Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

14.9K 2.3K 151

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°1°
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°26°
°27°
°28°
°29°
°30°
°31°
°33°
°34°
°35°
°36°
°37°
°38°
°39°
°40°
°The End°

°32°

276 38 7
By slayernominee

.
.
.
.
.

"Bagaimana penampilanku?"

Iida menatap lelah pada sosok tuannya itu. Pasalnya, itu sudah pertanyaan yang ke sepuluh kalinya sejak satu jam lalu. Terlebih, pertanyaan yang sama.

Dengan penuh kesabaran, pengawal itu tersenyum kecil. "Bagus."

Todoroki menatap pantulan dirinya di cermin dan mengernyit. "Benarkah? Tapi kelihatannya tidak terlalu cocok."

Baiklah. Sudah cukup.

"Dengan segala hormat, Todoroki Shouto-sama." Iida menghela napas. "Sudah sepuluh kali kau berganti baju dan sepuluh kali bertanya. Semuanya kujawab dengan bagus, tapi kau selalu merasa sebaliknya dan terus mencari baju lain. Apa gunanya bertanya padaku kalau begitu?"

Iida akhirnya kehilangan kesabarannya.

Todoroki yang diomeli malah terlihat santai saja dan masih mematut diri di depan cermin. "Hm, ya. Ini masih kurang. Aku akan coba yang lain."

Iida menghela napas panjang. Sabar, sabarlah Iida yang sabar, baik hati, suka menolong dan rajin menabung.

Todoroki pergi berganti ke pakaian lain.

"Baiklah, aku akan berhenti menjawab pertanyaan soal penampilanmu dan menghitung saja berapa kali kau ganti baju sampai akhirnya puas."

Iida akhirnya hanya duduk dan memperhatikan saja Todoroki sibuk ke sana kemari sendirian. Sekarang pria berambut dwi warna itu sedang mematut diri dengan pakaian ke dua belasnya.

"Sebenarnya kenapa kau begitu bersemangat soal penampilanmu? Biasanya kau tidak masalah mengenakan pakaian yang mana saja setiap harinya."

"Kau sudah tahu alasannya." Jawab Todoroki selagi masih sibuk memperhatikan pakaiannya.

"Ya, baiklah. Aku tahu kau ada janji dengan Midoriya untuk minum teh bersama." Ujar Iida. "Tapi kenapa kau serepot ini? Pakai saja yang biasa kau gunakan saat acara semiformal."

"Semuanya sudah pernah kupakai, membosankan."

Iida tahu itu bukan sifat Todoroki yang biasanya. "Jangan bilang kalau kau menganggap janji temu itu sebagai kencan."

"Yah, kurang lebih."

"Shouto." Panggil Iida. "Kau tahu Midoriya masih tunangan Bakugou-sama, kan?"

"Kau juga sudah tahu kalau itu bukan status resmi lagi, kan?"

"Secara hukum? Ya, memang. Tapi secara perasaan sebenarnya dari Midoriya dan Bakugou-sama sendiri? Kita belum tahu."

"Itu sama saja seperti tidak resmi." Todoroki cuek saja. "Anggap saja aku juga belum secara resmi mengencani Midoriya. Hanya sebatas perasaan pribadiku."

"Apa kau tidak takut? Hal ini hanya membuatmu semakin berharap. Aku sudah bilang bisa saja Midoriya tidak akan menaruh hati padamu, meski aku juga tidak tahu apa Midoriya benar-benar memiliki perasaan pada Bakugou-sama. Tapi belum ada jawaban pasti."

"Aku takut." Todoroki menatap cerminan dirinya. "Siapa yang tidak takut perasaannya bertepuk sebelah tangan?"

Iida menyadari raut Todoroki berubah.

"Aku juga tahu, seharusnya aku tidak boleh melakukan hal ini karena ada kemungkinan aku akan gagal. Tapi," Todoroki melihat pada kedua matanya yang berbeda warna. "beda masalahnya kalau Midoriya benar-benar seorang bangsawan yang menjadi tunangan Bakugou-sama."

"Kalau Midoriya tidak terpaksa berpura-pura, dan dia memang bangsawan yang sudah dijodohkan dengam Yang Mulia, aku tidak akan berani melakukan ini seberapapun aku mencintainya. Tapi dia seorang rakyat biasa, dan dia terlibat masalah. Aku sebisa mungkin akan membantunya, melindunginya, tapi aku tidak yakin akan kedepannya. Entah apa yang akan terjadi, semuanya diluar kendaliku, karena aku tidak tahu ada apa di masa depan."

"Jika Midoriya bangsawan yang menikah dengan Bakugou-sama, aku masih bisa sesekali datang untuk mengaguminya di istana, seraya menerima keadaan dan membiasakan hatiku untuk dapat terbuka dengan perempuan lain. Tapi Midoriya yang kini dalam lindunganku bisa saja lepas kapan saja. Kalau sampai aku kehilangan dia, aku tak akan punya kesempatan untuk bisa membuka hati pada perempuan lain. Aku akan begitu terluka."

"Shouto."

"Maka dari itu, aku akan menggunakan waktu yang kupunya. Sebisa mungkin aku akan bersamanya. Kalau dia pergi aku masih akan terluka, tapi setidaknya aku tidak akan begitu kecewa karena sudah mengambil kesempatan untuk bisa bersamanya."

Iida terdiam menatap pada tuannya itu. "Baiklah, aku mengerti." Pengawal itu tersenyum kecil. "Kau bukan tengah mempermainkan Midoriya atau menantang calon kaisar, jadi aku akan membiarkanmu."

"Terima kasih."

"Tapi aku terkejut kau membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Aku sebenarnya tidak ingin, tapi aku masih manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan segalanya. Sebisa mungkin aku akan lindungi dia, berharap situasi tidak akan semakin memburuk setelah semua yang terjadi."

"Benar, kita memang hanya bisa berbuat semampunya." Iida melihat keluar jendela. "Sudah hampir waktunya, bukan? Janji temu kalian."

Todoroki mengangguk. "Aku akan gunakan pakaian ini."

Iida menghela napas lagi. "Akhirnya, sampai kau berganti ketigabelas kalinya, aku sudah berniat akan pergi dari ruangan ini."

"Haha, sana pergilah dan minta pelayan siapkan semuanya."

"Bagus, baru sekarang aku diusir. Kenapa tidak sejak tadi, jadi aku tidak harus bosan melihatmu terus berganti baju."

"Hei, itu perintah."

"Ya, ya."

.
.
.
.
.

Todoroki berdiri di depan pintu ruangan yang Iida sudah minta pelayan siapkan sebagai acara jamuan teh kecil bagi dia dan Midoriya.

Setelah merapikan pakaiannya sekali lagi, Todoroki berdeham pelan.

"Midoriya, ini aku."

"Masuklah."

Todoroki membuka pintu dan tersenyum kecil melihat Midoriya yang duduk membelakanginya di depan meja pendek. Namun saat gadis itu menoleh menyambutnya, Todoroki terdiam.

Midoriya tersenyum. "Apa kau tidak akan masuk?"

"Uh-oh, ya...?" Todoroki mengerjap, melihat sekitar dengan kikuk. "Y-ya, aku akan masuk." Dia melangkah ke dalam dan menutup pintu.

Dia sempat tersandung kecil, membuat Midoriya bergumam untuk memintanya berhati-hati. Dengan senyum kaku, Todoroki duduk di seberang Midoriya pada meja bulat pendek.

"Kau baik-baik saja? Kau terlihat agak kurang fokus dengan jalanmu tadi."

Todoroki mengangguk kecil. "Ya, aku hanya..." dia sekali lagi melihat pada Midoriya dan berdeham kecil. "...tidak menduga kau akan berdandan..."

"Oh, maaf. Apa terlalu berlebihan?" Midoriya mengernyit cemas.

"Ti-tidak, tidak." Todoroki segera menggeleng. "Aku tidak mengatakannya dalam artian buruk. Uhm... wajar bagi perempuan untuk berdandan, kan?"

"Sebenarnya aku sudah mengatakan tidak perlu, tapi Sumire masih menganggapku sama seperti di istana. Jadi... yah, aku terpaksa menurut."

Bulu mata lentik, manik emerald cerah pada matanya yang lebar, lipstik merah muda cantik pada bibirnya, dan perona tipis pada pipi berfrecklesnya. Itu hanya dandanan biasa yang tidak berlebihan. Tapi karena Midoriya sendiri sudah berparas cantik, riasan pada wajahnya membuat pesona kecantikannya semakin memancar.

Todoroki hampir saja kelewatan menatapnya terus menerus tanpa berkedip sejak dia duduk. Dia segera mengerjap dan berdeham untuk kesekian kalinya.

"Kau... terlihat cantik." Ujar Todoroki dengan setengah menggumam selagi menahan wajahnya tak berubah merah merona.

Midoriya tersenyum. "Terima kasih, kau juga terlihat tampan. Aku yakin ada banyak perempuan yang jatuh hati padamu."

Mendengar itu, Todoroki jadi sangat penasaran apa Midoriya juga merupakan salah satunya. Tapi dia segera menampik pikiran itu.

"Ah, ya. Aku tidak tahu." Todoroki sulit untuk membuat dirinya tidak berakhir diam menatap wajah Midoriya. "Aku akan minta pelayan membawa tehnya masuk."

Memanggil pelayan masuk, dua cangkir teh, satu teko keramik bercorak royal, dan beberapa piring makanan kecil disajikan. Pelayan bergegas undur diri setelah tugas mereka selesai.

"Terima kasih karena telah mengundangku dalam jamuan ini, Todoroki-kun."

"Ya, aku suka melakukan ini sendirian. Sesekali memiliki teman akan menyenangkan."

"Maaf, dulu aku pernah menjanjikan akan mengundangmu dalam jamuan di istana, tapi harus kubatalkan..."

"Tidak apa, aku mengerti." Todoroki ingat dulu Midoriya menyesal harus membatalkan janjinya. Gadis itu bilang Bakugou sangat sibuk dan kesal saat Midoriya meminta izin. Todoroki saat itu sempat berpikir mungkin Bakugou tidak suka Midoriya dekat dengan orang lain, tapi dia belum yakin sampai sekarang.

Memulai jamuan dengan menuangkan teh ke dalam cangkir Midoriya, acara kecil itu pun dimulai. Mereka berdua bukan pribadi yang cerewet, jadi keduanya menikmati jamuan teh dengan tenang dan obrolan ringan selagi pintu halaman pribadi terbuka menampilkan pemandangan malam yang cerah.

"Midoriya, apa sebelumnya kau pernah... punya, uhm, kekasih?" Todoroki mencoba memberanikan diri membahas hal itu dengan senatural mungkin.

Midoriya meletakkan cangkir tehnya setelah meminum sedikit. "Tidak."

"Sama sekali?" Tanya Todoroki sekali lagi. Midoriya menggeleng.

Mendengar itu jujur saja membuat Todoroki cukup senang, dia berusaha keras menahan senyumnya.

"Apa pernah ada seseorang yang menarik perhatianmu?"

Midoriya sekali lagi menggeleng. "Aku tidak punya waktu untuk itu. Sejak ibuku tiada, aku sangat sibuk bekerja di berbagai tempat."

Midoriya hidup sendirian sejak beberapa tahun lalu dan bekerja keras untuk bertahan hidup juga mengurus segala keperluannya sendiri. Tentu saja dia tidak punya waktu untuk menaruh perhatian pada seseorang, Todoroki merasa bodoh setelah menanyakannya.

"Bagaimana denganmu, Todoroki-kun?"

Todoroki mengerjap. "Aku? Aku, uhm... tidak. Tidak punya, sejak dulu juga tidak."

Ingin menjawab iya pun Todoroki takut tidak akan bisa menyembunyikan reaksi kikuknya nanti kalau Midoriya menanyakan siapa orangnya.

"Apa kau sibuk mengurus dojo ayahmu?"

"Ya, semacam itu." Memang benar Todoroki sibuk sampai belum pernah tertarik dengan perempuan manapun. Setidaknya sampai dia bertemu Midoriya di istana.

"Banyak prajurit yang dulu berlatih di dojomu memiliki pangkat di istana, aku yakin dojo itu sangat sibuk dengan semua pelatihan berkualitas yang ada."

Todoroki mengangguk. "Banyak juga anggota dojo yang menjadi pelatih sekarang, jadi tidak sesibuk itu. Tapi yah tetap saja jadwal kami cukup padat."

Obrolan mengalir dengan lembut seperti sungai kecil yang bergericik pelan. Cukup lama mereka duduk di sana sampai Todoroki meminta pelayan membawakan teh baru karena teko mereka sudah dingin.

Midoriya kembali mengangkat cangkir tehnya. Saat itu sesuatu yang berkilau menarik perhatian Todoroki.

Manik dwi warnanya melihat cincin pertunangan yang ada di jari manis tangan kanan Midoriya.

Pria itu terdiam. Dia punya banyak dugaan dalam pikirannya. Tapi salah satunya entah kenapa membuatnya merasa patah hati, padahal dia belum tahu kebenarannya.

"Tempat ini punya pemandangan malam yang indah."

Ucapan Midoriya menarik Todoroki dari lamunannya. "Hm? Ah, karena itu aku juga suka diam di ruangan ini sendirian."

Midoriya melihat ke bintang-bintang yang menghiasi malam. "Istana juga punya banyak tempat bagus untuk menikmati langit malam, jadi aku sering berjalan-jalan di taman saat punya waktu. Dulu aku juga senang duduk di teras rumah dan menatap langit malam yang cerah berjam-jam."

"Kalau begitu apa kau pernah melihat bintang jatuh?"

"Sayangnya tidak, padahal aku menantikannya." Midoriya terbatuk pelan.

Todoroki mengangkat cangkirnya, menyesap. "Hm, apa kau menantikannya untuk membuat sebuah permohonan?"

Tak mendapat jawaban, Todoroki menaikkan tatapannya pada Midoriya. Dia melihat gadis itu menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.

"Ada apa—?"

Tak perlu menunggu Midoriya menjawab, Todoroki sudah melihat permasalahannya dengan kedua matanya sendiri yang membuatnya sontak terdiam.

Darah menetes dari ujung jari Midoriya, jatuh ke kain pakaiannya.

Saat tetesan itu seketika merembeskan warna merah segar ke pakaian gadis itu, Todoroki langsung terpecah dari diam terkejutnya.

Kedua manik matanya yang berbeda warna menatap kaku. "Midoriya, kau—"

Dengan masih menutupi mulut, Midoriya yang pucat, setengah menatap pada pria di depannya itu. "Todoroki-kun, maafkan aku..."

Midoriya merasa kelopak matanya berat, bersamaan dengan tubuhnya yang kehilangan kekuatan, dia pun jatuh tak sadarkan diri.

"Midoriya!" Todoroki bergegas bangkit dan menangkap tubuh gadis itu sebelum jatuh ke atas tatami.

Melihat Midoriya yang tak sadarkan diri dengan darah di bibir, tangan, dan bajunya, Todoroki menatap dengan terkejut dan bingung akan apa yang terjadi. Tapi dia menyadarkan diri dan berteriak memanggil.

"Iida!"

.
.
.
.
.

Mondar mandir berjalan kesana kemari, Todoroki tidak bisa duduk diam.

Iida menatap padanya. "Shouto, kau akan membuat orang pusing, duduklah."

"Aku yang akan pusing kalau hanya duduk."

Pengawal itu menghela napas pelan. Dia paham Todoroki memang tidak akan bisa tenang meski dia membujuk seperti apapun.

Beberapa saat lalu, dia tengah berjaga di depan pintu tempat jamuan teh berlangsung. Karena acara kecil itu berlangsung cukup lama, Iida sempat mengantuk. Namun tiba-tiba terdengar teriakan Todoroki yang memanggilnya. Sontak Iida membuka pintu dan berlari masuk ke dalam ruangan. Dia begitu terkejut menemukan Todoroki memapah Midoriya yang tak sadarkan diri dengan berlumur darah di mulut, tangan, dan pakaiannya.

"Apa yang terjadi?"

"A-aku tidak tahu, tiba-tiba saja dia batuk darah dan jatuh pingsan." Todoroki sedikit gemetar. "Segera panggil tabib dan siapkan ruang perawatan."

Iida mengangguk, dia bergegas pergi. Tabib kini sudah berada di ruang perawatan sejak hampir setengah jam lalu.

"Dia akan baik-baik saja."

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Todoroki.

"Uhm, yah, kau harus berpikir sepositif mungkin, bukan?"

Todoroki menghembuskan napas panjang, mengusap wajahnya. Ya, dia memang harus menenangkan diri.

Pintu ruangan terbuka, Todoroki dan Iida melihat pada tabib yang keluar dari ruangan. Tabib itu membungkuk singkat pada Todoroki sebelum mulai bicara.

"Kondisinya sudah kembali stabil. Kemungkinan dia akan siuman besok."

"Apa yang terjadi? Kenapa dia batuk darah?"

Tabib menoleh ke dalam ruangan dengan cemas. "Sebenarnya saya belum tahu pasti, Todoroki-sama."

Todoroki mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Gejala batuk darah biasanya terjadi akibat beberapa penyakit. Namun dari yang saya periksa tadi, ada sedikit keanehan. Seolah... dia bukan menderita penyakit-penyakit yang biasa menjadi penyebabnya."

"Apa itu semacam penyakit baru?"

"Saya masih harus mencaritahu. Segera saya akan periksa lebih jauh dan menemukan penyebab sebenarnya."

"Baiklah. Terima kasih, segera kabari aku kalau kau menemukan sesuatu."

"Ya, Todoroki-sama."

Tabib pamit pergi. Todoroki melihat ke dalam ruangan di mana Sumire dan Giro duduk di samping tempat tidur Midoriya. Dia dan Iida melangkah masuk.

"Apa sejak di istana dia sudah seperti ini?" Tanya Todoroki setelah dia duduk di seberang Sumire.

"Nona memang sudah lama sering sakit." Ujar Sumire. "Kami selalu merawatnya dan berusaha tidak membuatnya kelelahan, tapi anehnya saya memperhatikan jika penyakitnya semakin parah seiring waktu berlalu. Yang terparah adalah saat Nona sakit sebelum dia ditangkap, saat itu dia sampai batuk darah. Tabib istana melakukan pemeriksaan genting, tapi kemudian Nona diseret ke penjara. Tabib tak punya waktu untuk menemukan penyebab sebenarnya dan hanya bisa membuatkan obat yang sedikit lebih baik sebelum Nona memutuskan untuk melarikan diri."

"Begitu."

"Aku tidak tahu dia sesakit ini saat kami ada di penjara." Ujar Giro. "Siapapun dirinya, dia harus fokus dalam penyembuhannya, tapi dia lebih memikirkan soal orang-orang yang dia lindungi."

"Di luar statusnya yang asli, aku yakin Midoriya memang gadis yang baik." Iida tersenyum. "Meski menyamar pun, dia tidak merugikan istana, kan? Dia justru banyak membantu."

Sumire mengangguk. "Maka dari itu saya tetap menghormatinya meski setelah mengetahui kebenarannya."

"Tabib kami akan segera menemukan jawabannya." Ucap Todoroki. "Kami akan berusaha menyembuhkannya."

Sumire dan Giro mengangguk. Iida melihat jika hari sudah semakin malam.

"Baiklah, lebih baik kita biarkan Midoriya beristirahat." Iida bangkit berdiri, diikuti Sumire dan Giro.

Todoroki menggaruk pipinya. "Uhm, aku akan di sini sebentar lagi."

Iida mengangguk, menepuk pelan pundak Todoroki sebelum keluar bersama dua orang lain.

Setelah hanya tinggal berdua, Todoroki melihat pada Midoriya. Gadis itu terbaring dengan wajah pucat dan napas yang agak lemah. Jujur saja melihat Midoriya batuk darah menjadi pemandangan mengerikan bagi Todoroki. Dia begitu ketakutan dan merengkuh gadis itu dengan gemetar di ruang jamuan tadi.

Todoroki mengulurkan tangan mengusap rambut Midoriya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Midoriya...?" Dia beralih mengusap wajah gadis itu. "Kau membuatku takut."

Midoriya bernapas pelan dan lemah. Todoroki sangat cemas kalau saja napas itu akan menhilang.

Dengan seluruh pikiran buruk yang kusut dalam kepalanya, Todoroki memajukan tubuhnya.

"Aku mencintaimu." Bisiknya pelan sebelum dia membubuhkan kecupan tipis pada sudut bibir pucat gadis itu.

.
.
.
.
.

Midoriya membuka kelopak matanya perlahan. Langit-langit ruangan yang terlihat asing nampak di pandangannya. Samar dia menyadari sinar matahari yang menembus masuk dari tirai jendela.

Sudah pagi? "Uh..."

"Midoriya?"

Dia menoleh ke sumber suara dan melihat Todoroki duduk bersimpuh di sampingnya, menatap cemas.

"Oh, Todoroki-kun...."

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasa sakit?"

"Uhm... tubuhku agak berat dan lemas..." Midoriya mengeryit tipis. "Sudah pagi, apa yang terjadi...?"

"Semalam kau pingsan? Ingat?"

"Ah, benar..."

"Tabib mengatakan kau sudah stabil semalam. Tapi masih perlu pemeriksaan lebih jauh untuk menemukan apa yang terjadi padamu."

"Maaf... aku merepotkanmu. Kukira sakitku sudah lebih baik dengan obat yang kuterima baru-baru ini, aku tidak menduga tiba-tiba saja kembali kambuh malam tadi..."

"Tidak masalah, itu bukan salahmu. Sekarang kau banyaklah beristirahat. Begitu tabib selesai memeriksa kau akan dibuatkan obat baru yang lebih baik."

"Terima kasih..." Midoriya menatap. "Uhm, apa kau berjaga semalaman di sini?"

Todoroki mengusap tengkuknya. "Ya, aku tak sengaja tertidur dalam posisi duduk semalam."

"Kau pasti lelah. Jangan khawatirkan aku, kau punya banyak kesibukan. Aku tidak mau mengganggu pekerjaanmu."

Jujur Todoroki sebenarnya malas mengurusi jadwalnya saat dia masih cemas dengan Midoriya. "Baiklah, aku akan panggilkan Sumire dan Giro ke sini."

Usai Todoroki pergi, Midoriya bertemu dengan Sumire yang seperti biasa selalu menangis bahagia saat melihatnya sudah sadarkan diri. Giro sampai harus mengingatkannya untuk tak memeluk Midoriya terlalu erat.

Hari itu tidak banyak yang Midoriya bisa lakukan selain beristirahat penuh. Malam pun tiba saat Midoriya masih ada di ruangan yang sama. Sumire dan Giro meninggalkannya untuk istirahat. Todoroki dan Iida juga sudah bicara menjenguknya tadi.

Midoriya tidak mengantuk, jadi dia duduk di atas futonnya dan menatap keluar jendela. Menatap langit malam yang kali ini gelap kosong. Sinar bulan pun hanya sedikit terlihat, tertutupi awan tebal.

Tidak ada yang bisa dia lihat, Midoriya memutuskan tidur meski belum lelah. Nantinya juga dia akan terlelap.

Baru saja memejamkan mata selama lima menit, Midoriya mendengar langkah kaki ringan di dekatnya. Berpikir itu Sumire atau Todoroki, dia membuka mata untuk bertanya ada perlu apa.

Namun belum sampai dia melihat siapa yang datang, Midoriya terkejut saat tiba-tiba mulutnya terbungkam oleh tangan seseorang yang membekapnya.

Maniknya membulat menatap pada sosok yang ternyata tidak dia kenali.

"Shh." Sosok itu menempelkan telunjuk ke mulutnya. "Tetap diam dan aku tidak akan membunuhmu."

Melalui tatapan ketakutannya, Midoriya bertanya siapa sebenarnya sosok itu. Sosok itu paham maksud tatapannya.

"Aku diutus untuk mencarimu. Bagaimana aku bisa tahu kau ada di sini dan bagaimana aku bisa masuk? Itu memang kemampuanku, jadi aku dipekerjakan diam-diam."

Sosok itu melepas tangannya yang membekap Midoriya. Bernapas berat, dan gemetar, Midoriya mengumpulkan kekuatan untuk bicara.

"Apa kau.... datang untuk membunuhku?"

"Seharusnya iya."

"Seharusnya...?"

Sosok itu menatap dari balik penutup wajahnya yang hanya memperlihatkan matanya saja. "Aku tahu jelas siapa kau. Kau pernah menyelamatkan seorang perempuan dan anak yang kukenal. Sudah lama aku ingin membebaskan mereka, tapi tidak bisa."

"Apa mereka... korban perdagangan manusia...?"

"Ya. Karena itu aku berhutang budi padamu."

Midoriya diam menatapnya.

"Aku tidak akan membunuhmu, dan aku tidak akan melaporkan keberadaanmu di sini pada dia yang mempekerjakanku." Ujar sosok itu. "Tapi, aku ingin kau pergi dari tempat ini. Mereka sudah menaruh curiga kau ada di sini, jadi meski aku tak melaporkanmu suatu saat mereka akan tetap mencoba mendobrak masuk."

Mendengar itu Midoriya berubah cemas. Meski Todoroki bilang kediamannya aman, pihak pemberontak Hana dan Ren tidak akan memedulikan izin Yang Mulia. Dia tidak mau membahayakan Todoroki.

"Aku akan membantumu keluar dari sini. Sisanya, terserah kau ingin pergi kemana yang kau mau. Yang penting aku sudah membalas budi yang kurasa cukup."

Midoriya terdiam sejenak. Pikirannya begitu kacau. Tak lama kemudian dia mengangguk patah-patah.

"Baiklah..." bisiknya, mungkin ada penjaga di luar, jadi dia bicara sepelan mungkin. "Aku.. aku akan keluar dari tempat ini. Beri aku waktu untuk bersiap sebentar."

"Usahakan jangan banyak membuat suara. Aku bisa masuk diam-diam, tapi percuma saja kalau kau mengungkapkan keberadaanku dengan bergerak berisik."

Keluar dari selimut futonnya, Midoriya mulai membereskan sedikit barang yang akan dia bawa. Dia datang ke kediaman Todoroki hampir dengan tangan kosong, jadi dia tak banyak membawa banyak hal. Hanya beberapa yang dia rasa akan berguna sampai dia menemukan tempat bersembunyi lain nantinya.

Sosok itu melihat Midoriya memasukkan beberapa obat ke tas kain yang dia bawa.

"Obat?"

"Ah, ya. Aku kadang sakit, jadi aku memerlukan obat ini." Ujar Midoriya, mengikat erat tas kainnya dan berbalik menghadap pada sosok itu. "Boleh... aku meninggalkan sepucuk surat? Aku tidak mau orang di sini khawatir saat aku pergi."

"Asal kau tidak menyebutkan soal diriku."

Midoriya mengangguk. Dia bergegas mencari sehelai kertas dan pena bulu juga botol tinta. Menuliskan beberapa kalimat di atas helai putih itu, Midoriya pun melipatnya dan meninggalkannya di atas futon yang sudah dia bereskan.

"Sudah?"

"Ya... antarkan aku keluar."

Sosok itu melihat keluar jendela, memperhatikan dengan waspada dan cermat. Satu menit kemudian dia membuka lebar jendela dan mengajak Midoriya keluar dari sana.

"Kau yakin tidak akan penjaga di luar?"

"Selalu ada kelemahan di setiap penjagaan. Cepat, waktu kita tipis sebelum penjaga selanjutnya lewat."

Midoriya dibantu keluar dari jendela agar tak menimbulkan suara gemerisik. Mendarat sunyi ke atas tanah berumput taman di luar bangunan, Midoriya mengikuti sosok itu yang bergerak cepat dan hati-hati. Gadis itu menoleh untuk terakhir kalinya ke kediaman Todoroki sebelum dia menghilang ke balik semak tinggi.

.
.
.
.
.

Sumire selesai memasak bubur lezat di dapur. Dia berpamitan dengan para pelayan dapur untuk kemudian pergi membawa nampan berisi segelas air, dan semangkuk bubur harum.

Giro keluar dari kamarnya dan mencium aroma lezat. "Apa aku juga dapat?"

"Tidak, masih ada makanan lain di dapur. Ambil saja sendiri. Ini khusus untuk Nona."

Giro manyun sebal. "Iya, iya."

Sampai di ruang rawat Midoriya yang tidak jauh dari ruangannya dan juga kamar Giro, Sumire memanggil.

"Nona, saya bawakan sarapan."

Tidak ada jawaban. Biasanya meski tertidur Midoriya akan mendengar panggilan itu dan menjawab.

"Mungkin dia masih tidur." Ujar Giro. "Obat yang dia minum pasti membuatnya lebih pulas."

Sumire mengangguk. Dengan hati-hati dia membawa nampan dengan satu tangan, dan kemudian membuka pintu.

"Nona—"

Giro tengah menguap lebar saat melihat Sumire terdiam usai membuka pintu. Dia mengusap matanya. "Ada apa?"

Kepala pelayan istana itu menoleh dengan raut panik. Tangannya yang membawa nampan gemetar. "Nona... tidak ada di ruangannya."

.
.
.
.
.

Penjaga gerbang yang menjalani tugasnya dengan kantuk lelah karena telah berjaga semalaman, samar mendengar sesuatu. Dia mencoba menatap sesuatu di kejauhan dan melihat hal yang familiar. Dia bergegas kehilangan kantuknya dan menegakkan tubuh.

Bersamaan dengan sesuatu yang semakin dekat, dia berseru. "Yang Mulia sudah kembali! Buka gerbang!"

Kereta kuda istana yang mengangkut calon kaisar di dalamnya telah kembali. Bakugou, Kirishima, dan Koshi kembali dari tugas luar kotanya yang cukup lama.

Di dalam kereta, Bakugou bersedekap menunggu kendaraannya sampai di depan gerbang.

Tanpa mengetahui terdapat sesuatu yang telah lama menunggu untuk di hadapi.

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

26.2K 3.8K 29
Dabi adalah berandalan SMA yang paling tidak bisa ditebak di antara anak berandal lain. Dia bertindak semaunya dan sering membuat masalah. Namun, Dab...
454K 45.8K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
1M 83.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
103K 11K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...