What should we do?

By Secrettaa

337K 32.3K 5.3K

[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan singkat di lampu merah justru menjad... More

PROLOG
ARJUNA ARTAWIJAYA
ARIKA ANGELINA
1 | PERTEMUAN PERTAMA
2 | CEMARA
3 | PERMINTAAN ARIKA
4 | 00:00
5 | VAMPIR
6 | PECAL AYAM
7 | HUKUMAN
8 | INSIDEN DI TAMAN
9 | TAMU SPESIAL
10 | MALL
11 | SEKOLAH
12 | TEMAN BARU
13 | BAD MOOD
14 | PAGI BAHAGIA
15 | ROOFTOP
16 | NATAYA BAGASKARA DAN DUNIANYA, ANGKASA
17 | ARJUNA VS ARION
18 | TIDAK BISA DITEBAK
19 | TETAP TEMAN
20 | I LOVE YOU
21 | SUNSET
23 | SALAH PERASAAN
24 | PROMISE
25 | IT'S OKAY
26 | PULANG
27 | PARTY
28 | BEAUTIFUL NIGHT WITH BEAUTIFUL GIRL
29 | SHE'S COME
30 | FAMILY SECRET
31 | BACK TO SCHOOL
32 | MY LOVE
33 | LOOKING NIGHT SKY
34 | CAN WE ALWAYS TOGETHER?
35 | PEOPLE'S HAVE PAIN
36 | I'M SORRY
37 | SUNSET
38 | SELAMAT TIDUR
39 | MEET AGAIN
40 | YOU MUST STILL LIFE
SEE YOU

22 | SEMUA PERLU JEDA

3.3K 339 68
By Secrettaa

UDAH SIAP BUAT BACA PART INI?

SPAM EMOT 🍌 DULU YAA

KALIAN BACA INI JAM BERAPA?

PERASAAN KALIAN HARI INI BAGAIMANA?

APA YANG BUAT KALIAN SENYUM DAN BAHAGIA/SEDIH HARI INI?

Follow wp Secrettaa
Instagram @aleeeeeeeee_0019
Tiktok @authorta

🌻HAPPY READING🌻

Di dalam kamar yang dominan berwarna abu biru itu, tampak seorang laki-laki yang terlelap dengan kompres penurun panas di dahinya. Sesekali ia bergumam, bahkan merintih kesakitan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan membuka mata, setelah semalaman terus saja menyebut nama Arika dalam tidur lelapnya.

Arinda yang tidak pernah keluar dari sana hanya menatap sendu sang putra. Tangannya yang lembut dengan telaten terus mengusap rambut Arjuna, memberikan ketenangan. Berharap lewat usapan dan bisikannya mampu membuat Arjuna sadar. Ini memang bukan pertama kalinya ia dihadapkan dengan keadaan seperti ini.

Arjuna yang tiba-tiba demam dan merasakan sakit sampai berhari-hari, lalu besoknya seperti tidak ada yang terjadi. Sebenarnya ini umum terjadi di setiap orang bukan hanya Arjuna, tapi entah kenapa Arinda merasa janggal.

"Gimana, masih belum bangun juga, ya?" Gino yang baru masuk ke dalam kamar itu menatap istrinya yang hanya menggeleng lemah, memberi jawaban atas pertanyaannya.

Gino memeluk sebentar Arinda, lalu mengusap bahu rapuh itu. "Kamu makan dulu ya, dari semalam jagain Arjuna terus. Aku nggak mau kamu ikutan sakit."

"M-mas, Arjuna sakit gini, gimana kalau a--iya aku nggak bakal lanjutin ngomong." Arinda yang awalnya ingin mengatakan apa yang terus berkeliaran di kepalanya, langsung urung ketika mendapat tatapan tak bersahabat sang suami.

"Stop ngebahas hal yang nggak aku suka." Final Gino dengan nada suara tegas yang sepertinya sangat jarang ia perlihatkan pada sang istri.

Sadar bahwa lagi-lagi ia salah berbicara, Arinda hanya mampu berdiam diri dan bergumam maaf tanpa berani menatap wajah itu.

"Dia terlalu keras kepala, sampai sakit kayak sekarang cuma karena perempuan." Gino beranjak dari duduknya, berjalan menuju keluar kamar karena sebentar lagi ia akan pergi bekerja. "Ayo kita makan."

Dengan tergesa Arinda ikut beranjak, meski tidak tega meninggalkan Arjuna sendirian pada akhirnya ia harus keluar juga.

"Berhenti natap suami kamu dengan tatapan takut. Mas bukan monster."

Arinda gelagapan dan lekas menampilkan senyuman, "Enggak kok, Mas. Siapa yang takut sih. Yuk, sarapan dulu."

Keduanya melangkah menuju ruang makan dengan Arinda yang sesekali menatap kamar sang putra, takut Arjuna di dalam sana kenapa-kenapa.

"Nanti juga dia sembuh, kamu tenang aja ya. Jangan banyak pikiran," nasehat Gino menatap  lembut istrinya yang hanya dibalas senyuman.

"Ayo makan Mas, nanti kamu telat."

Sarapan pagi itu hanya ditemani dengan sepi dan riuhnya isi kepala Arinda. Perempuan itu bahkan terlihat hanya memakan sedikit nasi nya, terlihat jelas bahwa ia tidak berselera.

Gino sadar apa yang membuat istrinya seperti sekarang, tapi ia juga tidak ingin Arinda kembali membahas hal yang menurutnya sudah tidak perlu dibahas.

Setelah selesai sarapan, Arinda mengantar Gino ke depan rumah. Merapikan pakaian suaminya, tak lupa juga memberikan senyuman terindah.

"Mas berangkat dulu, kamu baik-baik di rumah."

Arinda menyalami tangan suaminya dan menerima kecupan di dahi dari Gino.

"Hati-hati ya, Mas."

Gino mengangguk dan membalas senyuman Arinda. Mobil itu pun akhirnya melaju meninggalkan halaman rumah, bergegas Arinda menutup pintu. Tentu saja tujuannya sekarang adalah kamar sang putra.

Jika hari biasanya ia akan sibuk bersih-bersih atau sekedar memasak kue untuk menghilangkan bosan, maka hari ini Arinda tidak memikirkan itu semua selain anaknya, Arjuna.

Para pembantu di sana tentu mengerti dengan apa yang Arinda rasa. Mereka juga tidak banyak bersuara dan tetap menjalankan tugas seperti biasa.

Niat awalnya ingin menuju kamar sang putra, tapi setelah sampai di depan pintu itu Arinda mengubah haluannya menuju kamar yang terletak tepat di samping kamar Arjuna. Cukup lama ia terdiam di sana. Arinda memutuskan untuk masuk, membiarkan dirinya kembali pada masa lalu. Sebab kamar ini adalah saksi dimana ia melewati hari-hari penuh perjuangan di saat mengandung sang buah hati.

Tidak ada yang berubah, semua masih sama dan di tempat sama. Tempat tidur khusus bayi yang terlihat bagus itupun masih terdapat hiasan-hiasan serta boneka di dalamnya. Arinda mengitari ruangan itu, menatap foto masa kecil Arjuna dengan senyuman. Ia memutuskan untuk duduk di dekat ranjang khusus bayi dan mengambil album foto masa kecil anaknya.

Pada lembaran pertama setelah dibuka, sebuah foto awal dimana ia baru pertama kali melihat sang buah hati dan pertama kalinya juga ia mendengar detak jantung sang anak. Di sana, gambar itu bukan hanya ada satu sosok, melainkan dua.

Arinda mengusap foto itu dengan tatapan penuh kerinduan. Air matanya bahkan mengalir tanpa ia sadari, mengingat seharusnya ia membesarkan dua anak, tapi nyatanya hanya satu sosok yang ada dengan nya sampai sekarang. Ia ingin marah, tapi juga tidak bisa karena terlalu lemah. Harusnya, dulu ia membantah keputusan sang suami yang hanya menginginkan seorang putra.

Padahal ia bisa membesarkan keduanya, meski harus memilih berpisah dari Gino. Begitu pikirnya, tapi nyatanya ia tidak bisa apa-apa. Sudah lama berlalu, Gino bahkan tidak pernah membahas anak kedua mereka. Begitupun Arinda yang hanya bisa memendam rindu pada anak keduanya yang sekarang entah seperti apa.

Kelahiran Arjuna disambut hangat oleh keluarga nya, bahkan media saat itu sibuk memberitakan tentang kelahiran sang putra yang merupakan cucu  pertama keluarga Artawijaya. Banyak yang memberi selamat, tapi juga banyak yang tertipu karena seharusnya saat itu ada satu anak lagi yang merupakan kembaran Arjuna, cucu kedua Artawijaya yang sekarang entah berada di mana.

"Maaf, maafin bunda, nak." Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya selain ucapan maaf. Arinda merasa bersalah, ia seperti ibu yang dengan tega membuang anaknya. Meski ia tidak berniat seperti itu, tapi Arinda terus dihantui perasaan bersalah pada anak-anaknya.

Arinda mengusap kasar air matanya dan memilih untuk tidak melanjutkan kegiatan itu lagi. Ia menutup album tersebut tanpa mau melihat lembar berikutnya. Sadar bahwa niat awalnya tadi adalah ke kamar sang putra, Arinda bergegas meninggalkan kamar itu.

"Kenapa nggak manggil Bunda?" tutur Arinda kaget ketika melihat Arjuna berada di luar kamar dengan tubuh lemah yang dipaksakan melangkah.

"Bun, s-sakit ...." Arjuna menerima pelukan Arinda yang berusaha kembali membawa tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar.

"Kenapa jalan-jalan sih, kamu masih lemah gini juga."

"Juna tadi manggil-manggil Bunda, tapi sepi. Nggak ada yang datang," ujarnya seraya berusaha berjalan sendiri menuju tempat tidur.

Setelah berhasil ke tempat tidur, Arinda kembali memeriksa suhu tubuh anaknya. Masih panas, tapi Arjuna justru terus bergumam kedinginan.

"Bun, tolong matiin AC-nya ya. Dingin."

Arinda menuruti permintaan Arjuna dan membantu tubuh itu untuk kembali berbaring.

"Kenapa bisa demam gini sih? Pulang-pulang muka lebam, terus malamnya langsung sakit. Kamu kemana aja semalam?"

"Arjuna masih sakit ini loh, Bun. Arjuna cuma pergi ke pantai, terus-siapa yang bawa Arjuna pulang, Bun?" Seolah tersadar, Arjuna langsung bangkit dari baringnya. Seingatnya terakhir kali ia masih berada di rumah kekasihnya-Arika dan bagaimana keadaan Arika sekarang. Arjuna kembali panik, melupakan bahwa dirinya sendiri masih sakit.

Arinda yang geram dengan aksi tiba-tiba anaknya pun, hanya mampu menggelengkan kepala.

"Sakit 'kan kepalanya bangun tiba-tiba gitu. Baring aja dan stop bicara dulu, kamu itu masih sakit."

"Tapi 'kan Arjuna cuma demam, Bun."

"Tadi aja ngerengek Bun, sakit," ejek Arinda sambil mengganti kompresan Arjuna. "Coba bilang sama Bunda, yang mana yang sakit?"

Arjuna menggeleng. Ia hanya merasa sakit di tubuhnya, tapi tidak tahu pasti bagian mana yang sakit. Lebam di pipinya memang terasa sakit, tapi kali ini bukan lebam itu sumber sakitnya.

"Juna nggak tahu Bun, lemes aja bawaannya terus kayak ada yang sakit di tubuh Juna, tapi Juna nggak tahu pasti mana yang sakit."

Tanpa bertanya lebih jauh, Arinda sudah tahu bahwa bukan Arjuna yang sakit, tapi saudara kembarnya. Awalnya Arinda juga tidak tahu apa yang terjadi pada Arjuna kecil yang sering demam tanpa mengenal waktu. Bahkan, setelah diperiksa dokter pun tidak ada penyakit serius yang diderita oleh anaknya. Setelah ia mencari tahu, ternyata anak kembar bisa merasakan sakit atau ikut sakit jika salah satunya sedang sakit dan mungkin itu yang terjadi pada anak-anaknya.

"Bun, Bunda?" Arjuna menggenggam tangan sang bunda, menyadarkan Arinda yang tengah melamun. 

"Kenapa?"

"Yang bawa Juna pulang siapa?" tanyanya dengan suara pelan, takut sang bunda kembali menyuruhnya untuk diam dan tidak usah memikirkan hal itu. Padahal pikirannya terus saja tertuju pada satu nama, Arika Angelina. Apa yang terjadi pada gadis itu dan bagaimana keadaannya sekarang? Apa Arion berbuat nekat pada Arika?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus memenuhi kepalanya saat ini.

"Nata, temen lama kamu yang udah lama nggak ke sini. Dia yang ngantar kamu. Tunggu di sini sebentar ya, Bunda buatin bubur dulu."

Arjuna menahan tangan itu, ia tidak membiarkan Arinda beranjak dari sana. "Arjuna nggak mau makan bubur. Apa yang ada aja Bun, lagian Arjuna udah enggak pa-pa kok sekarang."

"Nggak pa-pa gimana, kamu menggigil gini. Mana badan panas. Tunggu sebentar ya, Bunda ambilin makanan, dari semalam kamu tidur terus nggak ada yang masuk ke dalam perut."

Lagi-lagi Arinda ditahan oleh Arjuna. "Nggak mau, Bunda di sini aja ya. Temenin Arjuna."

Arinda hanya bisa mengiyakan permintaan anaknya yang memang sering manja jika sedang sakit. Ia menghubungi seorang pekerja dengan telepon yang berada di kamar Arjuna, meminta salah satu dari mereka untuk membawakan makanan dan minuman serta obat.

"Usap rambut Juna ya, Bun," pinta Arjuna mengarahkan tangan Arinda menuju rambutnya. Arjuna tidak bisa tenang karena terus memikirkan Arika. Ia hanya berharap gadis itu akan baik-baik saja. Merasakan usapan sang bunda berhasil membuat Arjuna merasa nyaman dan perlahan kembali menutup mata.

Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain mengistirahatkan tubuhnya yang sakit, memikirkan Arika terus menerus dengan keadaannya yang sekarang justru membuatnya akan semakin sakit.

Sepertinya semua orang perlu jeda sekarang, untuk semua yang terjadi kemarin dan masa-masa yang berlalu. Mengistirahatkan pikiran dari segala macam hal yang membuat kepala serasa pecah. Ya, semua orang memang tengah perlu jeda.

•What should we do•

"Kenapa?"

"Alika ngantuk."

"Ya udah tidur, pejamin dulu matanya. Gue bakal jagain lo kok, tenang aja."

Arika kembali melamun, ia tidak benar-benar merasa mengantuk sebab setiap matanya terpejam maka bayang-bayang kejadian semalam kembali terputar. Arika hanya bosan, terbaring di ranjang dengan salah satu tangan terpasang infus dan Nata yang menjaganya tampak sibuk dengan game di ponsel.

Sadar bahwa ia diperhatikan, Nata langsung menyimpan ponselnya dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada sosok yang terlihat pucat. 

"Ngelamunin apa sih, Cil. Tadi katanya ngantuk."

"Pengen pulang, Alika pengen pulang Nata."

"Kalo itu nggak bisa." Nata merapikan selimut di tubuh Arika agar menutupi tubuh itu kembali. "Istirahat dulu. Nanti baru boleh pulang."

Mendengar itu Arika mendesah kesal. "Alika udah istilahat juga. Ayolah Nata, bawa Alika pulang."

Baru saja Nata kembali ingin bersuara, tapi sosok yang tiba-tiba memasuki ruangan berhasil membuatnya bungkam, begitupun Arika yang langsung diam dan rasanya ingin pura-pura tidur saja.

"Ternyata tidak ada yang berubah dari kamu, masih suka merengek seperti anak berumur lima tahun." Suara berat dari sosok yang perlahan mendekati ranjang pesakitan itu seolah menghipnotis siapa saja yang ada di sana.

Hening, baik Nata dan Arika tidak ada yang berani bersuara ketika orang tertua atau bahkan bisa disebut orang penting dalam keluarga Darma secara tiba-tiba datang, setelah sekian lama tidak pernah memunculkan wajahnya. Dia adalah Darma Aji Pangestu, ayah dari Angkasa Riko Darma yang artinya adalah kakek Arika bersaudara dan juga Angkasa serta Nata.

Arika hanya mampu memandang lurus ke depan, bukan pada wajah sang kakek melainkan dinding kosong di sana. Ia tidak pernah berani walau hanya untuk bertatap muka.

Nata yang sadar bahwa Arika takut pun semakin merapatkan tubuhnya ke ranjang. "Tenang, ada gue," bisiknya seraya tersenyum, menenangkan Arika yang sudah berkaca-kaca.

"Kakek kapan sampai di Indonesia?" tanya Nata basa-basi yang untungnya bisa mengalihkan perhatian Darma. 

"Satu jam yang lalu. Kamu sudah besar ternyata, masih suka tawuran dan jadi anak nakal?"

"Nata lagi berusaha buat nggak jadi anak nakal lagi Kek. Kakek udah ketemu Bang Angkasa?"

Obrolan keduanya terasa begitu hangat, layaknya cucu dan kakek yang begitu akrab. Tidak ada kecangungan, seolah mereka benar-benar adalah keluarga. Hanya Arika yang merasa asing di sana.

Ia masih tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan perkataan kakeknya beberapa saat tadi. Apa ia benar-benar tidak berubah sama sekali? Lalu apa yang bisa membuat kakeknya bisa bersikap sama padanya seperti sang kakek bersikap hangat pada Nata dan saudara-saudaranya yang lainnya. Kenapa hanya ia yang terus merasa dibedakan?

"Gue mau anter Kakek dulu, lo nggak pa-pa 'kan sendiri dulu? Nanti gue ke sini lagi."

"Jangan terlalu lama Nata, nanti kamu ikutan lemot dan bodoh kayak dia."

Lagi-lagi suara sang kakek berhasil membuat Arika ingin menangis. Ia hanya menjawab perkataan Nata dengan anggukan kepala.

Sebenarnya Nata ingin marah, tapi ia tidak bisa melawan kakeknya dan jalan satu-satunya agar Arika tidak merasa tertekan hanya dengan membawa sang kakek keluar dari ruangan ini.

Mungkin bagi orang lain perkataan seperti itu hanyalah biasa. Tidak perlu dipikirkan dan diambil hati, tapi lain halnya dengan Arika. Ia tidak pernah benar-benar melupakan setiap apa yang kakeknya lontarkan. Pada akhirnya Arika hanya bisa tersenyum, meyakinkan dirinya sendiri bahwa begitulah sang kakek mengutarakan kasih sayang pada dirinya.

"Kakek tellalu sayang sama Alika, makanya bicala gitu telus hehe," gumam Arika seraya terkekeh. Ia menertawakan dirinya sendiri. "Duh, Alika jadi  nangis kalena tellalu seneng."

Mulutnya mungkin bisa berkata demikian, seolah tidak apa-apa meski ia terus dihina. Namun, mata dan hatinya tidak pernah bisa berbohong, bahwa ia terluka. Bahkan mungkin sangat terluka sekarang. Belum habis ingatan tentang kejadian semalam, kini ada lagi yang menambah luka di hatinya.

Sejatinya manusia ada memang untuk merasakan luka, merasa sedih dan tidak berguna tapi nanti juga merasa bahagia. Perasaan-perasaan seperti itu memang sudah harus diterima, bukan dilawan. Karena manusia juga tidak hanya harus terus tersenyum dan tertawa, tapi juga harus merasa sedih dan menangis jika tidak terlalu kuat lagi menahan semuanya.

Sama seperti Arjuna, Arika juga perlu jeda untuk setiap hal yang dia terima secara tiba-tiba ini.
_
_
_

APA PENDAPAT KALIAN SAMA PART INI?

ADA YANG MAU DI SAMPAIKAN BUAT ARJUNA?

TANTE ARINDA?

ARIKA?

NATAYA?

KAKEK DARMA?

SPAM 🐻 DULU

SPAM 'NEXT' 👉

100 VOTE + 50 KOMEN BUAT PART INI BISA GA?

SEE YOU NEXT PART CHINGUDEUL💗

Selasa, 7 Maret 2023
15:11

Dipublikasikan:
Min, 26 Maret 2023
18:10

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 300K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
2.6M 143K 63
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.2M 45.9K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
594K 28K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...