Prambanan Obsession (END)

By an11ra

134K 21K 1.8K

Perjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegaga... More

Prolog
【1】Terkutuk
【2】Terperangkap
【3】Terjebak
【4】Terlambat
【5】Terlukis
【6】Terkenal
【7】Terkejut
【8】Tertusuk
【9】Terlihat
【10】Tersentuh
【11】Terbaik
【12】Terlalu
【13】Terbuang
【14】Terlebur
【15】Terkecoh
【16】Terakhir
【17】Terangkat
【18】Tertutup
【19】Tersudut
【20】Tersabar
【21】Terlelap
【22】Tertipu
【23】Terpaksa
【24】Tertawa
【25】Terancam
【26】Terdiam
【27】Terpesona
【28】Tersenyum
【30】Terbukti
【31】Terisak
【32】Terbenam
【33】Tercampur
【34】Teristimewa
【35】Terguncang
【36】Terjerembab
【37】Terkuat
【38】Tertarik
【39】Terabaikan
【40】Terserah
【41】Terluka
【42】Tertampar
【43】Terhenti
【44】Terpikir
【45】Terikat
【46】Tercekik
【47】Terbakar
【48】Terindah
【49】Tertidur
【50】Terbangun
【51】Terkepal
【52】Terdengar
【53】Terkubur
【54】Tertukar
【55】Terwujud
【56】Terungkap
【57】Ternyata
【58】Terulang
【59】Terbayang
【60】Tertuju
【61】Terkhianati
Epilog

【29】Terpaku

1.6K 344 23
By an11ra

Bonus update, guys!
(Jadi aku bisa libuuuur dulu,
mumpung Wattpad lagi sepi buangeeet.)

Kriik... Kriik... Kriik

🦗 🦗 🦗

------------------------------------------------

Napas Dara tersekat. Matanya mengerjab beberapa kali untuk memastikan semua yang terlihat ini nyata. Namun, bagaimana mungkin dirinya berada di istana. Iya, walau dinding disusun dari batu-batu besar tapi semua diukir artistik hingga ke langit-langit. Banyak patung batu dengan beragam bentuk tersebar di ruangan sebagai hiasan. Ada pula kain-kain semacam kelambu. Tampak pula gerabah berisi bunga-bunga.

Meskipun jauh jika dibandingkan istana Aladin apalagi castle Eropa tapi Dara yakin ini benar-benar istana. Sungguh penampakannya berbeda dengan bangunan batu tempat wanita entah siapa yang dikurung waktu itu. Namun, Dara tetap saja merasa takut.

Suara denting besi yang dipukul beberapa kali membuat badan Dara terlonjak kaget. Apa itu maksudnya isyarat pertanda waktu? Harusnya di zaman kerajaan belum ada jam dinding sebagai petunjuk waktu yang akurat.

Derap langkah beberapa orang membuat Dara waspada. Bergerak mencari tempat sembunyi yang terdekat. Merutuki diri karena bisa-bisanya tersesat di tempat antah berantah ini.

Berjongkok di belakang patung Ganesha yang ada di pojok ruangan. Dara bukan umat Hindu tapi tahu bahwa Ganesha adalah Dewa ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Perlambang kecerdasan, penghalau segala rintangan, dan juga dipercaya pemberi kesejahteraan serta bagi para pemujanya. Sumpah, dirinya tidak meminta kecerdasan atau apapun saat memilih patung ini tetapi menurut logika ukuran patung ini cukup besar dan lebar jadi badan Dara bisa aman tersembunyi.

Matanya memindai penampilannya. Piyama pendek berbahan silk yang masih melekat di tubuh Dara merupakan bukti tadi dirinya tidur bukan sengaja kelayapan. Lagian Dara tidak segila itu hingga pergi ke bangunan kuno. Ini sih bukan memacu adrenaline tapi memicu serangan jantung.

Otaknya berpikir cepat. Kemungkinan besar ini semacam mimpi seperti dahulu kala. Dara lalu mencubit kulit tangannya sambil menutup mata agar bisa terbangun. Sakit... Sakit rasanya tapi saat membuka mata, dirinya masih tetap di sini. Sumpah, rasanya ingin menangis.

Apa-apaan ini?

Menahan napas saat tampak sekelompok wanita melewati tempat persembunyian Dara. Mereka menggunakan jarik motif senada yang dililitkan dari dada hingga mata kaki dihiasi stagen kain berwarna hitam. Rambut disanggul dan dihiasi bunga. Pokoknya mereka berpenampilan serupa.

Mustahil jika saat ini dirinya berada di gedung teater tempat pertunjukkan ludruk. Kemungkinan besar Dara benar-benar sedang berada di zaman kerajaan. Inilah yang disebut kenyataan dalam kemustahilan.

Apa dia akan bertemu Hayam Wuruk?

Eh, tapi ini kerajaan apa yaa? Mengedarkan pandangan mencari lambang tertentu guna menjadi clue. Siapa tahu ada lambang 'M' gitu yang berarti Majapahit. Tunggu... Tunggu... zaman dulu mana mereka ngerti huruf alphabet. Paling banter huruf Palawa atau Jawa Kuno yang dipakai. Itupun kalau Dara nyasar ke Kerajaan di Pulau Jawa bukan ke Thailand misalnya.

Tidak mungkin Dara jongkok di sini selamanya jadi memberanikan diri untuk mencari jalan kembali ke masa depan. Time traveler it's bullshits! Dara bukan orang yang percaya hal mustahil bin mustahal macam begitu. Ini dunia nyata bukan dunia fiksi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Setelah memantapkan hati serta merapal doa, Dara berjalan mengendap-ngendap berlawanam arah dengan para wanita tadi. Sepertinya ini masih malam hari karena istana tampak sepi serta agak gelap. Apalagi ada obor-obor yang disematkan di dinding batu serta lampu minyak di bagian langit-langit tapi cahaya tetap temaran karena bangunan batu ini besar dan tinggi sekali.

Mengikuti insting malah membuat Dara kian tersesat makin dalam. Mempercepat langkah kala di belakang terdengar derap langkah serta suara obrolan walau pelan. Jantungnya makin berdetak tak karuan.

Sialnya, kali ini tak ada tempat untuk sembunyi lagi. Tidak mungkin Dara cosplay jadi manekin di sebelah gerabah berisi bunga. Harap diingat bahwa penampilan Dara berbeda 180 derajat dengan mereka. Jadi dalam hitungan detik saja pasti sudah ketahuan. Maka mau tak mau Dara harus memasuki ruangan entah apa yang ada di samping kanan.

Tidak ada pintu namun ruangan dibatasi kain berwarna merah dan hijau mirip kelambu. Walau warnanya tidak secerah seperti biasanya. Mungkin di zaman dulu mereka masih menggunakan pewarna alami. Bergegas masuk karena derap suara langkah makin jelas terdengar yang artinya mereka makin dekat. Langkah Dara terhenti otomatis ketika telah berada di ruangan.

Badan Dara tiba-tiba gemetar. Wangi... wangi bunga tercium semerbak. Dirinya masih ingat aroma ini. Wangi wanita yang teramat mirip dengan wajahnya.

Apa ini kamar tidur wanita itu?

Memang masih tersusun dari batu alam tapi ukirannya lebih feminim dibandingkan ruangan yang ada di depan tadi. Lebih banyak kelambu serta bunga-bunga dalam gerabah. Untungnya si penghuni sepertinya tidak ada karena ranjang juga kosong.

Jangan membayangkan ranjang keemasan dengan kasur tebal dan dilengkapi bantal berisi bulu angsa yang empuk. Yang terlihat hanya tempat tidur dari bahan kayu yang juga diukir rumit. Ada kain-kain sebagai alas tidur serta dipercantik dengan kelambu.

Dara baru berbalik badan dan bersiap melangkah pergi namun___

"Siapa di sana?" suara seorang wanita terdengar.

"____" Dara tak mampu menjawab bahkan membalikkan badan saja tidak berani.

Kemungkinan wanita itu muncul dari bagian lain kamar. Memang ruangan tidak berbentuk persegi sempurna. Dara hanya melihat bagian ranjang dan belum sempat melihat sisi kanan dan kiri yang dibatasi tiang batu.

"Ampun Gusti Putri," suara wanita lain terdengar dari luar ruangan yang malah menjawab pertanyaan itu.

"Masuk!" perintah wanita di belakang Dara.

Dara makin dibuat membatu di tempat. Bukan... Bukan karena dirinya telah ketahuan lancang masuk ke tempat pribadi seseorang. Namun, shock karena tubuhnya dilewati begitu saja oleh segerombolan wanita. Sepertinya mereka para dayang dari Sang Putri.

Apa Dara sudah jadi hantu sekarang?

Dirinya jadi transparan?

Dara segera membalikkan badan. Tebakanya tadi tepat ternyata. Hal yang pertama kali terlihat adalah wanita yang dulu pernah ditemui Dara sedang terikat rantai. Namun, kini wanita ini sepertinya telah terbebas.

Alhamdulillah, Eh.

Ini berita bagus untuk Dara atau malah buruk sih?!

Pakaiannya masih sama dan perhiasan emas serta mahkota bertahtakan permata juga tetap dipakainya. Rupanya dia Putri, pantas saja. Para dayang yang jumlahnya delapan orang juga terlihat bersimpuh di depannya.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa malam-malam begini kalian membuat keributan di luar?" tanya Sang Putri dengan nada dingin.

Dara juga menyadari bahwa suasana makin berisik di kejauhan. Tidak setenang saat dirinya bersembunyi di ruang depan tadi. Sumpah, berbagai pertanyaan bermunculan di pikiran Dara.

"Mohon ampun Gusti Putri." Dayang paling depan menangkupkan kedua tangan sebagai tanda hormat. "Ada berita yang harus disampaikan oleh Patih_____"

Suara derap langkah terdengar lagi lalu beberapa pria memasuki ruangan juga. Dara yang tidak mau dilewati macam hantu seperti sebelumnya maka segera mundur ke samping. Paling tidak dirinya aman karena kali ini tampaknya hanya sebagai penonton yang tak diundang.

Para dayang bergegas berdiri menutupi Sang Putri. "PATIH GUPALA, APA-APAAN INI?! LANCANG SEKALI MEMASUKI KAWASAN KEPUTREN!!!" teriak salah satu dayang. Sepertinya dia dayang senior jika dilihat dari rambutnya yang sudah mulai memutih.

Masing-masing prajurit membawa tombak kayu. Mereka juga bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana selutut, dililit kain batik yang serupa motifnya. Rambut mereka juga sepertinya panjang jadi dicepol rapi ke atas dan dihiasi kain sebagai ikat kepala. Penampakan mereka mirip film kolosal Indonesia yang pernah Dara tonton saat pelajaran sejarah di sekolah dulu.

Pria paling depan dari rombongan yang memakai penutup wajah mirip topeng dari bahan kayu bersimpuh lalu menangkupkan kedua tangan sebagai tanda hormat. Gerakan itu diikuti prajurit lainnya. Kemungkinan besar dialah Patih karena hanya dia yang tidak membawa tombak tapi keris yang terselip di pinggang. Jenis kain yang dikenakannya juga lebih bagus. Tidak hanya itu, perbedaan lain juga tampak karena dia memakai perhiasan semacam gelang emas di kedua lengan atasnya.

"Beribu ampun Gusti Putri atas kelancangan hamba. Namun keadaan genting dan hamba harus membawa Gusti Putri segera meninggalkan istana. Waktu kita tidak banyak lagi," ucap Patih Gupala.

Di istana memang ada aturan bahwa hanya raja yang boleh memasuki kawasan Keputren. Tempat ini adalah kediaman ratu, selir dan para putri yang terlarang di masuki pria termaksud prajurit. Para pangeran yang sudah beranjak dewasa saja dilarang memasukinya kecuali mendapat izin raja.

Sang Putri membelah kerumuman dayang. "Bukannya Patih sedang berada di medan perang bersama Ayahanda. Apa Ayahanda ingin menemuiku?"

"Beribu ampun Gusti Putri tapi Paduka Raja Baka telah tewas dalam pertempuran dengan pasukan Kerajaan Pengging," jawab Patih Gupala setelah menghela napas panjang.

"APA???" teriak Sang Putri dengan badan agak terhuyun karena kaget.

Para dayang sigap menangkap tangan Sang Putri agar kembali berdiri tegak "Anda baik-baik saja, Gusti Putri?" tanya dayang senior.

Sang Putri menghempaskan tangan para dayang. Dirinya juga maju dua langkah. "PATIH GUPALA, JAWAB AKU! SEMUA BOHONG, BUKAN? AYAHANDA MASIH HIDUPKAN?"

"Ampun Gusti Putri." Hanya itu yang keluar dari bibir Patih Gupala.

"Oh Dewata," ratap Sang Putri lalu dia terlihat menghembuskan napas pelan guna menenangkan diri.

Prabu Baka adalah ayahnya. Semua orang takut pada beliau apalagi wujudnya adalah raksasa. Tapi ayah tetap ayah sehingga sebagai anak dirinya pasti merasa sedih saat mengetahui beliau telah meninggal. Lebih sedih karena harus meninggal di medan perang sehingga tidak bisa dikebumikan secara layak. Sebagai raja, beliau memang terkenal kejam namun yang tidak diketahui banyak orang adalah Prabu Baka itu sosok ayah yang sangat menyanyangi anaknya.

"Gusti Putri harus segera meninggalkan istana karena pasukan Kerajaan Pengging pasti sebentar lagi akan tiba dan mengepung tempat ini." Patih Gupala bangkit berdiri. "Hamba akan mengawal Gusti Putri hingga tiba di tempat aman. Silahkan ikuti hamba."

"Aku tidak akan meninggalkan istana ini kecuali nyawaku lepas dari ragaku!" balas Sang Putri dengan nada dingin.

"Tolong Gusti Putri. Sebelum wafat, Paduka Raja meminta hamba untuk melindungi Putri apapun yang terjadi. Hamba mohon, ikut dengan hamba."

"Aku tidak bersalah jadi mengapa harus kabur seperti pengecut?" tanya Sang Putri keras kepala.

"Pasukan Kerajaan Pengging akan meluluh lantahkan semua. Pangeran Bandung Bondowoso bahkan telah membunuh Prabu Baka dengan sadisnya." Patih Gupala bersimpuh lagi. "Gusti Putri tolong ikut dengan hamba."

Para dayang dan prajurit ikut bersimpuh lalu serempak berkata. "Gusti Putri."

"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak!" sentak Sang Putri dengan dagu terangkat bahkan kedua tangannya juga terkepal erat di sisi tubuhnya. "Biar saja Pangeran itu datang. Aku juga ingin melihat wajah manusia yang berani-berani membunuh Ayahandaku. Aku, Roro Jonggrang bersumpah akan membalaskan setiap tetes darah yang mengalir keluar dari tubuh Ayahandaku dengan kesakitan yang lebih parah dirasakan oleh Pangeran itu."

"Duuuuuar," suara petir menggelegar tiba-tiba membuat semua orang termasuk Dada terkesiap karena kaget.

Bagaimana bisa membalas dendam karena Pangeran Bandung Bondowoso teramat sakti. Prabu Baka saja kalah dan aku hampir terbunuh juga jika tidak kabur tepat waktu. Batin Patih Gupala lalu dirinya menghembuskan napas putus asa. "Hamba akan membantu membalaskan dendam itu, Gusti Putri. Rencana harus disusun dengan matang di tempat aman hingga kita bisa merebut kembali istana ini. Sebaliknya kita pergi sekarang juga apalagi sepertinya sebentar lagi akan turun hujan." Beralih pandang ke arah dayang. "Siapkan kebutuhan Gusti Putri seperlunya."

"Ba-baik Patih Gu____" balas dayang tak selesai.

Sang Putri memotong perkataan dayangnya. "Aku Roro Jonggrang putri Prabu Baka tidak akan pergi ke mana-mana. Jika harus mati maka aku akan mati di istana ini. Aku lahir di sini dan aku juga akan mati di sini," putusnya telak tak ingin dibantah.

"Kamu benar-benar Roro Jonggrang?" suara Dara akhirnya keluar juga walau pelan. Dirinya lebih shock saat Sang Putri menyebutkan namanya. Iya, Dara tidak mungkin salah dengar apalagi Putri itu menyebutkan namanya dua kali.

Dara mundur selangkah saat matanya bertatapan dengan Roro Jonggrang. Seakan mendengar ucapan Dara, Sang Putri tadi memang menengok ke arahnya. Ini hanya kebetulan atau wanita itu benar-benar bisa melihat Dara, tidak seperti yang lainnya? Perasaan Dara bercampur antara kaget, bingung, khawatir dan yang paling mendominasi tentu rasa takut.

"Buuuuuuum."

"Buuuuuuum."

"Buuuuuuum."

Suara hantaman atau malah ledakan keras terdengar bertubi-tubi di kejauhan. Semua orang tentu dibuat kaget sekaligus waspada karena sadar itu bukan karya alam semesta seperti petir tadi melainkan ulah manusia. Kini suara gaduh bercampur teriakan bagai latar mengerikan.

Patih Gupala bangkit berdiri. "Mereka sepertinya telah tiba di Kerajaan Baka. PRAJURIT IKUTI AKU!" perintahnya yang terdengar mirip teriakan lalu dirinya buru-buru berbalik badan untuk meninggalkan ruangan dan tentu diikuti para prajurit.

"Gusti Putri mau kemana?" tanya salah satu dayang ketika melihat Roro Jonggrang malah ikut melangkah.

"Tentu saja melihat wajah pembunuh Ayahandaku itu!" jawab Roro Jonggrang santai.

Dayang menampakkan raut wajah ngeri sebelum berucap, "Tidak sebaiknya Gusti Putri berdiam di Keputren dan menunggu kabar dari Patih Gupala," bujuknya.

"Kalau kalian takut, diam saja di sini!" jawab Roro Jonggrang lalu keluar dari ruangan yang tentu diikuti para dayang dengan setengah hati.

Tak mungkin Dara sendirian di ruangan ini jadi dirinya mengikuti mereka. Mengumpat dalam hati karena dirinya begitu sial karena mesti terlibat dalam peristiwa mencekam begini. Tapi berbuhung Dara masih tidak tahu cara kembali ke masa depan maka memilih mengikuti alur. Satu hal yang menenangkan Dara adalah dirinya semacam hantu jadi mustahil ikut terbunuh jika benar-benar terjadi perang nantinya.

Berjalan ke luar dari bangunan Keputren mengikuti rombongan Putri Roro Jonggrang. Ternyata tempat ini terbukti luasnya. Sumpah, Dara agak tersenggal karena langkah orang zaman dahulu ternyata cepat juga. Mana mereka tinggi-tinggi lagi.

Entah berada di bagian mana dari istana tapi di depan sana bangunan telah berlubang dan batu penyusunannya berhamburam di rerumputan. Belum lagi beberapa prajurit tampak terkapar. Kemungkinan mereka terluka atau malah tewas. Ada juga prajurit yang tengah bertarung. Keberadaan Patih Gupala tidak terlihat sama sekali.

Roro Jonggrang memilih jalan ke arah kiri yang terlihat sepi karena ada pepohonan dan tentu diikuti para dayang. Sang Putri mengambil sebilah keris dari seorang prajurit yang sepertinya tewas tertelungkup di tanah. Mungkin untuk berjaga-jaga bila ada serangan dari musuh.

Apa Roro Jonggrang bisa bertarung juga?

Jantung Dara bergemuruh hebat. Padahal bukan dia yang terancam jiwanya. Dara juga memilih berada di posisi paling belakang karena curiga Roro Jonggrang bisa melihat dirinya. Cahaya mulai terlihat di ufuk timur pertanda fajar telah menyapa dunia.

Ini nih yang disebut serangan fajar dalam arti sebenarnya.

Langkah Roro Jonggrang terhenti tiba-tiba. Hal yang membuat semua orang di belakangnya ikut berhenti termasuk Dara. Pandangan Sang Putri tertambat pada sekelompok orang di depan sana. Makin mengeratkan genggaman pada gagang keris.

"JANGAN BERANI-BERANI MENYENTUH PUTRI RORO JONGGRANG!!!" teriak Patih Gupala. Tak mempedulikan luka sayatan di lengan atasnya karena tebasan keris barusan. Berusaha bangkit berdiri dan menjadi tameng Sang Putri. Berdiri sebagai penghalang di antara Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang walau tidak dalam jarak dekat.

"Siapa kau berani-berani memerintahku? Perlukah aku ingatan bahwa Kerajaan Baka telah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pengging. Bukankah seharusnya kau dan prajuritmu bersujud menyembah kakiku guna memohon keselamatan?!" suara bariton membalas santai bahkan terdengar meremehkan. "Ah, nama perempuan cantik itu Roro Jonggrang? Perkenalkan, Saya Pangeran Mahkota Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso," lanjutnya sambil melangkah ke samping agar bisa menatap Sang Putri lebih jelas karena tadi dihalangi oleh Patih Gupala.

Dara beringsut untuk melihat sosok yang dibicarakan sejak tadi. Jika ada Roro Jonggrang, sudah pasti juga ada Bandung Bondowoso. Walau bukan pasangan kekasih, tapi mereka pasangan dalam legenda Candi Prambanan yang masyur itu.

Gaya berbusana Pangeran Mahkota Bandung Bondowoso hampir mirip dengan Patih Gupala namun lebih banyak perhiasan emas yang dipakai di badannya. Rambutnya sepertinya panjang jadi dicepol rapi di atas kepala. Alih-alih menggunakan ikat kepala dari kain, dirinya memakai mahkota dengan ukuran kecil. Pria tampan serta tinggi tegap itu juga terlihat memegang keris yang berlumur darah, bahkan masih menetes ke tanah karena ujung keris menghadap ke bawah.

Bukan itu yang membuat Dara gemetar ketakutan. Matanya bahkan mengerjab berkali-kali untuk memastikan apa yang dilihatnya tidak salah. Pantas saja Dara merasa familiar dengan suara tadi. Ternyata Bandung Bondowoso itu wajahnya mirip___

"Ba-Banyu?" suara Dara terbata. Seperti tadi, seakan mendengar ucapan Dara, wajah Bandung Bondowoso juga menengok ke arah Dara hingga mereka saling berpandangan.

Dara terhuyun mundur. "Tidak... TIDAAAAAAAAAK!!!" teriaknya kencang.

Terbangun dalam posisi terduduk. Jantung Dara berdegup kencang seakan organ satu ini ingin melompat ke luar dari rongga dadanya. Terasa keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya. Kedua tangannya juga agak bergetar.

Matanya mengedar ke sekeliling. Bersyukur kini Dara berada di kamarnya bukan istana aneh tadi. Dirinya meraup wajah dengan kedua tangan sambil mengucap istighfar.

Meraih handphone di meja kecil samping tempat tidurnya. Badan Dara bersandar di kepala ranjang lalu bersiap melakukan panggilan video. Tak peduli kini jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Menyempatkan untuk berkaca terlebih dahulu untuk memastikan wajah dan rambutnya aman terlihat.

"Mas Banyu," ucap Dara ketika muncul wajah calon suami belum resminya di layar handphone.

"Hmm," jawab Banyu seadanya sambil tersenyum "Kamu nggak bisa tidur lagi?"

"Sudah tidur tapi kebangun karena mimpi buruk," jawab Dara.

"Mimpi ketemu hantu?" tanya Banyu santai.

"Mimpi ketemu kamu," balas Dara mencoba jujur walau dirinya tidak mungkin menceritakan mimpi absurd yang ngeri-ngeri gimana gitu tadi.

Siapa sih yang percaya mimpi? Dara kan bukan nabi dan rasul macam Nabi Ibrahim a.s yang mimpinya benar. Bukan hanya takut dikira gila tapi mungkin Dara dianggap halu karena berharap dirinya jadi Roro Jonggrang sedangkan Banyu jadi Bandung Bondowoso.

"Hahaha," tawa Banyu menyembur mendengar balasan dari calon istri belum resminya itu. "Bertemu aku di mimpi artinya kamu mimpi indah, Dara."

Dih, PD banget!

Dara bahkan tidak ingin ikut tertawa. "Mas Banyu jam segini masih kerja?" tanyanya karena pria itu terlihat sedang duduk di ruang kerja bukan kamar tidur.

"Ada yang mesti kuperiksa tapi sudah selesai." Banyu tersenyum lagi. "Pesawatmu jam berapa?"

"Jam 5.05." jawab Dara karena dirinya memang akan pergi ke Bali besok. Menghadiri pernikahan sahabatnya serta mengurus urusan terkait pameran lukisan yang akan berlangsung bulan depan di mana Dara turut memamerkan lukisannya juga.

"Aku antar?"

"Nggak usah. Dara berangkat bareng Areta dan Pak Tomo. Areta juga nginep di sini. Dia tidur di kamar tamu bawah."

"Maaf, aku nggak bisa dampingin kamu." Banyu menjeda sesaat. "Apa aku perlu susulin kamu. Aku bisa berangkat Sabtu pagi karena Jumat malam masih ada urusan."

"Nggak perlu. Senin Dara udah balik ke Jakarta lagi." Dara tersenyum.

"Yaa udah tidur lagi. Ini masih jam satu." Giliran Banyu yang tersenyum. "Apa perlu aku nyanyiin lagi, hm?"

Dara mendengus, "Nanti Mas Banyu nyanyi Lingsir Wengi lagi kayak waktu itu. Kalau gitu namanya bukan bantu Dara bisa tidur malah sebaliknya. Mas Banyu niat manggil Kuntilanak buat nemenin Dara. Jahil banget sih jadi orang!"

Banyu tergelak sesaat. "Aku kan udah jelasin kalau lagu Lingsir Wengi itu____"

Dara memotong perkataan Banyu. "Itu sebenarnya diciptakan Raden Said alias Sunan Kalijaga sekitar tahun 1450 Masehi. Artinya menjelang malam dan isinya sebenarnya penolak bala serta doa untuk menjauhkan seseorang dari jin atau makhluk halus." Dara teringat penjelasan yang disampaikan oleh Banyu padanya.

Kurang sinting gimana lagi calon suaminya itu. Dari miliaran lagu di dunia masa milih lagu Lingsir Wengi.

Terlepas dari apa arti sebenarnya tapi tetap aja ngeri.

"Nyimak penjelasan aku waktu itu ternyata."

"Cewek cantik nggak bodoh yaa!"

"Calon istriku nggak mungkin bodohlah. Nanti aku ajarin biar makin pintar lagi."

"Dih!" Dara memutar mata malas.

Hening... Hening lama.

"Mas... Mas Banyu... Mas Banyu!" panggil Dara karena Banyu malah terdiam menatapnya tanpa kedip.

Jangan bilang kalau ada Kuntilanak beneran di dekatku.

"Kamu kelihatan cantik padahal udah nggak pakai make up. Makin cantik dengan rambut panjang tergerai gitu." Bibir Banyu melengkung membentuk senyum.

Gubraaaak.

Kirain ada apaan. Padahal udah parno takut ada hantu ikut nimbrung di layar.

"Mas Banyu itu fetish sama rambut yaa? Astaga!" Dara menggelengkan kepala tak habis pikir walau merasa kedua pipinya malah menghangat.

Blushing gue!

Tidak mengindahkan pertanyaan Dara, Banyu malah berucap, "Kita nikah besok aja gimana? Jadi kalau kamu nggak bisa tidur, nggak usah telepon tapi aku langsung peluk kamu. Aku jamin kamu bakal tidur nyenyak."

"Idiiiiih." Dara berdecak sekali lagi. "Ck, bukannya Mas Banyu yang bilang kalau Dara mendingan telepon dibanding minum obat tidur. Kalau keberatan ditelepon malam-malam, ngomong dong jadi Dara nggak bakal telepon Mas Banyu lagi."

Setelahnya pertandingan tenis waktu itu. Banyu yang mungkin khawatir maka meminta Dara meneleponnya alih-alih rutin mengkonsumsi obat tidur yang bisa membahayakan kesehatan. Dara yang memang ingin mengganggu rutinitas Banyu tentu tidak menolak tawaran itu. Sialnya, omongan Banyu benar, walau telah tidur tapi pria itu tetap mengangkat telepon dan menemani Dara ngobrol.

Ternyata Banyu itu masih enak dipandang walau dengan rambut yang tidak tertata rapi sekalipun. Dara kadang malah betah memandang wajah Banyu yang lama-lama tertidur lagi karena mungkin dirinya masih mengantuk padahal mereka tadinya ngobrol. Kasihkan sebenarnya tapi kapan lagi bisa melihat Banyu Wisesa Gananantha tertidur di kamar pribadinya.

"Kapan aku bilang keberatan, hm?" balas Banyu tak terpancing provokasi calon istrinya yang hobi salah paham ini. "Kamu itu saat marah aja masih kelihatan cantik loh, Dara. Jantung aku dag dig dug gini jadinya."

"Iya pastilah jantung Mas Banyu bunyi dag dig dug kalau nggak bunyi artinya Anda udah mati," jawab Dara sadis dan berusaha tidak tersipu akan rayuan pawang buaya satu ini. Sebelah tangan Dara segera menggapai meja. "Mending Dara cepol aja rambutnya biar pikiran Mas Banyu nggak traveling ke mana-mana!"

"Dara apa itu?" tanya Banyu tiba-tiba membuat gerakan Dara terhenti.

Handphone memang Dara letakkan di pangkuan jadi kamera tetap bisa menyorot wajahnya. Dara butuh kedua tangan untuk mencepol rambutnya. Segera Dara menengok ke belakang lalu mengedarkan pandangan hingga ke langit-langit.

"Apaan Mas? Ja-jangan nakut-nakutin Mas!" kini giliran jantung Dara yang dag dig dug tapi karena takut.

Ada hantu beneran ikut masuk layar handphone?!

"Benda yang kamu pegang itu. Dari mana kamu dapat?"

"Astaghfirullah. Kirain apaan. Dara parno tahu!" Dara menghembuskan napas lega. Tangannya mengangkat handphone lalu sebelah lagi digunakan untuk mengangkat benda indah berkilau. "Ini namanya tusuk konde. Bagus yaa?"

Wajah Banyu mengeras menatap tusuk konde yang diperlihatkan Dara. "Dari mana kamu dapat, Dara?" tanyanya berusaha menahan emosi.

"Dara beli di toko antik yang ada di kawasan Kota Tua beberapa hari lalu. Waktu itu, Dara foto sama teman-teman mantan finalis Putri Indonesia. Semacam reuni gitu." Menjeda sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya, "Waktu mau pulang Dara jalan-jalan dulu sendirian terus lihat toko barang antik. Iseng masuk dan malah beli tusuk konde ini."

"___" Banyu kehabisan kata-kata sekaligus cemas. Bagaimana bisa tusuk konde yang sudah dilebur oleh Banaspati di Candi Prambanan itu muncul lagi? Batinnya.

"Kata penjualnya dari bahan kuningan tapi Dara pikir ini emas. Dara udah bilang sama dia karena harganya terlalu murah kalau terbuat dari bahan emas. Dia bilang tusuk konde ini disepuh emas bukan emas murni. Yaa udah Dara beli aja. Nah, Dara yakin ini emas jadi minta Tia buat periksa di toko emas langganan Mami. Percaya nggak Mas, tusuk konde ini beneran emas asli. Makanya Dara balik cari toko itu sama Areta dua hari kemudian, tapi nggak ketemu padahal kita udah muter-muter. Dara kok jadi lupa arah yaa. Kasihan penjualnya rugi."

"Kamu terluka di sana?"

"Di mana? Di Kota Tua?"

"Di toko barang antik itu?"

"Tunggu... Tunggu..." Dara menaruh lagi handphone di pangkuannya agar dirinya bisa mencepol rambut lalu menusukkan tusuk konde setelahnya. "Hmm, sempat kegores ujung hiasan bunga dari tusuk konde sih. Eh, Mas Banyu kok bisa tahu Dara terluka?" Mata Dara menyipit curiga saat layar kembali ke posisi semula karena handphone diangkat lagi.

"Aku tanya Dara, bukan tahu kejadiannya! Aku ini bukan cenayang tapi manusia biasa," jawab Banyu berbohong walau kini matanya masih terpaku pada tusuk konde yang menghiasi rambut Dara.

Nawang Wulan sialan!!!

------- To be continued -------

12 Mei 2023

--------------------------------------------

Continue Reading

You'll Also Like

KINANTI By Seje

Historical Fiction

138K 18.5K 52
Historical Fiction #1 By: Alwaysje [Tamat] - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Dipermainkan oleh mimpi. Kinanti tidak tahu ap...
26.1K 4.3K 49
[Fantasy: Nagaragung Universe] Hayu, harus menyembunyikan fakta bahwa dia bisa melihat yang tak terlihat. Ia hanya ingin menjalani kehidupan normal...
49.4K 8.6K 39
Jika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa la...
313K 27.1K 25
Tentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @p...