Different Ways ✔️

By sindinur_

269 88 30

Menikah dengan sosok yang menurutnya menyebalkan bukanlah hal yang didambakan Fitri. Perempuan itu tak menyan... More

Prolog
Mencoba Membujuk
Mencari Ide
Memaksa Hasan
Diskusi Senja Nanti
Oke
Badut Mampang
Duduk Bersama
Hayu, Gas Aja!
Badut Aneh
Awal Julukan
Nyonya Cerewet
Siap Gak Siap
Ceritanya Kabur

Gerakan Protes dan Penolakan

12 7 0
By sindinur_

Langit sudah gelap, lampu-lampu dari kendaraan, gedung-gedung, dan lampu jalan yang menyala adalah pemandangan di sepanjang jalan Hasan dan Fitri lalui dalam hening.

Setelah salat magrib, keduanya sepakat untuk pulang. Hasil diskusi senja sudah dalam genggaman, tinggal menjalankannya saja nanti di saat orang tua Hasan sudah pulang. Katanya mereka akan pulang besok pagi dan sepertinya weekend kali ini Fitri akan sibuk.

"Jangan lupa lo ajak cewek yang lo suka itu besok. Takutnya besok kita beneran gerak protes sama penolakan." Fitri mengingatkan. Entah sudah berapa kali ia berbicara demikian dalam perjalanan pulang.

Hasan tak berniat menjawab, ia memilih fokus pada jalanan yang ramai hilir mudik kendaraan. Saat lampu lalu lintas menyala merah, Hasan menghentikan motor di samping sebuah mobil.

Manik mata laki-laki itu memperhatikan Fitri melalui spion kanan. Perempuan yang memakai helm kuning itu tampak memperhatikan lampu lalu lintas di atas sana. Hasan akhir-akhir ini baru menyadari bahwa kemungkinan besar perempuan yang duduk di boncengan motornya itu menyukai warna kuning. Sebab, beberapa barang yang dimiliki Fitri kerap berwarna kuning.

Lampu hijau menyala, Hasan segera menarik tuas gas. Melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilo meter lagi. Tak ada perbincangan yang berarti dalam perjalanan kali ini, mereka fokus pada pikiran masing-masing.

Keduanya terlonjak ketika memasuki pekarangan rumah Fitri. Adanya ayah dari Hasan bersama ayah Fitri di depan teras rumah membuat jantung Fitri berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Kenapa gak bilang kalo ortu lo pulang malem ini?" bisik Fitri saat mereka sampai di pekarangan rumah.

Hasan mengedikkan bahu, tak peduli. "Gue juga gak tau," sahutnya sembari merapikan rambut setelah membuka helm.

Fitri berdesis, bagaimana jika kedua orang tua mereka membahas perjodohan malam ini? Fitri belum mempersiapkan rencananya bersama Althanza jika para orang tua tetap pada kesepakatan.

Semoga semua bisa teratasi, Fitri terus merapalkan kalimat tersebut selama berjalan mendekat pada dua pria yang menyambutnya dengan senyuman.

"Habis dari mana?" tanya Pak Ghozali—ayah dari Hasan yang baru saja berdiri menyambut Fitri.

"Habis makan, Om," jawab Fitri dengan senyum canggung.

Ayah Mansyur dan Pak Ghozali saling melempar tatap dan diakhiri senyum misterius di mata Fitri.

"Sudah salat magrib, kan?" Hasan dan Fitri kompak mengangguk. "Yuk, masuk," ajak Ayah Mansyur, menggiring kedua anak yang baru saja tiba di rumah.

Fitri melesat menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya, sedangkan tiga laki-laki berbeda usia itu memilih berkumpul di ruang makan.

Sebetulnya, kedua orang tua mereka mengajak makan malam. Hasan yang belum lama makan satu porsi sate pun hanya mampu tersenyum saat Bunda Ranti menawarinya makan. Mau menolak, tidak enak hati ketika melihat makanan yang tersaji di atas meja. Alhasil, ia hanya meminta beberapa udang asam manis saja.

Di dalam kamarnya, Fitri langsung menghubungi Althanza. Berjaga-jaga, siapa tahu tebakannya benar jika kedatangan kedua orang tua Hasan akan membahas masalah perjodohan.

"Tan, bantuin gue," ucap Fitri kala sambungan telepon terhubung.

"Lo kenapa? Apa yang harus gue bantu?" Althanza menyahut dengan cepat.

"Bantuin gue buat nolak perjodohan gue sama Hasan. Please, mau, ya?" mohon Fitri dengan suara lirih. Takut jika ada orang yang mendengar suaranya dari balik pintu kamar.

"Caranya?"

"Pura-pura jadi pacar gue. Nanti gue kenalin lo ke ortu," sahut Fitri, dalam hati ia berharap agar Althanza mau membantu dalam masalah ini.

Althanza tak langsung menjawab, laki-laki itu justru mengembuskan napas beratnya. "Bukannya gak mau bantu, tapi kalo nanti malah ortu lo nyuruh gue nikahin elo gimana? Gue masih kuliah, Fit."

"Gapapa, nanti gue pikirin lagi caranya biar kita gak disuruh nikah." Fitri itu keras kepala hingga Althanza lagi-lagi menghela napas dalam.

"Fitriana, dengerin gue," pinta laki-laki di seberang sana. "Lo mau batalin perjodohan ini pakai alasan lo udah punya pacar itu bukan hal yang mudah. Iya kalo misal ortu lo bilang 'ya udah gapapa', tapi kalo mereka minta lo nikah sama pilihan lo gimana? Masalahnya lo sama gue cuma temen, kan? Itu artinya lo bohong. Sekali bohong bakal bohong lagi sampai semua rumit." Althanza menjeda perkataannya beberapa saat.

"Gue gak mau rusak pertemanan ini, terlebih gue juga kenal Bang Hasan." Fitri masih diam, membiarkan Althanza berbicara lebih banyak lagi. "Gue harap lo bicarain masalah ini baik-baik, jujur aja kalo misal lo belum siap nikah atau apa aja alasan yang lo pikir itu jadi kendala," beri tahu Althanza dengan tenang, ia tahu Fitri tak akan marah jika lawan bicaranya tak memantik api.

"Tapi, udah gue coba dan mereka tetep teguh pendirian," keluh Fitri, perempuan itu menatap nanar pintu balkon kamarnya. "Ah, Althan, gue pengin nangis."

Althanza sejujurnya bingung, harus bagaimana menghadapi orang yang sedang gundah gulana seperti Fitri? Biasnya ia dengan Fitri akan bersenda gurau dan terkadang hanya sekedar makan bersama di kafe dekat salon tempat perempuan itu bekerja.

"Gini aja, deh, kalo lo butuh gue, lo langsung telepon aja," putus Althanza. "Coba jujur sama keluarga lo tentang apa yang jadi permasalahan di perjodohan kalian."

"Jadi gue harus gimana?" desis Fitri setelah obrolan melalui telepon terputus.

***

"Tapi, Yah, aku udah punya cowok," bantah Fitri.

Benar saja, setelah makan malam mereka berkumpul di ruang keluarga kediaman Ayah Mansyur guna membahas kelanjutan perjodohan.

"Siapa?"

Fitri terdiam, kalimat Althanza beberapa puluh menit yang lalu terlintas. Perempuan itu mendadak ragu, lantas ia hanya mampu terdiam.

"Jadi, kalian gak setuju sama niat baik kami?" Pak Ghozali menatap kedua anak di depannya secara bergantian.

Hasan dan Fitri saling melempar pandang. "Iya," balas keduanya serempak.

"Aku masih kuliah, lho, Pak. Mana lagi sibuk tugas akhir, apa gak kasian sama aku?" imbuh Hasan, memulai protes. "Tugas akhir aja udah pusing, apalagi kalo nikah? Kasian kalo nanti dia aku duain sama tugas akhir." Hasan melirik Fitri yang duduk tak jauh dari posisinya.

"Justru bagus itu. Nanti pas wisuda udah punya seseorang yang halal buat digandeng. Iya, kan, A Mansyur?" goda Pak Ghozali dan dibalas anggukan serta tawa dari Ayah Mansyur.

"Memangnya tugas akhir kamu sudah sampai mana?" Kali ini Ayah Mansyur bertanya.

"Sudah tahap akhir, sih, Om." Hasan memberi cengiran kuda pada pria setengah baya itu. "Masih lumayan bikin sakit kepala," lanjutnya.

"Wah, sudah mau beres itu," celetuk Bunda Ranti yang sedari tadi menyimak pembicaraan.

Memang benar, tugas akhir kuliah Hasan sudah hampir mencapai finish, tetapi semua belum rampung juga masih harus menghadapi sidang dan lain sebagainya. Belum lagi, ia pun disibukkan dengan pekerjaannya sebagai arsitek di sebuah perusahaan yang akhir-akhir cukup banyak.

Hasan menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Pak, Bu, bisa negosiasi gak?" tanyanya. "Mau calon istri yang kadar cerewet dan galaknya lebih rendah dari Fitri,bisa?"

"Ya udah, sana cari cewek lain! Siapa juga yang mau nikah sama lo," sungut Fitri begitu mendengar ucapan Hasan yang menurutnya menyebalkan.

Hasan melemparkan tatapan pada Fitri yang masih menatapnya. Seolah dengan tatapan itu Hasan menyampaikan, "diam! Kan, katanya protes".

Fitri mendengkus, kemudian beralih pada sepasang suami istri yang memperhatikannya. "Aku gak mau nikah sama Hasan. Kalian tau, kan, kita gak pernah akur kalo barengan," rajuk Fitri dengan nada bicara yang memelas.

Ayah Mansyur berpindah duduk ke samping Fitri, tangan kirinya menggenggam tangan kanan sang putri. "Tadi buktinya akur, abis makan berdua, kan?" godanya, membuat wajah putrinya merah padam.

"Tapi, Ayah-"

"Kami tak akan keras memaksa kalian, tetapi kami berharap kalian mau menerima rencana baik kami. Tidak masalah jika kalian meminta waktu untuk berpikir, kami akan berikan tanpa batas waktu maksimal," tutur Ayah Mansyur, berusaha mencari titik tengah agar kedua anak yang hendak dijodohkan itu mau memikirkannya lebih matang. "Niat kami baik dan tak mungkin orang tua berniat buruk untuk anak-anaknya. Kami sayang kalian."

"Ini juga adalah salah satu harapan kakekmu, Dek. Kakek ingin kamu menikah dengan Hasan," sambung Bunda Ranti.

Fitri kehabisan kata-kata setelah mendengar penuturan dari ayah dan bundanya. Rencana protes dan penolakan ini sepertinya gagal sebelum dirinya mengadakan protes yang lebih banyak dari ini.

"Tolong, ini rencana gagal total! Gimana lagi caranya biar gak nikah sama si Monster?"

***

Holla olala!

Ada yang mau bantu cari cara buat nolak perjodohan gak? Wkwk

Jangan lupa tinggalkan jejak kian, ya. Thanks for all. 🤍

See you next chapter. Papay!

Sin, 09 April 2023

Continue Reading

You'll Also Like

10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 17.8K 7
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
254K 11.7K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...