda media sosialnya. Jangankan Korea, Jepang, atau Singapura. Bahkan diajak ke Bali saja, Tantra pasti menolak. Terlalu banyak pekerjaan yang tidak mungkin ditinggal, kilahnya. Padahal setiap di rumah, Tantra tidak pernah terlihat bekerja. Satu-satunya yang dia kerjakan di balik komputer dua layar dengan gaming set lengkap itu ya hanya nge-game.

Jika sudah begini, Vel sudah pasti akan rindu masa-masa lajangnya. Gaji dia memang tidak banyak. Tapi setidaknya, dia bisa independen secara finansial. Bisa menghabiskan uangnya seenak yang dia mau, untuk hal apa pun yang dia inginkan, tanpa perlu membuat laporan bulanan untuk bahkan hal terkecil bagi sang penyedia dana. Kadang, Vel lelah dan merasa tidak dipercaya oleh suaminya sendiri. Jika skincare dan make up yang jelas-jelas penting disebut boros, lalu apa namanya menghabiskan ratusan dolar sebulan untuk peralatan gaming?

Independen secara finansial ...

Kalimat itu berkelebat di benak Vel, yang kini masih merenungi meja kaca di hadapannya.

Uang yang ditawarkan Pak Thomas tadi bukan main-main jumlahnya.

Dan setiap angkanya khusus diberikan untuknya. Milik Vel seutuhnya. Tidak dipotong ini itu untuk kebutuhan rumah tangga, tidak disembunyikan demi memuaskan hobi seseorang yang tidak mau membagi penghasilannya dengan istrinya, karena sekarang ...

... sekarang tidak ada Tantra.

Sekarang, Vel sama saja dengan masih single.

Begitu kan yang dia bilang pada Bram? Bahwa dia sekarang 'sedang sendiri'?

Bukankah itu berarti, sekarang waktu yang paling tepat bagi Vel untuk menikmati kesendirian itu?

Oke, proyek ini mungkin jauh di luar pemahamannya. Coret itu: dia sama sekali tidak punya pengetahuan apa=apa tentang proyek ini. Tapi bukan berarti dia tidak bisa mencari tahu sendiri. Dia bukan lagi kacung rendahan seperti dulu waktu pertama bekerja di kantor ini. Dia punya banyak bawahan sekarang, dua DevOps atau developer and operations. Bisa diatur lah, itu.

Pandangan Vel jatuh ke ujung meja kerja tempatnya berada yang seharusnya diduduki Tantra. Vel pernah ke sini sekali, beberapa bulan yang lalu. Vel tahu, di ujung meja ini, seharusnya ada foto Tantra bersamanya ketika mereka masih pacaran dulu. Setengah berpelukan, setengah melihat ke kamera, dengan senyum lepas seolah-olah bukan hasil arahan penata gaya.

Kini yang bertengger di sana adalah foto Vel yang berdiri sendirian, di depan patung Buddha Berbaring di Wat Pho, Thailand. Vel hampir lupa sama sekali bahwa sebelum bertemu Tantra, dia pernah backpacking berdua dengan Sierra ke Thailand. Masa-masa itu seperti menguap lenyap tepat setelah Vel memutuskan untuk menikah.

Tawa Vel di foto itu terlihat begitu tanpa beban. Bebas. Tanpa ikatan.

Sekelebat, kenangan lain datang tanpa permisi. Sebuah malam dengan udara pengap dan pekat. Bau alkohol, namun bukan berasal dari dirinya sendiri. Sebuah tangan yang meremas, membelai, dan menari di sekujur tubuhnya, namun bukan milik Tantra. Sebuah bibir yang bergetar di atas urat nadi lehernya, membuat Vel tidak kuasa menahan lenguhan. Lalu, sebuah suara berat namun sehalus napas yang berembus.

"Kalau saja kamu belum bertunangan," ujar suara itu. "Maka akan kulahap kamu di kamarku sekarang juga."

Mata Vel mengerjap untuk mengusir kenangan itu. Bukan saatnya.

Vel meraih foto di mejanya. Menatap kebebasan yang dulu dia pancarkan dari wajahnya.

Kebebasan yang sekarang bisa dia miliki lagi, setelah Tantra mendadak menghilang. Entah bagaimana caranya.

Apakah ini cara semesta menjawab doa terselubungnya selama ini?

Menghilangkan Tantra tanpa Vel harus repot-repot membunuhnya.

Continue Reading

You'll Also Like

484K 22.6K 93
Ratih berusia 30 tahun yang telah memiliki seorang anak lelaki bernama Dani dari suaminya yaitu Yadi. Ratih diganggu mahluk misterius yang menjelma s...
34.9K 2.6K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
49.1K 6.5K 36
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.6M 551K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...