Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

15.1K 2.4K 151

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°1°
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°26°
°27°
°28°
°29°
°30°
°31°
°32°
°33°
°34°
°36°
°37°
°38°
°39°
°40°
°The End°

°35°

289 44 6
By slayernominee

.
.
.
.
.

Midoriya senang ada di panti asuhan yang dulu selalu dia kunjungi tiap harinya. Namun sebenarnya dia agak kewalahan karena lama tidak kerubungi anak-anak. Meski begitu dia tetap tersenyum dan menerima ajakan mereka untuk bermain dengan penjaga panti lain.

"Kapan kau tiba di sini?" Tanya Uraraka yang ikut menemani bermain.

"Pagi tadi."

"Apa? Kau baru saja turun dari kapal pagi tadi?"

Midoriya mengangguk, menerima bunga yang dipetik oleh salah satu anak. Tersenyum lebar dan berterima kasih.

"Duh, seharusnya kau istirahat dulu di rumah." Ujar Mina. "Kau tahu anak-anak tak diam kalau kau datang."

"Haha, tidak masalah. Aku merindukan tempat ini."

"Aww, aku juga merindukanmu." Mina memeluk Midoriya erat.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Tanya Kaminari. "Apa kontrakmu sudah selesai atau kau sedang berlibur?"

Midoriya terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Dia tersenyum. "Ya, aku sudah selesai bekerja. Tapi aku tak akan lama di sini, aku sudah ada pekerjaan lain di sana." Astaga, dia serasa ingin menggigit lidahnya sendiri untuk mengatakan itu.

Namun dia perlu alasan jika suatu saat dia akan kembali ke istana untuk menerima hukumannya. Juga, dia tak bisa mengatakan kebenarannya pada teman-temannya itu.

Uraraka terlihat sedih, tapi dia mengerti dan senang jika Midoriya sudah memiliki pekerjaan lain. "Berapa lama kau akan di sini?"

"Hm, mungkin beberapa minggu." Dia hanya asal berucap saja.

Percakapan berlangsung panjang dan banyak berubah topik seperti kebiasaan mereka sejak dulu. Saat mulai sore Midoriya memilih untuk pulang. Perjalanan di kapal membuat dia lelah dan ingin beristirahat.

Berpamitan dengan anak-anak dan ketiga temannya, Midoriya mengenakan tudung jubahnya dalam perjalanan. Dia sudah di tempat asal dan masih menutupi diri? Alasannya hanya satu, dia tidak mau warga desa tahu dia sudah kembali.

Midoriya hanya berniat menampakkan diri di depan panti, tidak dengan penduduk desa. Untungnya, rumah kecilnya cukup jauh dari rumah-rumah di desa. Itu akan membantunya untuk bersembunyi. Tidak banyak juga orang yang lewat di sekitar rumahnya ada ada sedikit di dalam hutan. Dia juga sudah mengatakan pada orang panti untuk tak memberitakan kepulangannya karena dia hanya sekedar mampir saja.

Masih agak jauh dari tujuan, Midoriya sudah bisa melihat bangunan kecil yang masih berdiri kokoh. Dia mempercepat langkahnya dan tiba di depan rumahnya.

Dia tersenyum lebar. Sebuah perasaan yang amat rindu dan kelegaan besar muncul di hatinya. Meski itu jelas tidak ada apa-apanya dibanding istana, namun 'rumahku, istanaku.'

"Ibu, aku pulang."

Dia bergegas masuk sebelum malam tiba. Melepas kerinduan dengan berkeliling rumah yang sudah dia tempati sejak lahir itu, membereskan beberapa hal sebelum akhirnya pergi tidur.

.
.
.
.
.

Beberapa hari ke depan Midoriya sering mengunjungi panti asuhan. Namun dia juga berkeliling kota untuk bekerja dengan upah harian yang akan cukup untuk membantunya hidup selama dia ada di kota asalnya itu.

Dia dulu sudah sering mencari kerja harian di pasar kota, jadi mendadak kembali dan meminta pekerjaan bukanlah hal yang sulit karena para pedagang telah mengenalinya.

Hari ini dia membantu di toko roti milik wanita paruh baya bernama Tori.

Berangkat pagi-pagi sekali, Midoriya sudah membereskan toko sebelum Tori tiba. Dia bebersih baik bagian dalam atau halaman luar. Lantai, meja, kursi, kaca, semuanya.

Satu jam kemudian Tori tiba, terkejut melihat tokonya sudah begitu bersih.

"Ah, selamat pagi, Tori-san." Sapa Midoriya yang sedikit berkeringat.

"Mido-chan, jam berapa kau datang?"

"Uhm, sekitar satu jam lalu."

Tori terkesima. "Ya ampun, padahal berangkat jam segini juga tidak masalah kok. Kau masih saja pekerja keras seperti dulu ya, haha."

Midoriya pun lanjut membantu Tori untuk membuat roti yang akan dijual hari ini. Setelahnya toko dibuka. Siap menyambut pembeli dengan harum roti yang menggoda.

Toko cukup ramai hari itu. Terutama di siang hari. Saat itu Midoriya harusnya semakin sibuk membantu, namun Tori kemudian memintanya pulang. Midoriya mengerjap bingung.

"Hari ini suamiku libur, jadi dia akan datang membantuku. Pulanglah, kau sudah bekerja keras sejak pagi." Tori tersenyum. "Terima kasih sudah membantuku, kalau kau sudah kehabisan tempat kau boleh datang membantuku lagi kapanpun yang kau mau."

Midoriya mengangguk. "Baiklah, terima kasih juga telah mengizinkanku membantu, Tori-san."

Memberikan upahnya, Tori juga memberikan beberapa roti untuk Midoriya bawa, membuat gadis itu berterimakasih lagi beberapa kali sebelum akhirnya pergi.

Di jalan, Midoriya berjalan mengenakan tudung jubahnya dengan bersenandung kecil.

"Aku akan berikan ini ke anak-anak panti." Pikirnya.

Melihat-lihat sekitar, Midoriya juga membeli beberapa hal seperti sayuran dan buah. Saat membayar, Midoriya menoleh saat merasakan ada seseorang yang mengawasinya.

Namun dia tidak melihat ada orang yang mencurigakan selain pengunjung dan pedagang pasar biasa.

"Ini belanjaanmu." Ucapan pedagang membuyarkan Midoriya. Dia tersenyum, menerima kantung belanjanya dan bergegas pergi.

Selama perjalanan Midoriya jadi was-was. Dia curiga dengan perasaan tadi. Namun tidak terjadi apapun sampai dia tiba di panti. Membuatnya menghela napas lega. Panti juga baik-baik saja.

Dia pun masuk ke panti dan menghabiskan sorenya di sana.

.
.
.
.
.

Sekitar pukul tujuh malam Midoriya akhirnya pulang. Tenaganya habis terserap setelah meladeni permintaan semua anak untuk bermain, menyuapi, memandikan, dan lain sebagainya. Memijat sedikit pundaknya, dia ingin mandi kemudian pergi tidur. Besok dia akan kembali bekerja di pasar, jadi dia harus istirahat cukup.

Tiba di depan rumahnya, Midoriya menguap kecil saat membuka pintu.

"Aku pulang..." gumamnya pelan. Meski tak ada siapapun dia terbiasa selalu mengucapkan itu.

"Selamat datang."

Midoriya terdiam.

Dia bertahun-tahun tinggal sendirian. Dan selama itu, JELAS.TIDAK.MUNGKIN ada seseorang yang menjawabnya.

Sontak Midoriya waspada. Kantuknya hilang. Tangannya yang memegang gagang pintu berkeringat dingin. Dia melanjutkan membuka pintu dengan perlahan, ruangan di baliknya gelap.

Namun malam ini bulan sabit bersinar, cahayanya masuk ke dalam saat pintu terbuka. Cukup untuk menyinari sebagian ruangan untuk dia melihat dengan samar.

Hingga pintunya kemudian terbuka lebar.

Jantungnya berdebar kencang.

Ada seseorang yang berdiri di dalam rumahnya yang selama ini kosong.

Penyusup? Kunci rumahnya memang mudah dibobol, tapi selama ini tidak ada yang pernah berniat jahat padanya.

Dengan gemetar kecil, Midoriya memberanikan diri melihat sosok itu dari bawah kaki sampai atas kepala.

Pakaian biasa, tubuh tinggi, tegap... sampai kemudian dia melihat sesuatu yang dikenalinya. Manik crimson yang seolah menyala tajam dalam kegelapan.

Napasnya tersendat.

"Yang... Mulia."

Sosok pria bersurai pirang itu berdiri dengan bersedekap di depan pintu.

Midoriya mematung.

Sosok itu membuka mulutnya. "Jadi memang benar di sini rumah—"

BRAK!

Midoriya menutup dengan membanting pintunya kuat-kuat. Kemudian terdengar derap lari menjauh.

"–mu..." Bakugou mengerjap, menoleh pada Kirishima yang duduk di dekatnya. "Apa dia barusan bahkan tidak mendengarkanku bicara lebih dari sedetik?"

Kirishima tersenyum. "Ya, Yang Mulia. Dan dia sekarang tengah melarikan diri."

Perempatan imajiner muncul di kepala Bakugou. "Tidak ada yang pernah berani pergi sebelum ucapanku selesai."

Jenderal itu tertawa. "Sudah saya bilang sebaiknya kita tunggu saja di luar, dia pasti tidak suka kita menyusup ke rumahnya."

"Heish diam. Kau tahu jelas bukan itu alasannya." Bakugou melihat ke luar jendela kecil rumah itu. "Cepat kejar dia."

.
.
.
.
.

Midoriya berlari sekuat tenaga menuju kedalaman hutan. Itu sebenarnya berbahaya, terutama saat malam. Bahkan sejak kecil dia sangat jarang melakukannya kecuali terpaksa. Dan kini situasinya dia golongkan sebagai keadaan mendesak.

"Kenapa Yang Mulia dan Kirishima bisa ada di rumahku?"

"Kapan mereka datang?"

"Apa mereka sudah mendengar soal kasusku? Pasti sudah... kalau tidak, tidak mungkin mereka mau jauh-jauh datang menyebrangi pulau."

"Tapi... kenapa Yang Mulia datang sendiri? Aku mengerti jika ada prajurit yang dikerahkan untuk mencariku, tapi dia datang sendiri..."

"Apa aku akan mati? Aku pasti akan langsung dibunuh di tempat. Kirishima lebih dari mampu untuk membunuhku dalam sekali tebasan. Tapi tidak bisa, aku tidak boleh tertangkap sebelum memastikan panti asuhan aman."

Pikirannya begitu kacau saat dia berlari. Hingga kemudian napasnya mulai tersengal dan dia berhenti di balik sebuah pohon besar. Bernapas berat.

Beberapa saat kemudian terdengar suara injakan dedaunan dan ranting kering. Midoriya menoleh terkejut, tapi dia tidak heran jika dia akan terkejar. Karena bagaimanapun dia jelas tak akan bisa menandingi kemampuan kedua lelaki itu.

Berpikir dirinya sama sekali tak boleh tertangkap, Midoriya memeriksa sekitar hutan. Dia masih samar mengenali hutan itu sejak dia kecil, dia tahu ke mana harus pergi.

Sebelum entah siapapun itu semakin dekat, Midoriya kembali berlari menjauhinya ke dalam hutan.

Kirishima menoleh mendengar suara derap lari. "Midoriya?" Panggilnya pelan.

Derap itu terus menjauh, surai merah itu bergegas menyusul.

Tak lama kemudian dia melihat dengan samar sosok dengan jubah dan surai hijau yang berada agak jauh di depannya.

"Midoriya!" Panggilnya. Namun gadis itu sama sekali tak berhenti berlari.

Napas Midoriya sudah terasa sesak dan dingin. Dia mendengar Kirishima memanggilnya, tapi dia tak boleh berhenti.

"Ugh, tempat untuk bersembunyi..." Midoriya melihat sekitar. Dia tahu ada tempat yang bisa menyembunyikannya di hutan, tapi dia tak ingat harus berbelok kanan atau kiri karena sudah sangat lama.

Akhirnya, dia memutuskan pergi ke arah kanan. Sekitarnya hampir sangat gelap karena rimbunnya pepohonan, hanya sedikit cahaya bulan yang menembus menerangi jalur.

Baru saja berpikir dia akan segera menemukan rimbunan semak untuk bersembunyi, kakinya tiba-tiba tersangkut di lubang akar pohon yang mencuat keluar dari tanah. Seketika dia jatuh terjerembab ke depan.

Mendengar pekikan dan suara jatuh, Kirishima mulai khawatir. "Midoriya, kau baik-baik saja?" Serunya. Sekitar sepuluh meter ke depan dia kemudian melihat Midoriya yang terbaring di atas tanah, mencoba untuk bangun dengan bertopang ke siku.

Kirishima lega gadis itu sepertinya hanya jatuh tersandung saja. Jenderal itu kemudian berlari pelan untuk menbantunya.

Namun dia mendengar suara.

.
.

Midoriya mengaduh pelan. Pakaian panjang dan jubahnya membuat dia tidak terluka, tapi dia mungkin sudah tidak bisa berlari lagi meski berdiri karena kakinya sudah lemas.

Tengah memikirkan bagaimana caranya kabur dari Kirishima yang hanya beberapa meter darinya, pikiran Midoriya teralihkan saat dia mendengar sesuatu.

Suara geraman. Midoriya sangat kenal suara itu. Geraman serigala.

Itu alasan utama hutan berbahaya saat malam. Ada kelompok serigala yang tinggal di dalamnya, namun mereka tak pernah mengusik manusia. Hanya saja, jika teritori mereka diganggu, mereka akan marah.

"Gawat..." pikir Midoriya. "Apa aku keliru memilih jalan?"

Jelas dia sangat keliru. Jalur yang seharusnya dia ambil aman dari binatang buas. Dia tanpa sadar memasuki daerah kekuasaan para serigala.

Midoriya tersentak saat geraman itu terdengar sangat dekat darinya. Dengan sedikit cahaya bulan yang menembus dari kanopi pepohonan, manik emerald Midoriya menatap horor pada sosok seekor serigala yang muncul dari balik semak besar. Menggeram dengan menampilkan gigi-giginya yang tajam.

Dia terdiam kaku.

Tenang. Midoriya harus tetap tenang. Dia tidak boleh bergerak tiba-tiba, atau serigala itu akan menerkamnya.

Dengan berusaha perlahan mundur tanpa membuat keributan, Midoriya merayap pergi dari hadapan serigala tanpa membelakanginya.

Kirishima dari jauh juga terdiam. Dia tidak boleh tiba-tiba menyerang serigala itu. Midoriya melakukan hal yang benar, jadi dia dengan waspada memperhatikan gerak geriknya.

Srak

Midoriya mematung. Dia melirik ke samping dan seekor kelinci baru saja melompat keluar dari semak lain. Menyadari predator besar itu, si kelinci bergegas melarikan diri.

Namun sialnya kelinci itu melewati Midoriya dalam pelariannya. Serigala yang marah itu pun terpengaruh dan melompat hendak menyerang surai hijau itu.

BUGH

Sebuah batu seukuran kepalan tangan menghantam kepala sang serigala, membuatnya terjatuh ke sisi kanan. Midoriya bernapas berat dengan jantung berdegub cepat saat serigala itu jatuh ke sisi di dekatnya.

"Lari! Bersembunyi ke belakang pohon!" Seru Kirishima.

Dengan mengumpulkan seluruh tenaganya, Midoriya berdiri dan menjangkau pohon terdekat. Dengan gemetar dia melihat ke balik pohon, menyaksikan Kirishima yang beradu dengan binatang buas itu selama beberapa saat sebelum akhirnya sang jenderal berhasil membuat serigala tak sadarkan diri dengan memukul keras bagian di sekitar kepala dengan ujung pedangnya.

Kirishima tak membunuhnya, karena itu mungkin akan memancing kemarahan dari koloni serigala itu. Dia menyarungkan kembali pedangnya dan bergegas mendatangi Midoriya yang ada di balik pohon.

"Midoriya—"

"Apa kau baik-baik saja?" Gadis itu sudah lebih dulu menumpahkan kekhawatirannya. Dengan gemetar, dia memegangi kedua lengan Kirishima.

"Maaf... maafkan aku... aku tak bermaksud pergi ke daerah ini dan membuatmu dalam bahaya..." Midoriya terisak. "Gelapnya malam membuatku salah mengambil jalan, tanpa sadar aku pergi ke wilayah mereka..."

Kirishima sempat terkejut, tapi dia kemudian tersenyum. "Aku baik-baik saja. Ayo, kita harus segera pergi sebelum koloninya mungkin akan datang."

Midoriya mengusap matanya dan mengangguk.

"Kau bisa berdiri? Kakimu terluka?"

Gadis itu menggeleng. "Aku baik-baik saja..."

"Bagus, ayo." Kirishima tetap memegangi kedua lengan Midoriya kalau-kalau saja dia terjatuh.

.
.

Mereka pergi cukup jauh dari lokasi serigala tadi. Midoriya sudah tenang dari keterkejutannya dan berhenti menangis.

"Wah, ternyata kita masuk cukup dalam ke hutan." Kirishima melihat sekitar.

"Maaf..." cicit Midoriya.

"Yah, aku jadi bisa berjalan-jalan di tempat baru." Cengir Kirishima. "Meski cukup bahaya sih." Dia sedari tadi terus mewaspadai sekitar, tapi sepertinya tidak ada hewan buas lain yang berani mendekati wilayah serigala.

Tak lama setelahnya mereka akhirnya keluar dari hutan. Midoriya memelankan langkah, menatap ke rumahnya.

"Apa... kalian datang langsung untuk menghukumku?"

Kirishima menoleh melihat wajah Midoriya. Gadis itu nampak sedih tak bertenaga. Jenderal itu menepuk pelan pundaknya.

"Jangan khawatir, saat ini kami hanya ingin bicara."

Midoriya menatap tak mengerti, tapi dia kemudian mengikuti Kirishima pergi ke depan pintu. Gadis itu memutar gagang pintu, mereka berdua masuk ke dalam.

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 122 6
rimuru Tempest seorang anak perempuan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya yang meninggal akibat kecelakaan. Dia hanya hidup sendiri dengan semu...
73.5K 8.6K 62
Ini adalah cerita keseharian para utaite. Bukan cerita yang straight karena otaknya disini sengklek semua. Ini sekedar ff ya. Bukan real. Tapi inspir...
121K 18.6K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
1.4M 81.8K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...