Gara-Gara Abang

By Stephn_

28.2K 2.8K 234

"Abang gue bukan super hero, tapi super kepo!" ♠️♦️♣️ Valeri... More

Prolog
Satu; Hari Pertama Sekolah
Dua; Teman Sebangku
Tiga; Payung Hitam
Lima; Kali Kedua
Enam; Pesan Singkat
Tujuh; Garis Singgung
Delapan; Membuka Pintu
Sembilan; Kencan Pertama
Sepuluh: Ayah
Sebelas; Tipuan
Dua Belas; Mata-Mata
Tiga Belas; Salah Paham
Empat Belas; Tamu Tak Diundang
Lima Belas; The Hobbit
Enam Belas; Patah
Tujuh Belas; Distraksi
Delapan Belas; Ayam Bakar Madu

Empat; Si Sulung

1.3K 200 19
By Stephn_




"Ia tidak dituntut menjadi nomor satu, tapi sempurna. Ia tidak diajarkan menjadi kuat, tapi tegar. Ia telah terbiasa menjadi selalu yang harus. Mengabaikan fakta, dirinya yang paling perlu diurus."

***

DAMIAN menegak kopinya hingga tandas. Dalam hati berharap, beban yang memberatkan pundak dan kelopak matanya akan luruh bersama dengan cangkir kafein keempat yang tengah ia konsumsi hari ini. Namun, tidak ada yang berubah. Damian tetap kelelahan, dan jumlah berkas yang menumpuk di meja tidak kunjung berkurang.

Sejujurnya, Damian hampir lupa kapan terakhir kali tubuhnya beristirahat lebih dari 8 jam. Biasanya, ia tidur lebih larut dari kebanyakan manusia normal pada umumnya dan bangun lebih awal dari matahari terbit. Tidak selalu pekerjaan yang menahan tubuhnya beristirahat. Seringnya, isi kepala yang membuatnya terjaga.

Damian adalah rumit yang tak mampu diterka. Tinggal dalam isi kepala yang berisik, dan keharusan memikul harapan di kedua pundaknya. Ia terbiasa menyimpan banyak hal sendirian. Luka ia rawat sendiri, berantakan pun ia rapikan sendirian. Kini, ia telah berada di titik mati rasa. Di mana mengenali diri sendiri pun ia tak mampu.

Ibarat robot, Damian telah dikendalikan sejak lama. Tubuhnya bergerak, namun hatinya tak lagi bekerja. Hidup untuk keluarga, prinsip yang ia pegang teguh. Juga, satu-satunya tujuan yang ia miliki. Selain itu, ia tidak peduli. Termasuk jam tidurnya yang berantakan.

Bunyi ketukan pintu mengembalikan fokus Damian. Ia sontak membuka mata. Hal pertama yang terekam oleh irisnya adalah wajah Jerry  yang muncul dari balik pintu ruang kerjanya dengan rambut setengah basah dan handuk kecil menggantung di leher. "Dam, bisa luangin waktu sebentar?"

Sebelah alis Damian terangkat naik. "Buat?"

"Diskusi."

Damian menghela napas berat. Perlahan ia bangkit berdiri, seraya meraih cangkir kopi di atas meja kerjanya. "Kalau nggak penting besok aja. Kerjaan gue masih banyak."

"Ini tentang Valeria."

Satu jawaban dari Jerry sudah cukup untuk menghentikan langkah Damian. Sudah cukup pula untuk membuat Damian seketika melupakan setumpuk berkas yang beberapa menit lalu masih memanggil-manggil namanya, dan niatnya menyeduh cangkir kopi kelima.

♠️♦️♣️


"Bang, gue yakin seratus persen ada yang nggak beres," Leo membuka percakapan. Mata bulatnya berkilat, sedang kakinya mengetuk-ngetuk permukaan  ubin dengan tempo tak beraturan. "Buktinya tadi pagi—"

"Nanti dulu," potong Jerry. "Tunggu Reza. Dia masih di toilet."

Leo berdecak tak sabar. "Bang Reza dari tadi lagi  buang hajat atau buang dosa, sih? Betah banget di kamar mandi."

"Sengaja," Reza muncul tiba-tiba dari arah tangga. Rambut putihnya tampak menyala, nyaris menyatu dengan warna dinding. "Biar nggak kalah sama lo."

"Lah, kenapa jadi gue?" tukas Leo tidak terima.

"Biasanya, kan, lo kalau mandi butuh waktu satu jam sendiri. Itu yang dibersihin badan atau aib?" balas Reza.

"Leo, tadi lo mau bilang apa?" tanya Jerry tepat sebelum Reza dan Leo kembali berdebat.

"Ah, itu..." perhatian Leo beralih sepenuhnya pada Jerry. "Tadi pagi Val tiba-tiba ngomongin soal cinta. Katanya, cinta nggak pandang usia. Walaupun masih muda belum tentu cinta monyet. Pas gue tanya siapa yang ngajarin, dia bilangnya pernah baca di buku. Tapi, nggak bisa jawab judul atau nama penulis bukunya."

Damian memijat pelan pelipisnya. "Kenapa dia tiba-tiba ngomongin itu?"

"Gara-gara gue ngatain temen sekolahnya lagi pacaran. Gue bilang mereka cuma cinta monyet, paling sebentar lagi juga putus. Eh, malah Val yang nggak terima," Leo mendengus. "Jadi curiga. Jangan-jangan selama ini dia udah punya pacar?"

Reza menjitak keras kepala Leo. "Curiga boleh, tapi logikanya dipakai."

"Gue pakai!" tukas Leo. Tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdenyut karena ulah Reza. "Kalau dia nggak punya pacar, harusnya dia biasa aja dengerin komentar gue. Bukannya malah ngebelain temennya."

"Sekarang gue balikin pertanyaannya ke lo. Kemarin lo sempet ngebelain Miyuki karena dikata-katain males waktu konser. Kenapa coba?"

"Ya, karena dia idol favorit gue," jawab Leo, pongah.

"Kalau gitu sama. Val ngebelain karena yang lo singgung itu temennya."

"Bang Rez, gue koreksi bentar. Sebenernya, yang gue maksud itu salah satu murid di sekolahnya. Val nggak kenal, bukan temennya juga. Jadi, nggak seharusnya dia belain mati-matian."

"Lo juga," balas Reza. "Miyuki nggak kenal lo. Tahu lo hidup aja nggak. Terus ngapain lo belain dia segitunya sampai bikin akun palsu buat bales-balesin komentar?"

Bibir Leo terbuka, seperti hendak membantah opini Reza. Namun, tidak terdengar sepatah kata pun argumen terdengar dari sana. Sebab, Reza telah lebih dulu mematahkannya dengan pukulan fakta. Dan semakin diperparah dengan pembenaran dari Damian.

"Mungkin Val memang pernah baca kata-kata itu di buku."

Reza mengangguk setuju. Ekspresi penuh kemenangan terlukis di wajahnya. "Pasti dia baca buku punya Celine. Tuh, bocil, satu kan demen banget cerita cinta-cintaan. Jadi, wajar kalau Val lupa judul sama nama penulisnya."

Wajah Leo semakin menggelap. Sudah hatinya dipatahkan, argumennya dibantah, sekarang dipojokkan pula. Damian sudah berpihak pada Reza. Otomatis hanya tersisa Jerry satu-satunya harapan Leo. Dengan berbekal harapan itu, Leo menghampiri Jerry. "Menurut abang gimana?"

"Mungkin Val memang pernah baca kata-kata itu di buku." Mendengar Jerry mengulangi jawaban Damian, harapan Leo langsung pupus. Akan tetapi, semangatnya kembali terbit tatkala mendengar Jerry menambahkan, "Tapi... bukannya buku itu jendela dunia dan jembatan ilmu?"

Kini, giliran Damian dan Reza yang dibuat keheranan oleh pertanyaan terakhir Jerry. Keduanya sontak menoleh, menunggu penjelasan.

"Banyak orang terispirasi setelah baca buku," jawab Jerry singkat, padat, dan jelas. Namun, sudah cukup untuk membuat ruangan seketika berubah hening. "Contohnya payung itu..."

Damian, Reza, dan Leo refleks mengikuti arah pandangan Jerry. Mengamati payung lipat hitam yang menggantung di stand hunger dekat rak sepatu.

"Kenapa payungnya?" tanya Leo tidak sabar.

Jerry tidak langsung menjawab. Laki-laki itu menoleh, menatap serius Damian. "Dam, tadi Val bilang ke lo itu payung punya siapa?"

"Celine."

"Dia bilang ke gue itu payung punya Sissy."

Ruangan kembali hening. Bahkan, lebih tegang daripada sebelumnya.

"Berarti..." Reza menegak ludahnya susah payah. Seolah sedang dipaksa menelan Bitrex, zat paling pahit di dunia. "Sekarang Val udah berani bohong sama kita?"

"Belum tentu," koreksi Jerry. "Ini baru dugaan sementara. Bisa jadi, Val cuma salah sebut tadi."

"Salah sebut padahal huruf C sama S itu jauh," ucap Leo setengah menggerutu.

"Buat yang satu ini gue setuju sama lo," Reza menimpali Leo. "Kayaknya, Val nggak seceroboh itu salah sebut nama orang. Apalagi itu temen deketnya. Kecuali... dia memang nggak pernah yakin sama jawabannya."

Reza dan Leo sempat saling bertukar pandang sebelum akhirnya melemparkan pandangan pada Jerry. Tak lama setelahnya, Jerry mengalihkan fokusnya pada Damian. "Jadi, menurut lo gimana, Dam?"

Damian menggertakkan gigi. Sebuah kebiasaan kecil yang sering laki-laki itu lakukan setiap kali sedang berpikir keras. "Sementara diemin dulu. Toh, ini baru minggu pertama sekolah. Valeria nggak mungkin berani macem-macem."

"Yakin diemin aja, Bang?" Leo jelas sekali terlihat tidak puas mendengar tanggapan Damian. "Menurut gue, justru mumpung masih awal, kita bertindak dari sekarang. Istilahnya sedia mantel sebelum hujan."

"Payung," koreksi Reza.

"Ogah," Leo mendengus. "Sebelum gue tahu siapa pemilik payung hitam itu, gue nggak sudi pakai payung."

"Tapi menuduh tanpa bukti juga nggak baik." Jerry menengahi. "Kalau ternyata kita yang salah gimana?"

"Jangan terang-terangan nuduhnya. Cukup kasih peringatan aja," kata Leo.

"Caranya?" tanya Damian.

"Besok pagi Val berangkat sama Bang Reza," usul Leo.

"Berani jamin cowok nggak ada yang punya nyali deketin Val setelah lihat dia dianterin ke sekolah sama preman."

Reza langsung mengumpat kasar. Sedangkan Damian dan Jerry kompak mengangguk-angguk seperti boneka dashboard. Pemandangan itu membuat Reza mengumpat untuk kedua kalinya.

"Rez, besok bisa nebengin Val ke sekolah?" tanya Damian dijawab anggukan singkat oleh Reza. "Oke, sementara gitu dulu aja. Nanti kalau memang ada yang aneh atau mencurigakan, kita diskusi lagi."

Seperti yang sudah-sudah, jika Damian sudah menyuarakan pendapatnya, Jerry, Reza, dan Leo pasti akan mengangguk setuju. Mematuhi keputusan dari anak tertua di rumah ini.

Setelah mendapatkan kesimpulan, diskusi dibubarkan. Jerry beringsut ke taman belakang untuk menjemur handuk, Leo kembali ke kamar untuk menyelesaikan sketsanya yang belum selesai, dan Reza beranjak ke kamarnya.

"Rez," panggil Damian sebelum Reza benar-benar  mengurung diri di kamar. "Ke sini sebentar."

"Kenapa, Bang?" Reza menghampiri Damian yang masih terduduk di sofa ruang tamu. Keningnya berkerut dalam melihat Damian tiba-tiba mengulurkan tangan. "Apa?"

"Kasih atau mulai besok motor kamu abang sita?"

Pundak Reza menegang, wajahnya pun kian memucat usai mendengar ancaman Damian. Namun, Reza berusaha menutupinya dengan tertawa hambar. "Oh, Bang Damian mau minta permen? Bilang dong dari tadi."

Damian menatap datar permen mint pemberian Reza di telapak tangannya yang terulur. "Ini kembaliannya?"

"Hah?" Reza mengerjap bingung. "Kembalian apa?"

"Kembalian kamu beli rokok."

Mimik wajah Reza berubah panik. Bibir tipisnya yang selalu tersenyum licik, kini hanya bisa tergagap.

"Bang, g-gue nggak—"

"Rokok atau motor?" tegas Damian.

Sekali lagi, Reza dibuat membisu oleh Damian. Dengan berat hati, Reza mengambil sekotak rokok—yang baru berkurang satu batang—di dalam kamar dan menyerahkannya pada Damian.

Damian bangkit berdiri, menepuk akrab pundak Reza. 

"Lain kali kalau mau sebat di rumah jangan lupa sikat gigi yang bersih. Permen doang nggak mempan."

Reza hanya bisa mengangguk kaku menanggapi pesan Damian. Selain anak tertua dan penentu keputusan, diam-diam Damian dijuluki peramal oleh ketiga adiknya.

Sebab, Damian selalu tahu.

♠️♦️♣️

Awal mula perpecahan 🥹

Next nggak, nih?

Btw, buat yang nggak sabar menunggu update kalian bisa baca cerita ini di twitterku: @stefictions

Sudah tamat!

Ditunggu jejak bintang dan komentarnya. Thank you!

Continue Reading

You'll Also Like

29.2K 3.2K 25
Thana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa har...
696K 14.9K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...
1.8M 196K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
12.8K 349 13
"Mungkin bukan salah kamu yang ninggalin aku, tapi ini salah aku yang terlalu jadiin kamu duniaku." "Kamu tahu kehilangan apa yang lebih sakit dari k...