Loversation

By valeriepatkar

97.9K 11K 4.9K

Semoga semua orang punya teman bicara. Agar hidupnya bisa bertambah, satu juta hari lamanya. More

Clue 0.
Clue 1.
Clue 2.
Clue 3.
Clue 4.
Clue 5.
Clue 6.
Clue 7.
Clue 9.
Clue 10.
Jatuh Cinta Seperti di Fiksi-Fiksi
Hati-Hati di Jalan, Dirga

Clue 8.

6.1K 669 161
By valeriepatkar


Clue 8.

Sepasang Sepatu Heels dan Sandal Swallow Biru

"Gimana mau ingetin orang lain bahagia

kalau gue aja lupa caranya?"


Berusaha ku memahami
Tak pernah ku mengerti

Mempelajari caramu berlayar
Namun semua hanya berputar-putar
Tak pernah rampung
Kau membuatku murung

Kapal pesiarku tak berlayar

**

Theala


"Aku gak tau kamu punya temen lain di Indonesia selain Milly."

Gue hanya terdiam.

"Ah... Iya.. Ada.."

"Dirga ya namanya?"

"Hmm."

"What is he like?"

Gue gak pernah punya cukup banyak kata untuk mendeskripsikannya.

"Annoying? Hahaha." Gue menggelak tawa yang sebenernya gak lucu. "Dia bawel. Lebih bawel dari Milly malah."

"Oh. Hahahaha," Mas Dhika juga membalas tawa canggung gue. "Terus kok udah gak pernah kontekan lagi?"

"Yah... Just because... Classic. People change though."

Gue yakin itu alasan yang paling tepat.

"Hmmm... But sometimes, when we click so much to someone... Hmm... Aneh aja gak sih gak berhubungan sama dia lagi?" Keheningan gue muncul karena berpikir. "Kecuali kalau memang orangnya bukan temen yang deket banget... Yaah, temen-temen pada umumnya lah yang suka datang dan pergi."

"He used to be the closest friend I've ever had." potong gue membuat Mas Dhika langsung melirik gue.

Gue gak tau kalau gue bisa menceritakannya pada Mas Dhika dengan cara yang seperti ini. Ralat.

Mungkin sebelumnya, gue gak pernah membayangkan bisa menceritakan tentangnya lagi ke pada siapapun.

"Actually... It was not Milly..."

Gue melipat tangan di depan dada, menatap kota Groningen yang semakin gelap di balkon flat gue.

"My best friend.... It was him."

Gak pernah berubah. Selalu dia.

"He used to be the only person who can make me forget about time."

Gue menceritakannya seolah dia adalah sebuah cerita dongeng terbaik yang pernah gue baca di masa kecil.

"Dia orang yang paling gak suka lihat aku sendirian. Katanya... aku kayak orang aneh yang gak punya temen.. Dia selalu bawel dan bilang aku gak boleh terlalu pendiem biar gak ada orang yang ngomong, apalagi berbuat seenaknya keaku."

Bagi gue... Dirga punya hak untuk dideskripsikan dengan baik seperti ini.

Ketika mata gue bertemu dengan mata Mas Dhika, gue melihatnya sedang menatap gue lama sebelum mengulas sebuah senyum yang hangat.

"He sounds like a good person."

Perlahan senyum itu mampir juga di bibir gue sambil berkata, "He is..."

Sejenak, ada keheningan yang panjang di antara kita. Gak tau kenapa, malam itu langit Groningen lagi bagus sehingga gue gak bisa mengalihkan pandangan dari jendela.

Musim sebelum salju datang selalu dihiasi hujan.

Hujan yang akan turun, terus menerus hingga yang menunggunya reda sering frustasi.

Kapan berhentinya? Kapan usainya?

Gue ini orang yang banyak mau, dan gue sangat menyadari itu.

Setiap pagi datang, gue pasti akan gak sabar menunggu jam makan siang.

Kalau udah siang, gue gak sabar menunggu malam tiba. Dan saat malam tiba... gue pengen pagi cepat-cepat datang lagi.

"Eh, udah mau jam setengah sepuluh ya ternyata?"

Itu yang membuat gue gak pernah lepas dari jam tangan.

Gue ingin melakukan segala sesuatu di waktu yang tepat karena ketidaksabaran gue ini seringkali membuat waktu bergulir dengan begitu cepat.

"Oh iya ya? Hahaha sorry, sorry. Jadi keasikan ngobrol." Mas Dhika langsung bangkit berdiri, bersiap buat pulang. "Ya udah aku balik duluan ya, The."

"Ya, Mas. Aku anterin ke depan aja."

"Eh, gak usah. Udah malem juga lagian... Kamu siap-siap tidur aja." Gue kira dia akan langsung pergi, tapi yang saat itu dia lakukan adalah memandang gue dari tempatnya berdiri... Lama. Kepalanya sedikit menunduk melihat kedua kaki gue yang terlihat jelek karena dihiasi dengan beberapa tempelan hansaplas seadanya di bagian tumit.

"Can you... Stop wearing heels tomorrow?"

Gue gak tau hal sesimpel ini akan membuatnya memandang sepasang kaki gue seperti ini.

Orang paling tenang yang bahkan ketika kesal aja gak pernah menunjukan itu sama sekali, sekarang di raut wajahnya terlihat begitu sedih ketika melihat sepasang kaki gue.

"Start to wear something more comfortable, perhaps?"

Gue ikut memandang sepasang kaki itu dengan tampang datar.

Pernah dengar di mana ya?

Katanya, ketika kita melihat sesuatu yang sebenernya bukan apa-apa tapi tiba-tiba aja ngerasa sedih, tandanya ada yang hilang dari diri kita.

Jadi, apa ada yang hilang dari diri gue sekarang?

Kenapa melihat sepasang kaki ini aja... Gue rasanya ingin mengasihani diri gue sendiri?

"Hmm, besok aku gak pake high heels kok." Di beberapa waktu gue bisa akan sangat keras kepala dan tetap menggunakan sepatu-sepatu hak tinggi gue yang gak nyaman.

That's weird.

I just feel... Something comfortable is not suitable for me.

Ketika terlalu nyaman sama sesuatu, gue selalu yakin akan ada sesuatu yang buruk yang terjadi, dan itu malah... membuat gue lebih memilih terus berada di tengah-tengah.

Gue benci diberi kenyamanan kalau pada akhirnya hanya berujung ke ketidaknyamanan.

"Iya. Setelah kaki kamu mendingan, you can wear high heels as much as you want." Mas Dhika tersenyum lebar sebelum mengacak rambut gue pelan dan pamitan pulang untuk terakhir kali. "See you besok.. Aku jemput sorean ya karena kita mau dinner bareng."

Mas Dhika tau banyak hal tentang gue tanpa harus repot-repot gue beritahu.

Dia tau gue orang yang akan selalu mengecek jam tangan gue setiap waktu untuk memastikan semua yang gue kerjakan setiap hari tepat dengan apa yang sudah gue jadwalkan. Bangun tidur di jam setengah 6 pagi, berangkat kerja pukul 8, di kantor sampai pukul 5, makan malam sebelum jam 7, dan tidur gak lebih dari jam setengah 10.

Dia tau gue orang yang paling anti pergi makan malam dengan teman sepulang kerja karena gue paling lelah membuang energi gue berada di tengah-tengah banyak orang yang gak begitu dekat dengan gue.

Dia tau gue orang yang lebih suka membaca buku di akhir pekan ketimbang pergi jalan-jalan melihat kota.

Tapi ada satu hal tentang gue yang gak akan pernah Mas Dhika mengerti hingga sekarang.

Alasan kenapa gue selalu mengenakan sepatu high heels sekalipun kaki gue sering lecet saat mengenakannya.

Dan kalau lo bertanya pada gue pun, sesungguhnya gue gak pernah benar-benar tau alasan tepatnya.

Selain karena itu tadi... gue gak nyaman mengenakan sesuatu yang nyaman.

Keesokan hari, gue bangun tepat waktu seperti biasa untuk bersiap pergi ke kantor. Gue berjongkok untuk membuka lemari rak sepatu hanya untuk menyadari kalau... Semua sepatu gue pasti haknya tinggi.

It's funny. I don't even have a single pair of comfortable shoes for me.

Waktu gue terlalu sedikit untuk berpikir dan mencari-cari cara lagi untuk mencari sepatu lain sehingga tanpa pikir panjang, gue kembali mengambil stiletto hitam setinggi 7 sentimeter yang biasa gue kenakan ke kantor tanpa memedulikan lecet di tumit gue yang masih basah.

Gue duduk di pinggir sofa untuk mengenakan sepatu gue. Ketika berdiri di atas sepatu tinggi ini pun, gue gak merasakan sakit apapun. Yang gue rasakan hanya.... Ya gak ada? It's just shoes. Aneh aja karena walaupun luka di kaki gue setiap hari terlihat semakin mengkhawatirkan, gak ada sakit apapun yang gue rasakan sekarang.

Gue berdiri melihat diri gue di cermin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baru aja gue akan mengambil tas gue di atas sofa untuk bergegas pergi ketika langkah gue terhenti.

Mata gue menangkap sepasang sandal jepit berwarna biru yang terselip tepat di bawah meja televisi.

Sandal yang bahkan gak pernah gue sadari keberadaannya di sana, namun dari semua hari... gue malah melihat sandal itu lagi.. hari ini.

Sepasang sandal swallow berwarna biru yang diberi di Indomaret beberapa tahun lalu.

Gue terus memandang sepasang sandal itu sambil menghela napas panjang.

Mungkin untuk hari ini... gue bisa hidup dengan nyaman sebentar.

**

September 2016

It was my first pair of high heels.

"Hmmmm..." Trian menggaruk kepalanya yang gak gatal. Risau aja karena gak tau harus ngomong apa. Dia biasa begitu kok memang. "Ini... Bunda yang pilihin.. Hehehe. Semoga kamu suka ya."

Sepatunya cantik.

Di mata gue semua sepatu hak tinggi itu sama. Namun ternyata, belakangan gue baru tau kalau jenis sepatu hak tinggi itu bermacam-macam dan sepatu yang Trian kasih di hari ulang tahun gue ini bernama stiletto.

Sepatu yang cantik.

Tingginya sekitar 5 sentimeter, dengan ujung meruncing yang membungkus bagian depan kaki dengan baik. Warnanya nude dan agak glossy meskipun gak mentereng. Katanya sih, perempuan harus tau rasanya pakai high heels seenggaknya sekali aja seumur hidup mereka. Selebihnya terserah, mereka akan nyaman untuk memakainya terus atau memilih jenis sepatu lain yang lebih nyaman.

"Wah, hahahaha." Gue kehabisan kata-kata aja. Gak pernah ekspek cewek yang jalan pakai sneakers aja masih sering kesandung seperti gue ini akan diberi kado sepasang sepatu cantik. "Makasih ya."

"Kok ketawa? Hahaha," Trian bingung aja dengan reaksi gue.

"Gak. Gak apa-apa... Kaget aja kok kamu bisa kepikiran kasih heels. Kirain bakal kasih buku."

"Hehe... Buku kan udah sering." dia nyengir lagi, garuk-garuk kepala lagi. "Abis... Belakangan kok sering liat cewek pake sepatu-sepatu kayak gitu.. Kali aja kamu suka juga. Terus kayaknya... bagus deh kalau kamu pake."

Trian itu pengamat yang baik.

Dan itu semakin lengkap karena dia juga seseorang yang peduli dengan begitu baik.

Semua orang di sekitarnya... Bundanya, ayahnya, kakak-kakaknya, teman-temannya... hingga gue.

Kami semua merasakan itu. Trian gak pernah melewatkan satu pun dari antara kami, dan lebih dari siapapun, gue tau gak akan ada orang yang bisa lebih baik dari dia untuk gue, seenggaknya buat saat ini.

Jadi gue gak tau apa yang salah?

Aneh aja ngerasa segala sesuatu berjalan sesuai dengan apa mau gue. Apa karena sebelumnya gue gak pernah merasa seberuntung ini sampai gue merasa gue gak pantas menerima ini semua? Kenapa saat semuanya lagi baik-baik aja, gue malah gelisah sendiri karena yakin ada sesuatu yang gue lewatkan.

Gue takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

Atau mungkin sedang terjadi saat ini tapi gue sedang melewatkannya.

Ada yang hilang.

Tapi gue gak tau apa.

"Ini lhooo... waktu Iyan kecil. Dia itu pernah ngompol di kelas karena ketakutan lupa kerjain PR."

"Yaaah, infonya kebanyakan bener deh diumbar-umbar."

"Hahahaha," gue mengelak tawa ketika mendengar Trian bertengkar dengan ayahnya.

"Yee, ngompol itu kan wajar. Manusiawi. Ya Thea ya?"

"Hahahaha, iya Om."

"Jangan dengerin Ayah, The.. Ayah suka bully aku tau dari kecil, wooo!"

"Loh, kalo aku sering bully kamu, aku gak mau loh anter-anterin kamu bolos sekolah buat jajan buku di Jatinegara." Ayahnya membela diri.

"Tuh iya! Berdua suka sekongkolan bolos. Masa ada bapak ngajak anaknya bolos sekolah? Kan gak bener itu," celetuk Bundanya Trian lagi.

"Yang penting aku sayang anak lho, Bu." masih tetep tuh bela dirinya berlanjut.

"Halah bohong. Ayah mah lebih sayangnya sama kak Dian. Bukan aku," protes Trian bikin ayahnya langsung melempar pandang ke gue sambil bisik-bisik, "Masih dendam dia sama Om karena gak dibeliin Nitendo dulu. Padahal udah diganti sama Hotwheels selusin."

Di rumah Trian ada banyaaak banget foto keluarga. Masuk dari ruang tamunya, kita udah disambut sama sebuah foto besar di mana dua kakak perempuan Trian mengenakan toga, tersenyum bahagia dengan dua orang tua mereka dan seorang adik laki-laki yang berkemeja rapi. Mungkin kalau nanti Trian udah wisuda, Trian juga akan mengenakan toga di foto mereka yang baru.

Lalu masuk sedikit ke dalam, fotonya semakin banyak lagi. Mulai dari ketika Trian kecil hingga dewasa, begitu juga kakak-kakaknya.

Trian benar.. Ayahnya kelihatan dekat banget sama anak perempuannya yang pertama.

"Ayah tuh gak pernah pilih kasih sih dari dulu... Cuma dia emang lebih sayang sama kak Dian, kakak aku yang paling pertama karena pas awal dia lahir... Keadaan Ayah lagi susah banget waktu itu," gue mendengarkan Trian cerita dengan saksama sambil menghirup rokoknya di depan rumah. "Kerjaan Ayah lagi gak pasti karena baru kena PHK, dia sedih gak bisa beliin Kak Dian banyak baju dan mainan bagus.. Sedangkan waktu kakak aku yang kedua udah lahir, perlahan keadaan membaik... Jadi Ayah selalu beranggapan... Kak Dian ngerasain masa kecil yang gak sempurna karena dia. Makanya Ayah mau kasih yang terbaik buat Kak Dian sampe rela sekolahin dia ke Jerman, padahal biayanya mahal banget."

Ada orangtua yang mikirin masa kecil anaknya sampai begitu dalamnya.

Ada juga orangtua yang melewatkan masa kecil anaknya seolah itu hanya masa singkat yang gak akan pernah mereka ingat hingga tumbuh dewasa.

Orangtua itu bermacam-macam.

Sama seperti anak-anaknya juga.

"Yan.."

"Hmm?"

"Ayah kamu pernah marah sama kamu gak?" padahal gue tau itu pertanyaan bodoh. "Marah yang... Marah banget sampai pernah pukul kamu dan kamu berakhir teringat terus sama itu sampai sekarang?" Tapi gak tau kenapa gue hanya ingin menanyakannya.

Dan melihat Trian yang langsung memandang gue tanpa suara, saat itu juga gue tau gak seharusnya gue menanyakan ini.

"Enggak.." Trian ternyata mau menjawab. "Seumur-umur aku hidup... Ayah bahkan gak pernah bentak aku."

Gue menunduk untuk waktu yang lama.. Menatap sepasang sepatu pemberian Trian yang baru saja gue pakai untuk pertama kali hari ini saat bertemu dengan keluarganya.

Ternyata rasanya menyakitkan. Gak cuma tumit kaki yang pegal, tapi bagian depan kaki di mana jari jemari gue harus berdesakan untuk muat pada bagian sepatu yang runcing membuat seluruh bagian di kaki gue terasa perih.

Tapi kenapa gue gak merasakan apa-apa?

Gue terus mengenakan sepatu ini bahkan ketika Trian udah balik ke rumahnya usai mengantar gue pulang, dan gue memutuskan untuk jalan-jalan menyendiri ke Cik Ditiro.

Aneh.

Kaki gue udah lecet di semua tempat, tapi kenapa gue gak merasakan apa-apa?

"Kak Teala?" gue baru mendongak setelah terlalu lama menatap sepasang sepatu gue.

"Ya-"

"H... T-H-E-A-L-A. Pake H."

Dan sosok tinggi di samping gue yang langsung protes membuat gue bergeming, mencoba mencerna apa yang terjadi.

"Oh... Salah ya Mas? Maaf, ini saya-"

"Heeeuh." Belum sempat barista itu membetulkan tulisan di cup, Dirga udah langsung mengambil spidol yang terletak di atas meja dan menulisnya sendiri.

T-H-E-A-L-A.

It's not a big deal though. Tapi bukan Dirga namanya kalau gak dramatis sekalipun itu cuma urusan nama doang.

"Apaan?" Gue menaikkan sebelah alis dengan bingung, melihatnya bersender di pinggir meja sambil senyam-senyum menggigit sedotan minumannya di ujung bibir.

"Gaaaak." Dirga emang selalu gitu -makin lama nyengir, makin bikin gondok. Gue sering banget ketipu mikir ada yang salah sama muka gue karena dia lihatin gitu. "Udah lama aja gak ngeliat muka lo.. Lagi melihat tanda-tanda kejenuhan aja.."

Kening gue makin berkerut sementara nyengirnya makin ngeledek.

"Kan biasa gitu.. Udah lewat setengah tahun pacaran... Udah mulai keliatan kusutnya... Bosen.. Jenuh.. Yaaa, mana tau."

"Lo kira gue lo gitu? Yang baru 3 hari jadian aja udah kelayapan nyari yang lain kayak burung beo?"

"Laaah? Gue sih realistis? Kalo emang beneran bosen, masa gue pura-pura hepi terus? Gue kan manusia bukan bintang sinetron." celetuknya bela diri.

"Halaah, alibi. Sekali kutu loncat ya tetep aja kutu loncat."

"Lo cari tuh di rambut Trian.. Ada gak kutu di kepalanya yang seganteng gue?"

Heran juga sama diri sendiri. Udah tau berdebat sama dia gak akan pernah ada ujungnya, kok masih gak capek-capek gue ladenin?

"Gila ya, ternyata masih gak berubah dari dulu kadar PD lo emang gak pernah turun-turun. Amazed gue sama lo." Gue yang di awal perkenalan kita selalu memilih rute "terserah lo," berubah jadi orang yang selalu membalas semua ocehan dia, padahal kebanyakan dari perdebatan itu gak ada pentingnya.

"Dari dulu... Berasa lama banget ya kita gak ngobrol.." Raut wajahnya berubah. Senyum cengengesan tadi hilang di bibirnya. Yang ada hanya pandangan mata yang gak bisa gue baca apa artinya.

"Emang udah lama banget kan," ujar gue, mengundang tatapan mata yang semakin dalam seolah ada sesuatu tentang diri gue yang ingin dia pahami.

"Lo sih..." ada nada menyalahkan, kesal yang keceplosan mencuat dari nadanya bicara.

"Kok jadi gue?" tanya gue bingung dan gak terima disalahkan.

"Ya abis... Bahagia banget kayaknya sama Trian sampe lupa sama gue."

"Gue lupa sama lo? Gak kebalik?" gue menaikkan sebelah alis lagi.

"Lah, kok jadi gue? Kapan gue lupa sama lo deh?"

"Lupa sih enggak.. Tapi nyuekin iya." dan sekonyong-konyong nada bicara gue jadi kesal. Gue sendiri bingung kenapa bisa asal nyeplos gitu. "Udah ah gue balik." Dengan sewot gue mengambil minuman gue, ninggalin dia yang masih terlihat melongo melihat ambekan gue tadi.

Tapi tau-tau...

"Aduh!"

Dia jambak gue banget?

Gak jambak sih, lebih tepatnya narik rambut gue dari belakang, yang meskipun pelan tetep aja bikin gue terhuyung ke belakang. Punggung gue langsung tabrakan sama dadanya dan gue langsung berbalik dengan kesel.

"Berani lo jambak gue!?"

"Wooo biarin!" Malah jadi galakan dia sekarang? Dirga? Sumpah lo aneh banget sih. "Nih biar gue jambak terus. Acak-acaaaaak rambutnya!" Beneran dia acak-acak rambut gue sampe sekarang gue udah acak adul gak karuan.

Gue cuma bisa pasrah karena gak tau harus ngomong apa lagi dan setelah dia udah puas amburadulin rambut gue, dia menutupnya dengan, "Jelek lo."

Gantian gue yang melongo. Apalagi setelah itu dia langsung melengos pergi meninggalkan gue.

Haaaaah, gue menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Emang udah korslet sih dia gue rasa.

Melihat punggung Dirga yang perlahan menjauh sampai menghilang, gue gak tau apa yang gue tunggu sehingga gue hanya berdiri di sini dan memandang punggung itu sampai benar-benar gak terjangkau pandangan gue.

It just... Feels strange seeing him leaving me like that.

Meskipun sepanjang tahun ini gue sering mendapatinya melewatkan gue begitu aja di kampus seolah kita gak pernah saling kenal, melihat Dirga pergi meninggalkan gue terasa sangat aneh.

Gue menghela napas berat untuk yang terakhir kali. Gue udah terlalu lama buang waktu untuk melamun, berpikir tentang sesuatu yang gak bisa gue ubah. Emang bagian dari hidup aja gak sih? Semua akan menjauh pada waktunya.

Membuka pintu Starbucks Cik Ditiro, ekspektasi gue, gue akan lanjut jalan kaki pulang ke rumah dengan sepasang sepatu heels ini.

Namun lihat siapa yang ada di sana, berdiri bersandar di pinggir mobilnya sambil memasukan tangan kanannya ke dalam kantung celana khakinya, sementara tangannya yang lain... Memegang sandal jepit berwarna biru.

"..... Lo ngapain deh?" gue masih terheran-heran.

"Lama banget sih lo keluarnya? Katanya mau langsung balik, gue tungguin dari tadi di sini tau!"

Now I think this is the strangest thing of all.

Me.

What I feel.

It's the strangest one.

"Nunggu?" gue hanya ingin memastikan ini beneran terjadi dan gak hanya terjadi di pikiran gue.

"Hhhhh, duh, La.. Lo kenapa jadi orang bingung gini sih? Gak lagi kesambet kan?" Dirga perlahan berjalan mendekat, membuat gue seakan kembali pada kesadaran gue. "Ayo pulang.." dan saat sebelah tangannya meraih tangan gue, gue melangkahkan kaki gue untuk ikut ke mana dia pergi.

Gue masih menatap Dirga dengan segala kebingungan di kepala gue.

Membiarkannya yang sedang kesibukan sendiri berjongkok tepat di hadapan gue, dan dengan perlahan melepas sepatu Stiletto yang gue kenakan sejak tadi dan memasangkan sendal swallow biru satu per satu di kedua kaki gue.

"Apaan sih La pake beginian segala? Lecet kan?" dia terus mengoceh tanpa henti. Dan ketika dia berdiri lagi tepat di hadapan gue sambil memegang sepasang sepatu hak tinggi gue, dia langsung membalas tatapan mata gue dengan sama dalamnya. "Kenapa? Lucu kan sendalnya? Beli di Indomaret tuh tadi."

Dan begitu aja gue melepas tawa.

"Apaan sih, hahaha." gue menggelengkan kepala cepat.

"Dih, ketawa. Serius gue! Diskon lagi.. dari 25 ribu jadi cuma 16 ribu."

"Bodo ah, Ga."

"Yeee, kok bodo sih?" dia ikut tertawa bersama gue.

Saat memutuskan untuk pulang bersamanya lagi setelah sekian lama jadi dua orang asing yang gak saling kenal... Gue jadi mengerti apa yang selama ini hilang dalam diri gue.

Gue jadi paham kenapa luka di sepasang kaki ini gak terasa.

Karena jauh di lubuk hati gue, ada luka lain yang jauh lebih sakit.

**

"Cewek lo lagi ada di apartemen gue." gue menengok ke arah balkon apartemen, tau kalau yang dia telepon sekarang adalah Trian. Disela asap rokoknya, Dirga melihat gue yang ada di dalam apartemennya duduk di atas sofa sambil nonton televisi. "Iya, di rumahnya lagi gak ada orang. Tadi sempet ketemu, terus ngajak main aja bentar... Gak lama kok."

I wonder why he should do that.

Ngerti kok mungkin maksudnya baik. Dia gak mau Trian mikir yang macem-macem karena biar gimanapun mereka itu temenan deket. Tapi Dirga yang begini itu... gak terasa seperti Dirga yang gue kenal. Gue bisa merasa dia hati-hati banget sama apa yang dia omongin ke gue. Di mobil pun, dia gak banyak ngobrol apa-apa... Sepanjang jalan sampai ke apartemennya, cuma ada suara dari radio Gen FM yang mengisi keheningan.

"Iya, gue anter pulang lagi kalo nyokapnya udah balik... Aman aman... Gak usah takut gue apa-apain, cewek lo galak kok. Jago karate dia."

Ketika pembicaraan mereka di telepon selesai, Dirga membuang rokoknya yang terlihat masih panjang sebelum masuk kembali ke apartemen dan nutup pintu balkon.

"Lain kali bilang sama Trian kalo lo sendiri di rumah.. Dia kan bisa nemenin lo dan gak langsung pulang."

"Urusan hidup Trian bukan gue doang... Dia punya keluarga di rumah."

"Iya ya, kalo gue gak ada yang nungguin sih di rumah, makanya ngegerecokin lo terus." Belakangan, denger Dirga ngomong tuh jadi nyebelin banget buat gue.

"Lawakan lo makin lama makin dark ya." Sindir gue.

"Sengaja.. Biar lo makin bete sama gue." Gue menatapnya lama. Tanpa melihat gue, Dirga duduk tepat di samping gue dan hanya fokus natap televisi. Tapi gue tau dia gak bener-bener nonton. "Jadi benci sama guenya kan makin gampang."

Sepanjang gue menatapnya dari samping, Dirga gak pernah melihat gue.

Sehingga yang gue lakukan hanya menghela napas panjang. Gue ikut menatap ke arah televisi dan bergumam, "Kalo mau gue benci lo, gak usah repot-repot ngajakin ke sini... Gampang." Gue kesel banget. "Aneh lo."

"Emang.." gue gak nyangka aja dia akan respon secepat itu dalam keadaan yang sama. "Emang gue aneh... Pengennya lo benci sama gue, tapi pas liat lo-" Begitu aja Dirga menghentikan kalimatnya. Lalu dia terlihat frustasi sendiri sampai bangkit berdiri dan menghela napas panjang. "Tau lah."

It's like he didn't have a proper sentence to say.

"Sesusah itu kah buat lo ngomong sama gue sekarang?" dan gue juga jadi sama frustasinya sehingga itu terdengar di pertanyaan gue barusan.

Dirga meneguk sebotol air putih dari kulkas sebelum menutupnya dan menatap mata gue.

"Iya susah... Gak gampang, La ngomong kangen ke cewek orang."

Seketika... Hanya keheningan yang mengisi kita.

Jarak antara gue dan Dirga diisi oleh dua pasang tatap mata yang digeluti kebingungan.

Lelah. Capek. Gak tau harus ngomong apa lagi.

Semuanya bercampur jadi satu.

"Seumur-umur lo jadian sama siapapun ya, Ga.. Gue gak pernah nyebut lo "cowok orang" karena gue hargain lo banget lebih dari sekedar cowok orang. Lo ngomong begitu ke gue... bikin gue ngerasa seolah-olah gue dosa banget jadi cewek orang, sadar gak sih lo?" suara gue tenang, dan itu mungkin yang membuat raut wajah Dirga sepenuhnya melunak. Gak sekeras tadi.

Tapi kefrustasian itu masih jelas di wajahnya. Gak bisa dibohongin sama sekali bahkan dia sampai harus mengusap wajahnya dengan sebelah tangan dan menghembuskan napas paling berat yang pernah gue dengar.

"Sorry." Dirga terdengar menyesal. "Sorry, La."

Setelah kata "sorry" itu, gue dan dia kembali hening.

Gue sampai bingung untuk apa juga gue datang ke sini kalau rasanya sama aja kayak gue sendirian di rumah?

Tapi anehnya, sekalipun gak ada yang bicara... saat ada Dirga gue gak ngerasa bener-bener sendiri. I can feel him here with me.

Dan dalam keheningan itu, gue jadi punya lebih banyak waktu untuk menatap sekeliling apartemen Dirga yang sebenarnya... sama sekali gak berubah. Apartemen ini selalu begini.

Sepi.

Gak ada toples-toples makanan kering seperti di meja ruang tamu rumahnya Trian. Gak ada foto Dirga sama Kak Rama atau kedua orang tuanya. Apartemen ini.... ya selalu begini. Apartemen yang Dirga sebut sebagai tempat paling tenang buat dia, tapi juga tempat paling kesepian sehingga tiap malam dia harus selalu pergi dan main ke rumah temennya.

Karena dia gak betah ada di sini sendirian.

"Sakit gak?"

Gue menoleh ke samping untuk menatapnya. Bingung sama pertanyaannya, tapi kemudian dia melirik kaki gue membuat gue mengerti.

"Gak."

"Tapi sampe lecet, luka-luka begitu.." Dia sedikit menunduk dan dengan hati-hati memegang jari kelingking kaki gue yang robek.

"Gak sakit." Tutur gue lagi. "Sakit mungkin.. Cuma... Yaaaah... Gak sakit." Gue mulai ngelantur lagi sambil bersandar. Diam lagi.

"Ga..."

"La..."

Kita sama-sama saling tatap karena gak menyangka akan saling manggil dalam waktu yang sama.

"Lo duluan," ujar Dirga.

"Lo aja duluan."

"Pertanyaan gue mah gak penting."

"Biar gue yang mutusin pertanyaan lo penting atau gak.."

"Lo marah ya gue cuekin lo belakangan ini?" itu pertanyaan gak penting Dirga.

"Gak marah... Cuma bingung.."

Dan sedih lebih tepatnya.

"Gue salah apa.. Kenapa lo gituin gue.. Udah gitu aja."

Dirga hanya menatap gue sampai dia berkata, "Sekarang giliran lo... Tadi mau ngomong apa?"

"Lo marah gue jadian sama Trian?" udah, itu aja yang keluar dari mulut gue setelah selama ini cuma diam. "Karena gue ngerasanya begitu... Tapi tiap gue mikir lagi, lo orang yang justru semangat banget di awal-awal jodohin gue sama Trian.. Jadi... Gue gak ngerti aja."

"Gak marah..." tuturnya. "Kenapa gue harus marah di saat Trian bisa bikin lo happy banget belakangan ini?" tatapan Dirga berbicara lebih keras dari penjelasannya. "Gue gak marah... Gue cuma gak mau Trian salah paham aja.. Gak ada cowok yang suka ceweknya deket-deket sama cowok lain, apalagi temen sendiri."

Make sense.

Tapi... Entahlah.

"Oh..." cuma itu jawaban gue.

"Mungkin kalo aneh ngomong kangen sama lo.... Gue lebih mau benerin kalimatnya kali ya," pada saat mata Dirga menatap gue seolah-olah gue satu-satunya hal yang bisa lihat dia sekarang. "Gue kangen sama perasaan yang gue rasain waktu lo ada di samping gue... Gue kangen ketawa sama lo. Gue kangen bisa pulang ngampus bareng lo terus kita kulineran bareng... Gue...." dan pada saat itu suaranya bergetar.

"I miss me when I had you, La."

"That's all.."

Saat itu gue yakin sakit di kaki ini gak akan seberapa sakit dibanding dianggap gak ada sama seseorang yang paling kenal siapa gue.

Gue yakin sakit karena sepatu heels manapun gak akan pernah sebanding sama sakit hati yang gue rasain setiap gue ingat Dirga gak punya siapa-siapa di apartemen ini.

Dirga is like a pair of comfortable sandals.

I'll never feel any pain by wearing them, and I know that.

But someone like me, who knows nothing but betrayal since I was a kid will stupidly choose a pair of heels just because it looks pretty.

Something comfortable makes me scared.

"Ga.."

"Hmm.."

"Kaki gue sakit."

Gue gak tau kenapa dari sekian banyak orang, harus selalu Dirga yang tau gue sakit atau gak.

"Kaki gue sakit, Ga."

Gue gak tau kenapa dari sekian banyak hari, gue malah harus menangis hari ini di depan dia.

That day, I was hugged by comfort.

I was hugged by someone who's been the zone of my comfort.

It was when I knew that I might be okay losing everything else,

Except him.

**

September 2022

That's why I am not okay.

I will never... Be okay.


**


Catatan Valerie

"I miss me when I had you."

:)


Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 124K 55
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
842K 12.6K 21
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.7M 288K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
451K 32.2K 35
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...