The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Lima Belas

62 2 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya ya. 

Kontribusi pembaca sangat berarti bagi penulis, terima kasih. 

Salam,

Chocomellow.

###

Audrey

Jika kau tak suka tinggal ganti ceritanya. Itu ilusimu, kau bebas bercerita tentang apapun. Dan pastikan semuanya berakhir baik.

***

Emily menghabiskan waktunya di sekolah. Gadis itu pulang jam 3 sore, dan bermain sebentar di taman, membuat tugasnya yang seabrek. Kadang Emily menemani Audrey menulis di meja bar dapur. Emily dengan tugasnya, Audrey dengan laptopnya. Pemandangan dua perempuan yang sibuk dengan laptop di depan meja bar sudah menjadi kebiasaan bagi Arkan. Setelah tugas sekolahnya selesai, Emily akan mengurung diri dengan kegiatan remaja di kamar. Menari, menyanyikan lagu BTS, lalu menjererit yang tak tahu karena hal apa. Arkan baru sadar jika Emily berusaha mengurangi porsi makannya. Yang belakangan Arkan ketahui karena Jungkook tidak suka dengan cewek gendut.

Arkan membutuhkan waktu tiga hari untuk bisa mengingat nama bias Emily. Emily sering memutar bola mata seakan Arkan idiot gila yang tak bisa mengingat satu nama. Emily pernah mencak-mencak di depan Arkan karena ia terus menurus memanggil biasnya Jung-jung. Gengsi karena reputasi sebagai lulusan PhD terbaik di pertaruhkan, akhirnya Arkan menghafal nama 'Jungkok' dan member BTS lainnya layaknya mantar sihir.

Arkan pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu ia masuk, ia kira speaker dirumahnya pecah. Lagu BTS dan TXT yang seminggu ini biasa dia dengar bergema di seluruh ruangan dengan volume diatas rata-rata.

"Em?" Arkan memanggil Emily, tapi tak ada sahutan. Tentu saja, suaranya kalah dari suara speaker di ruang keluarga. Arkan bergegas ke sumber suara berharap salah satu dari dua perempuan yang menghuni rumahnya sadar dia telah pulang.

Ketika mendapati rumah kosong Arkan kembali berteriak, kali ini memanggil Audrey. "Audrey." Tenggorokan Arkan perih, dia mengumpat karena butuh waktu untuk kembali mengeluarkan suaranya memanggil di antara suara musik yang menggema di rumah. Ia tak tahu apakah musik yang menggema dirumahnya milik BTS atau TXT. Yang pasti salah satunya. Karena Emily sangat menyukai mereka hingga membuatnya geleng-geleng kepala.

" Hei, dimana kalian?"

Arkan mencari remote speaker di antara tumpukan bantal sofa di ruang keluarga. Insting yang mulai terasah sejak mengamati kebiasaan Emily menaruh barang sembarangan. Dia meraih remot speaker, dan mematikan musik yang membuat suaranya tak terdengar, dan gendang telinganya pecah.

"Emily? Audrey?" Arkan kembali berteriak, kali ini ia yakin suaranya terdengar ke seluruh penjuru rumah.

"Kami disini." itu suara Emily. Dia melirik lantai 2, dan bergegas naik. Arkan mendapati Audrey dan Emily sedang berada di ruang olah raga. Terakhir kali, Audrey melarangnya mengurangi porsi makan. Dengan ahli Audrey menawarkan solusi agar Emily mulai olah raga, alih-alih mengurangi porsi makannya. Dan Audrey berhasil. Seminggu sudah, dan Emily rutin berolah raga bersama Audrey. Emily juga ikut lari pagi bersama mereka di hari libur.

Arkan membuka pintu yang sedikit renggang. Mendapati Audrey dalam pose aneh bin ajaibnya. Entahlah, ia tak dapat mendeskripsikannya. Tangannya menumpu di lantai, sementara kakinya melengkung ke udara. Tubuhnya meliuk seperti elastis girl dalam film Mr. Incredibles.

Arkan menonton dengan takjub. Dia terpaku didepan pintu, sementara Emily sibuk menyesap minumannya dan mengistirahatkan diri di ujung ruangan. Bajunya penuh keringat. Gadis itu mengambil ponselnya di lantai dan mulai mengambil foto Audrey. Matanya terlihat berbinar. Mungkin ini salah satu cara Audrey membujuk Emily untuk olah raga. Karena Arkan pernah mendengar Emily ingin belajar yoga. Arkan juga mendengar Audrey merekomendasikan kelas yoga pada adiknya.

Audrey mengganti posenya. Kali ini pose yang lebih menantang. Badannya yang lentur terlihat jelas. Tak ada tanda-tanda wanita kaku yang tak bisa menari seperti yang diceritakan Audrey padanya. Arkan menarik nafas, ketika Audrey berhasil berdiri dengan tangan sementara kakinya menjulang ke atas. Keseimbangannya patut di acungin jempol. Audrey kembali mengganti posenya, dan Emily sibuk mengabadikan setiap perubahan itu. Kali ini Arkan harus mengakui pose kali ini seksi, dan cukup mengundang. Arkan mulai kewalahan dengan setiap gerakan Audrey. Wanita itu selalu menarik perhatiannya setiap kali ia menoleh kearanya. Arkan selalu memperhatikan Audrey. Jika ditanya sejak kapan, dia tak tahu. Ketika Audrey di kantor, Arkan akan memperhatikan suaranya, saat dia mulai bekerja bersamanya, Akran mulai memperhatikan seluruhnya. Apapun yang ada pada wanita itu. Kesadaran itu membuatnya cemas.

Ketertarikan Arkan pada Audrey begitu kuat, hingga terasa begitu mencekik. Arkan sangat menginginkan Audrey hingga membuatnya takut. Arkan harus berjuang begitu keras untuk tidak memikirkan hal-hal gila yang memenuhi otaknya, Arkan tahu gemuruh ditelinga tak ada hubungannya dengan volume speaker yang penuh dengan lagu BTS milik Emily.

Dan begitu Audrey selesai, wanita itu mendapati Arkan berdiri di pintu masuk. Audrey menatapnya, dan tersadar seolah ia mendapati sesuatu di mata Arkan yang membuatnya mematung. Lalu rona merah menjalar dari pipi ke lehernya. Rona merah yang selalu membuat Arkan ingin menggodanya lebih banyak. Audrey berdeham, mencoba mengembalikan rona pipinya. "Sejak kapan kau disini?"

Arkan berkedip, menetralisir sensasi aneh dari tubuhnya. "Baru saja." Dia terdiam sesaat, lalu memperhatikan Audrey mengambil air minumnya. "Kemampuan yogamu diatas rata-rata." Tilik Arkan, dia memasuki ruangan olah raga dan mendapati jaket Emily, kaos kaki, earphone, charger, dan sepatunya bertebaran di lantai.

Arkan mendesah jengah, dia sering menemukan barang-barang adiknya berserakan di rumah. Meski Audrey sudah mengumpulkannya dan meletakannya ke gantungan, barang-barang itu tak pernah ada habisnya berjatuhan ke lantai, seperti daun gugur.

"Em, pungut jeket dan sepatumu. Jangan menebarnya di lantai."

Emily mengalihkan tatapannya dari ponsel ke arah Arkan. Melihat kakaknya mulai kesal, Emily dengan malas mengambil jaketnya.

"Tumben kak Arkan pulang saat dunia masih terang?"

"Aku ada janji menonton dengan Audrey." Arkan menoleh kearah Audrey, yang dijawab anggukan samar oleh perempuan itu.

"Kau ingin kencan dengan Audrey?" Adiknya menyorot dengan mata penuh harap, seakan jawaban iya adalah kata yang paling tepat keluar dari mulutnya.

"Bukan kencan, tapi menonton." Emily menyipitkan matanya. Merasa ragu dengan pendengarannya. Dia lupa, tidak juga jawaban yang paling tepat keluar dari mulut Arkan. Dengan status baru-teman- yang Audrey sematkan. Pikiran gilanya tak boleh muncul dalam bentuk perkataan apalagi tindakan. Jika itu terjadi, hubungan damai yang berusaha dia jaga praktisnya jadi tidak akan sama lagi.

Arkan melebarkan kakinya, bersidekap memandang adiknya mengesot ke arah sepatu dan kaos kakinya. Masih berusaha memungut semua barangnya, meski ia malas mengikuti perintah Arkan. Namun, dibawah mata tajam Arkan, Emily tak berkutik selain menurutinya. Emily memungut semua barangnya dan memeluk barang-barang buangannya ditangan.

"Kalau bukan kencan lalu apa? Menonton juga termasuk kencan. Jangan kira aku tak tahu." Emily memanyunkan mulutnya. Dia kesal setiap kali Arkan memandangnya sebagai gadis kecil nan lugu.

"Bukan, kami akan menonton netflix di ruang keluarga. Kau juga bisa bergabung. Besok weekend, jadi kau bisa ikut kami." Ajak Arkan.

Emily berdiri, menatap Arkan dengan aneh. "Kak, kau mengajak Audrey menonton netflix? Bukan mengajaknya kencan ke bioskop? Apa yang terjadi dengan Arkan yang keren dan penakluk wanita? Kenapa kau mengajaknya menonton netflix? Kau harusnya berani mengajaknya menonton di bioskop." Emily mendesah lelah. "Aku tak tahu kakakku seperti ini." Dia menoleh kearah Audrey. "Maafkan ketidak-gentle-lan kak Arkan, Au."

Audrey terkekeh, memperhatikan perubahan ekpsresi Arkan. Dari terdiam, lalu bengong ketika Emily mengatakannya tidak 'gentle' sebagai pria. Audrey berdeham. "Em, aku yang menyarankan kami menonton netflix. Kami ingin menonton film horor. Dan Arkan sulit menerima tawaranku. Aku tak ingin menyeretnya ke bioskop dan kejang disana."

"Ah, kau takut film horor?" Emily menatap Arkan dengan tatapan menuduh.

"Ya, aku takut hantu. Dan aku benci menonton film horor."

"Kenapa kau takut film horor? Kau laki-laki kak."

"Tak ada hubungannya dengan gender, Em. Apa kau tak takut film horor?"

"Aku takut."

"Nah, kau juga takut. Kita sama. Mungkin ini penyakit keluarga." Akran melemparkan tatapan bersimpati. "Jadi jangan salahkan aku. Kau takut karena alasanmu, dan aku takut dengan alasanku. Jangan seksis." Putus Arkan.

Emily mengertkan wajah masam. Dia mendesah dan melewati Arkan lalu kembali ke kamarnya.

"Ada apa dengan anak itu? Aku tak mengerti dengan perubahan moodnya." Sikap Emily menimbulkan enigma setiap kali mereka berinterkasi. Dia tak mengerti sama sekali. Arkan menatap Audrey memintanya menerjemahkan apa yang baru saja terjadi. Tapi Audrey malah mengedikan bahu dan tersenyum penuh arti.

"Apa maksud senyum mu itu?"

"Kalian mulai dekat satu sama lain." Jelas Audrey, dan raut wajah Arkan sedikit berubah. Arkan tak ingin dekat dengan Emily atau keluarga baru papanya. Dia tak ingin melibatkan diri dan menerima keluarga baru papanya terasa sulit baginya. Bukan berarti Arkan lebih suka mama dan papanya bersama, perceraian mereka adalah yang terbaik, tapi fakta bahwa Sonya ada dia antara kedua orang tuanya yang bertengkar dan dampak pertengkaran itu secara langsung baginya dan adiknya sulit untuk Arkan terima.

Audrey memeriksa ekspresi Arkan. Ekspresinya berubah. Itu perubahan halus. Tapi karena Audrey memperhatikan wajah Arkan, dia bisa melihat dengan tepat jika komentarnya barusan menyadarkannya dari sesuatu.

"Kita akan menonton setelah makan malam. Aku akan ke kamar." Arkan berlalu, meninggalkan Audrey yang heran.

***

Arkan menemukan Audrey yang sedang sibuk di dapur, sambil menelepon seseorang. Wanita itu membuhul rambutnya tinggi-tinggi. Audrey berdiri di depan kompor, memasukan sesuatu dan aroma harum menguar. Arkan mendekat, duduk di kursi bar. Menonton Audrey memasak.

"Tidak, aku belum dapat ide." Kata Audrey, dia menuangkan sesuatu, dan mulai mengaduk.

"Denis yang dipesta Lola kemarin tak memberimu ide satupun?" Itu suara Anjani.

Arkan ingat laki-laki yang di kenalkan Anjani pada Audrey. Arkan ragu ia tak akan menonjok laki-laki bernama Denis itu jika saja Audrey tidak berbalik dan menyudahi percakapan berlumpur mereka. Laki-laki yang membuat amarah Arkan mengelegak.

Dia mengincar Audrey! Dia playboy! Tentu saja Arkan tidak akan keberatan jika dia laki-laki baik-baik, bersikap sopan dan Audrey nyaman bersama dengannya. Wajar jika Audrey berfikir 'mengamankan' laki-laki itu segera. Tapi Denis sama sekali tidak melakukan dua hal itu. Itulah alasan Arkan marah. Karena ia melecehkan Audrey. Inilah sangkalan yang coba ia katakan pada dirinya. Arkan mengabaikan suara batinya yang mengatakan bahwa intervensinya tak ada hubungannya dengan Audrey, melainkan sepenuhnya kerena dirinya.

Karena dia cemburu! Konklusi dari malam-malam yang menyebabkan pikirannya sara bara akibat perasaannya.

Suara decakan Audrey mengalihkan pikiran Arkan. "Tidak, dia sibuk menerawang menatap tubuhku. Dan aku tak sanggup harus berdiri lama didepan laki-laki yang terus melecehkanku."

Otot berkedut di rahang Arkan mendengar percakapan Audrey dan Anjani.

"Ah, ternyata dia tipe laki-laki brengsek. Seharusnya kau colok saja matanya. Atau kau tendang tulang keringnya." Geram Anjani. "Aku tak menyangka menyerahkanmu pada laki-laki mata keranjang. Sorry tentang itu, Au."

"It's okey. Itu bukan salahmu. Dari tampangnya kau tak akan tahu jika dia laki-laki brengsek."

"Omong-omong apa yang kau katakan pada Denis? Wajahnya terlihat merah padam saat kau tinggal. Aku jadi tak berani mendekatinya hari itu." Anjani bertanya dengan hati-hati.

Arkan melihat Emily keluar dari kamarnya, dan melangkah kearah dapur. Emily duduk di sebelah Arkan, menunggu makan malam siap sambil sibuk dengan ponselnya.

Audrey mendengus. "Aku hanya ragu dia menyukai novel misteri, dan majalah playboy lebih cocok untuknya." Audrey berhenti, lalu mengabil mangkuk di lemari atas. "Jadi aku katakan saja, jika keahlianya membaca lekuk tubuhku, maka keahlianku membaca pikiran kotornya. Dan ku harap kami tak bertemu lagi. Setelah itu aku pulang. Aku tak sempat melihat wajah merah padamnya. Jika saja aku berbalik, mungkin aku bisa melihatnya. Sangat disayangkan."

Audrey menuang sesuatu ke mangkuk. "Kau benar-benar gila. Tapi aku menyukainya." Suara kekehan Anjani terdengar. "Dari mana kau belajar hal-hal seperti itu?"

"Aku tak belajar, itu kesinisan yang kudapat dari hidup bersama nenekku." Katanya dan menyelesaikan masakannya. Audrey berbalik, dan mendapati Arkan dan Emily menatapnya.

"Sejak kapan kalian disini?"

"Sejak setengah jam yang lalu." Arkan menoleh kearah Emily, dan gadis itu menganggu membenarkan.

"Mbak, gue sudahin dulu. Para penghuni rumah sudah kelaparan."

"Oh, ok. Bye, Au."

Audrey mematikan ponselnya, dan kembali ke meja konter, membawa ikan gurame goreng dan cumi tepung saos padang.

"Sorry, aku terlambat memulai masak. Apa kalian kelaparan?" Audrey meletak menu makan malam mereka di meja makan.

"Tidak, aku senang menontonmu memasak." Arkan bergerak, mengambil piring dan sendok. Emily mengikutinya mengambil gelas.

"Oke, kalau begitu kita bisa mulai makan sekarang." Ajak Audrey, dan mengambil teko air. Lalu kembali melangkah mengambil nasi.

"Em, mama mu pulang dari rumah sakit senin depan. Kau mau aku antar kesana senin?"

"Senin sepulang sekolah, aku akan minta supir papa menjemputku." Jawab Emily sambil menyendok nasinya.

"Baiklah." Arkan menyendok nasinya. Sambil memperhatikan anak rambut yang berserakan di pipi Audrey. Tangan Arkan gatal ingin menyentuh rambuh Audrey, dan menyelipkannya ke belakang telinganya. Arkan melirik tengkuk Audrey yang jenjang ketika wanita itu mulai menyuap makanannya. Tulang selangka mencuat dari balik baju kaosnya. Membuat leher dan bahunya jadi lebih menarik untuk di kecup. Audrey menelan, dan lesung pipi muncul. Arkan merasa tak fokus, ia hanya menatap Audrey disebelahnya tanpa peduli dengan makanannya. Ia berusaha mencari pembenaran tentang ketertarikan seksual yang dirasakannya terhadap Audrey. Pikiran itu buyar saat ia melihat tatapan polos Emily padanya.

Adiknya menatap dengan senyum penuh pengertian. Sedari tadi Emily memperhatikannya, dan ia merasa tertangkap basah oleh mata polos Emily.

"Film apa yang kita tonton?" Audrey membuka penutup panci yang berisi capcay. "Kau sudah menonton film A Quiet Place?"

"Belum, aku tak pernah update dengan film horor."

"Kalau begitu kita tonton itu saja, tak terlalu banyak adegan hantunya, lebih banyak misterinya. Aku menyukai film itu." Audrey menyendokkan capcay ke piring Emily. "Makan lebih banyak sayur." Gadis itu pasrah menerima wortel dan brokoli yang Arkan duga tak begitu disukai Emily.

Arkan mengambil ikan. "Kau sudah menontonnya?"

"Sudah. Ini kali ketiga aku menontonya."

"Aku tak mengerti dengan orang-orang yang menonton film lebih dari satu kali." Arkan mulai menyuap makanannya. "Bukankah membosankan?"

"Sebagian orang mungkin merasa bosan. Mungkin karena melakukannya sebagai penonton, namun berbeda denganku yang melihatnya dari sudut pandang penulis, aku selalu menemukan hal baru dari menonton ulang. Hal baru yang sebelumnya luput dari perhatianku." Arkan melirik Audrey, dengan senyum sambung wanita itu. "Aku yakin aku lebih banyak berteriak dibandingkan kau malam ini."

Arkan dapat memikirkan ratusan cara membuat Audrey berteriak, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan menonton film. Arkan langsung mengusir pikiran itu. Aroma Audrey tercium dari tempatnya. Ia tak yakin apakah menonton menjadi pilihan yang bagus saat ini. Dia berharap Emily ikut bersama mereka.

***

Bagi yang belum follow akun Chocomellow26, yuk follow dulu, biar dapat update cerita terbaru...

Continue Reading

You'll Also Like

2.3K 151 15
[15+] Keajaiban tak pernah berhenti membuat manusia terpukau. *** Seorang kreator komik yang dikenal dengan nama...
3.2M 177K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
1M 49.4K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
2.4M 19.8K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...