PARIS, AFTER THE RAIN

بواسطة beliawritingmarathon

4.5K 432 17

Ini seperti mimpi! Paris dan kuliner! Setelah semua usaha yang kulakukan, akhirnya aku berhasil mendarat di P... المزيد

Prolog
Bienvenue en France (Selamat datang di Prancis)
Kursus Mode Dadakan
Pemuda Tampan Itu Bernama Darel
Second Nightmare

Le Culinaire

260 37 0
بواسطة beliawritingmarathon

Langit berwarna kelabu. Angin September membuat semua orang merasa lebih sejuk. Musim gugur baru saja menggantikan musim panas yang terik. Saat ini cuaca tak menentu. Kadang matahari mengintip malu-malu, kadang langit dihiasi gumpalan-gumpalan awan yang tiba-tiba menjatuhkan muatannya berupa titik-titik air yang semakin deras, bahkan kadang kabut datang tanpa diundang.

Sore ini Bunga terpaku di dalam kamar, menatap lemari yang terbuka. Lemari itu sudah penuh sesak dengan bajubaju pilihan Odetta. Bunga mengambil sebuah kardigan ungu dan memakainya. Dirapatkannya kancing kardigan itu untuk menahannya dari angin musim gugur. Bunga membalikkan badan, bersiap keluar dari kamar. Matanya langsung membentur celemek putih yang besok pagi akan mulai dikenakan di Le Culinaire.

Bibir Bunga membentuk senyum saat membayangkan dirinya berada di dapur sekolah terkenal itu, dan tangannya sibuk meracik masakan-masakan khas Prancis yang elegan.

Bunga sengaja mengambil program Le Grand Diploma agar dapat mempelajari cuisine—seni masak-memasak hidangan utama dan pastry, seni memasak aneka kue. Dia bertekad akan menandingi kepandaian Darel dalam mengolah makanan. Paling tidak, mendekati kemampuannya. Demi gerai roti yang akan dibuatnya, suatu saat nanti.

Bunga mendesah. Dia tidak sabar menunggu esok tiba. Gadis berlesung pipi itu pun cepat-cepat keluar kamar sambil menyambar sebuah buku yang sampulnya sudah kusut berjudul Julia's Breakfast, Lunches, and Suppers dari dalam tasnya.

Beberapa hari belakangan ini Bunga senang mempraktikkan resep-resep masakan yang ada di buku itu. Kelinci percobaannya siapa lagi kalau bukan Odetta. Gadis jangkung itu sampai kekenyangan karena Bunga tak hentihenti memintanya melahap hasil masakannya.

Bunga tersenyum mengingat kejadian lucu itu. Hari ini terasa sepi karena Odetta pergi sejak pagi, mencari perlengkapan yang dibutuhkan untuk mulai belajar di VÊTEMENTS besok pagi.

Bunga mengayun langkah perlahan-lahan ke balkon sambil membuka lembaran-lembaran buku itu untuk kali kesekian.

"Aha! Aku belum pernah mencoba resep Croque Monsieur ini. Besok sepulang kuliah akan kucoba." Bunga mendaratkan tubuh di sofa balkon. Di tempat ini angin semakin terasa kencang. Di kejauhan, langit penuh awan hitam yang bergulung-gulung menjauh karena tertiup angin.

"Bahannya apa aja, ya ...," gumam Bunga lagi. Dia mengalihkan pandangannya, jauh ke depan. Tak sengaja, matanya tertumbuk pada sesosok tubuh.

Pemuda berwajah tirus itu sedang berdiri di balkon apartemennya. Dia memandangi Bunga. Kali ini wajahnya lebih cerah. Bunga tercengang karena Pascal memandanginya, nyaris tanpa berkedip. Lama-lama Bunga merasa heran. Sorot mata pemuda itu tampak berbinar-binar, seperti sedang melihat sesuatu yang disukai.

Betul kata Odetta. Cowok ini ganteng banget. Matanya, hidungnya, dagunya. Benar-benar cool. Tanpa sadar Bunga juga menatap pemuda itu. Ingatan Bunga langsung melayang pada sosok vampir-vampir keren di film Twilight.

Bunga merasa kikuk karena saling menatap seperti ini. Ketika Bunga merapatkan kardigannya, Pascal mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajah dengan raut wajah seperti orang kelelahan.

"Maaf," desisnya. Nyaris tanpa suara. Oh, suaranya! Bunga baru kali pertama mendengarnya. Dan, dia terbelalak karena perkiraannya bahwa suara Pascal bernada melengking tinggi, salah besar. Pemuda bertubuh tipis dan berwajah tirus dengan mata cekung itu, suaranya bulat dan merdu. Seperti suara yang banyak dimiliki pemuda-pemuda bertubuh tegap dan berisi. Pemuda itu juga menggunakan bahasa Inggris. Bukan bahasa Prancis seperti yang dilakukan orang-orang sini kepada orang asing sekalipun.

Bunga terkejut untuk kali kedua. Pascal tadi berkata apa? Maaf?

"Untuk apa?" Bunga terheran-heran.

 "Ah, tidak. Lebih baik kamu masuk. Cuaca sedang buruk-buruknya."

Bunga terbelalak. Kata-kata pemuda itu seperti yang dilontarkan oleh orang yang sudah lama kenal! Ada rasa senang yang menyelusup ke hati Bunga saat Pascal mengucapkan kata-kata yang lebih panjang. Bunga dapat mendengarkan suara bulat merdu itu lebih lama.

"Aku tidak apa-apa," Bunga menolak masuk. Dia malah duduk di kursi dan membuka-buka buku resep masakannya. Bunga merasa senang. Inilah teman baru pertamanya di Paris.

"Bunga, kamu ...."Lagi-lagi Bunga tercengang. Pascal menyebut nama Bunga dengan nada seakan-akan pemuda itu sudah lama mengenalnya. Bunga menutup bukunya. Buku resep masakan karya Julia Child, chef masakan Prancis yang terkenal, yang ada di tangannya, tidak menarik lagi.

"Ya?" Bunga menjulurkan lehernya.

"Kamu senang memasak?" Pascal memandang buku yang dipegang Bunga, sekilas.

"Iya. Aku sudah sejak dulu senang memasak. Memangnya kenapa, ya?" Bunga tersenyum. Dia benar-benar nyaman mendengar suara Pascal.

"Pantas kamu pilih Le Culinaire. Nanti kamu akan bertemu Chef Aldric di sana," sahut Pascal.

"Lho? Kamu, kok, tahu?" Bunga mengernyit.

"Siapa, sih, yang nggak kenal dia? Chef kelas dunia yang sering muncul di acara-acara TV." Pascal tersenyum.

Bunga mengangguk-angguk. Betul. Selama ini Bunga juga baru melihat Chef Aldric di TV. Tapi, sebentar lagi mereka akan tatap muka mulai hari pertama Bunga masuk di Le Culinaire.

"Siapa chef dunia favoritmu, Bunga? Guy Savoy? Gordon Ramsay? Roco DiSpirito?" Pascal mengubah posisi berdirinya. Kini kedua tangannya diletakkan di pagar pembatas untuk menopang tubuh.

"Waaah ... kamu tahu nama-nama chef kelas dunia?" Bunga terperangah. "Kamu anak Le Culinaire juga?" Rasa penasaran semakin menggelitik Bunga.

Pascal menggeleng. Lalu, sorot matanya redup.

Melihat perubahan air muka Pascal, kening Bunga mengerut.

"Aku suka semua chef. Mereka punya keunikan masingmasing. Siapa, sih, yang nggak kenal Savoy? Dia punya resto di Paris dan Vegas, dan namanya melegenda di dunia kuliner. Ramsay? Sudah bikin banyak resto di Britania Raya. Banyak hotel yang sudah mengulas nama dia juga. Terus, DiSpirito, masakannya unik-unik banget. Pengalaman di dunia kuliner juga sudah puluhan tahun. Kamu tahu mereka?" Bunga membelalak sambil menatap Pascal.

"Ow! Kemampuan bicaramu ... hebat!" Pascal terkesima.

"Lho? Kamu, kok, malah mengomentari cara bicaraku?" Bunga tergelak. Gadis itu mulai merasa sangsi dengan katakata Odetta bahwa Pascal pemuda pendiam dan jarang bergaul.

"Bunga. Fleur," Pascal bergumam. Wajahnya berangsur merona ketika menyebutkan dua kata ini.

"Maksud kamu? Nggg ... kamu bicara apa, ya?" Bunga melongo.

"Ah, tidak. Tidak. Maaf, aku telah mengganggumu." Lagi-lagi Pascal mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, dari dagu hingga kening, lalu meremas rambutnya yang dibiarkan tumbuh hingga sebatas bawah telinga.

Bunga meletakkan bukunya, lalu berdiri mendekati Pascal."Kok, tiba-tiba wajah kamu berubah sedih, Cal? Ada apa, sih?" Bunga mendaratkan pandangannya pada wajah Pascal.

Ya, ampun! Dengan wajah sedih seperti ini saja, Pascal terlihat tampan. Bunga tak tahan untuk menyusuri setiap inci wajah itu. Kulit Pascal putih, tapi ekspresi sedih itu membuat kulitnya tampak pucat. Matanya abu-abu bening. Semakin lama menatapnya, Bunga merasa seperti sedang menyelam di danau yang jernih. Hidungnya ... Bunga benarbenar terpesona. Gadis itu seperti merasa sedang melihat pangeran di dalam lukisan Eropa abad pertengahan.

"Jangan pandangi aku seperti itu. Nanti aku meleleh," Pascal tersenyum.

"Ups! Maaf," Bunga terkejut. Wajahnya langsung merah padam. Dia tak sempat lagi menyembunyikan rasa malu.

Senyum Pascal semakin lebar. Wajah yang tadi pucat, kini memerah.

"Kalau begitu, aku masuk dulu, ya." Setelah melambaikan tangan, Bunga cepat-cepat masuk dengan wajah yang sudah seperti kepiting rebus!

*****

"Odetta! Lo bohong bangeettt!"

Bruk! Bunga melompat ke tempat tidur Odetta, berguling, dan memeluk bantal erat-erat.

"Eh, lo kenapa?" Odetta, yang sedang duduk di kursi sambil membuat sketsa mode, terlonjak. Pensil yang ada di tangannya terlempar ke lantai. "Hei! Muka lo merah banget?"

Odetta beranjak ke tempat tidur sambil memandangi sahabatnya. Yang dipandangi langsung menutupi wajah dengan guling.

"Lo kenapa, siiih?" Odetta bersandar di bantal.

Bunga langsung duduk dan ikut bersandar di bantal.

"Pascal nggak sependiam yang lo bilang, Det. Barusan gue ngobrol lama banget. Dan, dia ngerti banget tentang chefdan dunia kuliner," Bunga berkata penuh ekspresi. Matanya sesekali membulat, sesekali berbinar-binar.

"Yang bener lo?" Odetta menegakkan tubuh. "Kok, bisa? Setahu gue, lo, tuh, bukan orang yang pintar ngajak bergaul, deh." Tawa Odetta pecah dan disambut bibir cemberut Bunga

*****

Bunga masih beradaptasi dengan cuaca di Paris. Pada musim gugur ini gadis itu sering terkaget-kaget dengan perubahan cuaca yang tidak menentu. Kadang-kadang kabut menyambut pagi dengan angin yang cukup kencang. Lalu, siangnya matahari muncul dengan sinarnya yang malu-malu. Meskipun ada matahari, suhu tidak pernah lebih dari 18˚ Celcius. Tapi, sorenya bisa saja mendung tibatiba menyelimuti dan hujan turun deras disertai petir yang menyambar-nyambar.

****

Pagi ini, sinar matahari yang lemah menyinari 8 Rue Leon Delhomme. Angin masih bertiup kencang ketika Bunga berdiri di depan sebuah gedung bertingkat dengan bentuk melebar dengan banyak jendela di Lantai 2. Gedung yang warnanya mengingatkan Bunga pada es krim rasa vanila itu dindingnya dihiasi bentuk-bentuk trapesium yang tersusunsusun di semua permukaannya.

Sebuah dinding kaca yang ditata seperti etalase menyambut Bunga. Di dalam kaca itu terlihat pernakpernik lucu, seperti mok, piring, dan tumbler dengan dominasi warna biru. Di sebelahnya, sebuah kaca yang ukurannya lebih sempit, memamerkan lambang berbentuk lingkaran berwarna biru dengan beberapa segitiga biru mengelilinginya. Di dalam lingkaran itu tertera deretan huruf yang membentuk setengah lingkaran, bertuliskan Le Culinaire, Paris.

Tepat di antara etalase dan dinding kaca itu terdapat pintu bening berpigura biru dengan tangga menuju dalam ruangan.

Inilah pagi pertama Bunga untuk belajar di sekolah kuliner yang sudah lama diimpikannya. Bunga menapaki tangga dengan hati meletup-letup. Kadang-kadang dia melompati dua anak tangga sekaligus.

Membayangkan segala hal tentang kelasnya membuat wajah Bunga merona dengan mata berbinar-binar. Bibirnya tak henti menebarkan senyum, membuat lesung pipinya tercetak jelas ketika dia berada di ruang ganti dan mengganti bajunya dengan seragam. Baju putih berlengan panjang, topi putih yang bentuknya mirip perahu, dan celemek putih yang diikat di pinggang membuat Bunga merasa sangat keren.

Sampai di atas, Bunga disambut oleh teman-teman seangkatan yang duduk manis, lengkap dengan seragamnya. Senyum Bunga sempat menciut melihat wajah-wajah asing yang tampaknya ramah itu. Bunga mulai cemas dan menyadari bahwa bahasa Prancis-nya jauh dari baik.

Bunga segera bergabung dengan teman-temannya. Dia memilih bangku di deretan nomor dua. Kecemasan Bunga memudar ketika melihat wajah Darel yang segar. Rambut landak yang biasanya tampak basah oleh gel, kini tertutup oleh topi chef yang menjulang. Baju putih bersih bertuliskan Le Culinaire dengan huruf-huruf berwarna biru tepat di dada kiri membuat pemuda itu tampak lebih gagah.

Darel mengacungkan jempolnya sambil menaikkan alis. Bunga membalas dengan senyum. Di sebelah Darel, seorang chef bertubuh tinggi besar dan berhidung tinggi sedang bersiap-siap mengajar. Warna mata chef itu mengingatkan Bunga pada lautan luas. Beberapa helai rambut keperakan mengintip dari sela-sela topi chef yang dikenakannya. Dialah Chef Aldric, salah seorang dosennya.

Bunga belum pernah sesemangat ini. Wajah-wajah yang biasanya hanya bisa dilihat di layar TV, kini muncul di hadapannya, tanpa penghalang.

Chef Aldric menggulung lengan pakaiannya hingga sebatas siku. Lambang Le Culinaire yang tersulam di dada sebelah kiri membuat pakaian berkerah sanghai dengan warna putih bersih itu semakin berkilau. Chef Aldric tidak hanya berdua dengan Darel. Di depan kelas masih ada Adele. Gadis berkepang dua asal Prancis itu membuat Bunga bernapas lega. Dia bertugas menerjemahkan semua penjelasan Chef Aldric ke dalam bahasa Inggris.

Bunga memandang sekelilingnya. Perasaannya tak menentu. Senang campur cemas. Cemas, tapi bahagia. Perasaan seperti ini membuat perut gadis itu mulas, hilang, lalu mulas lagi, dan hilang lagi. Bunga harus menarik napas dalam-dalam selama beberapa menit untuk menenangkan diri.

Kelas ini sama sekali tidak seperti kelas-kelas di perguruan tinggi pada umumnya. Di depan dua belas kursi untuk para mahasiswa ini tidak terdapat papan tulis. Sebuah meja panjang yang terbuat dari baja ada di depan sana. Di atasnya sudah tersedia cutting board—alas untuk memotong bahan-bahan masakan— selebar dua jengkal orang dewasa, bermacam-macam pisau, dan beberapa hotel pan—panci baja berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang yang khusus digunakan untuk wadah berbagai bahan memasak di hotel hotel— dengan berbagai ukuran.

Jantung Bunga berdegup kencang. Meskipun sering memasak, dia sama sekali tidak tahu fungsi alat-alat itu. Maklumlah, selama ini dia memasak dengan mengandalkan peralatan yang sudah ada di dapur.

Bunga menangkap wajah tegang dari seorang gadis yang duduk di sebelahnya. Ekspresi cemas yang tercetak jelas di wajah itu tidak sesuai untuk gadis bertubuh besar sepertinya. Gadis itu berkulit putih bersih, berambut ikal sebahu. Hidung lancipnya seperti hidung orang-orang Italia pada umumnya. Desiree—nama gadis itu—membuat Bunga merasa memiliki teman senasib.

Wajah-wajah lain yang menarik perhatian Bunga adalah Gomez, pemuda Spanyol yang rambut keritingnya mengembang tinggi, Ashley, gadis asal Amerika yang rambutnya merah menyala, dan Jiang, pemuda China bermata sipit tanpa sehelai rambut pun di kepalanya.

Bunga menghela napas ketika Chef Aldric memulai pelajaran. Logat bicaranya membuat perut Bunga seperti terkocok. Sesaat, gelak tawanya hampir tersembur. Untung saja Bunga berhasil menahannya sekuat tenaga.

Dari penjelasan Adele, Bunga merasakan suasana kelas yang hangat dan akrab. Apalagi, Chef Aldric sangat humoris.

Pada pelajaran pertama ini Chef Aldric menjelaskan bahwa dalam seni memasak, orang Prancis sangat memperhatikan hal-hal yang paling kecil sekalipun, mulai dari pemilihan bahan hingga cara menghidangkan. Oleh karena itulah, masakan Prancis tampil elegan dalam setiap kesempatan.

Bunga menatap Chef Aldric dengan serius, tapi telinganyamenangkap seluruh penjelasan dari Adele. Tangan Bunga sigap mencatat kata-kata Adele yang dianggap perlu. Selama pelajaran berlangsung, Darel bolak-balik membantu Chef Aldric untuk menyediakan peralatan yang diperlukan. Bunga tergelak melihat tingkah Darel yang sesekali memasang tampang sok serius, tapi sedetik kemudian memasang tampang pura-pura kelelahan.

Tidak ada seorang murid pun yang terlihat bosan. Semua diam, tenang, menyimak, dan sesekali bertanya, juga tertawa-tawa ketika Chef Aldric melucu. Namun, tibatiba kelas sangat ribut ketika chef senior itu memberi tugas. Bunga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ketika dia meminta semua murid menghafalkan cara memotong sayuran!

Darel berkeliling untuk membagikan selembar kertas berisi tugas itu. Bunga menangkap bibir Darel mengumbar senyum jail.

Le Culinaire

A. Slice, potongan sayuran berbentuk miring dengan ukuran yang harus sama.

B. Large Dice, potongan sayuran berukuran 2 cm × 2 cm × 2 cm.

C. Medium Dice, potongan sayuran berukuran 12 mm × 12 mm × 12 mm.

D. Small Dice, potongan sayuran berukuran 6 mm × 6 mm ­× 6 mm.

E. Choped, potongan sayuran secara sembarangan, baik ukuran maupun potongannya.

F. Mince, potongan sayuran dengan cara chop, tetapi potongannya lebih teratur.

G. Juliene, potongan sayuran berukuran 3,2 mm × 3,2 mm × 3,2 mm.

H. Sliver, memotong atau membelah bahan makanan menjadi bentuk panjang dan sangat tipis. Juliene merupakan potongan sliver yang ukurannya lebih besar.

I. Cube, potongan sayuran dalam bentuk dadu ukuran 12 mm × 12 mm × 25 mm.

J. Shred, potongan sayuran dengan bentuk panjang dan tipis, biasanya dilakukan menggunakan parutan keju dengan bentuk potongan yang kasar.

K. Batonnet, potongan sayuran ukuran 6 mm × 6 mm × 6,4 mm hingga 7,6 mm.

L. Concasser, potongan sayuran secara chop, tetapi lebih kasar.

M. Pont Neuf, potongan sayuran berukuran 7,4 cm × 2 cm × 2 cm.

N. Emincer, potongan sayuran hingga menjadi bentuk yang sangat tipis.

O. Fine Brunoise, potongan sayuran berukuran 1,6 mm × 1,6 mm × 1,6 mm.

P. Wedge, potongan buah, daging, atau sayuran dalam bentuk segitiga.

Q. Frite, potongan sayuran berukuran 8 hingga 12 mm × 7,6 cm sisi persegi.

R. Allumettes atau Machestik, potongan sayuran ukuran 6,4 cm × 3,2 cm × 3,2 cm.

S. Poille, potongan sayuran berukuran 5 cm × 1,6 cm × 1,6 cm.

T. Regular Brunoise atau Broon Wahz, potongan sayuran berukuran 3,2 mm × 3,2 mm × 3,2 mm.

Ketika Darel kembali ke tempatnya, suasana kelas langsung gaduh.

"Oh, my, God! Nggak salah, nih?" pekik Bunga saat membaca tugas itu. "Banyak banget! Susah-susah pula!"

Desiree, Gomez, dan mahasiswa yang lain tak kalah terkejutnya.

"Hei, kamu yakin bisa menghafalkan semuanya?" tanya Gomez. Rambut keritingnya bergoyang-goyang saat ia bicara.

"Nggak mungkin, deh," Bunga mengedikkan bahu.

"Ini baru tentang cara memotongnya. Belum cara memasaknya. Arrgh!" Kali ini Desiree yang geleng-geleng.

"Itulah seninya. Dan, itu belum seberapa. Dulu saya bisa melakukannya dengan mudah," kata Darel.

Bunga mengangguk-angguk. Pantas tadi pemuda itu tersenyum jail. Ternyata, tugas ini kecil, tapi ribet.

"Oke ... bagaimana? Kalian siap?" Chef Aldric menantang seluruh mahasiswa.

Detik berikutnya, dosen itu meraih sebatang wortel yang sudah dikupas, dan mulai mempraktikkan cara memotong yang benar.

"Satu hal yang perlu kalian ketahui," Chef Aldric mengangkat kepalanya, memandangi seluruh muridnya. Wortel yang tampak segar itu terjepit di antara jari tangan Chef Aldric yang subur-subur. Sementara, pisau di tangan kanannya mengayun-ayun ketika dia berbicara.

"Selain pemilihan bahan yang baik, cara mengolah yang benar, penggunaan peralatan yang tepat, keberhasilan dalam menyediakan masakan khas Prancis adalah urutan penyajian saat menghidangkan makanan tersebut."

Bunga mengangguk-angguk. Dia mencatat kata-kata"pemilihan bahan", "cara mengolah", "peralatan", dan "urutan penyajian", tepat di bawah tulisan tentang cara memotong bahan makanan.

"Urutan yang benar dalam menghidangkan kuliner Prancis adalah hors d'oeuvre, yaitu makanan pembuka berupa sup, salad, atau daging asap. Kedua, makanan utama yang berupa makanan berbahan daging atau ikan, sayur, dan pasta atau nasi. Ketiga, hidangan penutup seperti es krim, cake, atau cookies. Mengerti?"

"Oui [Ya],Chef, " sahut para mahasiswa, serempak.

"Nah, perhatikan ini. Saat kita memilih salad sebagai hidangan pembuka, potonglah wortel menjadi bentuk julienne." Tangan Chef Aldric langsung lincah memotongmotong wortel.

Mata Bunga membulat ketika menatap tangan dosennya bergerak secepat kilat di atas cutting board. Nyali Bunga sedikit menciut. Takut diminta melakukan hal yang sama. Benaknya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Jarinya terluka oleh pisau, misalnya."Wooowww!" seluruh mahasiswa berdecak kagum."Perhatikan baik-baik, ya. Pastikan seluruh potongan ini bentuknya sama. Jangan sampai ukurannya berbeda antara potongan yang satu dengan yang lain. Jika hal itu sampai terjadi, penampilan salad kalian tidak akan sempurna. Dan, kalian dianggap gagal dalam menghidangkan makanan," sambung Chef Aldric. Wortel yang tadi dipegangnya telah berubah menjadi potongan-potongan yang sesuai untuk salad.

Bunga cepat-cepat mengusir pikiran buruknya. Dia menghela napas lega karena tidak ditunjuk untuk praktik memotong wortel. Tapi, kelegaannya mendadak hilang ketika ....

"Baiklah. Sekarang giliran kalian untuk beraksi. Silakan kalian potong bahan makanan yang sudah disediakan di dapur."

Setelah berkata, Chef Aldric, Darel, dan Adele langsung menuju dapur.

Bunga terbelalak dengan bibir menganga. Dan, dia tidak sendirian.

Gadis itu melangkah gontai, menyusul teman-temannya. Perutnya melilit akibat rasa cemas sekaligus bahagia yang campur aduk. Gomez dan Desiree berjalan sambil cengarcengir. Mereka juga cemas, tapi mampu mengatasinya dengan baik.

Dapur khusus praktik mahasiswa Le Culinaire bukan main canggihnya. Seluruh dindingnya terbuat dari keramik yang sama seperti bagian lantai. Ruangan dengan posisi memanjang ini di sekelilingnya penuh dengan peralatan memasak. Oven, proof box—alat seperti lemari kaca tinggi, khusus untuk mengembangkan adonan—mixer, sink, dan peralatan memasak lain yang seluruhnya terbuat dari baja berdiri teratur menutupi dinding.

Di tengah ruangan, meja panjang yang terbuat dari baja terbentang dari sisi kiri hingga kanan ruangan. Di atas meja itu telah tersedia hotel pan yang masih tertutup rapat. Bunga dan mahasiswa yang lain langsung berdiri mengelilingi sisi meja.

"Nah, di depan kalian sudah tersedia bahan masakan yang harus dipotong. Silakan!" Chef Aldric merentangkan kedua tangannya ke depan. Senyum ramah yang menghias bibirnya berbanding terbalik dengan bibir Bunga yang mengerucut.

Bunga meraih hotel pan ukuran seperempat itu dan membuka tutupnya."Ha? Aku harus memotong bawang bombai sebaskom penuh nih, Chef?" Tiba-tiba Bunga terpekik sambil menatap loyang keperakan berbentuk bujur sangkar.

Seluruh mata yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arah Bunga. Suasana langsung hening. Bunga menjadi tak enak hati diperhatikan seperti itu."Ya. Kalau bisa memotong bawang itu dengan baik, kalian tak usah memotong semuanya," sahut Chef Aldric, tetap dengan senyum ramahnya. "Eh, apa tadi? Baskom? Tidak, tidak! Kalian ini mahasiswa sekolah kuliner terkemuka. Jadi, saat menyebut nama-nama peralatan memasak, harus menggunakan istilah yang benar. Ini namanya hotel pan, bukan baskom," sambung Chef Aldric sambil mengangkat sebuah hotel pan yang ada di depannya.

Bunga nyengir. Darel tersenyum mengejek. Bunga langsung mengganti ekspresinya dengan pandangan "awas, nanti kubalas!" kepada Darel. Beberapa mahasiswa mengangguk-angguk, dan beberapa lainnya sama seperti Darel yang menertawakan Bunga.

"Oke ... sekarang kalian bisa mulai," kata chef tua yang gesit itu.

Bunyi berkelontangan datang dari hotel pan-hotel panyang tutupnya dibuka. Kedua belas mahasiswa langsung sibuk memotong-motong bawang bombai. Pisau mereka beradu dengan cutting board, menimbulkan suara berisik yang tidak teratur. Dalam suasana yang segar dan penuh tawa, Bunga mengiris bawang bombai itu dengan kecepatan yang jauh lebih rendah daripada laju seekor siput, dan dengan bersimbah air mata.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

SAGARALUNA بواسطة Syfa Acha

قصص المراهقين

2.9M 142K 19
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
My Sexy Neighbor بواسطة F.R

قصص المراهقين

589K 7.4K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
KANAYA (REVISI) بواسطة liaa0415

قصص المراهقين

2.6M 150K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
1.2M 87K 41
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...