Our Stories

De yennymarissa

52.6K 5.4K 924

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... Mais

Regret - 01
Regret - 02
Regret - 03
Ambiguity
End of The Road
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Broken

2.8K 290 22
De yennymarissa

"Itu cuma temenku, Ghea! Nggak usah berlebihan kamu! Chat kayak gitu aja jadi permasalahan gini, sih?!"

Napas Ghea masih tersengal hebat karena emosi yang menggelegak di dalam dadanya.

"Kamu tuh kenapa akhir-akhir ini jadi nyebelin, sih?! Apa-apa curiga sampai main tuduh nggak jelas. Semua chat dan telepon kamu tuh sangat mengganggu, Ghe! Kamu bikin aku kayak lagi jadi tawanan. Toxic tahu nggak?!"

Kali ini, kedua mata Ghea mulai berair. Tatapan penuh emosi itu perlahan berganti redup setelah mendengar kalimat demi kalimat dari laki-laki yang menjadi suaminya sejak delapan tahun yang lalu. "Kamu keganggu sama aku?" tanyanya lirih. "Aku toxic?"

"Iya!" sahut Rafis keras. Rafis juga sedang menahan emosi pada sang istri yang dianggapnya sudah semakin bersikap menyebalkan dengan semua tuduhan-tuduhan tak beralasannya. "Baru chat kayak gini aja kamu udah ngamuk nggak jelas! Lagian harusnya aku yang marah, Ghe. Kamu nggak sopan buka-buka hapeku sembarangan. Kita emang suami-istri, tapi harus tetap ada privasi buat kita. Harusnya kamu udah ngerti soal itu."

Dengan kepingan hati yang hancur, Ghea mengangguk-anggukkan kepala lalu menghapus cepat setitik air matanya yang hampir menetes di pipi. Sejak kapan mereka memiliki privasi? Bahkan sejak masih pacaran dulu, mereka sudah terbiasa saling membuka isi ponsel masing-masing. Hanya dalam tiga bulan terakhir ini sikap Rafis berubah. Rafis lebih sering sibuk dengan ponsel dibanding menghabiskan waktu bersamanya. Bahkan Rafis semakin jarang menemani kedua anak mereka bermain padahal dulu laki-laki itu sangat senang bermain dengan putri mereka yang berusia lima tahun.

"Oke," sahut Ghea berusaha menguatkan suaranya. "Tunggu sampai aku panggil 'Beb' ke laki-laki lain dan selalu sibuk bales chat dia sampai nggak ada waktu sama kamu. Kita lihat, masih bisa kamu bilang kayak gini atau enggak." Ghea sengaja menyentak kalimatnya sebelum berlalu meninggalkan Rafis yang berdecak jengkel.

"Dasar kekanakan!"

Sejak pertengkaran malam itu, Ghea benar-benar menepati janjinya. Ghea sama sekali tidak pernah menghubungi Rafis saat laki-laki itu sedang berada di luar rumah. Ghea rasanya sudah lelah dengan perubahan sikap Rafis yang terlalu jauh selama beberapa bulan terakhir. Padahal Ghea sudah berusaha sabar dengan kesibukan Rafis di kantor satu tahun terakhir sejak laki-laki itu terpilih menjadi salah satu kandidat terbaik untuk menggantikan direktur keuangan sebelumnya—sampai lima bulan lalu akhirnya berhasil menduduki posisi itu.

Ghea mencoba memahami kalau waktu dan pikiran Rafis seringnya habis untuk pekerjaan. Tapi tiga bulan terakhir ini adalah batas kesabarannya. Bukan Ghea tidak tahu kalau Rafis kembali berkumpul dengan teman sepermainan laki-laki itu saat keluarga Rafis masih berjaya. Teman-teman kalangan atas yang dulu meninggalkan Rafis saat keluarga laki-laki itu sedang terpuruk. Pernah sekali Ghea bertanya tentang teman-teman Rafis beberapa hari setelah pertemuan tanpa pemberitahuan padanya, tapi laki-laki itu justru hanya mengatakan kalimat bernada cuek, "nggak usah tanya-tanyalah, kamu juga nggak bakal kenal sama mereka, Ghe."

Waktu itu Ghea jelas sakit hati, tapi masih mencoba sabar karena merasa mungkin Rafis tidak sadar saat mengatakannya. Sayang, perubahan demi perubahan dari sikap Rafis membuat Ghea mulai menyangsikan suaminya sendiri. Tidak sekali dua kali Rafis pulang malam bahkan tengah malam. Berkali-kali juga Ghea menegur, tapi lagi-lagi hanya dibalas Rafis dengan jawaban yang sama; berkumpul dengan teman.

Dan malam ini, Rafis kembali melakukannya. Laki-laki itu bahkan belum pulang saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sungguh, Ghea sangat ingin mengamuk. Tetapi pertengkaran terakhir mereka membuat Ghea mengurungkan niatnya. Ghea masih sakit hati dengan kalimat Rafis saat itu. Padahal tentu hal yang wajar bagi seorang istri untuk marah saat membaca pesan demi pesan dari perempuan lain pada suaminya. Apalagi Rafis membalasnya dengan kalimat yang membuat darahnya mendidih marah.

Iya, Beb. Nanti malem pasti aku dateng.

Ghea tidak akan pernah melupakan pesan yang dikirimkan Rafis sebagai balasan untuk perempuan bernama Jianne—perempuan yang Ghea tahu adalah teman perempuan Rafis di lingkaran pertemanan kelas atas saat masih kuliah dulu. Rafis bilang, kalimat itu adalah kalimat biasa dalam pertemanan mereka. Sayangnya, bagi Ghea semua itu bukan kalimat biasa. Ghea jelas sadar kalau Jianne memiliki perasaan pada Rafis—walau hanya membaca melalui pesan-pesan di ponsel sang suami.

Rasanya, Ghea ingin menangis. Tetapi Ghea sudah terlalu sering menangis selama tiga bulan terakhir hanya demi Rafis yang bahkan terlihat begitu menikmati dunia baru yang sepertinya lebih menarik bagi laki-laki itu. Entah pukul berapa Ghea akhirnya mendengar suara pintu terbuka. Ghea tahu kalau Rafis sudah pulang, tapi dia enggan untuk memberi sambutan. Karena itu Ghea membiarkan Rafis menyiapkan pakaian tidur sendiri dan dia memilih tetap memejamkan mata berpura-pura sudah terlelap.

Rafis sadar kalau Ghea belum benar-benar tidur. Tetapi Rafis rasanya enggan untuk menyapa sekadar berbasa-basi. Sejak pertengkaran malam itu, Ghea benar-benar tidak lagi mengganggunya dengan chat maupun panggilan telepon dan Rafis bersyukur untuk itu. Entah sejak kapan bagi Rafis, sikap Ghea yang satu itu sangat menyebalkan. Seolah Ghea tidak memberinya ruang untuk diri sendiri di saat dia sudah sangat dipusingkan oleh pekerjaan di kantor.

Selama ini, Ghea jelas tahu sekeras apa perjuangannya hingga akhirnya berhasil menduduki salah satu jabatan tinggi di perusahaan. Tetapi bukan rasa senang saja yang menyambut kenaikan jabatannya kala itu. Rafis juga dihadapkan pada kesibukan yang mengharuskannya mengurus masalah yang ditinggalkan direktur sebelumnya. Di saat-saat itulah Rafis bertemu kembali dengan teman-teman lamanya. Teman-teman yang dulu pernah menghilang perlahan saat keluarganya sedang berada dalam keterpurukan karena bisnis papanya yang jatuh.

Bukannya membenci, Rafis justru terpacu ingin membuktikan kalau dirinya akan sukses dan sekarang keyakinannya itu terbukti. Rafis bisa menegakkan kepala ketika bertemu dan berkumpul dengan mereka lagi di saat dia sudah memiliki posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja. Bersama mereka yang juga memiliki kesibukan yang sama dengannya, Rafis merasa nyaman. Rafis merasa bertemu orang-orang yang bisa diajak berdiskusi tentang banyak hal; sesuatu yang tak ditemukannya bersama Ghea, yang hanya berkutat pada urusan rumah.

Rafis hanya sedang merasa jenuh. Ditambah sikap Ghea yang terlalu mengekang, membuat Rafis semakin malas berinteraksi dengan istrinya itu. Karena itu, Rafis sama sekali tak protes saat Ghea berubah pendiam dan hanya mengajaknya bicara saat ada anak-anak. Rafis justru lebih suka seperti ini. Rumah terasa lebih tenang saat Ghea tidak merongrongnya dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar—padahal Rafis hanya berkumpul bersama teman-temannya.

Jadi, untuk malam kesekian setelah hubungan mereka terasa jauh, Rafis kembali tidur membelakangi Ghea. Dan Ghea tentu masih terjaga untuk melihat kalau lagi-lagi Rafis bersikap seolah dirinya sudah tidak diinginkan. Jahat sekali.

===

Ghea berkali-kali tertunduk tanpa bisa menikmati sarapannya. Dia sedang dilanda gelisah. Semalam ibunya menelepon dengan suara bergetar berkata kalau keuangan kakaknya masih belum stabil tapi harus dihadapkan masalah baru. Kakaknya tak sengaja menabrak seorang anak kecil saat terburu-buru ingin menemui klien. Dan sekarang, Ghea begitu resah karena tidak tahu harus memulai dari mana untuk membicarakan permintaan tolong ibunya semalam.

Ibu minta tolong sampaikan ke Mas Rafis ya, Nduk. Kasian kakakmu.

Rafis bukannya tak tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu Ghea terlihat dari raut wajah istrinya itu. Tetapi Rafis memilih tetap menikmati sarapannya dan sesekali menanggapi kalimat-kalimat lucu dari kedua anaknya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Rafis kembali ke kamar untuk mengambil tas kerja dan ponselnya. Rafis cukup terkejut saat menemukan Ghea mengikutinya ke kamar.

"Aku... mau ngomong, Mas."

Sebelah alis Rafis terangkat. "Tumben. Bukannya kamu lagi diemin aku akhir-akhir ini?"

Ghea menggigit bibir bawahnya. Ingin sekali menangis dan juga mengamuk, tapi Ghea tahu kalau dia memerlukan Rafis untuk masalahnya kali ini. "Aku..."

"Ngomong cepet aja, Ghe. Aku mau berangkat ke kantor sekarang," sahut Rafis cepat sambil merapikan dasinya.

"Semalem Ibu telepon." Akhirnya Ghea berhasil bersuara setelah menarik napas panjang dan berat. "Ibu mau pinjem uang," lanjutnya lirih, kembali menggigit bibir. Jika tidak tahu diri, Ghea bisa saja langsung memberikan uang yang ada di rekeningnya pada sang ibu karena uang itu memang adalah tabungan yang dikumpulkannya dari bulanan yang dikirim oleh Rafis untuknya. Tetapi Ghea tentu tidak bisa melakukannya, ditambah hubungannya dengan Rafis akhir-akhir ini sedang tidak baik.

"Berapa?"

"Lima puluh juta..."

"Ibu buat apaan uang sampai segitu?" Alis Rafis mengerut tidak suka.

Ghea semakin menelan salivanya susah payah. "Kemarin... Mas Kemal nabrak anak kecil," cicitnya.

"Ck!" Rafis berdecak jengkel. "Kakakmu itu kenapa sih bikin masalah aja?" sahutnya kesal. Bukan sekali dua kali mereka membantu Kemal yang memang sudah beberapa kali ditipu oleh orang saat sedang menjalankan usaha. Dan sekarang, Kemal justru kembali membuat masalah dengan menabrak seorang anak kecil.

Tanpa sadar Ghea semakin menggigit bibirnya dengan kepala yang tertunduk. Dua kali Rafis selalu membantu kakaknya tapi baru kali ini Ghea mendapatkan tanggapan menyakitkan dari suaminya itu.

"Ini minjem, kan?"

Kepala Ghea mengangguk kaku. Matanya terasa sangat perih, ingin sekali menangis.

"Ya udah, nanti aku yang transfer ke rekening Ibu. Bilang kakakmu, ini terakhir kalinya bikin kita repot, ya," ujar Rafis ketus. "Aku berangkat dulu. Kamu aja yang antar anak-anak, aku udah hampir telat ini."

Sepeninggal Rafis, Ghea merasa tubuhnya limbung. Air matanya mengalir deras diiringi rasa sesak di dadanya. Ghea berulang kali menghapus air mata yang terus mengalir tapi ternyata tetap saja tidak berhenti. Ghea terluka, oleh perubahan sikap Rafis yang begitu jauh. Rafis yang dulu tidak akan pernah berkata jelek tentang keluarganya. Sejak memutuskan menikah, mereka sepakat jika mereka memiliki uang lebih, mereka berusaha membantu siapa pun dari keluarga yang memerlukan bantuan. Kembali ditipu dan mengalami kemunduran usaha bukanlah keinginan Kemal. Ghea tahu uang lima puluh juta bukanlah uang sedikit, tapi hatinya tetap saja sakit mendengar Rafis mengatakan kalimat seperti tadi untuk kakaknya.

Tetapi karena itulah, Ghea menyadari satu hal. Hidupnya sudah terlalu lama bergantung pada Rafis. Sejak hamil anak pertama, Rafis memintanya berhenti bekerja. Rafis yang saat itu memang masih baru meniti karir dengan penuh tekad dan kepercayaan diri mampu menghidupi dan memenuhi semua kebutuhannya. Rafis memang berhasil membuktikannya. Tapi Ghea lupa kalau tak selamanya perasaan Rafis akan terus sama.

"Elo mau kerja lagi??"

Kepala Ghea mengangguk sambil mengaduk-aduk mie di piringnya. Ghea sedang bersama Rani—sahabatnya, yang juga memiliki anak sepantaran Raka. Kedua anak mereka berada di sekolah yang sama, dan sekarang mereka sedang menunggu anak-anak pulang sekolah.

"Emang uang bulanan dari Rafis kurang, Ghe?" tanya Rani lagi.

"Gue mau cari kesibukan." Ghea memilih untuk tidak menceritakan permasalahannya akhir-akhir ini dengan Rafis. "Lagian anak-anak udah bisa ditinggal juga."

"Rafis udah setuju?"

Ghea memilih diam.

"Kalau misalnya Rafis emang udah setuju, gue bisa bantu coba tanyain di kantor kakak sepupunya Mas Lingga." Rani menyebut nama suaminya. "Terakhir gue denger katanya lagi cari PA baru, soalnya yang lama lagi hamil muda dan niat buat resign. Tapi gue nggak bisa jamin langsung diterima ya, Ghe. Lo tahu sendiri pengalaman kerja kita nggak banyak," ujar Rani mengingatkan jika mereka memutuskan berhenti bekerja tidak lama setelah resmi menjadi pegawai setelah lulus kuliah, karena lebih memilih fokus pada keluarga kecil mereka.

"Iya. Makasih banyak ya, Ran. Tolong langsung kasih tahu gue kalau udah ada kabar."

"Tenang," sahut Rani santai. "Lagian tiba-tiba banget mau kerja? Perasaan dulu Rafis maksa banget lo buat jadi ibu rumah tangga aja."

Ghea hanya tertawa kecil. Tawa kosong yang dirasanya hambar. "Sekarang udah enggak gitu, kok." Ghea berusaha menjawab tenang, walau hatinya terasa nyeri untuk alasan yang hanya dimengerti olehnya.

Tiga hari setelahnya, Rani mengabarkan jika sepupu Lingga yang bernama Yoga itu meminta Ghea untuk mengirimkan berkas lamaran kerja. Ghea tentu senang bukan main dan segera membuat dokumen yang diminta. Tapi belum juga selesai merapikan dokumennya,Ghea merasa perutnya sangat sakit. Sesuatu yang akhir-akhir ini sering dialaminya—walau baru siang ini rasanya begitu menyakitkan. Tanpa pikir panjang, Ghea justru menghubungi Rafis untuk sekadar memberitahu keadaannya. Sayang, sampai panggilan kedua pun, laki-laki yang masih menjadi suaminya itu sama sekali tidak mengangkatnya.

Bibir Ghea mulai merintih lirih. Perutnya sakit sekali. Jadi, berbekal usaha menahan rasa sakit, Ghea memilih mengendarai mobilnya menuju klinik terdekat. Ghea hampir menangis saat menyadari jika celana panjang yang dipakainya terasa basah. Detik itu juga Ghea merasakan firasat buruk pada dirinya. Dan benar saja, air mata Ghea menitik saat dokter jaga memberitahukan kondisinya.

Ghea keguguran.

Dokter bilang kehamilan tiga minggu memang masih sangat rentan, apalagi jika kondisi si ibu tidak diperhatikan dengan benar. Termasuk stres pada ibu yang bisa menjadi salah satu keguguran terjadi. Dan Ghea merasa amat bersalah pada calon bayinya yang gugur itu karena sama sekali tak menyadari kehamilannya, tapi justru terlalu menghabiskan waktu memikirkan keadaan rumah tangganya akhir-akhir ini.

Setelah meminta tolong kakak iparnya untuk menjemput kedua anaknya, Ghea memilih untuk beristirahat beberapa jam di rumah sakit. Ghea berusaha ikhlas dan memilih menerima kehilangannya. Hidupnya harus terus berlanjut demi kedua anaknya. Bukan lagi demi Rafis, karena bagi Ghea segalanya akan dijalaninya sendiri sekarang. Ghea tidak akan lagi peduli pada Rafis sebagaimana laki-laki itu mengabaikan panggilan gentingnya tadi.

Malamnya, Ghea kembali ke rumah setelah menjemput kedua anaknya—dan lagi-lagi Rafis belum pulang. Bahkan Rafis sama sekali tidak bertanya alasan Ghea menghubungi siang tadi. Tentu Ghea masih merasa terluka dengan sikap abai Rafis. Tapi sekali lagi, Ghea berusaha menegarkan hatinya.

Setelah membersihkan diri dan meminum obatnya, Ghea yang baru keluar sehabis memastikan kedua anaknya sudah kembali terlelap di kamar mereka masing-masing, tak sengaja berpapasan dengan Rafis yang ternyata sudah pulang dan akan masuk ke kamar.

"Tadi siang kamu telepon kenapa?" tanya Rafis berbasa-basi.

"Kepencet," jawab Ghea tanpa perlu berpikir, lalu memilih melanjutkan langkah ke kamar dan segera berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang memang masih sakit.

Sedangkan Rafis yang juga sudah merasa lelah memilih membuang napas pelan dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum benar-benar terlelap di sebelah Ghea, Rafis memilih berujar pelan karena tiba-tiba saja perasaannya tak nyaman seharian ini. "Aku sibuk banget hari ini. Seharian meeting, terus lanjut periksa kerjaan sampai malem tadi. Jadi, tolong jangan mikir macem-macem."

"Iya."

Rafis sedikit terkejut mendengar Ghea membalas kalimatnya. Padahal Rafis pikir, Ghea akan tetap berpura-pura tidur seperti malam-malam sebelumnya.

Dua hari setelahnya, Ghea mendapatkan informasi jika besok mulai bisa bekerja di kantor Yoga. Memang mendadak, karena ternyata asisten pribadi Yoga sebelumnya diharuskan benar-benar istirahat karena kandungannya yang melemah. Sekalipun sempat sedih karena pembahasan itu mengingatkan Ghea pada calon anaknya yang gugur, tapi dia berusaha untuk tetap baik-baik saja. Karena itu Ghea bertekad jika malam ini akan menyampaikan soal keinginannya bekerja kembali pada Rafis. Ghea sudah mengatakan pada Raka dan Gisa soal keputusannya bekerja lagi saat makan malam tadi. Sekalipun tidak mudah membuat kedua anaknya itu mengerti, tapi Ghea bersyukur karena Raka yang berusia tujuh tahun sedikit lebih bisa menerima alasan dan janji-janji yang akan berusaha tetap ditepatinya sekalipun sudah bekerja nanti.

Ghea sedang menunggu Rafis sambil memainkan ponsel saat laki-laki yang ditunggunya masuk ke kamar dengan raut wajah yang sangat keruh.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau kemarin itu kamu keguguran?" Rafis menekan suaranya. "Harusnya kamu kasih tahu aku, Ghe!"

"Aku telepon kamu, kok. Tapi kan, kamu nggak angkat karena lagi meeting seharian." Ghea menjawab dengan sangat tenang, sambil meletakkan ponselnya di atas nakas. Sama sekali tak menunjukkan perubahan pada raut wajahnya. "Mumpung kamu lagi ada di sini dan belum sibuk sama kerjaan kamu, aku mau bilang kalau mulai besok aku balik kerja lagi. Jadi PA-nya sepupu Mas Lingga—suami Rani. Kebetulan ada lowongan kosong di sana, dan aku keterima—"

"Dan kamu baru kasih tahu aku soal ini?! Kamu pikir aku bakal ijinin kamu balik kerja?? Kita udah sepakat soal ini, Ghe!"

Ghea membuang napas kecil, dengan wajahnya yang masih datar. "Akhir-akhir ini kan, kamu sibuk banget, Mas. Nemenin anak-anak ngobrol bentar aja kamu nggak sempet, apalagi aku ajak diskusi soal ini. Lagian, kesepakatan awal kita, aku boleh kerja lagi kalau anak-anak udah bisa ditinggal. Dan aku udah dapet ijin mereka."

Warna wajah Rafis semakin memerah. Belum habis rasa marahnya ketika tak sengaja bertemu dokter kandungan Ghea selama hamil dua anak mereka saat Rafis sedang menjenguk salah satu bawahannya yang dirawat di rumah sakit—dokter itu mengingatkannya untuk membawa Ghea kontrol setelah keguguran beberapa hari yang lalu—sekarang Ghea justru membawa kabar jika istrinya itu akan kembali bekerja. Tak tanggung-tanggung, waktunya adalah besok. Benar-benar keterlaluan!

"Aku nggak ijinin! Pokoknya, aku nggak kasih ijin!"

"Terserah, Mas. Kamu nggak kasih ijin pun, aku tetap akan kerja besok. Selamat malam." Ghea mengakhiri kalimatnya. Meletakkan ponsel di atas nakas, lalu menarik selimut dan membaringkan tubuh membelakangi Rafis tanpa mau membicarakan apa pun lagi.

"Batalin, Ghea! Kamu pikir aku nggak bisa kasih kamu uang?? Buat apa kamu kerja—"

"Jangan ribut, Mas. Udah malem. Kasihan anak-anak takutnya kebangun kalau kamu marah-marah," gumam Ghea dengan nada datar.

"Kamu!" Rafis melangkah lebar untuk mencengkeram bahu Ghea agar berbalik menghadap ke arahnya. Dan Rafis terlonjak saat Ghea tiba-tiba menepis kuat tangannya, lalu berbalik dan menatapnya dengan tatapan yang begitu dingin.

"Oh, iya. Ibu juga tadi sore transfer cicilan hutang waktu itu. Udah aku transfer juga ke rekening kamu. Sisanya bakal dilunasin bulan depan."

Rafis tertegun. Bukan hanya pada tatapan dingin Ghea, tapi juga kalimat sang istri yang entah mengapa tiba-tiba membuatnya merasa bersalah.

"Udah ya, Mas. Aku mau tidur, soalnya besok hari pertama kerja. Aku nggak mau terlambat." Rafis tak perlu tahu jika Ghea kembali berbalik untuk menyembunyikan air matanya. Tak perlu Ghea menjelaskan jika ia terpaksa menjual beberapa perhiasan yang diberikan Rafis padanya untuk mengirimkan cicilan hutang pada laki-laki itu. Ghea sedikit menyesal karena ia baru ingat masih memiliki beberapa perhiasan mahal—yang kemungkinan tidak Rafis tahu-menahu jika ia menjual beberapa perhiasan itu. Sisa hutangnya, Ghea bertekad akan melunaskan saat mendapatkan gaji pertamanya nanti. Sekalipun pas-pasan, tapi setidaknya, Ghea yakin jika dirinya dan kedua anaknya tak akan kelaparan karena bagaimana pun Rafis masih menafkahi mereka.

Tak ingin lagi membuat keributan, Rafis memilih pergi ke luar kamar dengan langkah kaki kesal dan diakhiri bantingan pintu kamar. Sesuatu yang selama ini Ghea tahu tak pernah Rafis lakukan sekalipun mereka bertengkar. Rafis yang Ghea tahu adalah sosok penyayang yang bahkan sangat jarang mengeluarkan nada tinggi pada keluarganya.

Pagi harinya, Ghea cukup terkejut saat tiba-tiba saja Rafis memasuki kamar dan meminta kembali tiga kartu yang selama ini diberikan laki-laki itu padanya. Sekalipun sudah mempersiapkan diri, Ghea tetap saja tersinggung dengan perubahan sikap Rafis yang semakin menjadi-jadi. Diambilnya tiga kartu berupa satu kartu kredit dan dua kartu debit—di mana satunya untuk kebutuhan sehari-hari dan bulanan khusus miliknya, juga satunya lagi tabungan dana darurat mereka—cukup menjelaskan seperti apa Rafis memandangnya selama ini. Beruntung Ghea sudah membuka rekening sendiri untuk gajinya selama bekerja nanti. Seolah Ghea sudah yakin jika hal seperti ini akan secepatnya terjadi.

"Karena kamu kayaknya nggak butuh uangku lagi, jadi kamu bisa balikin kartu-kartu itu. Mulai sekarang, aku yang akan atur langsung kebutuhan rumah. Aku akan kirim uang belanja ke Bu Sumi. Uang sekolah anak-anak dan semua kebutuhannya juga aku yang akan langsung bayar. Uang buatmu—"

"Nggak usah dikirim lagi. Kamu cukup pastiin semua kebutuhan rumah dan anak-anak terpenuhi." Ghea memotong sambil memberikan tiga kartu itu pada laki-laki yang masih menjadi suaminya.

Rafis kembali marah karena merasa Ghea semakin tak terkendali. Bagi Rafis, sikap Ghea terlalu kekanakan sampai bertindak sejauh ini. Padahal tujuan Rafis hanya ingin Ghea membatalkan niat bekerja dan segalanya pasti akan kembali baik-baik saja. "Oke, terserah kamu."

Kepala Ghea mengangguk-angguk tenang—walau dadanya sudah berdentum kesakitan. "Aku janji nggak akan ikut campur urusanmu lagi. Kamu bebas mau main sama temen-temenmu bahkan sampai pagi pun. Jadi, kuharap kamu juga lakuin hal yang sama. Mulai sekarang, urusan kita cuma soal anak-anak, Mas."

Rahang Rafis mengetat sempurna. "Aku nggak tahu kalau kamu bisa bersikap sampai sejauh ini cuma berawal dari aku deket sama temen-temenku, Ghe? Seriously? Sedangkal itu kamu lihat aku?"

"Iya, Mas. Sedangkal perasaanku sekarang ke kamu. Kalau bukan karena mikirin anak-anak, aku mungkin udah minta pisah sejak aku tahu kamu bandingin aku sama Jianne—temen kesayanganmu itu."

Kali ini, tubuh Rafis membeku. Lidahnya kelu bahkan untuk sekadar memberi bantahan kecil. Sedangkan Ghea memilih berlalu setelah mengambil tas kerjanya.

Pagi ini diawali sepasang suami istri itu dengan suasana rusak, yang mungkin juga sudah menggambarkan hubungan pernikahan mereka beberapa waktu terakhir.

===

udah lama banget gak update di lapak ini hahaa. semoga yg nunggu cukup terobati dengan part ini yaa. maklum, ini kan cerita2 pendek, jadi emang gak selalu update huehehe. selamat membaca!

salam,
yenny marissa

17 September 2023

Continue lendo

Você também vai gostar

9.6K 902 7
Dua tahun bukan waktu yang singkat buat Kinara Aldia untuk mengejar dan mengharap perhatian seorang Ardito Wisanggeni. Berbagai upaya ia lakukan, mul...
245K 5.4K 16
Dewa si CEO kaya yang tiba-tiba kepincut gadis muda. Gadis menggemaskan bernama Shera, masih menginjak sekolah menengah atas tingkat kedua. Tentu umu...
102K 6.6K 21
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...