Perubahan Sang Antagonis

By thaflz

3M 115K 2.1K

Azura, gadis itu tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, mengharapkan kasih sayang dari ayahnya yang m... More

Prolog
1. Penolong.
2. Kebohongan yang sakit
3. Mimpi
4. Apa ini saatnya?
5. Tenggara Abizhar
6. Perasaan yang tersembunyi
7. Nathan Aksara Rigan
8. Kakek Damian
9. Curhatan yang tidak di dengar
10. Balapan
11. Nyaman
12. Tuduhan
13. Taman dan gelang hitam
Visual!!
14. Mereka berbeda
16. Paman Aris
17. Aku yang tidak bahagia.
18. Dalang penculikan.
19. Pertengkaran
20. Salah di mata mereka
21. Pembalasan dan kenyataan
22. Azain dan malam kelam itu
23. Tekad membunuh
24. Ruang BK dan hukuman
25. Hal yang Jayden sembunyikan

15. Sesuatu yang tersembunyi?

53.6K 4.1K 101
By thaflz

AZURA mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar yang telah di siapkan Mentari. Kamar ini begitu luas, bahkan mungkin dua kali lebih besar dari kamarnya sendiri. Kamar ini juga terasa nyaman, Azura rasa dia akan betah untuk tinggal di sini selama beberapa hari. Gadis itu merebahkan diri, manik hitamnya menatap langit-langit kamar dengan perasaan kalut.

Entah kenapa, bayangan pertengkaran kecil antara ke empat sepupunya terlintas begitu saja dalam sisi kepalanya. Rasa sesak mulai menyergap perasaan Azura saat gadis itu mengingat bagaimana sosok Mentari yang begitu menyayangi keempat anaknya, meskipun dengan cara yang berbeda seperti ibu pada umumnya. Tapi dia rasa lebih baik daripada dirinya, yang sama sekali tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang seorang ibu.

Azura menghela napas, bergerak cepat menghapus bulir bening yang berhasil meluruh, sebelum air mata itu menghapus sesuatu yang dia tutup dari kakeknya. Luka di wajahnya tidak perlu di ketahui oleh keluarga ibunya. Tidak perlu.

Gadis itu mengepalkan tangan, mengingat bagaimana kasih sayang yang Damian berikan padanya, selalu bisa membuatnya berangan-angan tentang ayahnya. 

Andai saja Satya bisa menyayanginya seperti kakeknya, dia pasti tidak akan pernah merasa kekurangan kasih sayang.

Andai saja Satya bisa seperti Damian, pasti dia akan mengenal apa itu kasih sayang seorang pahlawan hebat yang biasa seorang anak menyebutnya... ayah.

Andai, andai saja Satya tidak membenci kehadirannya, pasti dia akan..

“Azura”

Azura sontak menoleh, terkejut saat suara ketukan itu menubruk pendengarannya. Gadis itu dengan cepat beranjak, mematri langkah untuk membuka pintu. Manik hitam Azura menatap bingung kehadiran empat sepupunya.

“Kalian ngapain ke sini?”

“Kamu di panggil Mami, suruh ke kamar dia sekarang” Jinandra, laki-laki itu menyahut dengan senyum tipis yang mengembang di bibirnya.

Azura menatap kakak sepupunya itu sebentar, kemudian beralih pada tiga laki-laki yang berdiri di belakang Jinandra. Gadis itu tersenyum tipis saat Deril melambaikan tangan pelan.

“Ayo, kita antar” ujar laki-laki itu antusias.

Azura mengangguk. Mereka dengan segera mematri langkah ke arah kamar Mentari. Dengan Azura yang berada di tengah-tengah keempat sepupunya.

“Lo udah kelas berapa sekarang?” pertanyaan itu terlontar dari Vino, Azura menoleh sebentar pada laki-laki itu sebelum menjawab.

“Kelas 12”

“12? Serius?” tanya Deril dengan intonasi kurang yakin. Azura hanya bisa mengangguk kikuk, mereka pasti kurang percaya kalau dia sudah kelas 12 sekarang.

“Umur lo bukan nya 16? Kok bisa kelas 12? Lo loncat kelas apa kecepatan masuk pas TK?” tanya Vino beruntun, laki-laki itu menatap Azura penasaran, bahkan kini dia sudah berjalan mundur hanya untuk mendengar jawaban dari Azura.

“Emm, loncat kelas”

“Kenapa bisa loncat kelas?” Jungfran bertanya, dari raut wajahnya terlihat jelas kalau laki-laki itu penasaran sekali.

“Kalau lo gak loncat kelas, lo pasti satu angkatan sama gue, yakan?”

Dan yang Azura lakukan hanya mengangguk. Benar yang di katakan Jungfran. Jika dia tidak meminta ayahnya untuk membuatnya sekelas dengan Azaid dan Azain, pasti sekarang dia satu angkatan dengan Jungfran. Kalau di ingat-ingat, Jungfran lahir 20 hari setelahnya, tapi wajah adik sepupunya itu benar-benar babyface hingga siapapun tidak akan percaya kalau umurnya sudah menginjak 16. Wajah laki-laki itu terlalu imut.

“Lo sekolah di SMA Garuda, kan?” Taervino kembali bertanya, dan Azura lagi-lagi mengangguk.

Raut wajah Vino seketika berubah ceria, laki-laki itu dengan segera merogoh handphone nya, mengutak-atik benda pipih itu sebentar sebelum memperlihatkan foto seseorang pada Azura. Seorang gadis, cantik, dan sedikit sexy.

“Lo kenal sama dia, gak?”

Azura menghentikan langkah, menatap foto itu dengan kening mengerut. Gadis itu menggeleng, menerbitkan raut masam di wajah Taervino. Laki-laki itu menghela napasnya “Kirain lo tau”

“Emang kenapa?”

“Gue suka sama dia”

Alis Azura spontan terangkat naik “Trus hubungannya sama gue, apa?”

“Dia sekolah di SMA Garuda, satu sekolah sama lo” beritahu Deril, membuat Azura mengangguk paham.

“Namanya siapa?” tanya Azura penasaran, tapi kening gadis itu langsung mengerut saat Taervino menjawab dengan angkatan bahu tak tahu.

“Lo gak tau namanya?”

“Gak tau”

“Lah, trus gimana lo bisa suka sama dia? Kalau lo aja gak tau namanya”

“Jadi gini Zur─”

“Gue aja yang jelasin, kalau lo yang jelasin ntar Mami kelamaan nunggu karna kita masih dengar curhatan lo yang gak jelas itu” Deril, laki-laki itu langsung menarik Taervino, merangkul adiknya.

“Gue cerita sambil jalan”

Azura dan keempat sepupunya kembali mematri langkah, di temani dengan cerita-cerita kecil yang terlontar dari bibir Deril mengenai asal-usul bagaimana Taervino menyukai seorang gadis yang bahkan tidak dia ketahui namanya.

“Jadi gini, Vino kemarin gak sengaja liat, tuh, cewek. Lagi makan, sendirian, si Vino tiba-tiba bilang kalau dia suka, trus di fotoin tuh cewek diam-diam. Gak sempat kenalan, karna waktu dia mau nyamperin, eh, udah ada cowok yang nyamperin, tuh, cewek duluan”

Deril melirik Jinandra sebentar, bibir kakaknya sudah berkedut, mencoba untuk menahan tawa “Dan lo tau, Zur, kakak sepupu lo yang satu ini berani banget, dia malah nyamperin tuh cewek─”

“Woy, udah, Ril, lo ngapain malah cerita semua. Gak usah bagian itu nya, njir” ujar Vino mencoba membekap bibir Deril.

“Apasih, lo gak usah bekap mulut gue, tangan lo bau terasi” ejek Deril seraya menghindari Taervino yang berusaha membekap mulutnya.

“Zur lo tau gak?”

“Ril, lo gak usah cerita bagian itu” Vino dengan cepat berpindah posisi, laki-laki itu berusaha menggapai sosok Deril yang bersembunyi di belakang Jinandra.

“Zur, kemarin si Vino─”

“Lo cerita gue sumpal mulut lo pake kolor Kang Mamang ya!”

“Apasih, Zur,  kemarin dia kena─”

“WOY, LO GAK USAH MACAM-MACAM, YA, LO MAU BUAT GUE MALU?!” Taervino tampak panik setengah mati, laki-laki itu bahkan sudah menarik Jinandra dengan kuat lalu berlari mengejar Deril.

“AZURAAA, KEMARIN SI VINO KENA GEBUK KARNA MINTA NOMOR TUH CEWEK, PADAHAL DIA UDAH PUNYA PACAR!!”

“SIALAN LO RIL, SINI LO ANJI*G!!”

Jinandra menggeleng kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan dari dua adiknya itu. Lantai 2 benar-benar berisik karna teriakan dan lontaran kata kasar dari mereka berdua. Jinandra menoleh, menatap Azura yang tertawa kecil melihat kelakuan Deril dan Vino.

“Mereka gak pernah akur, sekalinya akur pasti ada yang bakal cari masalah, kayak tadi” ujar Jinandra memberi tahu.

Azura menganggukkan kepalanya, entah kenapa perasaan damai dan nyaman begitu terasa meskipun rumah ini penuh dengan keributan. Azura merasa nyaman, lebih nyaman dan merasa lebih baik daripada berada di rumahnya sendiri. Melihat pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara keempat sepupunya, benar-benar membuatnya merasakan apa itu kenyamanan dalam keluarga.

*

Azura sudah lama tidak menginjak tempat ini. Ruangan yang penuh dengan aneka lukisan alam itu benar-benar tidak pernah ia datangi lagi semenjak kejadian itu. Terakhir kali Azura mendatangi kamar ini, saat dia memulai kehancuran hidupnya. Kamar ini masih sama, tidak ada barang yang berpindah tempat. Kamar ini masih sama seperti 2 tahun lalu, masih terasa nyaman, masih terasa damai, dan kamar ini masih begitu dia rindukan pemiliknya.

“Kamar Bunda nyaman banget” papar Azura dengan senyum yang mengembang. Mentari yang mendengar hal itu, menoleh.

“Kamar Bunda kamu emang selalu nyaman. Dulu, waktu Mami sama Bunda kamu masih remaja, kita sering habisin waktu di sini. Jarang banget kita keluar rumah”

Mentari menatap kamar mendiang sang kakak dengan perasaan haru, bayang-bayang masa kecil yang pernah ia lewati bersama dengan Cahaya, selalu bisa mengantarkan perasaan rindu yang mendalam.

“Bunda kamu suka banget sama hal-hal yang aesthetic gitu, trus seingat Bunda, Mami kamu suka banget sama warna abu-abu, gak tau kenapa Bunda kamu suka warna itu, padahal menurut Mami warnanya kurang bagus”

Azura mendengar dengan begitu seksama, seolah tidak ingin melewati satu katapun mengenai ibunya. Sudah 2 tahun lamanya, dia tidak pernah lagi mendengar cerita tentang sosok wanita hebat itu.

“Bunda kamu kalau malam gini selalu main piano, makanya Mami sering datang ke sini, biar tidur cepat. Soalnya waktu remaja Mami insomnia, susah tidur”

Senyum di bibir Mentari perlahan mereda, ada sesuatu yang berhasil menghantam perasaannya saat ini, air mata wanita itu meluruh, tatapan matanya menatap Azura dengan penuh kasih sayang.

“Mami selalu tidur di pangkuan dia. Kalau Mami susah tidur, pasti Bunda kamu selalu nyanyiin lagu biar bisa tidur. Tiap malam dia selalu usap rambut Mami, tapi setelah Bunda nikah sama Ayah kamu semuanya berubah”

Mentari menghapus air matanya, menatap Azura dengan sendu “Tapi Mami gak bisa nyalahin takdir, karna Mami tau hari itu akan datang. Bunda kamu gak selamanya bisa nemanin Mami. Tapi kamu tau─”

Manik kecoklatan milik Mentari kembali menitikan air mata, genggaman di tangannya perlahan menguat, seolah sedang menyalurkan rasa sakit yang dia rasakan “Mami nyesal karna restuin hubungan Bunda sama Ayah kamu. Mami nyesel, Azura. Mami benar-benar menyesal”

“Mami tidak─”

“Nyonya, waktu makan malam sudah tiba”

Mentari tersentak sesaat, wanita itu dengan cepat menghapus air matanya, membelakangi seorang maid yang datang memberitahukan waktu makan malam. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk.

“Mami nyiapin makan malam dulu. Kamu bisa ambil baju di lemari Bunda. Banyak baju Bunda kamu yang masih layak di pakai” ujar Mentari yang kemudian segera mematri langkahnya meninggalkan Azura seorang diri, gadis itu menatap Mentari dengan rumit. Entah kenapa, Azura merasa adik dari mendiang ibunya itu tahu tentang sesuatu.

Menghela napas, Azura akhirnya ikut beranjak. Gadis itu melangkah ke arah lemari ibunya untuk mengambil baju yang akan dia kenakan. Azura menatap pakaian ibunya dengan senyum tipis, benar apa yang dikatakan Mentari, mendiang ibunya benar-benar menyukai sesuatu yang aesthetic.

Azura yang baru saja ingin mengambil dress selutut milik ibunya, seketika terhenti saat tidak sengaja melihat sesuatu. Niat yang tadinya ingin mengambil pakaian kini teralih saat melihat sebuah kotak aneh yang berhasil menarik perhatiannya.

Gadis itu dengan segera mengambilnya, sebuah tulisan terlihat jelas meskipun kotak itu sedikit berdebu. Azura Putri Nanda Cahaya.

Hal pertama yang Azura lihat adalah nama itu, sedikit asing, tapi dia yakin kotak ini adalah sebuah peninggalan dari ibunya. Azura menatap kotak itu dengan lamat, sebuah lubang kunci di bawah kotak langsung berhasil menarik perhatiannya.

“Bentuk lubang kuncinya kayak, love?”

*

Malam itu benar-benar menghangatkan perasaan Azura, gadis itu menatap hidangan makanan yang tersaji dengan senyum tipis. Suasana makan malam saat ini benar-benar ramai, suara tawa dari keempat sepupu Azura seolah menggelar di ruang makan. Mereka belum menyantap hidangan makan malam sama sekali, kata Mentari, ada seseorang yang sedang di tunggu kedatangannya.

“Selamat malam semuanya” suara berat itu menyapa dengan bahagia, membuat Azura spontan mengalihkan atensinya. Di anak tangga terakhir, seorang laki-laki mematri langkah mendekat ke ruang makan. Azura masih menatap laki-laki itu, bahkan sampai dia mendudukkan diri di salah satu kursi.

“Azura” panggil Mentari membuat Azura langsung menoleh.

“Kenapa, Mi?”

“Ini suami Mami, namanya Aditya” ujar Mentari memperkenalkan seseorang yang berstatus suaminya.

Azura hanya menanggapinya dengan senyum tipis, tidak ada respon lebih yang dia berikan saat mengetahui laki-laki itu adalah pamannya.

“Jadi, ini anak perempuan nya Mbak Cahaya?” pertanyaan yang di lontarkan oleh Aditya, di jawab anggukan antusias oleh Mentari. Aditya kembali memandangi Azura, wajah gadis itu nyaris sama seperti wajah Cahaya, kakak iparnya.

“Mukanya benar-benar sama kayak Mbak Cahaya, cuman yang bedain warna mata. Kalau Mbak Cahaya warna coklat, beda sama dia yang warna hitam pekat gitu” ujar Aditya berpendapat.

Mentari mengangguk, setuju dengan apa yang di katakan oleh suaminya. “Iya, benar, Mami pas liat Azura pertama kali kirain arwah nya Mbak Cahaya”

Aditya dan yang lainnya hanya bisa terkekeh, tak habis pikir dengan Mentari “Kamu ini, ada-ada saja. Yasudah, lebih baik kita segera makan” ajak Damian membuat yang lainnya mengangguk.

Seraya menunggu Mentari menyajikan makanan, Damian diam-diam memerhatikan Azura. Benar! Wajah Azura dan putrinya, Cahaya, nyaris mirip. Hanya saja yang membedakan adalah warna mata. Entah kenapa, saat melihat wajah Azura mampu membuat rasa rindunya pada Cahaya langsung terobati begitu saja. Wajah gadis itu benar-benar menyembuhkan rasa rindunya.

Dan Damian harap, dia akan selalu bisa melihat wajah itu di rumah ini.

*

“Papa senang banget, akhirnya bisa makan malam sama Azura. Dari dulu Papa pengen banget ajak Azura makan malam kayak gini, tapi nomornya susah di hubungin”

Kepala Azura langsung tertunduk dalam ketika mendengar keluhan sang kakek yang sangat susah menghubunginya.

Damian sangat susah menghubunginya, karna dia sengaja memblokir nomor kakeknya, dan ada alasan kenapa dia melakukan hal tersebut. Rasa bersalah tiba-tiba menghantam ulu hatinya, dia benar-benar tidak bermaksud untuk hilang kabar dengan kakeknya, tapi alasan yang satu itu mengharuskannya menjauh dari jangkauan Damian. Kakeknya tidak boleh tau apa yang terjadi padanya. Tidak boleh.

Bahkan jika Azura bisa meminta sesuatu yang bisa terkabul, maka dia akan meminta agar kakeknya tidak pernah tau apa yang telah dia jalani selama ini. Azura tidak ingin, kakeknya merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya.

“Ratu gak boleh nunduk, nanti mahkotanya jatuh” Jinandra, laki-laki itu langsung mengangkat wajah sang adik. Senyum tipisnya mengembang saat manik keduanya bertemu.

“Modusnya pemula emang gak bisa di raguin, sih” sindir Taervino, laki-laki itu berdecak malas karena melihat Jinandra tampak dekat dengan Azura, padahal dia juga ingin dekat dengan gadis itu.

“Apasih, iri lo?” tanya Jinandra seraya mengangkat alis, mengejek.

“Yakali, gue gak iri” balas Vino ketus.

Damian yang melihat interaksi dari kelima cucunya, hanya bisa menggeleng kepala. Laki-laki lanjut usia itu berdiri, membuat atensi Azura tertuju padanya.

“Kakek mau kemana?” tanya Azura.

“Kakek mau istrahat dulu, badan kakek rasanya mau patah, pegel semua. Kamu jangan begadang, ya”

Azura dengan segera mengangguk, membuat Damian segera mematri langkahnya setelah mengusap lembut rambut Azura. Setelah kepergian Damian, kini suasana di ruang tamu tampak sepi, Azura dan yang lainnya terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.

“Zur” panggil Taervino, membuat Azura yang sedang sibuk membaca novel di tangannya itu segera mendongak.

“Kenapa?”

“Gue boleh nanya?”

“Nanya soal apa?”

Taervino mengatup bibir gugup, laki-laki itu menatap Azura dengan senyum mengembang “Lo ada masalah sama langit?”

Oke, itu adalah pertanyaan yang tidak pernah Azura pikirkan. Dahi Azura langsung saja mengerut, tidak mengerti sama sekali.

“Masalah? Gak ada”

“Kalau gak ada, kenapa lo bisa ada di sini, lo, kan, Bidadari langit, kenapa bisa turun ke Bumi?” itu adalah gombalan, dan Azura tidak pernah mengira Taervino akan melontarkan gombalan garing yang sudah pernah dia dengar sebelumnya di sosmed.

Azura hanya bisa menatap Taervino datar, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Gombalan sepupunya itu benar-benar garing.

“Zur” panggil Vino sekali lagi, membuat Azura menghela napas.

“Apa lagi?” tanya gadis itu seraya menutup novelnya dengan sedikit keras.

“Kenapa kalau nyebrang harus liat kanan-kiri?”

Azura rasanya ingin menjawab dengan keras ‘Biar gak di serempet mobil’ tapi yang dia lakukan hanya diam, tidak menjawab sama sekali. Selama satu hari menghabiskan waktu bersama keempat sepupunya, meladeni Taervino adalah hal yang paling membuang tenaga untuk berbicara.

“Gue tau!! Biar gak di serempet kendaraan” jawaban Jungfran tentu benar 100%, tapi raut wajah Taervino seolah menyalahkan jawaban adiknya itu.

“Lo, tuh, gak di ajak!” sinis Vino membuat Jungfran mendelik, padahal dia hanya menjawab.

Deril yang mendengar ucapan Vino langsung melempar laki-laki itu dengan bungkus makanan ringan yang telah dia gulung. “Emang jawaban Jungfran salah?”

“Ya, salah, lah! Kan,  kalau kita nyebrang sambil liatin wajah Azura, yang ada salting”

Itu benar-benar garing, tidak ada bumbu gombalan yang bisa meluluhkan seperti gombalan di luar sana. Azura hanya menggeleng kepala, tidak habis pikir dengan segala macam gombalan Taervino yang di cap gombalan maut.

“Gaje banget sih, lo, garing tau, gak” sahut Deril. “Eh, tapi, gue ada pertanyaan buat lo” lanjut laki-laki itu, membuat Taervino spontan mengangkat alis.

“Apaan emang?”

“Apa bedanya lo sama knalpot motor?”

Taervino belum sempat memiliki jawaban yang bagus, ketika Deril langsung menyela sambil lalu ke lantai 3. “Gak ada bedanya, lo sama knalpot motor sama-sama berisik”

“Apaan sama gitu, knalpot sama muka gue aja masih gantengan gue” ujar Vino tidak terima.

“Tapi muka lo sama muka gue kalau di bandingin gak ada apa-apanya” sahut Deril dari anak tangga.

“APAAN GITU, GANTENGAN GUE, YAA!”

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 148K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.3M 211K 50
Elisa Latasha Mauren hendak di jual oleh ibu tiri nya ke salah satu rumah wanita malam. Elisa tentu tak terima, ia memilih kabur dari sana dan sialny...
2.3M 420K 61
Ailu mati karena dibunuh oleh ayahnya sendiri saat sedang melarikan diri dari kejaran polisi. Siapa sangka bahwa Ailu terlahir kembali sebagai Remiya...