Kos-Kosan Trejo

By ndabyludayby

795 70 1.3K

Rumah? Iya, bagi mereka kos-kosan tiga tingkat di pinggir jalan itu rumah mereka 𝐩𝐫𝐞𝐬𝐞𝐧𝐭𝐞𝐝 𝐛𝐲 𝐫𝐡... More

Tuan Rumah
1. Cerita Milik Aidan (1)
1,5. Cerita Milik Aidan (2)
2. Cerita Milik Tara
3. Cerita Milik Juan
4. Cerita Milik Heksa
5. Cerita Milik Haikal
6. Cerita Milik Angga (1)
6,5. Cerita Milik Angga (2)
7. Cerita Milik Jaka
8. Cerita Milik Harsa

9. Cerita Milik Zafran

62 6 137
By ndabyludayby

EPISODE 9:
Live Your Live

[arek-arek trejo]


🐺🐺🐺

"Duh, harus cepet-cepet." Zafran terburu-buru memasang seragamnya sambil mulutnya mengunyah roti untuk sarapan. Lelaki itu panik sendiri karena dikejar waktu. Ia bangun kesiangan sehabis begadang karena asyik main game sama Harsa. Akibatnya jadi terlambat bangun padahal dirinya sendiri harus bersekolah.

"Bang Kal, ada liat kaos kaki ku kah?"

Haikal menggeleng, "coba tanya Indra, kan kemarin dia yang ngangkat jemuran."

Zafran segera melesat ke kamar Indra dan hampir saja jidatnya kepentok pintu kamar karena berbarengan dengan Indra yang membuka pintu.
"Kenapa?"

"Bang Ndra, ada liat kaos kaki aku enggak?"

"Nih. Makanya kalau hari hujan tuh jemuran diangkat jangan asik aja main hp." omel Indra.

"Hehe, enggak lagi bang. Makasih ya, bang."

"Oke. Ini dibawa buat bekal. Yang lain sudah tadi tinggal kamu aja, Zaf." Indra menyodorkan sebuah kotak makanan beserta botol minum.

"Wah alhamdulillah, terima kasih banyak, abang Indra."

"Sama-sama. Jangan lupa dimakan sebelum menghadapi masalah hidup hari ini."

"Bang...."

"Sudah sana berangkat."

Setelah beres bersiap, Zafran melangkah menuju pintu kos dan berpamitan pada penguni kos yang lain.

"Lama banget kaya nungguin jodoh." celetuk Heksa saat mendapati Zafran sudah menaiki motornya sendiri.

"Maaf, bro. Hehe."

"Yaudah, yok naik Juan." ajak Heksa pada Juan yang sedari tadi tertawa karena tingkah Zafran.

"Abang-abang, hari ini kalian duluan aja pulangnya, ya. Juan mau kerkom abis pulang sekolah di rumah temen."

"Oke deh. Nanti pulang kerkom mau dijemput?"

"Gak papa, bang. Juan sama bang Aidan nanti. Katanya dia mau kerkom juga abis pulang sekolah."

"Oh iya, bang Aidan mana?" tanya Zafran yang baru menyadari bahwa Aidan tidak ada disana. Biasanya mereka selalu berempat ketika berangkat sekolah.

"Sudah duluan katanya mau piket."

"Owalah- HEH TUNGGUIN! ASTAGA!"

Belum selesai Zafran berbicara, Heksa dan Juan sudah lebih dulu meninggalkannya. Sehingga Zafran pun juga melaju untuk mengejar Heksa dan Juan yang jauh di depan sana.

Untung saja Heksa segera menghindari dari Zafran ketika mereka sudah tiba di sekolah. Jika tidak maka Heksa akan dikejar oleh Zafran perkara ditinggal berangkat duluan.

Zafran kaget saat berdiri di depan kelasnya, karena teman-temannya sedang sibuk menulis. Bahkan Heksa yang biasanya kerjaannya itu tidur di kelas, juga sama sibuk menulis di buku. Kebetulan Heksa dan Zafran itu satu kelas yang bertempat di kelas XII-IS 4.

"Heksa, ngerjain apa sih? Perasaan hari ini enggak ada PR deh."

"Ada. Nih PR bahasa Inggris."

"Hah?"

"Buruan cepet dikerjain! Gak usah cocote."

"Dih! iya siap. Liat ya, Sa."

"Hooh liat aja nih."

Tak lama kemudian, bel tanda masuk telah berbunyi. Mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing. Zafran duduk di barisan belakang pinggir kiri. Sedangkan Heksa duduk di barisan belakang juga namun di pinggir kanan. Tidak heran mereka termasuk orang-orang bertubuh tinggi jadi duduknya di barisan belakang.

Pelajaran pertama adalah Antropologi.  Saat Ibu guru sedang menjelaskan materi, Zafran juga sibuk mencatat jawaban dari buku Heksa. Jam mapel Bahasa Inggris dimulai pada jam setelah mapel pertama jadi mau tidak mau Zafran harus segera mengerjakan tugas yang sebenarnya tidak bisa lagi disebut pekerjaan rumah karena mengerjakannya di sekolah.

Karena saking asyiknya dengan tugas lain itu, Zafran tidak mendengarkan lagi apa yang dijelaskan oleh guru. Dan kemudian terjadilah hal yang tak diinginkan oleh semua murid yaitu diskusi.

"Zafran!"

"Eh ada apa, Bu?"

"Sekarang kamu jelaskan apa itu Antropologi menurut Koentjaraningrat?

Zafran terdiam mematung. Semua atensi teralih padanya saat ini. Tentu saja Zafran gugup dan grogi tapi kemudian dia membaca sekilas dari buku paket Antropologi yang ada dihadapannya kemudian menatap Ibu guru.

"Apa jawabannya, Zafran?"

"Antropologi menurut Koentjaraningrat itu suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dengan fokus pada masyarakat dan kebudayaannya, Bu."

"Oke, bagus. Lain kali kalau ada PR itu dikerjakan di rumah, ya. Bukan di sekolah. Masih untung kamu bukunya gak saya ambil." kata Ibu Tini, pengampu mata pelajaran Antropologi.

"Baik, Bu. Maaf juga, Bu." Zafran membungkukkan setengah badannya sebagai permintaan maaf atas kesalahannya selama jam pelajaran.

"Yasudah kita lanjut lagi minggu depan. Sekian dan terima kasih, selamat pagi."

"Selamat pagi juga, Bu."

Janendra yang duduk di samping Zafran menyenggol lengan lelaki itu, "kamu mah udah dikodein nanti dulu ngerjainnya malah asik aja."

"Kapan kamu ngode?"

"Tadi sebelum nama kamu dipanggil. Bu Tini tuh liatin kamu, aku senggol senggol eh gak paham juga."

"Maaf lagi fokus soalnya."

"Santuyy."

Saat jam istirahat, Zafran hanya diam sembari menikmati bekal yang dibuatkan oleh Indra. Tidak seperti biasanya, Zafran yang paling heboh namun kali ini ia diam saja mendengar obrolan Heksa, Janendra dan Brian.

"Tumben Zafran diam aja, ada apa nih?" tanya Brian yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Zafran.

"Biasanya paling bersemangat." tambah Janendra.

Heksa sependapat dengan kawan sekelas nya itu. "Ada yang mau diceritain kah, Zaf?"

"Ada."

"Apaan tuh?"

Heksa, Brian dan Janendra sudah siap dan antusias mendengarkan cerita dari Zafran.

"Kalian tau enggak sih? Ternyata selama ini ada doa yang paling cepat terkabul."

"Doa apaan?"

"Doa makan, soalnya kalau kelar doa makan pasti langsung bisa makan. Ya enggak sih?"

"Kampret, kirain mau cerita apa." sesal Brian.

Janendra geleng-geleng kepala dan Heksa kembali melanjutkan makannya.

"Oh iya, boleh pinjem catatan mtk punya kamu enggak, Dra? Soalnya punya aku ada yang enggak lengkap."

"Boleh."

"Makasih, Dra."

"Sip, sama-sama."

Sebenarnya Zafran berusaha untuk tetap tenang dan biasa saja ketika mata pelajaran Matematika. Tapi ia gugup ketika Pak Hadi menyuruh satu persatu maju murid untuk mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Zafran sudah belajar dan juga meminjam buku milik Janendra tapi ia belum terlalu mengerti. Jujur saja, Zafran agak lemah untuk di pelajari hitungan. Setiap setelah ujian semester, Zafran juga mengikuti remedial matematika. Nilai-nilainya selalu tinggi pada bidang pelajaran agama dan sosial. Zafran tahu setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tapi disaat situasi seperti ini ia tidak tahu harus melakukan apa.

Hingga tiba giliran namanya dipanggil  ke depan. Jujur saja, Zafran lebih berkali-kali grogi sampai tangannya yang memegang spidol itu gemetaran. Ia sangat takut salah menuliskan jawabannya dan berakhir di hukum. Ditambah saat ia terus diperhatikan oleh Pak Hadi.

"Silahkan tuliskan jawabannya."

"Baik, Pak."

Dengan terpaksa Zafran menulis yang sebenarnya ia tidak yakin apakah rumus yang ditulis itu benar apa salah. Tiba-tiba bel pelajaran selanjutnya berbunyi. Zafran menghela napas.  Setidaknya ia tidak dihukum atau diceramahi kali ini.

"Karena sudah bel kita sambung lagi di hari selanjutnya. Dan kamu Zafran, tetap kerjakan soalnya dan di pertemuan yang akan datang dijawab, ya."

"Baik, terima kasih, Pak."

Muka Zafran seperti ditekuk karena tidak mengerti dengan soal yang ada di dihadapannya. Ia sudah menyalin soal di buku tulis. Tapi tetap saja, ia benar-benar tidak mengerti dengan sekelumit huruf dan angka di kertas.

"Heksa."

"Apa?"

"Sumpah! Aku enggak ngerti ini gimana cara ngerjainnya. Kamu bisa enggak ajarin aku?"

"Yaudah sini."

Heksa pun membantu menjelaskan bagaimana cara memecahkan soal tersebut hingga menemukan jawabannya namun Zafran masih belum mengerti.

"Nanti minta ajarin bang Tara atau sama bang Yoga dan bang Angga sekalian juga. Mereka genius." ujar Heksa setelah mengajari Zafran yang tak kunjung paham

"Iya, Sa. Maaf ya."

"Santai aja, aku paham kok. Yok kita ke kantin beli yang dingin dingin buat tenangin pikiran."

Zafran mengangguk pelan dan mengikuti langkah Heksa.

🐺🐺🐺

Sesampainya di kos, Zafran berganti pakaian lalu mampir ke kamar Tara. Disana juga ada Yoga. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Zafran tidak  tahu.

"Sini masuk aja, Zafran."

"Mau minta tolong sama abang Tara dan abang Yoga, boleh?" tanya Zafran.

"Boleehh. Zafran mau minta tolong apa?" jawab Yoga.

Zafran mengeluarkan buku tulis yang sedari tadi dipegangnya, "tolong ajarin caranya gimana ngerjain soal ini, bang. Aku beneran enggak paham, bang."

"Jadi caranya gini Zafran...." Tara dan Yoga bergantian menjelaskan tentang Trigonometri pada Zafran.

"Nah sekarang gimana Zafran? Sudah paham belum?"

"Sudah, bang."

"Nah coba Zafran kerjain sendiri dulu pakai cara yang kami ajarin tadi." kata Tara.

"Tapi bang, kalau salah jawabannya gimana?"

"Gak apa-apa, Zafran. Namanya belajar itu pasti ada salah. Kalau mau langsung betul itu bukan belajar namanya. Kan mau berhasil itu gagal dulu, jatuh dulu terus bangkit lagi."

"Kenapa harus gitu dulu, bang?"

Yoga merangkul pundak Zafran, "pernah dengar gak istilah ini kalau kegagalan itu kesuksesan yang tertunda."

"Pernah, bang. Waktu SD dulu."

"Nah jadi betul banget kaya yang Tara bilang tadi, jatuh dulu baru bangkit lagi. Contohnya nih misalnya Zafran naik motor terus ngelewatin jalan yang ada lubangnya pas pertama kali kaget kan ngelewatin jalan berlubang itu. Bisa bisa ban motor jadi kempes atau bocor. Tapi setelah itu Zafran gak lewat jalan yang berlubang itu lagi kan karena Zafran sudah tahu dan belajar dari yang dulu kalau jalan yang ada lubangnya itu jangan dilewatin lagi dan lebih hati-hati pas berkendara. Betul apa betul?"

"Betul, bang."

"Seperti itu kita belajar. Salah dulu baru bisa. Gak apa apa itu namanya proses dan pengalaman hidup."

"Nah jadi coba aja dulu kerjakan satu soal. Gak apa-apa. Kalau salah nanti kami ajarin lagi sampai kamu bisa, Zafran."

"Siap, bang!"

Sejak saat itu, Zafran rutin belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Ia sudah mulai memahami beberapa materi pelajaran matematika yang diajarkan oleh abang-abangnya di kos.

Zafran juga senang karena pada saat pelajaran Pak Hadi, ia mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang diajukan. Hal tersebut menjadi pemicu semangat Zafran untuk giat belajar matematika.

🐺🐺🐺

Saat itu di hari Kamis, ada mid test matematika. Sebagian murid ada yang sedang belajar untuk mempersiapkan mid test, ada juga yang asyik mengobrol dan bercanda, beberapa yang lain asyik bermain bola di kelas, ada juga yang masih tidur dan lain sebagainya.

"Hari ini anda stress gara-gara tugas, ya? Tetap semangat besok akan lebih stress." ucap Zafran begitu melihat Heksa yang sedang mengerjakan tugas karena sakit sehingga tidak masuk sekolah.

"Hilih. Deadline Seni Budaya tuh kerjain." balas Heksa tak mau kalah.

"Kita remaja yang sedang dimabuk deadline."

Zafran bernyanyi sembari menaruh bukunya di meja membuat Heksa menatap sinis ke arah Zafran.

"Bye, aing mau ke ruang guru dulu, yaw."

"Wokeh. Mau ditemenin enggak?"

"Gak usah, belajar aja sana."

"Yaudah."

Selepas kepergian Heksa, Zafran pun fokus mempelajari ulang tentang materi yang sudah dirangkumnya tadi malam. Ia tidak memperdulikan keadaan sekitar. Sembari minum susu kotak, Zafran juga mengerjakan beberapa soal sebagai latihan.

Dugh!

"Aduh!" rintih Zafran saat tiba-tiba bola basket jauh tepat mengenai kepalanya. 

Zafran menatap tak suka pada Kevin sebagai tersangka yang mengambil bola basket.

"Apaan?"

Zafran hanya diam.

"Biasa aja kali sakit cuma gitu doang." Kevin tertawa setelah mengatakan hal tersebut kemudian berlalu tanpa mengucapkan kata maaf. Ia kembali bermain bersama Adit, teman satu gengnya.

Tak!

Zafran melempar tip-ex tepat mengenai bagian belakang kepala Kevin dan membuat lelaki itu berbalik dan marah pada Zafran.

"Sakit enggak?" tanya Zafran sarkas.

"Bangsat! Gila kamu?! Minta maaf gak sekarang?" Kevin menarik kerah seragam Zafran namun hanya ditanggapi Zafran dengan acuh.

"Seharusnya kamu itu yang minta maaf. Bukan aku!" Zafran menekan kalimat terakhirnya sembari menunjuk Kevin tepat di wajahnya.

Semua orang yang ada di sana terdiam menyaksikan perdebatan tersebut. Bahkan beberapa diantaranya ada yang merekam kejadian itu untuk disebarkan di akun Instagram sekolah. Beberapa yang lain berbisik-bisik membicarakan Zafran dan Kevin.

"Kamu pikir aku mau minta maaf sama kamu, njing?!"

"Lah terus harus aku yang minta maaf sama kamu? Enggak dulu ya, aku bukan  orang-orang yang bisa kamu perintah seenaknya."

"Aku bakal keluarin kamu dari sekolah ini!" ancam Kevin.

"Enggak takut. Kamu cuma anak ketua yayasan doang. Hidup aku juga enggak bergantung sama bapak kamu." lawan Zafran.

Merasa tersudutkan, Kevin yang sudah emosi pun semakin kalap.
"Brengsek! Berani sama aku?!"

Bugh!

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Zafran hingga meninggalkan bekas lebam juga darah disana. Saat Kevin ingin menampar Zafran lagi, Zafran bangkit dan melawan balik hingga Kevin juga mendapat tamparan yang sama. Perkelahian itu terus berlanjut hingga seorang guru datang meleraikan mereka bersama Heksa yang juga datang dan menahan Zafran.

"Kalian berdua cepat ikut saya ke ruang BK!" titah sang guru itu lalu membubarkan kerumunan yang menonton perkelahian.

"Zafran, maaf banget tadi aku-"

"Enggak apa-apa, Sa." ucap Zafran tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan Heksa.

Heksa sungguh merasa bersalah karena terlambat tahu jika sahabatnya sendiri yang terlibat perkelahian. Dirinya baru mengetahui saat mendengar murid lain yang berseru ada yang berkelahi di kelasnya. Padahal ia sedang berbicara dengan wali kelas. Heksa berlari menuju kelas dan betapa paniknya saat mendapat Zafran ditampar oleh Kevin.

🐺🐺🐺


"Zafran ikut pulang sama Bunda ke kampung, ya. Kamu ngapain disini satu minggu gak sekolah juga?" kata Bunda.

"Mau disini aja, Bunda. Di sana juga enggak tau mau ngapain." cicit Zafran was-was takut diomelin sama Ibunya.

Ya.

Bunda dipanggil ke sekolah karena kasus perkelahian Zafran beberapa waktu lalu. Zafran diskors selama satu minggu sedangkan Kevin tidak diskors. Katanya yang salah ialah Zafran. Itulah yang terjadi terpampang jelas kalau seseorang punya harta dan jabatan, maka dia lebih diutamakan meskipun telah terjadi tidak keadilan. Zafran tak protes, justru senang karena tidak melihat muka Kevin. Sedangkan Ibu Zafran, tak terima anaknya dituduh bersalah. Tapi biar bagaimanapun mereka orang biasa harus mengalah.

"Ya Allah astaghfirullah..." Bunda sudah lelah menghadapi anak bungsunya itu. "Kalau kamu mau tetap disini janji dulu sama Bunda untuk jangan berantem lagi. Kalau Bunda sampai dipanggil lagi ke sekolah, kamu sekolah di kampung aja."

"Janji, Bunda. Maafin Zafran."

"Sudah gak apa-apa, Nak. Bunda pulang dulu."

Zafran menyalimi tangan Bunda dan mengantarkannya sampai ke depan rumah. Bunda tidak menginap karena ada urusan lain di kampung.

"Kalian semua Bunda minta tolong jagain dan awasin Zafran. Kalau anaknya berulah, telpon aja Bunda, ya."

"Iya siap, Bun."

"Berat banget permasalahan aku, huhu." keluh Zafran ketika mereka semua telah masuk ke dalam kos.

"Zafran." panggil Dika.

"Kenapa bang?"

"Seberat apapun masalahmu bukan masalahku."

"Ingin berkata kasar."

"Hahaaa."

🐺🐺🐺

Sudah empat hari diskors, Zafran suntuk di kos. Melihat Aidan, Heksa, dan Juan ke sekolah membuat ia juga ingin ke sekolah namun keadaannya tak mendukung. Hal yang ia lakukan mandi, sholat, makan, tidur, main hp. Seperti itu berulang kali.

Zafran juga membantu Jaka dan Dika mengerjakan tugas kuliah mereka sebagai tukang ketik untuk mengisi waktu luangnya.

Tapi tetap saja kadang Zafran bosan sekali. Ia juga mau saja disuruh jadi tukang pijat oleh Haikal, jadi asisten  Indra di dapur, mengangkat galon bergantian dengan Harsa, membeli keperluan penghuni kos ke warung, membantu Angga untuk shooting endors nya, hingga menemani Yoga menonton film.

Seperti hari-hari itu juga dimana Zafran membantu Aidan, Jaka dan Harsa. Dengan senang hati, Zafran membantu mereka.

"Zafran."

"Kenapa, bang Aidan?"

"Bisa tolong bantuin aku angkatin kardus ini ke bawah tangga gak?"

"Bisa bisa. Tangga mana bang?"

"Tangga akhirat."

"AHAHAHAAA, bang Aidan bisa bercanda juga, ya." Zafran menghapus air matanya karena tertawa terbahak-bahak.

Sementara Aidan hanya tersenyum tipis dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

Di hari lain, ketika Zafran membantu Jaka mengerjakan tugas laporan di kamarnya. Mereka sempat adu mulut.

"Bang, ini yang bener aja lah takut salah nanti terus dimarahin dosen nya abang." gerutu Zafran sembari mengetik di laptop.

"Kan aku juga yang dimarahin bukan kamu." Jaka fokus pada kertas dihadapannya.

"Ih! Enggak gitu konsepnya, abang."

"Otak kamu, Zafran."

"Kenapa otak ku?"

"Cuma setengah sendok nyam nyam."

"Bang Jaka, sedikit lagi."

"Sedikit lagi apa?"

"Sedikit lagi aku pukul."

"Eittss kagak boleh begitu sama yang lebih tua."

Selesai membantu Jaka walau diselingi adu mulut, Zafran kembali ke kamarnya kemudian dihampiri oleh Harsa.

"Eh ada bang Harsa, ada apa nih bang?"

"Lagi sibuk gak?"

"Enggak bang, mau minta tolong apa?"

Harsa memberikan uang lima puluh ribu kepada Zafran yang sempat membuat lelaki itu agak heran.
"Tolong beliin bakso 2 bungkus di depan komplek, ya. Satu buat aku, terus satunya buat kamu."

"Oke siap, bang. Ini kembaliannya gimana?"

"Balikin lagi."

"Pelit."

"Emang."

"Kuburannya sempit."

"Udah nyewa lahan."

"Astaghfirullah."

Beberapa hari kemudian tepatnya saat hari keenam diskors, Zafran dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan bersama Heksa.

Betapa bahagianya ketika Zafran mengetahui siapa perempuan itu. Ia adalah Juwita, teman sekelas Zafran. Dan perempuan yang diam-diam selama ini Zafran sukai.

"Hai, Zafran. Gimana kabarnya?" sapa Juwita seraya tersenyum manis.

Yang disapa tentu saja gembira. "Alhamdulillah baik banget dong. Yuk duduk sini."

Juwita mengangguk lalu duduk di teras bersama Zafran.

"Zaf, aku mau masuk dulu, ya. Nanti kalau udah selesai ngobrolnya panggil aja, biar aku yang nganterin Juwita pulang." ucap Heksa.

"Eh enggak usah, Sa. Kamu istirahat aja oke? Aku aja yang anterin Juwita."

"Oke."

Juwita merasa tidak enak hati, "maaf banget jadi ngerepotin kamu nganterin pulang."

"Enggak apa-apa, tenang aja. Mau dianterin pulang setiap hari juga boleh banget."

Sa ae bocah.

"Btw, kok kamu bisa ikut sama Heksa kesini?"

"Soal itu sebenarnya ada yang mau aku bilang sama kamu. Terus pas aku ngomong sama Heksa di sekolah tadi, dia bilang mending ikut aja ke kos dan ketemu langsung sama Zafran. Jadi aku ikut sama dia." Juwita mengeluarkan map biru dari dalam tasnya dan menyodorkan pada Zafran. "Berhubung Ibu Tini gak bisa ikut kesini karena ada berhalangan sesuatu jadi beliau yang meminta aku kesini untuk menyampaikan perihal lomba olimpiade sejarah tingkat nasional."

"Hah? Serius?" tanya Zafran tak percaya.

"Iya, serius. Nih ada nama kamu di SK."

Zafran membaca Surat Keputusan dari Kepala Sekolah itu dan ada empat nama termasuk nama dirinya.

"Gimana bisa?"

"Bisa dong karena Bu Tini bilang kamu itu jago pelajaran sejarah. Nanti pas kamu udah hadir sekolah kita langsung berangkat buat seleksi tingkat provinsi dulu. Kalau sudah lulus, kita langsung ke Yogyakarta untuk tingkat nasional nya."

Zafran masih mencerna apa yang dikatakan oleh Juwita. Ia antara percaya dan tidak percaya karena jika berhasil di tingkat provinsi, maka ini adalah pertama kalinya Zafran mengikuti suatu lomba di tingkat nasional.

"Percaya aja ini serius, Zafran. Aku gak bohong. Nanti kita dikasi bimbingan dan uang saku dari dinas pendidikan."

Setelah menjelaskan beberapa hal penting, Juwita pamit pulang dan tentu saja diantar oleh Zafran.

"Makasih banyak ya, Zafran."

"Iya, sama-sama."

"Nanti kalau mau main ke sini kapan-kapan juga boleh."

"Wah siap, makasih, Ta."

"Oke. Aku masuk dulu, ya. Kamu hati-hati di jalan."

"Siap, Ta. Makasih."

"Sama-sama."

"Makasih."

"Kok makasih lagi?"

"Biar bisa sama-sama lagi."

Juwita tersenyum canggung sementara Zafran masih setia menatap gadis manis itu. Lalu Juwita memilih masuk ke dalam rumahnya.

"Hehe, gini ya rasanya jatuh cinta. Bego banget."

"Woy!"

Zafran tersentak ketika Angga menghampiriya.

"Loh bang Angga kenapa bisa ada disini?"

"Abis ketemu partner endors tadi kebetulan tokonya dekat sama rumah gebetanmu." Angga menatap jail ke arah rumah Juwita lalu ke arah Zafran.

"Apaan sih, bang?"

"Cieee ciieeee, ditunggu kabar jadiannya, ya."

"Ditunggu juga kabar move on nya ya, bang." cibir Zafran.

Tanpa disuruh Angga langsung naik ke motor Zafran. Mengalihkan pembicaraan. "Ih sudah sudah! Jangan bahas itu mending kita pulang."

"Iya iya, abang."

🐺🐺🐺


Setelah melewati berbagai proses dan tahap seleksi akhirnya Zafran dan kawan-kawan berhasil lolos ke lomba olimpiade sejarah tingkat nasional. Bunda yang mendengar kabar bahagia ini sungguh senang. Bahkan beliau juga ikut mengantarkan Zafran bersama teman-teman kos yang lain ke bandara. Mereka terus memberikan dukungan dan support pada Zafran disana.

🐺🐺🐺

Pada saat pengumuman lomba olimpiade, Zafran sangat gugup. Ia takut jika tidak bisa membawa kemenangan kepada sekolahnya dan tentu saja daerah tempat tinggalnya.

Suara MC terdengar nyaring memenuhi aula di siang hari itu.
"Juara dua lomba olimpiade sejarah tingkat nasional dari SMA Harapan Bangsa."

Sontak Zafran dan kawan-kawan termasuk Juwita mengucapkan syukur dan bahagia sekali.

Sebagai perwakilan Zafran naik ke panggung untuk menerima hadiah dan penghargaan kemudian foto bersama panitia dan kawan-kawan.

Sekembalinya dari Yogya, Zafran disambut oleh sebelas teman setianya. Mereka mengucapkan selamat dan memberikan hadiah-hadiah kepada Zafran atas prestasinya. Mereka juga membuat acara selamatan atas kepulangan Zafran. Tak lupa nasi tumpeng menjadi menu wajib dalam acara itu.

"Makasih banyak ya abang-abang dan semuanya juga udah buatin acara ini. Maaf banget ngerepotin kalian." ucap Zafran yang sempat menangis terharu namun bukannya dihibur ia justru diledekin.

"Iya, sama-sama. Tenang aja. Ini kami buat semuanya dengan kerja sama jadi kami harap kamu suka." kata Dika.

"Aku suka banget, bang."

"Ayo kita mulai dengan berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Semoga kita semua diberikan kesehatan, kebahagiaan dan selalu bersyukur kepada Tuhan. Berdoa dimulai." ucap Haikal lalu mereka menundukkan kepala dan berdoa di dalam hati.

Zafran menyadari satu hal bahwa ia sangat bersyukur memiliki teman-teman sebaik mereka semua. Selalu memberikan support dan dukungan. Ia juga percaya bahwa proses setiap orang berbeda-beda. Nikmatin saja walaupun kadang sulit karena selama kita percaya dengan apa yang kita lakukan, berarti kita sudah mewujudkan itu.





presented by:
rhmaah

Continue Reading

You'll Also Like

Cafuné By REDUYERM

General Fiction

89.4K 8.5K 32
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
110K 7K 22
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
SARLA By Ini Al

General Fiction

864K 35K 91
[ Follow sebelum membaca!] [Happy reading ] (Lengkap) ⚠️CERITA HASIL PEMIKIRAN SENDIRI⚠️ ⚠️PLAGIAT HARAP MENJAUH!!, MASIH PUNYA OTAK KAN?! MIKIR LAH...
1.2M 49.5K 44
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...