Prambanan Obsession (END)

By an11ra

134K 21K 1.8K

Perjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegaga... More

Prolog
【1】Terkutuk
【2】Terperangkap
【3】Terjebak
【4】Terlambat
【5】Terlukis
【6】Terkenal
【7】Terkejut
【8】Tertusuk
【9】Terlihat
【10】Tersentuh
【11】Terbaik
【12】Terlalu
【13】Terbuang
【14】Terlebur
【15】Terkecoh
【16】Terakhir
【17】Terangkat
【18】Tertutup
【19】Tersudut
【20】Tersabar
【21】Terlelap
【22】Tertipu
【23】Terpaksa
【24】Tertawa
【25】Terancam
【26】Terdiam
【27】Terpesona
【28】Tersenyum
【29】Terpaku
【30】Terbukti
【31】Terisak
【32】Terbenam
【33】Tercampur
【34】Teristimewa
【36】Terjerembab
【37】Terkuat
【38】Tertarik
【39】Terabaikan
【40】Terserah
【41】Terluka
【42】Tertampar
【43】Terhenti
【44】Terpikir
【45】Terikat
【46】Tercekik
【47】Terbakar
【48】Terindah
【49】Tertidur
【50】Terbangun
【51】Terkepal
【52】Terdengar
【53】Terkubur
【54】Tertukar
【55】Terwujud
【56】Terungkap
【57】Ternyata
【58】Terulang
【59】Terbayang
【60】Tertuju
【61】Terkhianati
Epilog

【35】Terguncang

1.6K 315 53
By an11ra

Bonus update guys.
Kenapa? ⭐ 100 padahal belum 24 jam... Tumben 🤔

Nanti bonus lagi? Boleh, asal 1 ⭐ bisa ditukar 1 kuaci.

---------------------------------------------

Dara melangkah santai memasuki gedung perkantoran. Suara high heels yang dikenakannya terdengar konstan saat beradu dengan lantai marmer. Memang bukan pertama kali dirinya datang ke sini. Namun, kali ini Dara datang dengan mood yang baik jadi segalanya tampak menyenangkan. Bahkan teriknya sinar matahari tidak mengganggunya sama sekali. Mungkin Sang Surya saja yang terlalu dekat dengan bumi.

Mengabaikan tatapan orang sekitar seperti kebiasaan Dara saat berada di tempat umum. Entah itu bentuk keterpukauan atau malah ketidaksukaan, toh tidak ada bedanya yaitu sama-sama curi-curi pandang tapi pasti mereka langsung mengalihkan pandangan saat Dara tatap balik. Pokoknya, Dara tidak ingin hal tidak penting membebani pikirannya.

Gue keren... Gue keren! Itu adalah mantra yang selalu Dara ucapkan dalam hati saat berjalan di runway fashion show. Ditatap puluhan atau ratusan orang namun harus tetap terlihat percaya diri itu tidak mudah sebenarnya. Ekspresi wajah datar cenderung fierce yang tampak galak dengan mata menatap tajam bahkan tanpa senyum sedikitpun itu menjadi ciri standar seorang model. Secara teori, memang model tidak diperbolehkan memperlihatkan kepribadian atau mimik wajah berlebihan yang bisa mengalihkan perhatian penonton dari pakaian yang diperagakannya.

Belakangan ini, mantra kramat versi Dara itu juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama setelah gossip dirinya menyebar bagai wabah. Seperti peribahasa, anjing menggonggong, orang keren berlalu, Eh.

Oleh karena itu, Dara memilih untuk mengabaikan orang-orang. Lagipula tidak ada yang berani terang-terangan main fisik pada dirinya misalnya dijambak oleh orang tak dikenal. Alhamdulillah, belum pernah dan semoga tidak akan pernah kejadian. Cukuplah tujuh bulan lalu dirinya parno dan bersembunyi. Kini tidak ingin seperti itu lagi.

"Bu Dara, Pak Banyu sedang meninjau proyek di luar kantor," ucap Merinda yang adalah salah satu resepsionis di kantor Banyu setelah Dara tiba di dekatnya.

"Iya, saya tahu."

Memang tadi sebelum kemari, Dara menelepon Yudis untuk mengkonfirmasi jadwal calon suami belum resminya itu. Kenapa tidak menelepon Banyu langsung? Dara takut mengganggu jika menelepon di jam kerja. Siapa tahu Banyu sedang meeting atau malah bertemu orang penting. Kebiasaan ini juga berlaku di keluarga Dara. Kecuali urgent maka Dara tidak menelepon Papinya langsung saat beliau sedang bekerja.

"Kalau begitu mari saya antar. Ibu mau tunggu di ruangannya atau di cafeteria?" tanyanya berusaha ramah.

"Saya mau ke ruangan Pak Banyu saja." Dara tersenyum singkat. "Nggak perlu diantar. Lanjutkan saja pekerjaan kamu," ucapnya saat melihat gesture Merinda yang ingin keluar dari tempatnya.

Sebenarnya ruangan Banyu terlarang untuk dimasuki saat pria itu tidak berada di tempat. Abaikan OB dan Dara yang tentu dikecualikan, walau dengan alasan berbeda. OB memang bekerja membersihkan ruangan dan justru harus selesai sebelum Sang Bos tiba di kantor. Sebaliknya, Dara itu karena... Hmm, karena apa yaa? Anggap saja karena Dara jadi orang spesial bagi Banyu.

"Baik Bu," balas Merinda dengan perasaan lega.

Jujur, Merinda bukan tidak menyukainya wanita cantik yang sepertinya menjadi kekasih Bos besarnya itu, tetapi cuma agak canggung saja. Bukan pula terpengaruh gossip buruk tentang Dara Mahisa Suramardhini. Entah benar pelakor atau tidak yang pasti Dara ternyata aslinya tak terlalu ramah.

Memang tidak pernah kasar atau marah-marah pada siapapun di kantor. Namun, Dara itu sepertinya typical wanita sosial atas yang tak terjangkau bagi pegawai macam dirinya. Intinya, mereka beda level.

Dara melanjutkan langkahnya menuju lift. Tidak ada lift khusus bagi direksi atau bahkan Chief Executive Officer sekalipun. Namun, sepertinya ada aturan tidak tertulis yaitu saat para petinggi berada di lift maka bawahan otomatis mengalah dan tidak ikut masuk. Itu sih tebakan Dara. Paling tidak, di beberapa kesempatan saat Dara berada di lift bersama Banyu maka karyawan mendadak tidak masuk dan ikut berjubel di dalam lift.

Kebetulan memang belum waktu istirahat siang jadi lift yang dinaiki Dara kosong. Syukurlah. Namun saat pintu lift akan menutup ada tangan yang menghalagi.

"Eh, maaf Bu," suara wanita terdengar agak kaget ketika melihat ternyata Dara yang berada di dalam lift. Wanita itu mundur selangkah karena dia sepertinya batal ikut masuk lift.

Memang sih Dara bukan atasanya, akan tetapi bisa dipastikan bahwa semua pegawai menghormati dirinya hampir sama saat berhadapan dengan bos mereka. Anggap saja sebagai privilege. Lagian tidak perlu membuat pengumuman karena pasti pegawai kantor Banyu tahu siapa Dara. The power of gossip.

"Tidak apa-apa. Masuk saja. Kamu kelihatan buru-buru," ucap Dara tenang.

"Hmm, terima kasih, Bu." Wanita itu sepertinya ingin menghindar tapi sekaligus enggan membantah perintah Dara. Maka dengan canggung dirinya ikut masuk lift.

Dara kadang tak habis pikir. Apa mukanya memang tampak sejutek itu? sangking penasarannya, Dara bahkan pernah memandang pantulan wajahnya sendiri di cermin cukup lama untuk memastikan. Perasaan, wajahnya biasa-biasa saja. Cantik sekali malahan, Eh.

Memang sih, Dara mengakui bahwa dirinya tidak begitu pandai bergaul dan membuka obrolan. Lebih sulit lagi jika berhadapan dengan orang baru. Pokoknya Dara bukan tipe tokoh protagonis yang loveable sehingga mudah disukai banyak orang.

Tak kenal maka ta'aruf, Eh... Tak kenal maka tak sayang. Dara setuju dengan ungkapan lawas itu. Orang yang tidak banyak bicara atau tak mudah tersenyum bukan berarti jutek. Lagian, bukankah aneh jika Dara sedikit-sedikit senyum. Bahaya, bisa disangka gila.

"Bu, Saya duluan," ucap wanita entah siapa namanya. Dia juga menganggukkan kepala sebagai bentuk kesopanan sebelum keluar dari lift.

"Iya," jawab Dara seadanya. Ruangan Banyu memang berada di lantai paling atas maka tentu pegawai itu keluar duluan.

Dara tidak berminat untuk mencari tahu nama wanita itu yang pastinya tertera di layard ID card yang dipakainya. Tidak penting juga. Wanita dengan rambut panjang agak bergelombang itu cantik apalagi dia punya tahi lalat di dagu kanannya. Kebetulan yang membuatnya makin terlihat menarik saat dipandang. Dara jadi ingat cerita Kenneth tentang pengaruh letak tahi lalat yang bisa berdampak baik atau buruk dalam kepercayaan Chinese.

Tak lama pintu lift terbuka di lantai yang dituju Dara. Tempat ini lebih sepi dibandingkan di lantai bawah. Di kejauhan tampak Kinanti sudah berdiri menyambutnya. Suara dering handphone menghentikan langkah Dara.

"Halo Mas," ucap Dara saat mengangkat panggilan teleponnya.

"Kata Yudis, kamu ke kantor."

"Iya, ini baru sampai. Kenapa? Dara nggak boleh ke kantor lagi? Dara pulang deh kalau gitu."

"Mulai lagi dramanya."

Dara tergelelak pelan terlebih dahulu. "Mas Banyu sudah selesai tinjau proyeknya?"

"Sudah, kamu tunggu sebentar nanti kita pergi makan siang bareng. Nggak lama lagi aku sampai kantor."

"Oh."

"Kamu mau makan di mana biar Yudis reservasi."

"Dara bawain makan siang buat Mas Banyu."

"Haaah."

"Kenapa? Nggak mau? Kalau Mas Banyu memang mau makan di restaurant biar Dara buang makanannya. Kebetulan ada tempat sampah di dekat Dara sekarang."

"Kamu nggak capek cari gara-gara terus sama aku, hm?"

Menahan tawa. "Capek dong. Kayaknya Dara mending pulang aja, capek banget rasanya!"

"DARA!"

"Hahaha... Cuma bercanda."

"Bercandaan kamu nggak lucu!" balas Banyu yang terdengar agak kesal.

"Iya... Iya... Maaf. Hati-hati di jalan yaa. Nggak usah marah-marah terus, nanti tekanan darahnya naik loh. Ingat umur, Mas!"

"Heeeh."

"Bye, Mas Banyu," ucap Dara lalu mematikan panggilan begitu saja. Menahan geli karena Banyu di sebrang sana pasti tambah kesal.

Dara mengabaikan dering handphone-nya yang kembali terdengar. Yakin, 100 persen bahwa Banyu Wisesa Gananantha yang meneleponnya lagi. Tidak berminat menggangkat panggilan itu maka Dara melangkah guna mendekati meja Kinanti yang adalah sekretaris Banyu.

"Bisa minta OB untuk panaskan ini dan siapkan alat makan buat Pak Banyu," ucap Dara sambil menyerahkan salah satu paper bag yang dibawanya.

"Tentu, Bu," balas Kinanti sopan. "Ibu mau dibuatkan minum sekalian. Kopi atau teh?"

"Air putih saja tapi kasih es yang banyak." Dara tersenyum saat Kinanti melirik handphone-nya yang kembali berdering. "Panas banget siang ini."

Pantang menyerah sekali Banyu Wisesa Gananantha itu!

"Baik Bu. Sa____" ucapan Kinanti tidak selesai karena telepon di mejanya kini yang gantian berdering. Tangannya segera mengangkat gagang telepon. "Siang Pak. Ibu Dara?" Mata Kinanti menatap Dara. "Masih ada di depan Saya, Pak. Haaah? Eh, gimana... gimana. Tidak perlu diulangi, Pak. Maaf. Saya menger___" helaan napas pelan refleks keluar dari bibir Kinanti karena telepon itu ditutup begitu saja.

Siapa yang berantem, siapa yang kena imbasnya.

Atasan sableng! Mana berani gue ngunci Ibu Dara di ruangan. Astaga!!!

"Pak Banyu yang telepon?" tanya Dara.

"Iya, Bu."

Alis Dara naik satu karena mimik muka Kinanti agak aneh. "Bilang apa dia?"

"Itu... Itu Bu."

"Itu apa?"

"Jangan sampai Ibu pergi sebelum Bapak datang." Dahinya agak berkerut sesaat tampak berpikir sejenak. "Kata Bapak, kalau perlu saya kunciin Ibu di ruangan," cicitnya tak enak hati tapi tadi diminta Banyu berkata begitu jadi yaa___ hadeeeh.

Dara menahan diri agar tidak tertawa. "Cuma bercanda dia."

"Tapi Bapak tidak pernah bercanda, Bu. Jadi saya harap Ibu jangan pergi sebelum Bapak datang."

"Pak Banyu seseram itu yaa kalau di kantor?" tanya Dara mulai tertarik karena wajah Kinanti tampak serius... serius takutnya.

"Hmm." Kinanti bingung harus menjawab apa. Kalau Ibu Dara lapor ke Pak Banyu tentang omongan gue auto dipecat padahal cicilan mobil baru gue belom kelar.

"Saya masuk yaa. Cepat panaskan makanannya sebelum Pak Banyu datang." ucap Dara karena tampaknya Kinanti tidak ingin menyampaikan keluhannya. Memilih untuk tidak memperpanjang masalah maka Dara melenggang santai menuju ruang kerja Banyu.

***

Berdasarkan pengalaman hidup Dara selama ini. Kata 'sebentar' versi Jakarta itu pastinya tidak dalam hitungan menit. Begitu juga yang terjadi saat dirinya menunggu kedatangan Banyu.

Pintu ruangan terbuka tanpa didahului ketukan artinya yang masuk bukan Kinanti apalagi OB. Dara menutup link film yang sedang ditontonnya dari handphone. Beralih menatap Banyu yang sedang berjalan ke arahnya.

"Ada masalah?" tanya Dara saat menyadari wajah Banyu tidak seceria biasanya.

Banyu mendudukan diri di sofa panjang bersebelahan dengan Dara padahal ada single sofa yang kosong. "Ada kecelakaan di tempat proyek jadi aku ke sana," jawabnya jujur.

Dara agak merasa bersalah. Bukan karena dirinya terlibat dalam peristiwa nahas itu tapi tadi sempat menjahili Banyu lewat telepon tanpa tahu bahwa calon suami belum resminya sedang bermasalah. Pantas saja Banyu yang biasanya lebih sabar dibandingkan Dara malah gampang tersulut kekesalan.

"Maaf yaa," ucap Dara tidak enak hati.

Alis Banyu naik satu. "Maaf buat apa?"

"Dara nggak tahu Mas Banyu lagi bermasalah dan malah bikin Mas tambah kesal tadi," jawabnya lalu nyengir.

"Merasa bersalah, hm?"

"Kan barusan Dara udah minta maaf, Mas."

"Peluk aku kalau kamu merasa bersalah!"

Dara menggeser posisi duduknya menjauhi Banyu. "Ogah! Apa hubungannya merasa bersalah sama pelukan? Ck, bisa banget mencari kesempatan dalam kesempitan," cibirnya.

"Hahaha," tawa Banyu terdengar. "Segala sesuatu yang pelik itu bisa diringankan dengan peluk, Dara sayang."

"Dih!" Dara menampakkan raut jijik atas pernyataan Banyu yang absurd. Tak lama dirinya kembali duduk menyerong ke arah Banyu. "Berapa orang yang terluka?" tanyanya penasaran. Sepertinya Banyu berkebalikan dengan Kenneth yang tidak pernah membiarkan Dara tahu apalagi ikut campur masalah pekerjaan.

"Empat orang tapi udah dibawa ke rumah sakit. Untung cuma luka ringan di tangan dan kaki."

"Mas ke rumah sakit juga?"

"Iyalah."

"Hmm, kalau gitu cuci tangan dulu sana biar Dara siapin makan siang buat Mas Banyu."

"Berasa anak kecil disuruh cuci tangan dulu sebelum makan," balas Banyu walau dirinya bangkit berdiri lalu berjalan menuju ke toilet yang ada di pojok samping ruangan.

Sebaliknya Dara keluar ruangan meminta Kinanti untuk menghubungi OB guna membawa makanan yang tadi dipanaskan. Setelahnya menyiapkan makanan lain di meja agar Banyu bisa segera makan.

Ternyata Banyu cukup lama di dalam toilet. Dia keluar dengan muka yang terlihat lebih segar serta rambut agak sedikit basah. Memang tadi Banyu tidak menggunakan jas saat pergi ke tempat proyek. Tentu juga melepas dasinya karena kunjungan bukan untuk peresmian tetapi justru mengecek dampak kecelakaan yang terjadi akibat rantai besi pengangkut putus.

"Nggak usah takut karena ini bukan masakan Dara tapi beli di restaurant kesukaan Mas Banyu," ucap Dara sambil lalu karena Banyu tampak berdiri sambil memindai makanan yang telah tersaji di meja.

Di ruangannya memang ada meja dan sofa tempat para tamu duduk. Tidak mungkin makan di meja kerja. Ada dokumen yang bisa saja terkena noda makanan. Bisa cetak ulang tapikan mencegah lebih baik dibanding mengatasi masalah.

Banyu kembali duduk di samping Dara. "Kapan aku takut sama masakan kamu? Selama ini aku selalu makan semua," alibinya karena takut Dara tersinggung.

Dara malah terlihat menahan tawanya. "Terpaksakan makannya?"

Harap diketahui bahwa usaha pembatalan perjodohan yang dilakukan Dara waktu itu termasuk membuatkan makanan bagi Banyu. Beberapa kali dirinya datang ke kantor Banyu untuk mengantarkan makan siang. Makanan spesial... spesial bukan karena rasanya yang enak tak terhingga tapi justru sebaliknya.

Pernah dengar ungkapan, dari perut turun ke hati. Usaha merebut hati seseorang lewat makanan. Maka Dara berusaha menerapkan ungkapan tersebut dengan logika terbalik. Bukan ingin Banyu jatuh cinta akan tetapi Dara bertujuan agar pria yang dijodohkan itu ilfeel padanya karena mengetahui bahwa calon istrinya ini tidak berbakat memasak sama sekali. Masak saja tidak becus apalagi mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Apa Dara benar-benar tidak bisa masak? Tentu bisa walau tidak semahir chef. Apalagi Dara pernah ikut cooking class selama 6 bulan dulu kala. Memasak makanan lezat itu tidak mudah tapi membuat makanan yang tidak enak itu mudah sekali.

"Prinsipku itu makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Rasa makanan cuma di mulut tapi kalau sudah di lambung yaa sama aja." Banyu meminum air putih terlebih dahulu. Kebiasaannya sebelum makan. "Lagian kamu nggak akan nyelakain aku lewat makanan."

"Masa?" pancing Dara. Tangannya juga mendekatkan mangkuk soto ke dekat piring Banyu agar mudah diambil.

"Hmm, kamu cuma bikin tiga macam rasa. Terlalu manis, terlalu asin atau malah hambar," balasnya yakin lalu menyuapkan sesendok nasi yang telah disiram kuah soto. "Kalau niat, seharusnya kamu buat makanan itu pedas sekalian biar aku sakit perut." Tangan Banyu terangkat bukan untuk makan melainkan mengelus kepala Dara pelan sambil tersenyum. "Kamu tuh nggak berbakat jadi orang jahat, Dara."

"Hahaha," tawa Dara kini tersembur. "Makan satenya sekalian," lanjutnya lalu ikut mengambil setusuk sate untuk dimakannya.

Alis Banyu naik satu. "Soto lamongan disatuin sama sate lilit emang enak?"

Banyu sebenarnya agak takjub dengan pilihan menu yang dipilih Dara untuk makan siang kali ini. Soto dengan perkedel dan kerupuk masih agak nyambung, tapi sate lilit serta acar kuning sebagai pelengkap itu agak... Ah, gitulah.

Dara mengendikan bahu. "Nggak tahu. Tapi satenya memang enak," balasnya lalu mengambil satu sate lagi. "Dara tadi tanya hari ini yang spesial apa, terus waiter-nya bilang sate lilit. Jadi Dara pesan sekalian," lanjutnya tanpa dosa.

"Buka mulut kamu!" perintah Banyu lalu menyuapkan sesendok nasi yang bercampur kuah soto.

Mau tak mau Dara memakan makanan yang telah masuk ke mulutnya itu. "Ini kenapa Mas jadi nyuapin Dara sih?!" protesnya sambil menolak suapan kedua.

"Karena makanan kali ini aman dimakan, jadi kamu bisa ikut makan, Dara."

"Bhuuuk!" Dara serta merta memukul lengan atas Banyu karena merasa tersindir.

Maksudnya makanan buatan gue nggak aman gitu... Sialan!

"Kenapa nggak ikut makan juga?" tanya Banyu sambil menengok ke samping lagi.

Memang Dara hanya membeli seporsi nasi dan beberapa jenis lauk untuk melengkapinya. Pokoknya harus ada karbohidrat, protein serta sayur agar nutrisinya terpenuhi. Banyu itu setahunya tidak makan dalam porsi berlebihan. Entah dia menjaga bentuk badannya atau memang tidak terbiasa makan banyak.

"Dara udah makan di restaurant tadi bareng Areta." Dara berkelit lagi saat tangan Banyu terangkat guna menyuapinya lagi.

"Aretanya kemana sekarang? Nggak ikut ke sini?"

"Pulang duluan."

"Buka mulut kamu! Tangan aku pegal ini."

"Suruh sia____" kata-kata Dara tidak selesai karena mulutnya yang terbuka sesaat Banyu manfaatkan untuk memasukkan sesendok nasi lagi.

"Pinter!" ucap Banyu lalu gantian memasukkan sesendok nasi ke mulutnya sendiri.

"Mas!" protes Dara setelah menelan makanannya.

"Ini yang terakhir!" Tangan Banyu terangkat lagi dengan sendok penuh. "Kalau nggak mau buka mulut artinya kamu mau terus aku suapin sampai habis. Sepiring plus semangkok berdua itu memang romantis," ancam Banyu.

"Romantis atau jorok?" sentak Dara walau dirinya memakan suapan dari Banyu. Kasihkan Banyu jika harus membagi makanannya dengan Dara. Mana kenyang dia padahal mesti lanjut kerja.

"Kita bahkan sudah berbagi napas serta saliva, Dara. Kamu tidak lupa tadi malam kita berciuman cukup lama bukan?"

"____" Sungguh Dara speechless.

Mulut Dara bahkan agak menganga. Dirinya bingung antara malu atau menampol Banyu karena ucapannya itu tidak difilter sama sekali. Lebih kesal lagi karena Banyu Wisesa Ga--ada akhlak--nanantha itu tetap terlihat santai bahkan melanjutkan menyantap makananya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Pingin dicium tuh nggak usah jadi Princess Aurora kali! Langsung aja minta dan gue jamin, Banyu nggak bakal nolak. Minta nambah dia malahan.

Dara teringat perkataan ngawur Areta waktu di Bali dulu yang ternyata malah terbukti kebenarannya. Kesintingan Dara mencium Banyu duluan malah membuat pria itu enggan menghentikan ciuman mereka. Untung bibir Dara tidak jontor dibuatnya, Eh.

Banyu menengok ke arah Dara. "Kenapa bengong?" Bibirnya tertarik membentuk seringai. "Lagi bayangin ciuman kita yaa? Ck, siang-siang gini udah mesum aja pikirannya, Dara."

"MAS!!!" teriak Dara greget tak lupa menghadiahi Banyu dengan cubitan maut di pinggangnya.

"Auuw... Auuw..." ringis Banyu pura-pura sambil berkelit dari cubitan Dara.

Dara bangkit berdiri lalu duduk di single sofa guna menjauhi Banyu. Bersedekap tangan di dada. Memalingkan wajah ke arah jendela agar tidak memandang wajah Banyu yang kadang bisa nyebelin pake banget itu.

"Ck, ngambek lagi!" sindir Banyu. "Makan satenya. Katanya tadi enak." Tangan Banyu mendekatkan piring sate ke dekat Dara.

"Ogah!" jawab Dara bahkan tanpa memandang wajah Banyu sama sekali.

"Iya udah, aku habisin kalau begitu. Kebetulan aku lapar banget."

Sepertinya Banyu yakin telah mendapatkan hati Dara jadi tidak ada lagi effort-nya untuk membujuk-bujuk. Sebaliknya, Dara yang bingung sendiri karena aksi merajuknya sepertinya tidak akan mempan lagi bagi Banyu. Namun, menyerah kalah juga enggan.

Hanya denting sendok yang terdengar tanpa obrolan lagi. Banyu juga melanjutkan makan dengan tenang hingga suapan terakhir. Meminum air saat makanan telah ludes termasuk satenya.

Dara yang menyadari aktivitas makan Banyu telah selesai segera berdiri untuk membereskan semua peralatan makan ke nampan. Jadi nanti mundah dibawa oleh OB. Namun, belum sempat merealisasikan niat mulianya itu, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Banyu hingga badannya oleng dan jatuh di pangkuan Banyu.

"Mas!" pekik Dara kaget.

Tangan Banyu malah melingkari pinggang Dara possessive agar calon istri belum resminya ini tidak bisa kabur. "Bisa cari hobi lain selain ngambek, Dara Sayang."

"Lepas ih. Kita di kantor." Dara berusaha bangkit namun sulit karena tangan Banyu membelit erat macam ular piton. "Nanti muntah loh, habis makan malah pangku orang sembarangan!" tegurnya.

"Bukan orang sembarangan tapi pangku calon istri sendiri," jawab Banyu tak mau kalah.

Dara berhenti bergerak lalu beralih memeluk leher Banyu. "Mas baik-baik aja?"

Dirinya tidak bodoh hingga tak menyadari bahwa Banyu sedang tidak seperti biasanya. Masalah pekerja yang terluka bukan hal sepele. Paling tidak yang patut disyukuri adalah tak sampai ada korban jiwa.

"Yang luka bukan aku, Dara."

"Tapi Mas Banyu ikut pusing kan?"

"Makanya jangan bikin aku tambah pusing."

"Iya, maaf." Dara melerai pelukannya. "Mas Banyu juga nyebelin jadi mesti minta maaf ke Dara biar impas."

Banyu tergelak mendengar ucapan Dara. Tangannya terangkat untuk menyelipkan rambut Dara ke telinga agar makin puas memandang wajah jelita ini. "Maaf Dara cantik."

Dara memutar matanya malas. "Mulai."

"Kamu di sini sampai sore?"

"Nggak. Dara ada acara yayasan. Mami nggak bisa hadir jadi Dara yang wakilin."

"Pantesan rapi banget."

Sejak tadi malam bicara dari hati ke hati. Kini hubungan mereka telah membaik jadi Dara berpenampilan normal. Tidak memakai coat tebal seperti yang selama ini dikenakannya saat berkunjung ke kantor Banyu. Dara itu cantik tapi berpenampilan tidak biasa tetap terasa mengganggu. Apa dia pikir kantor Banyu itu Gunung Himalaya.

Tadi Banyu memang terpukau saat melihat Dara mengenakan setelan berwarna putih dilengkapi blazer senada. Celana panjang model palazzo membuat kaki Dara tampak jenjang. Parahnya, saat melihat Dara berdiri, Banyu malah ingin memeluk calon istri belum resminya itu. Makanya tanpa berpikir dua kali Banyu benar-benar merealisasikannya walau sekarang sambil duduk.

"Acaranya formal," jawab Dara datar.

"Aku kira kamu mau ngelamar jadi sekretaris di sini."

Alis Dara naik satu. "Berani gaji berapa kalau Dara jadi sekretaris Mas Banyu?" tantangnya.

Banyu pura-pura berpikir baru menjawab, "Black card?"

"Wow." Dara menganggukkan kepala. "Tapi, sorry Dara udah punya tuh dari Papi."

"Kalau ditambah seperangkat alat salat dibayar tunai, gimana?"

"Hahaha," tawa Dara terdengar lagi. Tangannya mengusap kerah kemeja Banyu. "Kalau Dara kerja di sini Mas nggak akan bisa konsentrasi, padahal Mas Banyu harus rajin kerja biar bisa belanjain Dara."

"Hmm," Banyu tersenyum dan membenarkan ucapan Dara walau hanya dalam hati. Bukan soal tak mampu membelanjakan melainkan dirinya pasti sulit konsentrasi jika Dara berada di dekatnya terus menerus. Namun senyumnya tiba-tiba surut. "Tapi apa mesti banget kamu pakai lipstick merah gini?" tanyanya refleks saat memandang bibir Dara.

"Emang nggak pantes yaa? Padahal ada yang bilang bibir Dara seksi jadi bagus kalau pakai lipstick warna terang." Dara mengerucutkan bibirnya sensual.

Banyu berdecak kesal. "Ck, kalau cowok yang bilang, jangan percaya Dara. Itu paling modus biar dia bisa cium-cium kamu."

"Hahaha... Mas Banyu kali yang niatnya begitu."

Banyu mengangguk terlebih dahulu baru menjawab, "Iya, makanya jangan pakai lipstick merah nanti aku cium sampai hilang warnanya!"

Banyu Wisesa Gananantha memang sinting.

Dara menempelkan telapak tangannya ke bibir lalu membalikkan sehingga bisa dilihat Banyu. "Sayangnya, ini jenis lipstick yang transferproof jadi nggak semudah itu hilang, Mas Banyu!" balasnya pongah.

"Bagus kalau gitu."

"Bagus apanya?" Dahi Dara berkerut heran

"Bagus efeknya jadi aku bisa cium kamu lebih lama kayak gini, Dara," ucap Banyu lalu mulai memanggut bibir Dara lembut. Dirinya kini leluasa mencium Dara karena sudah tidak ada kumis dan cambang di sekitar rahangnya lagi. Kulit Dara itu ternyata sensitive jadi mudah memerah.

Mata Dara membulat lucu karena tak menyangka akan benar-benar dicium. Sebelah tangan Banyu juga telah berada di tengkuk Dara untuk memperdalam ciuman mereka. Dara diam dan tak melawan.

"Balas aku, Dara!" bisik Banyu sebelum kembali menyatukan bibir mereka lagi. Maka Dara menuruti keinginan calon suami belum resminya itu dengan senang hati.

Fix, yang sinting bukan cuma Banyu tetapi juga Dara.

***

Dara membenahi rambutnya dengan menggunakan jari. Dirinya harus segera berangkat jika tak ingin terlambat menghadiri acara. Tidak memoles bibirnya dengan lipstick lagi karena tadi Banyu mengancam akan menciuminya kembali. Maka Dara berencana touch up saat berada di mobil saja.

Pura-pura mengalah lebih baik dibanding cari masalah. Pokoknya make up Dara harus kembali paripurna seperti sebelumnya. Yang penting Banyu tidak tahu jadi aman.

Saat bertemu dengan pria itu kita harus tampil 'menawan' tapi saat bertemu wanita kita harus tampil 'memukau'. Faktanya, pria tidak peduli tas yang kita jinjing itu harganya sejuta atau semiliar tapi wanita peduli dan paham merek. Berpenampilan branded itu bukan hanya soal flexing tapi menentukan kedudukanmu di kelas sosial tertentu. Cara berpenampilan itu adalah jenis 'politik' paling sederhana.

Di pertemuan nanti yang datang itu anggota yayasan. Tentu mereka memang bukan orang sembarangan. Jadi Dara harus menyesuaikan diri. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Yang penting apa yang dipakai Dara bukan hasil korupsi atau pencucian uang. Amalah.

"Masih cantik dan nggak berantakkan," sindir Banyu sambil bersedekap tangan di dada.

Wajah Dara menengok ke samping. "Mas Banyu kayak cewek yang lagi PMS deh. Ngomel terus dari tadi."

"Kapan aku ngomel?"

"Katak juga nggak sadar dirinya katak." Dara mencibir.

"Nggak nyambung!"

"Nanti suruh Yudis beliin cokelat deh. Mas kayaknya butuh yang manis-manis biar nggak emosi terus."

"Tadi udah. Bibir kamu kan manis."

"Bhuuuuk." Dara memukul lengan atas Banyu karena kesal.

Denting lift terdengar sehingga Dara memilih keluar terlebih dahulu. "Nggak usah gandengan, kita bukan anak remaja. Mas udah ketuaan malahan," ucap Dara sebagai antisipasi saat Banyu sudah mensejajari langkahnya.

"Kamu malu kalau aku gandeng yaa?" Banyu mengulum senyum. Dirinya tidak segila itu untuk memamerkan kemesraan mereka apalagi di kantor. Abaikan peristiwa adu bibir di ruangan tadi. Lagian di ruangan itu cuma ada Banyu dan Dara... Hmm, paling yang ketiga setan.

"Ini kan kantor," suara Dara menelan kala sudah berada di lobi.

Banyu memang mengantar Dara menuju mobilnya. Pak Tomo juga sudah dihubungi sehingga kini tampak siap di luar gedung. Dirinya tidak bisa mengantar Dara karena masih ada pekerjaan. lagian Dara pasti menolak tawarannya.

"Nanti angkat telepon aku."

"Iya, kalau sempat," jawab Dara iseng.

"Heeeh!"

"Loh, Mas tadi nggak datang sama Yudis?" Dahi Dara berkerut heran kala melihat personal assistant Banyu baru memasuki gedung.

"Dia masih stand by di rumah sakit tadi. Aku kembali ke kantor duluan sama Pak Bambang," jawab Banyu tenang.

"Siang Tuan, Mbak Dara," sapa Yudis ketika telah berada di dekat mereka.

"Semua beres?" tanya Banyu dengan nada dingin.

Yudis mengangguk terlebih dahulu baru menjawab, "Iya, Tuan."

Alhasil, Dara jadi diantar oleh Banyu juga Yudis karena sepertinya personal assistant satu ini selalu mengikuti bosnya. Tidak ingin ambil pusing maka Dara melanjutkan langkahnya menuju mobil yang juga telah terbuka pintunya. Mungkin Banyu butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa ngangguan Dara.

"Hati-hati di jalan, Pak!" ucap Banyu ketika Dara sudah duduk nyaman di dalam mobil.

Pak Tomo menengok ke belakang. "Baik, Tuan," jawabannya sambil menganggukkan kepala.

Banyu masih berdiri walau mobil telah melaju meninggalkan kawasan gedung. Menghembuskan napas panjang lalu berbalik badan untuk kembali masuk. Waktunya bekerja. Kenyataannya, hidup itu bukan cuma soal cinta-cintaan.

"Kamu sudah makan?" tanya Banyu sambil terus melangkah.

"Sudah Tuan," jawab Yudis.

Tak ada obrolan setelahnya. Mereka hanya berjalan terus menuju lift. Tangan Yudis otomatis menekan kedua tombol. Bersiap menaiki lift yang lebih dulu terbuka.

"Staff engineering sudah kamu hubungi lagi? Bagaimana laporannya?"

Yudis mengikuti Banyu yang memasuki lift yang telah terbuka. Tak lupa menekan tombol angka sesuai lantai tujuan mereka. "Sudah, Tuan. Ti____"

Selembar kertas tiba-tiba ikut masuk ke dalam lift lalu mendarat di lantai tepat di depan sepatu Banyu.

"Tahaaaaan!" pekik seseorang.

Banyu membungkuk untuk mengambil kertas karena posisinya dekat dengan sepatunya. Sedangkan Yudis juga menekan tombol agar pintu lift tidak jadi tertutup. Apalagi seorang wanita sudah berdiri di depan mereka sambil membawa setumpuk kertas. Wajahnya juga terlihat agak kaget.

"Maaf, Pak. Tadi... tadi..." suara agak gemetar dengan mata membola karena ini bisa disebut sebagai kesialan beruntunnya hari ini. Tadi bertemu kekasih Bos sekarang malah benar-benar bertemu Sang Bos.

Mampus gue!

Pegawai sinting mana yang berani nyuruh CEO buat tahan lift?!

"Tidak ap____" Banyu kehilangan kata setelah bangkit berdiri kala matanya menatap wajah yang sudah lama tidak dilihatnya. "Ra-Ratu," gagap Banyu.

"Iya, saya Pak." Dahi Ratu berkerut heran. Kok, Pak Bos kenal gue. Tangannya bergerak meraih kertas yang diulurkan Banyu.

Banyu refleks memandang layard ID card yang tergantung di leher wanita itu. Ratu Adhira Dianti begitu sederet kata yang pasti adalah namanya. Banyu cukup dibuat terguncang karena kebetulan yang amat tidak diharapkan telah terjadi di siang hari yang cerah ini.

Wanita yang ada di hadapannya benar-benar mirip dengan mendiang istrinya sekaligus Ratu Pengging. Bukan hanya mirip wajahnya tapi dia juga memiliki tahi lalat di dagunya. Banyu bahkan mengerjabkan matanya beberapa kali untuk memastikan tidak salah lihat.

Apa-apaan ini?

Kenapa baru kali ini Banyu melihatnya di kantor?

------ To be continued ------

17 Juni 2023

-----------------------------------------

Continue Reading

You'll Also Like

18.1K 4.4K 56
Di balik tragedi Perang Bubat yang menyayat, ada sepenggal kisah dramatis yang tak diketahui oleh para penulis sejarah. Bukan hanya tentang Putri Sun...
1.1K 307 15
Alena, seorang perempuan seni itu memutuskan untuk merental 'pacar' agar lepas dari tuntutan keluarganya. Dia pun bertemu dengan Theo, seorang lelaki...
378K 18.3K 44
"Anjing sekali everybody, yakali gue tidur langsung beda dunia" Bagaimana jadinya seorang Queena Selvi Dealova Kenward jiwa masa depan bertransmigras...
9.4K 904 44
Saujana: (sejauh mata memandang) Keindahan kecil yang tak dapat di ubah, sebuah perbedaan yang harus sama-sama di terima. Tuhan tidak jahat hanya saj...