The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Tiga Belas

62 2 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and commentnya ya.
Terima kasih
###

Audrey

Hidup lajang mungkin membosankan, tapi damai. Hingga kau berfikir melepaskannya terasa sia-sia.

***

Jevan dan Gavin bukan kembar identik. Audrey dengan mudah mengenali satu dengan yang lainnya. Karena fiture wajah mereka yang berbeda. Namun, ketiga saudara itu memiliki hidung dan mata yang sama. Audrey masuk ke ruangan Jevan dengan diikuti dua pria kekar dibelakangnya. Ruang Jevan tak terlalu besar, cukup untuk dua sofa Loveseat, meja kerja, satu lemari buku yang penuh pajangan dan buku kedokteran, westafel, dan meja kecil berisi pemanas air, paper cup, dan coffee sachet.

"Apa aku harus mengikuti rapat pleno ini? Aku benci rapat. Lebih baik kau memintaku menggantikanmu memeriksa pasien dari pada kau memintaku duduk dan mendengarkan kau berbicara." Jevan melempar tetapan mencela kearah Gavin. Gavin bersungut, dan menghempaskan tubuh besarnya di sofa ruang Jevan. Laki-laki itu mengangkat kakinya di meja dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. "Aku baru selesai menyelamatkan nyawa, dan terkurung di ruangan penuh radiasi dan teknologi selama lebih dari 6 jam. Aku butuh interaksi dengan manusia, aku butuh udara segar. Bisakah kita mempercepat ini. Libidoku minta di lepaskan."

"Sekali lagi kau mengatakan sesuatu tentang libido dan malam panasmu, aku akan mencekikmu." Jevan melepas jas putihnya, menyampirkannya di kursi. Lalu melangkah ke westafel mencuci wajahnya. Berdiskusi dan mengoborol dengan serius bersama Gavin nampaknya menghabiskan sebagian energinya lebih banyak dibandingkan energi yang digunakannya di rumah sakit.

"Kafein?" tawar Jevan lalu melangkah ke sudut ruangannya, tempat pemanas air dan kopi.

"Boleh." Arkan mengambil majalah kesehatan di atas meja, dan membolak balik halamannya tak berminat dengan celetukan Gavin. Dia tahu Gavin paling benci duduk dan berdiam diri. Dia orang yang bebas, dan tak suka terikat. Meski begitu ia salut dengan adiknya yang bisa bertahan bekerja dirumah sakit. Ini suatu kemajuan untuk Gavin yang tak suka di kurung dalam ruangan ber-AC.

Jevan membuat empat gelas kopi dengan cepat, tak ingin menambah gerutuan Gavin yang terkurung di ruangannya.

Jevan duduk di sofa, bergabung dengan ketiganya. "Tolong jaga Emily selama seminggu, aku tak bisa membiarkan dia tinggal di apartemen lebih lama lagi." Jevan menyesap kopinya, lalu menaruh paper cup itu di meja. "Bisa-bisa remaja itu rusak karena Gavin." Jevan melirik Gavin kesal, tapi pria itu terus menyesap kopinya tanpa terganggu atau merasa bersalah.

"Tunggu, kenapa Emily tinggal di apartemenmu?"

"Sonya menitipkannya padaku minggu lalu, rencananya ia akan pergi ke rumah keluarganya karena ada keperluan, harusnya hari ini dia pulang, tapi sekarang dia terbaring di rumah sakit. Aku tak bisa membiarkan Emily tinggal di rumah besar itu sendirian. Minggu ini jadwalku sibuk. Aku tak ingin meninggalkan Emily berdua dengan Gavin. Papa sedang keluar negeri mengikuti seminar. Sonya bilang seminarnya akan selesai minggu depan. Jadi aku minta tolong padamu merawat Emily sampai papa pulang."

"Biar ku ulangi lagi. Kau mau aku merawat Emily? Selama seminggu? Di rumahku? Oh yang benar saja." Arkan menutup majalahnya, menaruh benda itu di meja. "Tidak, tidak bisa. Aku tak bisa merawat Emily. Aku tak punya banyak kesabaran menghadapi gadis remaja." Arkan menyugar rambutnya. "Aku bisa membantumu selain itu."

"Tidak ada lagi yang kubutuhkan selain kau merawat Emily. Aku terlalu sibuk minggu ini. Aku tak bisa pulang dan mengeceknya." Jevan mengatakannya dengan nada datar, mengabaikan rasa keberatan kakaknya.

"Kau bisa menitipkan Emily di rumah Eyang."

"Rumah Eyang terlalu jauh dari sekolahnya. Rumahmu lah yang cukup dekat. Dia tidak akan kesulitan pulang-pergi kesekolah atau ke rumah sakit."

Gavin terkekeh puas. "Itulah kekurangan mempunyai rumah di lokasi strategis. Kau beruntung, dude." Gavin menarik senyum jahil di wajahnya. Sambil menghirup kopi dia kembali melanjutkan. "Emily gadis yang lucu, kau bisa mengajarinya banyak hal. Dia tak kalah menarik dari Audrey."

Dengan jengkel Arkan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Lalu kenapa tak kau saja yang menjaganya?"

"Bukan gagasan yang bagus meninggalkan Emily bersama Gavin. Dia bisa meracuninya. Terakhir kali aku lihat Emily masih hidup setelah mencoba masakan Gavin yang tak bisa kujamin rasanya." Jevan menghabiskan kopinya. "Dan aku tak bisa menjamin Emily tak teracuni otak kotor Gavin." Jevan berdiri, menambah kopi digelasnya. "Dia melanjutkan pertualangan cintanya dan malam panasnya meski Emily di apartemen. Ku pikir aku bisa merawat Emily selama beberapa hari bergantian dengan Gavin, tapi aku salah. Dia merusak kepolosan Emily."

Arkan menatap Gavin dengan tatapan menuduh. "Kau benar-benar brengsek. Kau bisa mencari hotel, kenapa harus di apartemenmu?"

"Hei, hei, aku tahu aku brengsek" Gavin mengangkat tangan pasrah dengan dua tatapan membunuh dari dua saudaranya. " Yah, itu bukan sepenuhnya salahku. Kami terbakar gairah. Dan aku tak sadar Emily di kamarnya." Gavin membela diri, dia dengan santai merebahkan dirinya di sofa. Sofa yang menurut Audrey besar dan lebar itu penuh dengan badan Gavin.

Audrey melirik Gavin yang menatap Arkan seolah mencoba mengatakan 'jangan todongkan aku dengan mata itu'. Audrey teringat satu kalimat dari salah satu buku favoritnya 'otak manuisa telah menjadikan tugas organisme paling mendasar, yaitu reproduksi menjadi urusan yang berbahaya'. Kalimat itu begitu menggambarkan Gavin saat ini. Audrey kalut ketika menyadarinya.

"Setidaknya gadis itu tahu apa yang dilakukan wanita dewasa di rumah pria." Gavin menatap Audrey dengan penuh indikasi dari kata-katanya.

Audrey tersenyum penuh arti dan meminum kopinya. "Sayangnya aku tidak sama dengan wanita dewasa yang melakukan apa yang kau ajarkan pada Emily di rumah pria." Suara itu lembut dan ramah. "Kau mengajarkanya banyak hal-hal baik." Audrey menyindir Gavin. Pria itu duduk dari posisinya dan tertawa sambil memegangi perutnya.

"Aku tersanjung."

"Itu bukan pujian." Wajah datar Audrey membuat Gavin kembali terkekeh.

"Arkan, kau mendapatkan lawan yang tangguh." Katanya dan memukul bahu kakaknya. "Kau mendapatkan kucing betina. Penuh cakar dan imut."

"Apa lagi yang kau ajarkan pada Emily?" Arkan mengibaskan tangan adiknya, tak mempedulikan kekehan geli Gavin.

"Well, tidak banyak." Arkan menatap sanksi pada jawaban Gavin. "Aku serius, tidak banyak yang terjadi, Emily tinggal 4 hari di apartemen kami."

"Pokoknya, Emily tidak bisa lagi bergabung satu ruangan dengan Gavin. Tidak, ketika tidak ada yang mengawasi mereka. Dan situasi saat ini tak satupun bisa mengawasinya." Putus Jevan, dia kembali mendudukan diri di sofa.

"Apa kita tidak bisa menitipkan Emily di rumah saudara, atau teman sekolahnya. Kurasa itu lebih nyaman baginya dari pada tinggal bersamaku."

"Apa kau ingin aku menitipkan Emily ke rumah saudara jauh kita ketika dia punya saudara kandung yang rumahnya lebih dekat dengan sekolahnya?"

"Aku tak yakin bisa menjaga Emily selama seminggu. Aku tak tahu apapun merawat anak-anak." Arkan mendesah pasrah. Dia sadar dia kalah dari Jevan. Dia berusaha menawarkan solusinya, tapi tak satupun yang menurutnya lebih bagus dibandingkan tinggal dirumah Arkan.

"Emily bukan anak-anak. Dia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, dan kau punya Audrey untuk membantumu. Bukankah dia asisten di rumahmu?" Jevan menatap Audrey meminta persetujuan. Dan Audrey mengangguk setuju.

"Aku tidak masalah merawat Emily, menambah satu menu makanan dan piring di meja makan tidaklah susah."

Arkan menatap Audrey. Dia berlama-lama memandang wanita itu. Dia tak ingin menambah beban Audrey. Tapi Arkan lebih tak ingin lagi menambah keterkaitan dengan keluarga baru papanya. Arkan bukan tak ingin merawat Emily, tapi mengingat dia anak Sonya dan papanya, yang juga turut andil dalam pertengkaran orang tuanya, Arkan tak yakin ia bisa bersabar dan berlapang dada merawat Emily sebagai adiknya. Itu juga alasan Arkan jarang berkunjung ke rumah papanya. Di satu sisi, Emily tetaplah adiknya.

"Aku sama brengseknya dengan Gavin, aku tak yakin dia akan nyaman dan terhindar dari kontaminasiku." Arkan kembali mencari celah untuk meyakinkan Jevan.

Jevan mendesah, menekan hidungnya. "Setidaknya kau masih waras. Kau sadar kau brengsek, itu kemajuan. Aku lebih suka orang yang sadar diri merawat Emily. Aku yakin dia aman dari kontaminasi apapun yang kau maksud."

Tidak, Arkan tak yakin Emily aman bersama manusia seperti dirinya. "Aku bukan kakak yang baik sepertimu Jevan. Menurut orang-orang disekitarku, aku didiagnosis dengan sebutan pria perfectionist dan tak peduli. Aku tak bisa menyediakan waktukku lebih banyak untuk mengatar jemputnya ke sekolah. Jadi ilusi aku akan merawat Emily lebih baik dibandingkan Gavin tidaklah tepat. Meski itu hanya satu minggu, gadis itu akan menangis sesegukan di rumahku."

"Kau tak perlu mengantar jemputnya. Supir papa yang akan melakukannya. Aku sudah memberi tahu beliau. Dan Emily tak ada sangkut pautnya dengan diagnosismu. Dia bisa mengerjakan tugas sekolahnya sendiri, dia makan sendiri dan ke sekolah sendiri. Kau hanya perlu memberikannya tempat menginap dan teman. Dan aku tak terlalu khawatir kau akan berlaku brengsek seperti Gavin, karena ada Audrey yang akan mengawasimu. Aku jadi lebih percaya karena dia jadi asistenmu." Arkan mengerang rendah. Kemudian melorot di sofa, dan menutup matanya.

"Sejujurnya kau pilihan yang paling tepat saat ini. Kau punya Audrey yang bisa membantumu." Sambil memandang kakaknya. Jevan menyibak rambutnya. "Dan aku tak yakin papa akan bisa merawat Emily. Mungkin Emily bisa tinggal lebih dari seminggu di rumahmu. Setidaknya hingga Sonya pulang dari RS."

Kegusaran dan kejengkelan Arkan hilang seketika ia mendengar Jevan menyebut papa mereka. Dia berusaha tak membenci orang tuanya, tapi setiap perjuangan yang dia lalui bersama adiknya tidaklah mudah. Arkan merasa di siram dengan air dingin setiap kali mendengar tentang papanya. Papanya bukanlah orang tua yang penyayang. Dia mungkin manusia yang bertanggung jawab dan pimpinan yang baik di dalam pekerjaannya. Tapi tidak dengan hubungan pribadinya. Papanya, kepala keluarga yang mengerikan. Arkan takut dia akan berakhir sama dengan papanya. Ketakutan ini juga yang membuatnya tak mau berkomitmen dengan hubungan apapun.

Arkan yakin, Emily akan lebih aman bersamanya dibandingkan dengan papanya. Pria itu mungkin akan meninggalkan Emily dalam keadaan lapar seorang diri di rumah. Setidaknya di rumahnya ada Audrey yang akan mengatur makan Emily. Arkan menutup mulutnya rapat-rapat menahan komentar yang akan menjelek jelekan papanya di depan adiknya.

Memikirkan dengan cara itu, Arkan sadar Jevan benar. Tinggal bersama Arkan lebih baik untuk Emily dibandingkan tinggal bersama papanya.

"Oke, berarti kita deal." Yakin Arkan kalah telak, Jevan bangkit, mengambil kunci mobilnya. Dan menoleh pada mereka. "Ayo kita jemput Emily di apartemenku. Audrey mohon bantuannya." Yang di jawab dengan senyum Audrey.

***

Audrey menyiapkan makan malam dengan cepat setelah mereka sampai di rumah. Cukup larut memang, tapi mereka bertiga sama sekali belum makan. Jadi Audrey memilih membuat pasta Alfredo untuk mempercepatnya.

Arkan keluar dari kamarnya, disusul oleh Emily dengan piyama Winnie The Pooh, sendal bulu dengan tema yang sama. Sesaat Arkan mematung, melirik bagaimana seragam itu seolah menyakiti matanya. Namun bagi Audrey, Emily gadis yang lucu. Emily tidak kurus seperti remaja kebanyakan. Badannya berisi, dan dia manis. Potongan rambut bob cocok dengan wajahnya.

"Aku membuat pasta Alfredo untuk makan malam, ini menu yang tercepat." Audrey menyerahkan piring pada Arkan dan Emily. "Dan kita harus mengisi kulkas, banyak bahan yang habis." Audrey mendudukan diri di meja makan bergabung dengan mereka.

"Kita akan pergi besok, aku bisa mengantarmu setelah pulang kerja."

"Kau yakin? Aku bisa melakukannya sendiri. Aku bisa mengajak Emily." Audrey menoleh pada Emily, gadis itu mengangguk sambil menggulung pastanya dengan anggun.

"Tidak, kau ingin pergi berdua dengan anak kecil. Membawa banyak barang? Itu terdengar tidak masuk akal bagiku. Apalagi dengan treck recod pengalamanmu terhadap kendaraan umum. Lebih baik aku temani. Aku tak bisa tenang setelah mendengar ceritamu. Selama kau masih tanggung jawabku, aku akan mengantarmu." Arkan menyendok pastanya.

"Aku bukan anak kecil. Aku remaja. Umurku 13 tahun sekarang, kak. Kau tak bisa memanggilku gadis kecil lagi." Komentar Emily. Dia menyuap Sphagettinya dan tersenyum. "Ini enak. Kau hebat. Terakhir kali aku memakan pasta saat bersama Kak Gavin, dia memasukan susu basi sebagai bahannya. Aku tak tahu apa yang aku makan susu basi atau makanan manusia."

"Jadi ini yang dimaksud Jevan kau hampir mati ditangan Gavin." Arkan menuangkan air ke gelas. "Dan 13 tahun masih di hitung anak-anak." Menyerahkannya pada Emily dan Audrey.

Emily memberengut pada Arkan. "Terima kasih." Dia meminum airnya lalu kembali menatap Arkan. "Dia bilang dia bisa memasak, dia ingin pamer. Kata Kak Gavin memasak adalah salah satu cara terbaik menggoda wanita. Jadi dia unjuk gigi di depan kami."

"Dia membawa wanita itu untuk unjuk gigi?" Kali ini Audrey terkejut.

"Ya, aku menontonnya bersama Jessie. Jessie bilang Kak Gavin seksi di dapur." Emily menghabiskan makanannya. "Wah aku kenyang. Terima kasi, Au."

"Sama-sama." Audrey tersenyum ramah. "Jadi Jessie juga memakan pasta buatan Gavin?"

"Dia tak menyentuhnya, Jessi sibuk berfikir bagaimana hotnya Kak Gavin, pikirannya sibuk tentang menciumi Kak Gavin, dan mencumbunya di dapur."

"Shit! Aku tak tahu Gavin lebih brengsek dari pada aku." Arkan meradang, memegang gelasnya dengan kuat. Memperilihatkan otot-otot tangannya yang membengkak.

Perhatian Audrey teralihkan dari umpatan kasar Arkan pada otot tangannya yang indah. Audrey dengan cepat mengalihkan perhatiannya begitu Arkan mengangkat diri dan mengambil piring mereka lalu melangkah ke dapur. Arkan berbalik dan menatap Emily. "Apa kau memakan Sphagettinya?" Nada Arkan sedikit datar, tapi Audrey menyadari laki-laki itu khawatir.

Dia bilang, dia tak bisa merawat Emily dan menjadi kakak yang baik. Nyatanya Arkan lebih baik dalam merawat adiknya dibandingkan Jevan dan Gavin. Menurut pandangan Audrey, Arkan lebih dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Mungkin karena dia sebelumnya telah melalui banyak hal untuk memastikan dua adiknya aman dari perceraian orang tua mereka.

"Aku memakan sesuap, setelah itu aku muntah."

Arkan menggertakan gigi. "Shit! Gavin sial..."

"Arkan." Audrey dengan cepat menghentikan Arkan. Dia memberi tatapan mencela pada Arkan, melarangnya mengeluarkan umpatan lebih lanjut.

Arkan mendesah kasar. Disampingnya Emily yang memperhatikan situasi dengan santai tersenyum. Dia melirik Arkan dan Audrey bergantian. "Aku sudah tau kata itu. Aku sering mendengarnya dari Gavin. Aku sudah berjanji pada Jevan untuk menggunakannya saat dewasa." Emily mengangkat bahu. "Percayalah, aku tahu cara menggunakannya. Kalian tak perlu menahan diri mengumpat didepanku. Aku bukan anak kecil. Zaman sekarang remaja seusiaku sering mengumpat jika mereka kesal."

Audrey menahan nafas ngeri dengan kata-kata Emily. Dia melirik Arkan yang juga sama-sama heran dengan pengakuan Emily. Arkan menyugar rambutnya. Menarik nafas dalam, dan mencoba berbicara dengan lembut. "Kau tak harus menggunakannya saat dewasa. Itu lebih baik."

"Tapi kau menggunakannya."

"Aku berjanji tidak akan menggunakannya lagi." Selama Emily di rumahnya, ia akan berusaha mengurangi apapun yang akan membuatnya mengeluarkan umpatan itu dari mulutnya. Arkan tersenyum ramah. "Nah, kau mau susu hangat untuk tidur nyenyak?"

"Tidak." Emily melirik Arkan dan Audrey sekali lagi. Dengan ragu Emily menambahkan. "Tapi jika kau butuh aku tidur nyenyak agar tidak menganggumu melakukan kegiatan laki-laki dan wanita dewasa bersama Audrey. Aku bisa meminumnya."

Audrey terkesiap. Dengan perasaan tak nyaman ia melirik Arkan yang terpaku mendengar adiknya yang baru saja mengatakan 'kegiatan pria dan wanita dewasa' dengan wajah polosnya. "Emily. Kau salah paham. Aku tak melakukan hal seperti itu dengan Arkan. Kami berteman. Aku disini bertugas memasak dan mengurus rumah untuknya. Bisa aku pastikan kau tak perlu memikirkan itu. Kau tak perlu merasa canggung. Ini rumahmu."

Emily tersenyum lebar, tak merasa sungkan. "Baiklah. Aku hanya befikir kau juga melakukannya. Kata Gavin itu yang terjadi jika wanita dewasa tinggal di rumah pria dewasa."

Astaganaga. Arkan menutup wajah gusar dengan jawaban adiknya yang menurutnya tak sesuai dengan umurnya yang masih... masih...

Belasan tahun!

***

Bagi yang belum follow akun chocomellow26, yuk follow dlu buat dapat update cerita terbarunya.

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 95 6
Cuma dirimu seorang yang bisa meluluhkan hati ini. Kamulah yang terindah dalam hidupku. Aku ingin meraih kembali cintamu menjadi kenyataan. Saat diri...
1.2K 105 19
"Kamu tahu, tidak, Ellena, di sini berkembang mitos tentang daun maple." "Apa?" "Katanya, kalau sepasang pria dan wanita kejatuhan daun ini saat musi...
5.4M 287K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
426 120 64
Judul : K.U.N Penulis : Gerimis Senja Bab : 257 Sinopsis : Berawal dari Agam, seorang murid baru yang mendapat tantangan dari Maxim untuk...