Loversation

By valeriepatkar

97.9K 11K 4.9K

Semoga semua orang punya teman bicara. Agar hidupnya bisa bertambah, satu juta hari lamanya. More

Clue 0.
Clue 1.
Clue 2.
Clue 3.
Clue 4.
Clue 5.
Clue 6.
Clue 8.
Clue 9.
Clue 10.
Jatuh Cinta Seperti di Fiksi-Fiksi
Hati-Hati di Jalan, Dirga

Clue 7.

5.2K 726 400
By valeriepatkar

Clue 7

Detrian dan Pemandangan Bawah Laut

"Waktu lihat bokapnya Trian lari-larian karena tau anaknya terluka,

Saat itu gue tau sampai kapanpun gue gak akan pernah bisa kalahin Trian.

Karena gue gak akan pernah paham apa arti peduli dan kasih sayang seperti Trian memahaminya."

Awan pun menunjuk
Kau tanya padaku apalagi yang kau cari
Apalagi yang kau cari untuk bahagia
Apalagi kau terus bertanyaHati manusia
Hati yang terluka


**


Dirga

Benci sama orang lain itu kan hak semua orang ya.

Tapi ada beberapa orang yang jadi berakhir terlihat freak karena benci sama seseorang yang susah banget dibenci.

Kayak... Ya dia sebenernya gak kenapa-kenapa. Di mata semua orang dia baik, dan setiap lo tanya ke diri sendiri, "Kenapa lo benci sama dia ya?" Lo gak pernah punya jawaban pasti karena... Emang gak ada alasan aja lo membenci dia.

Lo benci aja.

Benci banget sampai gak tau harus mulai dari mana.

Jadi setiap hari, lo berharap dia bisa jadi bajingan sekaliiii aja, biar lo gak benci sama dia sendirian. Biar semua orang berubah pikiran dan sadar kalau dia gak sebaik itu.

Gue ke Trian begitu.

"Dibanding sama temen kamu yang lain... Kamu tuh paling gak deket sama Trian ya?"

"Iya," gue respon tanpa mikir. Malah terdengar ketus karena gue gak merasa harus menghiraukan pertanyaan seperti itu.

"Hmm..," Kinan kelihatan mikir keras. ". Tapi....." bikin gue ngalihin pandangan gue dari jalanan ke samping. "Ngg... Nggak jadi deh."

Lalu gue balik fokus nyetir lagi.

Emang gue ngarepnya gitu sih -gak ditanya-tanya. Terutama kalo pertanyaannya susah banget dijawab. Gak susah sih sebenernya.  Lebih ke males aja.

Niat gue hari ini kan cuma pengen jemput Kinan.

"Aku yakin semua orang punya waktu dan caranya masing-masing buat sembuh. Dan memang kadang... Prosesnya gak mudah.. Gak cepet juga. Waktu jalanin semuanya, lebih banyak kata lelah yang gak bisa diungkapin.. dan akhirnya hari kian hari, kita makin punya banyak alasan untuk semakin jenuh.. benci sama diri kita sendiri."

Baru sekarang gue lihat Kinan take podcastnya langsung di studio. Biasanya tiap dia ngajak, gue gak pernah bisa.

Gak pernah mau lebih tepatnya.

Sampai akhirnya pelan-pelan, gue ngerasa... Gue sebenernya perlu mengharga Kinan. Terlebih setelah semua yang udah dia lakuin buat gue setahun terakhir.

"Tapi sekaliii aja... bisa gak inget-inget sekeras apa kalian udah berusaha? Bisa gak sedikit aja menghargai semua yang udah kalian lakuin itu? Biar kalian punya alasan buat lanjut ke depan, meskipun banyak hal yang gak lagi bersama kalian..."

Gue pengen lebih menghargai semua yang Kinan lakuin buat gue.... Untuk diri gue sendiri.

"Kinan punya banyaaak banget alasan buat ninggalin lo.. Lah, dia cantik? Gampang buat dia cari cowok lain. Di luar sana pasti banyak cowok yang perlakuin dia dengan lebih baik ketimbang lo... Cuma setelah kejadian awal tahun itu pun, sampe sekarang... dia masih tetep nanya ke gue.. ke Glendy.. ke Dion... keadaan lo gimana? Lo baik-baik aja gak? Kinan yang selalu pastiin kita selalu nemenin lo."

Gue kira Ardan akan jadi yang paling bawel soal ini.

"Apa jangan-jangan cewek yang dimaksud Mbah Wiro Sableng itu si Tina yah?"

"Tina siapa?" Gue bingung.

"Tina Toon?" tanya Ardan polos.

"Hhhhh." Dion langsung memejamkan mata, capek. Baru aja dia nyuci piring setelah kelar makan. "Ka. Pake Ka. Ki-nan."

"Nah itu.." Glendy dengan tengil menunjuk gue, dengan tampang serius. Mata gue langsung menyipit diiringi bibir yang langsung datar karena capek batin juga ngeladenin temen gue yang tiap nyebut nama orang selalu ngasal ini. "Kinan kalau diliat-liat baik juga dah. Kalau cantik sih ya udah lah ya. Cantik kan relatif, dan kayaknya... Dugong dunia lain aja tau dia itu cantik.. Cuma...." Sebelum Glendy lanjutin ngomong, gue langsung bangkit berdiri, bikin dia dongak. "Gue belom kelar ngomong!"

"Gue ngantuk."

Abis tutup pintu, gue bisa bayangin tampang heran mereka karena sejak kapan banget gue jam 9 malem udah ngantuk dan mendekam di kamar ?

Kalau Ardan atau Glendy yang ngomong sih, gue gak begitu kepikiran. Toh, sekalipun mereka cuma meraba-raba soal masa lalu gue, mereka berdua gak bener-bener tau exactly what happened.

Tapi kalau sampai Dion yang ngomong....

"Don't you think Kinan is a good person?"

Artinya bukan orang lain yang salah.... melainkan gue.

"Don't get me wrong okay," melihat ekspresi gue, Dion langsung lanjut bicara. Tau dia, gue gak bakal respon panjang lebar soal ini. "Gue hanya mengutarakan pendapat."

Agak aneh buat jadiin Dion temen minum gue tiap malam. Meskipun tempat yang dia pilih selalu bar tenang yang gak pernah ngadain party, dan cuma diisi sama orang-orang kelelahan sehabis pulang kantor yang butuh hiburan... Ditemenin Dion minum segelas Negroni dan one-shot Tequila tetap terasa berbeda buat gue.

Kita selalu duduk sebelahan di meja bar, lihat langsung mixologist yang dengan jago nyampur minuman alkohol ala Dion yang suka ajaib -cuma dia deh gue rasa yang tiap pesen minuman spesifik banget. Info aja, dia sampe kirim tabel excel ke mixologist-nya buat taruh takaran alkoholnya sesuai di gelas. IYA, SHEET EXCEL. SI MANUSIA PRIK INI.

Dan setelah meneguk minumannya, Dion menatap lurus ke botol-botol di depan kita sambil berkata, "Sudah empat tahun, Dir. That must be tiring."

Gue masih diam.

"To hold your anger, to wait, to deny reality... Four years doing all that with no changes, that must be so damn tiring."

Gue selalu menghindar setiap kali obrolan seperti ini dimulai. Entah itu Ardan atau Glendy yang lebih vokal dan selalu aktif nanya sama gue "Kenapa", Dion gak akan pernah membahas ini sama gue karena dia tau reaksi gue akan seperti apa.

Dan karena Dion juga yang paling tau semua.

Jadi seperti yang gue bilang... Kalau sampai Dion yang ngomong ini... It means, the time has just come.

For me, to stop run away.

"So why don't you try?" Gue baru akan meminum Negroni gue sebelum gelas itu terhenti tepat di depan bibir. Mata gue bertemu dengan mata Dion yang melirik dari samping. "Kinan... Gue bisa lihat dia tulus terhadap lo."

Buruknya, gue gak punya kata apapun yang tepat untuk bikin Dion berhenti bicara.

"Apa empat tahun masih belum cukup untuk memperjelas kalau semuanya sudah selesai, Dir?"

Karena semua yang Dionucapin benar.

"Dirga?" Makanya hari ini gue muncul di studio podcast milik Kinan. Bukan hanya dia yang kaget, gue sendiri pun kaget karena bisa ada di sini.

"Hai... Udah selesai?"

Aneh banget.

Kenapa taruh tangan gue di kepalanya dan ngusap rambutnya pelan aja terasa kayak dosa buat gue? Padahal gue bukan cowok yang sekaku ini dulu.

Gue ngerasa semua gerak-gerik gue, apa yang gue lakuin ke Kinan sekarang... bener-bener gue jaga. Semuanya gue lakuin dengan hati-hati karena kayaknya... gue akan berani ludahin muka gue sendiri kalau sampai gue tega nyakitin cewek sebaik Kinan. It's like... No more playing a bad guy here because I already am though.

"Mau... Makan bareng?" tanya gue lagi masih hati-hati. Dan seolah tau dengan kecanggungan gue...

"Ayok!" Justru Kinan yang dengan ceria menarik dan menggenggam tangan gue.

Seperti yang selalu dia lakuin setiap kali nemuin gue berdiri sendirian, ngelamun pas istirahat kantor.

Awalnya gue ngerasa itu annoying. Kinan sama kayak semua orang yang cuma penasaran sama gue, dan mau sok-sokan masuk ke hidup gue untuk puasin rasa penasarannya. Tapi lama kelamaan... It's just me, you know.

I am the biggest problem here, because... Look at her.

"Aku berharap semua orang bisa punya lebih banyak waktu untuk hargain apa aja yang udah mereka usahain selama ini... Luka kamu, sakit hati kamu, kekecewaan kamu.. Semuanya.. Aku berharap... Gak ada lagi satupun orang di dunia ini yang kesepian hanya karena ada seseorang yang membuat dia merasa gak pantes bahagia... Karena kebahagiaan itu hak kalian... Jadi tolong... Jangan pernah ngerasa sendirian."

Semakin banyak waktu gue buat denger suaranya setiap hari lewat aplikasi podcast di hape gue, semakin dalam juga gue sadar kalau... gue selama ini udah terlalu lama tutup mata sama sekitar gue. Persis kayak pakai kaca mata kuda tau gak. Yang gue lihat hanya ke depan... dan di depan sana... Kosong. Gue aja gak tau gue harus jalan ke mana, gue gak tau gue ada di mana.

And to feel all that... it's tormenting.

Kayak yang Dion bilang.

It's tiring.

"OOOH! Ini yang namanya Tin-"

"Kinan," potong Dion membetulkan.

"KINAAN! HAHAHA BENER," tawa menggelegar Glendy bikin Kinan ngakak setengah mati. Culture shock kali yah ada jenglot serupa Glendy di dunia ini. "Masuk.. Masuk... Anggap aja rumah sendiri."

Gue ngelirik Glendy sewot, "Perasaan ini apartemen gue."

"Yaaah, gue kan sebagai warga sini juga wajib menyambut tamu... Ya gak? Entar Kinan kira ini paguyuban pria-pria kesepian."

Sialan.

"Tapi gue gak kesepian kok, Kin. Tuh... Lanang-lanang itu aja yang emang udah siaga satu." lanjut Glendy lagi.

Kebetulan di apartemen ini cuma ada gue, Dion, dan Trian. Ardan mah jam segini masih sibuk di studio buat rekaman.

"Hahahaha, kak.. Tapi seru loh kalian tinggal bareng gini. Gue dulu pernah kepikiran tinggal bareng juga sama temen-temen. Cuma berakhir jadi wacana karena kantornya pada jauh-jauh, jadi tetep ngekost aja deh."

"Seru dari mana... Pecah kepala yang ada," komen gue. "Nih, duduk sini aja, jangan berdiri," gue spontan menarik tangan Kinan dan Glendy yang melihat itu langsung melirik Dion dengan bangga. Tampangnya kayak bilang, "Naah, begini nih yang gue demen."

"Saya beberapa kali dengar podcast kamu," amazed juga lihat Dion yang biasanya paling anti ngajak tamu gue ngobrol duluan jadi ngajak Kinan bicara.

Sebelumnya, gue tau banget Dion cuma bisa begini sama satu cewek yang gue kenal -Ela. Sisanya, gak pernah ada. Mungkin Dion udah tau kali ya gue gak bakal seriusin mereka juga, dan kenalan cuma akan buang-buang waktu dia.

Kalo bahasanya Dion sih, "Gue gak ingin menambah kontak gak penting di hape. Memori gue penuh."

Sedangkan sama Kinan, Dion kelihatan banyak nanya. Malah cenderung ramah. Sepanjang ada di apartemen ini, Kinan lebih banyak ngobrol sama Glendy dan Dion. Saking bawelnya mereka, gue sampai gak ada waktu buat ngajak dia ngobrol. Dan gak tau kenapa... lihat dia bisa membaur begini bikin gue lega.

Lega karena.... Kayak ada yang baru aja dari hidup gue yang monoton.

Cuma satu orang yang sama sekali gak ngajak Kinan bicara.

"Lah, Yan. Dah mau balik lo?" Glendy kebingungan melihat sosok yang satu itu udah siap-siap.

"He eh. Udah dicariin Bunda." Setelah bersiap-siap balik, Trian baru melihat Kinan dan tersenyum, "Duluan ya."

Gue tau Kinan terlihat bingung beberapa saat. Untung aja Kinan bukan tipe orang yang apa-apa dimasukin ke hati. Lagipula, di mata Kinan, Trian emang keliatan pendiem banget.

"Gak jadi kenapa?" tanya gue setelah Kinan jadi enggan nanya soal kecanggungan yang ada di antara gue dan Trian.

"Hmm..." Kinan terlihat mikir, tapi juga gak kelihatan hati-hati sama pertanyaannya. Dia emang kelihatan bingung aja. "Gak... Aneh aja. Kamu tuh... Emang gak keliatan deket sama Trian. Malah kayak.. orang musuhan ya? Hahaha."

Emang.

Sekalipun udah lewat bertahun-tahun, hubungan gue dan Trian masih aneh. Kalau ngomong cuma yang penting-penting aja. Dalam sekali waktu ketemu, gue bisa sama sekali gak ngomong sama dia.

"Tapi waktu itu... waktu kamu dibawa ke rumah sakit... Trian yang dateng pertama kali, Dir. Bahkan sebelum orangtua kamu."

Kalau bukan Kinan yang kasih tau, mungkin gue gak akan pernah tau.

Gue yakin Trian gak akan pernah ngomong langsung ke gue dengan keadaan diem-dieman kita yang sekarang.

"Aku inget banget dia masih pake baju seragam kerjanya.. Bahkan dia masih pake helm safety.. Kata temennya yang nganterin dia, Trian lagi ngecek pesawat siang itu dan begitu dapet kabar, dia langsung ninggalin semua pekerjaannya sampe bela-belain naik motor dari Soekarno Hatta ke Senayan supaya bisa nyampe lebih cepet."

Sambil masih menyetir, gue hanya diam.

"Dan sampai seminggu.. Waktu kamu sama sekali gak sadarin diri... Trian yang nemenin kamu.. Dia nyuruh orangtua kamu pulang dan biar dia yang jagain.. Entah itu pagi, siang atau malem aku jenguk kamu... Trian selalu ada di samping kamu."

Ekspresi wajah gue masih gak berubah. Tetap datar yang sama.

"Jadi... ya.. aku agak aneh aja kamu bilang gak deket sama Trian. Kalau gak deket... Kok dia, se-care itu sama kamu."

"Dia emang begitu ke semua orang." potong gue cepat. "Makanya sekali aja.... aku selalu berharap Trian bisa jadi orang jahat."

Kinan langsung menatap gue yang masih fokus menatap jalanan.

Iya. Sekali aja, Yan.... Plis jadi bajingan.

Supaya gue bisa lega buat benci lo sepuasnya.

**

"Dirga ya?" Gue gak tau sih kalau kedatangan gue akan menimbulkan kehebohan di rumah yang seharusnya sibuk untuk kepergian Trian besok. "Dirga beneran? Ya ampun aduh! Ke mana aja kamu!! Bunda tuh kangen loh!"

"Hehe, Buuuuun..." Gue yakin semua ibu punya aura yang kayak gini. Hangaaat banget ketika dipeluk. Tiap meluk Bunda, gue selalu keinget sama Tante Wellen. Rasanya sama persis.

Gue mempererat pelukan itu sebagai bentuk rasa bersalah karena gak pernah datang ke rumah ini sejak.... Gak tau lah kapan. Udah lama banget sampai gue gak inget.

"Aduh, Dirga... Bunda kangen banget loh sama kamu," Bunda lalu menatap gue sejenak sambil menyentuh pipi gue dan mengusapnya pelan. "Udah gede sekarang kamu. Makin ganteng aja.. Siapa nih pacarnya sekarang?"

"Bunda yeee, itu anak orang jangan di-interogasi mulu. Kayak Najwa Shihab aja nih Bunda," Trian langsung menyergah, memberikan segelas teh hangat manis dan beberapa toples kue kering yang memang dari dulu selalu tersedia tiap ada temennya yang bertamu.

Padahal pas lihat kedatangan gue tadi, Trian sempet mematung beberapa saat karena kaget. Sampai berdiri gak bergerak gitu di depan pintu.

"Loh, kan katanya dulu Dirga pacarnya banyak... Hahahaha. Gak apa-apa yah Dir yah? Muka ganteng masa disia-siain."

"Naaaah, gini gini nih baru bener." canda gue di depan ayah dan bundanya Trian.

"Hahaha iya lho. Tiap Ardan atau Glendy ke sini, pasti si Tante nanyain kamu. Dion aja abis pulang dari London mampir.. Kamu ini lho yang gak pernah keliatan." Om Bhadrika emang akan selalu seramah ini tiap kita dateng ngumpul di rumah. Beda dari Om Jaja a.k.a bokapnya Glendy yang suka ceritain ikannya dan selalu siap sama banyolan-banyolan kocak, bokapnya Trian ini lebih sering jadi pendengar cerita-cerita absurd kita.

Dan gak tau kenapa, semua omongan yang keluar dari mulut Om Bhadrika selalu jadi penenang.

Gue kira, gue bakal terganggu sama omongan atau nasehat orangtua.. Tapi tiap Om Bhadrika yang ngomong... Gue selalu ngerasa lebih tenang.

"Hebat dong kalau kerja di Bumi Bersuara..." ayahnya Trian adalah tipe bapak yang gak pernah ragu apalagi gengsi muji anak-anaknya.

"Ah, enggak lah Om. Tetep hebatan Trian bisa masuk Angkasa Satu.. Kalau saya mah, yaaah... hahaha. Dari dulu gak ada cita-cita Dirga yang kesampean."

"Loh, Dirga.. Kamu gak boleh anggap remeh dirimu sendiri lho." Tiap liat Om Bhadrika, gue mengerti kenapa Trian bisa tumbuh jadi orang yang susah banget dibenci siapapun. "Kita memang sering dikasih kesempatan untuk hal-hal yang gak kita mau... tapi seringkali, ternyata itu tempat di mana seharusnya kita berada... Om yakin di luar sana banyak orang seumuran kamu yang gak akan mampu desain, manage proyek properti sebesar Rumah Konversasi... tiap liat nama kamu di koran, pasti Om ikutan bangga.. Padahal Om bukan ayah kamu, hahahaha."

Gue ngerti kenapa bahkan sampai detik ini pun, gue masih berharap Trian itu bajingan.

Karena lepas dari apapun yang dia buat... gue tau gak ada alasan buat gue benci sama dia, dan itu.. nyebelin banget buat gue.

"Makasih ya udah dateng."

Gue meliriknya sekilas ketika kita berdua lagi sama-sama berdiri bersebelahan di taman depan rumahnya buat ngerokok sebentar.

"Gue dateng karena nyokap bokap lo. Bukan karena lo," balas gue tenang, tapi tetap ketus.

"Iya tau," dan caranya respon gue juga tenang banget. Hampir seperti orang yang memilih buat gak ngeributin hal gak penting kayak gini.

Itu yang selalu Trian lakuin selama ini...

Mengalah.

Sama siapapun.

Sama Keira... Juga sama gue.

Saat ini kita berdua sama-sama diam. Trian terlihat tenggelam sama pikirannya sendiri, dan gue... juga begitu. Terlalu banyak yang ada di kepala gue.

"Gue tau Trian salah... Yang Trian lakuin itu emang fatal banget dan nyakitin semua orang termasuk Thea... Tapi lo tau Trian kan? Dari dulu.. lo sendiripun tau Trian gak pernah bisa ninggalin Keira karena kasihan sama dia."

"Udah lo gak usah ceramahin gue anjing!"

"Gue ngomong kenyataan!" baru kali itu Glendy meneriaki gue. "Gue tau lo marah! Gue juga marah! Tapi lo tau kan Trian juga marah?" teriak Glendy lagi. "Jauh di lubuk hati lo... Lo tau kan kenapa hubungan Thea sama Trian gak akan pernah work out? Lo tau kan lo selama ini terlalu ikut campur sama urusan mereka, dan kalau lo balik posisinya... lo yang jadi Trian... Terima lo digituin? Hubungan lo sama cewek lo dibayang-bayangi sama cowok lain? Terima lo?"

Gue emang paling benci disalahin... dan gak heran setelah masa itu lewat, gue lebih milih jauh dari semua orang karena gue benci sama mereka. Glendy, Ardan, bahkan Dion... gue ngerasa mereka semua gak ada di pihak gue dan lebih belain Trian padahal dia jelas-jelas salah di sini.

Gue benci karena mereka terus berusaha keras buat mendamaikan gue dengan Trian, di saat sebenernya gue udah bener-bener gak mau berurusan sama dia lagi.

"Yan.." Trian langsung noleh ke arah gue karena terkejut. Udah lama banget kayaknya gue manggil dia dengan suara tenang begini.

Iya. Bahkan buat nyebut nama atau manggil dia pun.. gue gak pernah mau melakukannya lagi karena amarah gue yang masih belum selesai.

"Bisa gak... Sekali aja... Lo jadi bajingan dan jahatin gue sampe gue bisa puas benci lo seumur hidup?"

Itu yang selalu gue ucapin dalam hati setiap liat dia.

Itu yang selalu jadi permohonan gue saat gue tau Ela udah suka sama dia dari SMA.

Trian sempat menatap gue untuk beberapa saat. Rokoknya dibiarkan menyala begitu aja tanpa dihisap sama sekali. Suara hembusan napasnya berat diiringi ucapan, "Gue udah bajingan sejak gue nurutin kemauan lo buat nembak Thea."

Napas gue tercekat.

"Gue udah jadi bajingan sejak gue manfaatin keberadaan Thea buat bebasin gue dari Keira."

Tangan gue mengepal dengan kencang.

"Jadi benci aja sama gue seumur hidup...." tuturnya lagi. "Jangan sama Thea."

Semua alasan kenapa Trian gak pernah tertarik sama segala sesuatu tentang Kinan terjawab.

"Maaf, Dir." Kepalan tangan gue semakin erat sampai gue enggan membalas tatapan mata Trian. "Gue rasa selama ini gue belum bener-bener minta maaf sama lo atas semua yang gue buat."

"Minta maaf sama Ela... Bukan sama gue." Ekspresi gue dingin. Trian mungkin bisa merasakan itu makanya dia hanya menatap gue sekilas tanpa berkata apa-apa. Ada keheningan yang panjang lagi sampai akhirnya gue mendengar suara Trian...

"Minta maaf ke lo rasanya sama aja kayak minta maaf sama Thea kali, Dir."

"Gue selalu ngerasa lo sama Thea itu satu orang yang sama.. karena tiap lo bahagia, Thea pasti bahagia.. waktu lo sakit, Thea juga pasti sakit... jadi waktu tau seberapa besarnya gue nyakitin Thea... yang ada di pikiran gue lo... karena gue tau perbuatan gue akan ngancurin lo juga dan itu yang bikin sampai kapanpun, permintan maaf gue gak akan pernah cukup buat lo berdua."

Gue melepas tawa kecil. "Ela dan gue beda... Dia gak akan pernah bisa rasain apapun yang gue rasain karena... ya dia emang akan selalu kayak gitu.."

"Sama kayak lo gak kenal sama diri lo sendiri... lo berarti gak kenal Thea juga ya." ucapan Trian itu bikin gue melempar tatapan ke arahnya. Trian... dia hanya tersenyum tipis pada gue.

"Gue inget waktu itu harusnya gue dan Thea pergi ke PIM buat nonton film... Itu hari jadi kita yang setahun dan gue pikir setelah setahun bareng... sama kayak pikiran gue yang udah gak dipenuhin sama Keira lagi, Thea juga pelan-pelan bisa lepas dari lo sepenuhnya.... Tapi waktu itu gue dapet chat dari Dion, bilang kalau hari ini kalian gak jadi ngumpul karena lo harus balik ke rumah... dan tiba-tiba aja Thea izin untuk balik duluan. Kita batal nonton karena katanya... dia ada urusan penting."

Gue bener-bener gak tau harus beraksi gimana sama apa yang gue dengar sekarang.

"Gue berharap diri gue salah... Gak mungkin dia nyamperin lo ke rumah... Tapi waktu itu gak tau kenapa perasaan gue bilang gak ada salahnya gue cek ke rumah lo... dan Dir... Thea ada di depan rumah lo... Nunggu di sana tanpa masuk."

"Tanpa harus nanya atau minta penjelasan.... Gue tau Thea nunggu di sana tanpa sepengetahuan lo karena khawatir bokap lo pukulin lo lagi."

Gue benci mendengar semua ini.

Dan gue lebih membenci diri gue sendiri karena gak pernah tau itu semua.

"Thea gak nangis waktu tau gue selingkuhin dia... Tapi Thea nangis karena gak bisa ngucapin selamat ke lo waktu lo wisuda..."

"Thea gak nangis waktu minta putus dari gue.... Tapi Thea nangis waktu lo berubah dan gak pernah ajak dia ngomong lagi."

"Waktu gue sama Thea itu emang singkat banget.. dan dengan waktu sesingkat itu pun... Gue tau gak pernah ada satupun air mata Thea yang dia tetesin buat gue..."

"Semuanya buat lo, Dir."

That's sad.

When you want to hate someone because you think they're the evil ones, but turns out... They are all you have.

"Jadi kalau ada kesempatan buat lo ketemu dia lagi... Bisa gak lo perjuangin Thea lebih keras lagi?" Trian gak pernah natap gue sedalam ini. Bahkan dari caranya bicara, ada permohonan yang besar di sana. "Bisa gak... Kali ini aja.... Lo pikirin kebahagiaan lo sendiri?"

"Sekali aja dalam hidup gue, Dir... Sebagai temen lo... Gue pengen lihat lo bahagia."

Trian..... Sampai kapanpun, sepertinya gue gak akan pernah punya alasan yang benar-benar tepat buat membenci dia.

**

Januari 2022

Itu hari yang buram di mata gue..

Kepala gue pusing.

Sekujur tubuh gue sakit.

Posisi gue terbaring, dan bahkan gue gak tau apa yang terjadi.

Yang gue ingat......... Gak ada.

Gak banyak yang gue ingat.

Gak ada juga yang gue lihat.

Hanya satu orang.

"Dir?"

Satu orang yang nyamperin gue saat gue mulai membuka mata.

"Dir? Dirga? Lo bisa denger gue?"

Saat gue belum sepenuhnya sadar sekalipun, gue gak akan pernah bisa lupa sama amarah yang gue punya ke dia. Gue masih mengingat Trian dengan jelas sebagai orang yang pantas mendapat semua caci maki dan pukulan gue.

Tapi cuma Trian yang ada di sini... bersama gue.

"Suster!! Dokter!" Gue hanya bisa melihatnya dengan panik berteriak memanggil-manggil orang lain. Wajahnya panik, lelah, takut.. Semuanya bercampur jadi satu.

Dan semenjak hari itu gue selalu mengingat Trian sebagai orang pertama yang gue lihat setelah tidur yang panjang.

Gue yakin masih gak ada alasan untuk gue bicara dengannya.. Makanya selalu dia yang berusaha ngajak gue bicara.

"Lo bosen gak?" tanyanya bisik-bisik. Meskipun tau gue sekesel apa sama dia, dia tetap berusaha untuk ngajak gue bicara setelah beberapa hari gue cuma mendekam di kamar rumah dan hampir mati kebosanan, seperti katanya.

Udah seminggu lebih gue kayak orang gak berguna begini. Kerjaannya cuma tidur, nonton, nunggu sampai diperiksa.

Gue pengen kabur dari sini. Gue pengen diving lagi. Gue pengen main.

"Ikut gue yok."

"Ke mana?" itu kata pertama yang keluar dari mulut gue setelah bertahun-tahun gak ngobrol.

"Udaaah, ikut aja.." dan Trian berakhir narik tangan gue buat ikut pergi.

Beneran kabur dari rumah sakit... Naik motornya yang butut itu padahal gue belum sepenuhnya pulih sekalipun udah lepas infus.

Dan siapa yang sangka Trian bakal bawa gue ke sini?

"Ini....." Gue sampai kehabisan kata-kata sementara Trian tersenyum lebar.

"Diving itu.... Orang-orang yang suka liat bawah laut kan?" senyumnya waktu itu tulus banget. Dia sampe bikin gue lupa kalau kita dalam keadaan berantem dan gak ada tanda-tanda buat baikan sama sekali. Trian lalu melirik gue lagi sambil tersenyum. "Sama kalo gitu kayak di sini... Sea World kan juga ceritanya ada di bawah laut."

Gue gak berkata apa-apa dan hanya menatapnya di bawah ikan-ikan yang lagi berenang mengelilingi kita.

Trian mendongak ke atas dan menatap ikan-ikan itu sambil tersenyum lebar.

"Kalau lo penasaran pengen main di dalam laut atau kolam manapun lagi... Bilang sama gue.. Nanti gue bakal bawa lo ke sini lagi..."

"Jadi lo gak harus diving lagi."

Lalu saat itu Trian ngalihin pandangannya ke arah gue.

"Jangan tenggelam lagi, Dir."

**

Catatan Valerie

/melebur dengan air mata/

Continue Reading

You'll Also Like

16.6M 691K 40
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
447K 32K 35
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
342K 41.7K 43
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
1.4M 12.1K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...