Zargan ; ANNOYING HUSBAND βœ”

By dianaapsr

163K 9.1K 2.4K

"Pengkhianat harus mati!" Karena kejadian pada malam hari itu, tepatnya saat Alara tak sadarkan diri. Berbaga... More

PROLOG
1 | Melepas atau Bertahan
2 | Perjanjian tanpa Pilihan
3 | Dari Zargan untuk Alara
4 | Pertengkaran Kecil
5 | Rooftop dan Kisahnya
6 | Milik Zargan, Selamanya
7 | Malam Spesial
8 | Gara-gara Kesiangan
9 | Nothing Special
10 | Hukuman dan Peraturan dari Zargan
11 | Selalu tentang Masa Lalu
12 | Pertemuan di Sisi Jembatan
13 | Penyelidikan
14 | Perdebatan di Sore Hari
15 | Tinggal Berdua
16 | Perubahan Alara
17 | Kecurigaan Zergan
18 | Serangan Gravator Black
19 | Perasaan Zergan
20 | Interaksi Sederhana
21 | Taman dan Perselisihan
22 | Hampir Usai
23 | Perhatian Kecil
24 | Merasa Kehilangan
25 | Sedikit Kisah tentang Anyelir
26 | Bukti Kejadian
27 | Zargan untuk Alara
28 | Timbul Rasa
29 | Kejahilan Zargan
30 | Tak Lagi Sama
31 | Terungkap
32 | Di Toko Kue
33 | Pelaku Sebenarnya
34 | Trauma Masa Lalu
35 | Damai
36 | Pulihnya Hubungan
37 | Balap Liar
38 | Sidang Keputusan
39 | Flashback
40 | Di Proyek Tua
41 | Pangeran Kecil
42 | Not a Good Papa
43 | She Look Pretty
44 | Sengaja Bertemu
45 | Hidup Baru
Epilog

46 | Gagal Balapan

5.1K 174 15
By dianaapsr

Lima tahun kemudian ....

"Sekarang banget?"

Setelah mendapatkan jawaban dari orang di seberang sana, Zargan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Suara aliran air juga masih terdengar dari arah kamar mandi sehingga senyuman lebar tampak mengembang.

"Oke, gue siap-siap dulu."

Segera saja Zargan mematikan sambungan telepon tersebut dan mengambil jaket kulit yang sudah lama tidak pernah ia sentuh. Jaket yang di belakangnya terdapat logo Dravagos. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu yang membuatnya harus mendekam di penjara, Alara memang melarang keras Zargan untuk ikut aksi balapan lagi. Namun, Zargan masih suka mencuri kesempatan di saat-saat tertentu, seperti sekarang ini.

Zargan tidak peduli jika nanti Alara akan marah dan telinganya menjadi korban atau lengannya harus rela terkena cubitan-cubitan maut dari Alara, yang terpenting adalah rasa rindu terhadap kebiasaan buruknya itu bisa tertuntaskan.

Beruntungnya Langit saat ini masih menuntut ilmu di sekolah TK sehingga Zargan bisa pergi dengan hati yang lebih tenang. Beruntungnya lagi, balapan kali ini dilaksanakan pagi hari, kalau sore atau malam, sudah dipastikan Zargan tidak akan mampu berkutik.

Zargan menoleh ke arah pintu kamar mandi, kemudian tersenyum tipis seraya melambaikan tangannya. "Dadah, Ara."

'Zargan'

"Widih, Papa Muda ke mana aja? Kagak pernah ikut balapan." Suara Galen langsung menyambut pendengaran Zargan saat dirinya baru saja sampai.

Zargan turun dari atas jok motor, kemudian melepaskan helm-nya sejenak. Lagi pula, waktu menuju pertandingan masih ada sekitar 20 menit lagi.

"Langit nempel mulu sama gue. Ara juga sama, semenjak gue masuk penjara, dia sensitif banget kalo denger semua hal yang menyangkut balapan. Trauma mungkin, ya? Takut kejadian itu terulang lagi."

"Ini gak bisa dimulai sekarang? Bentar lagi Langit pulang sekolah."

"Gue jadi pengin punya anak juga, tapi Shellena gak mau diajak bikin."

"Halalin dulu, baru lo ajakin bikin anak!" Antariksa menyeletuk, yang jelas saja membuat mereka tertawa. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimat itu, hanya saja salah yang menyampaikan.

"Mulai sekarang, bisa kagak?"

"Bisa-bisa."

Setelah itu, Keenan berteriak untuk memberikan arahan bahwa pertandingan akan segera dimulai, sementara Zargan sudah kembali menggunakan helm dan melajukan motornya ke arena balapan, memecah kumpulan orang yang sudah mulai berbaris di sisi arena.

Sembari menunggu lawannya, Zargan mulai memainkan gas motornya. Namun, belum juga pertandingan itu terlaksana, Langit sudah berdiri di hadapan motornya.

"Loh? Kamu ngapain?"

Masih lengkap dengan seragam sekolah TK beserta tas di gendongannya, Langit memeluk bagian depan motor Zargan, seolah melarangnya untuk ikut balapan.

"Papa, ayo, pulang!"

"Bunda kamu mana?"

"Bunda yang nyuruh aku nyamperin Papa. Aku juga mau main sama Papa."

Lantas, Langit berjalan ke sisi Zargan yang masih duduk di atas jok motor. Ia menarik-narik ujung jaket yang Zargan pakai, sesekali juga berusaha meraih tangan Zargan.

"Papa ...."

"Kamu main sama Bunda dulu, ya? Papa mau balapan, sebentar aja. Janji, abis itu Papa langsung main sama Langit."

"Gak mau sama Bunda, maunya sama Papa! Langit juga mau diajarin main motor kayak Papa."

Zargan menoleh ke sekitar yang sudah benar-benar fokus pada dirinya. Zargan menghela napas, kemudian menoleh ke arah lawannya.

"Tanding sama temen gue, deh. Gue mau ngurusin anak gue dulu."

Zargan melepas helm-nya, meminta Galen untuk menepikan motornya, kemudian menggendong Langit. Zargan berjalan menuju tempat yang ditunjukkan Langit, di mana Alara berada. Beberapa kali Zargan mendengar perempuan yang berusaha mengambil perhatian Langit saat ia melewati kerumunan penonton. Wajah Langit memang terlihat menggemaskan. Jadi, wajar jika mereka merasa ingin berinteraksi dengan Langit.

"Ara ... aku mau balapan sebentar aja, Langit sama kamu dulu, ya?"

"Kenapa? Udah gak mau jagain Langit lagi? Udah gak sayang sama Langit?"

"Bukan gitu, setiap hari aku, kan, suka main sama Langit. Aku butuh waktu sebentar aja buat balapan."

Zargan menurunkan Langit dari pangkuannya, kemudian berganti peran, Zargan merengek di depan Langit supaya Langit mau membujuk Alara agar ia diperbolehkan ikut balapan.

Zargan duduk di jalan dengan kedua kaki terbuka. Ya, selayaknya anak kecil yang sedang merajuk.

"Langit ... biarin Papa balapan sebentar aja, ya? Bujuk Bunda juga biar Papa dibolehin balapan, Papa janji gak akan kenapa-kenapa. Nanti kalo udah selesai balapan, Papa main sepuasnya sama kamu."

"Gak! Kamu, tuh, kenapa gak ada kapok-kapoknya, sih, Zar?! Setelah kejadian beberapa tahun lalu, kenapa kamu masih gak bisa melepaskan kebiasaan buruk kamu?"

"Aku balapannya, kan, gak di jalan raya, Ra."

"Aku gak peduli! Mau balapan di jalan raya, di arena balap, di sawah, di dalem laut, bahkan di dalem perut bumi sekalipun, aku tetep gak akan ngebolehin! Kamu sekarang juga udah dewasa, Zar, harusnya kamu bisa milih-milih mana yang baik buat kamu dan mana yang enggak!"

"Aku gak mau kamu balapan bukan karena aku gak ngebolehin kamu melakukan hal yang kamu sukai, tapi aku cuma takut kamu kenapa-kenapa! Kamu harusnya juga ngerti, gimana rasanya ditinggal sama suami sendiri waktu aku hamil gede, gimana rasanya mengurus semua kasus kamu, berusaha bebasin kamu dari penjara, berusaha ngumpulin bukti yang menunjukkan kalo kejadian itu bukan sepenuhnya kesalahan kamu!"

Zargan langsung bangkit saat melihat amarah Alara yang tidak terkendali, bahkan air mata sudah mengalir, wajahnya merah padam dengan suara yang sedikit gemetar. Zargan yakin bahwa ingatan itu kembali berputar di dalam kepala Alara sehingga perempuan itu begitu marah.

"Maaf, aku egois banget. Maaf, aku gak pernah mikirin perasaan kamu soal itu, aku janji gak akan ikut balapan lagi, tapi kamu jangan nangis lagi, ya?"

Zargan mengusap air mata yang masih mengalir, kemudian menarik tubuh Alara ke dalam pelukannya. Zargan mengelus lembut punggung Alara, berusaha meredakan emosinya.

"Papa sama Bunda kalo lagi berdua, Langit suka gak dianggap. Pelukannya berdua aja, Langit gak dipeluk!" kata Langit seraya menekuk bibirnya.

Alara dan Zargan terkekeh pelan, kemudian mengubah posisinya menjadi jongkok, menyamakan dengan tubuh Langit yang pendek.

"Sini, Bunda peluk." Alara memeluk Langit lebih dulu, kemudian diikuti oleh Zargan.

'Zargan'

"Langit udah laper, belum? Nanti mau Bunda masakin apa?"

"Terserah Bunda, Langit mau makan semua makanan yang Bunda masak."

Semenjak menikah dengan Zargan, Alara berusaha keras untuk bisa masak walaupun pada awalnya sering kali gagal, terkadang terlalu asin, terkadang kurang asin, terlalu manis, bahkan pernah sampai gosong, tetapi Zargan yang selalu menghargai masakannya dengan cara memakan apa pun yang Alara masak, tidak peduli dengan rasanya yang tidak enak, membuat Alara makin semangat untuk belajar dan sekarang Zargan lebih menyukai masakannya, daripada makan di luar.

"Nanti Bunda masak, kamu main sama Papa, ya?"

"Siap, Bunda!" Langit memberi hormat pada Alara dan membuat perempuan itu merasa gemas, kemudian mencubit pelan pipi Langit.

Langkah mereka berhenti saat melihat kedua orang tua Zargan sudah menanti di depan pintu apartemen. Raut wajah Zargan sudah berubah, ia langsung menekan kode di sisi pintu hingga bisa terbuka. Ia menyuruh Langit untuk masuk dan mengganti pakaiannya secara mandiri.

Berbeda dengan Zargan, Alara justru menyambut mereka dengan baik. Alara mencium tangan mereka, kemudian mempersilakannya untuk masuk ke dalam apartemen.

"Ara bikinin minum dulu, ya?"

"Sebentar, Ra."

Rendra menghentikan pergerakan Alara, kemudian meminta Alara untuk duduk di dekat mereka.

"Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, Zargan, dan juga Langit. Maaf karena selama ini saya terlalu keras, saya benar-benar gak peduli dengan kalian."

Rendra beralih kepada Zargan yang sejak tadi hanya diam. Terlihat jelas bahwa Zargan sedang berusaha menahan amarahnya.

"Papa minta maaf, Zar. Selama ini Papa terlalu keras dalam mendidik kamu, seharusnya Papa gak perlu membedakan perlakuan antara kamu dan Zergan. Kalian sama-sama anak Papa, tapi Papa terlalu sering melukai kamu. Papa bener-bener minta maaf dan Papa harap kamu masih mau memaafkan Papa."

"Papa mau ketemu sama cucu Papa, boleh?"

Zargan berdecih pelan, "Buat apa? Langit gak pernah tahu kalo dia punya kakek, selain Papa Xander. Dari mulai Langit masih di dalam kandungan sampai Alara melahirkan, Papa juga gak pernah sekalipun dateng atau sekadar nanyain keadaan Alara, nanya gimana kondisi anaknya, normal atau ada kekurangan, sekarang umur Langit udah 5 tahun, Pa. Terus Papa baru mau nemuin? Papa baru menganggap Langit sebagai cucu Papa? Selama ini ke mana aja, Pa?"

"Lagian, tadi juga Papa udah lihat Langit, 'kan? Gak perlu nemuin lagi, Langit juga baik-baik aja, dia anak yang pintar, penurut, gak pernah menyusahkan orang tuanya, dan gak nakal, gak kayak Zargan, yang selalu menyusahkan Papa dan Mama, bikin malu kalian."

"Gak apa-apa kalo Om mau ketemu sama Langit. Nanti Ara panggilin Langit nya."

"Ara!"

"Gak baik musuhan sama orang tua, Zar. Aku tahu kamu pasti kecewa, aku juga sama, kok, aku juga sakit karena selama ini gak pernah dianggap sebagai menantu Papa kamu, aku juga kecewa waktu Langit bener-bener gak dipedulikan, tapi kita harus bisa berdamai, 'kan? Gak ada salahnya buat memaafkan, apalagi mereka orang tua kamu, tetep aja mereka yang menjamin hidup kamu sampai kamu bisa berusaha mencari uang sendiri."

Alara menarik kedua sudut bibirnya. Ia tahu bahwa Zargan masih menyimpan rasa kesal sehingga laki-laki itu memilih diam.

"Gak apa-apa, pelan-pelan aja. Nanti juga aku yakin kamu bisa memaafkan orang tua kamu sepenuhnya, kamu gak benci mereka, kamu cuma ngerasa kecewa aja dan itu wajar."

"Langit! Sini, Sayang! Bunda mau ngomong sesuatu."

Langit yang memang tidak diperbolehkan keluar dari kamar oleh Zargan, akhirnya menuruti perintah Alara. Ia berjalan dengan ragu karena takut Zargan marah.

"Gak apa-apa, sini duduk di samping Bunda."

"Bunda mau ngenalin kamu sama seseorang, ini Kakek kamu. Kalo yang ini, udah tahu, ya? Soalnya Langit juga pernah ketemu beberapa kali."

"Kakek aku bukan yang ini, Bun."

"Ini Kakek dari Papa, yang biasanya main sama Langit itu dari Bunda, papanya Bunda. Kalo Kakek Rendra ini, sibuk banget, selama beberapa tahun kemarin tinggal di luar negeri."

"Di luar negeri, Bun?"

"Iya, soalnya harus ngurus perusahaan. Kakek kamu ini pemilik perusahaan besar, loh, lebih dari papanya Bunda makanya sibuk banget dan gak sempet nemuin Langit. Ini baru banget sampe Indonesia dan langsung dateng ke sini karena kangen banget sama Langit."

Mendengar kalimat yang dikatakan oleh Alara, berhasil membuat mata Rendra berkaca-kaca. Alara rela membohongi Langit agar Langit tidak membencinya.

"Wah, hebat, ya, Kakek! Bisa sampe ke luar negeri."

"Sekarang Langit cium tangannya, terus nanti mau main sama Kakek dan Nenek kamu, ya? Biar Papa bisa istirahat sebentar, skripsinya juga belum selesai sepenuhnya, iya, 'kan, Zar?"

Zargan mengangguk singkat, kemudian memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain, sedangkan Langit mengikuti perkataan Alara sebelumnya. Ia mencium tangan Rendra dan Isna.

"Kakek sayang banget sama Langit, ya? Kakek pasti masih capek, tapi mau langsung nemuin Langit, terus main sama Langit."

Rendra mengangguk seraya berusaha menampilkan senyuman. "Iya, Kakek sayang banget. Gimana kalo kita main ke mall? Nanti Kakek beliin semua yang Langit mau."

"Boleh, Bunda?"

"Boleh."

"Kalo Papa?" Langit menatap Zargan dengan penuh harap, cukup lama menunggu hingga akhirnya anggukan Zargan berikan.

"Makasih, Papa! Makasih, Bunda! Langit pergi dulu." Langit mencium tangan Zargan dan Alara secara bergantian.

"Jangan bikin Langit nangis," ucap Zargan sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar.

'Zargan'

detik-detik menuju kata tamat wkwk

btw, aku udah nyari kalo mantan napi masih bisa kuliah, ya, terus Alara hamil, tuh, awal2 kelas 11. jadi, pas kelas 12 akhir, Langit udah setahun lebih dan pas umur 5 tahun, mereka lagi semester akhir kuliah.

Na

Continue Reading

You'll Also Like

190K 11.1K 64
| t y p o b e r t e b a r a n . | β€’belum direvisi, mohon maaf kalo banyak kesalahan dalam penulisanβ€’ α΄‘α΄€Κ€Ι΄ΙͺΙ΄Ι’ (𝟷𝟽+) ᴄᴇʀΙͺα΄›α΄€ ΙͺΙ΄Ιͺ α΄α΄‡Ι΄Ι’α΄€Ι΄α΄…α΄œΙ΄Ι’ Κ™α΄€Κœα΄€sα΄€ α΄‹α΄€s...
9.4K 434 29
"dijodohkan dengan Varo bukan permintaan Lea, tapi Lea bahagia" "Varo kapan buka hati buat Lea? apa Varo nggak bahagia dijodohin sama Lea." "Varo it...
4.1M 313K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
125K 10K 73
[Follow sebelum baca] PEMBACA YANG BAIK YAITU, PEMBACA YANG DAPAT MENGHARGAI KARYA PENULISNYA. ***** SMA MUTIARA mempertemukan Mita dengannya, Lelak...