PARIS, AFTER THE RAIN

By beliawritingmarathon

4.5K 432 17

Ini seperti mimpi! Paris dan kuliner! Setelah semua usaha yang kulakukan, akhirnya aku berhasil mendarat di P... More

Prolog
Kursus Mode Dadakan
Pemuda Tampan Itu Bernama Darel
Le Culinaire
Second Nightmare

Bienvenue en France (Selamat datang di Prancis)

1.1K 86 3
By beliawritingmarathon

Pada Agustus seperti ini musim panas hampir berakhir. Cuaca pukul sebelas siang di Montparnasse, tepatnya di District Paris 15 ini sangat cerah. Termometer menunjukkan suhu udara 30º Celcius. Awan berarak-arak di langit yang membentuk gradasi warna dari hijau tosca, biru muda, dan biru tua. Beberapa ekor burung terbang melintas.

59 Rue de la Convention sangat ramai. Di jalan inilah letak apartemen yang akan ditempati Bunga. Apartemen milik Odetta, sahabat SMA-nya. Pohon-pohon yang berdiri setiap seratus meter membuat jalan menjadi teduh karena tertutup bayang-bayang dedaunan.

Toko-toko yang ada di sepanjang jalan ini tampak dipadati pengunjung. Kebanyakan para pengunjung itu memarkir mobil atau motornya di pinggir jalan. Di sepanjang trotoar juga banyak pejalan kaki yang asyik berjalan-jalan sambil menikmati siraman cahaya matahari musim panas.

Rambut mereka berwarna-warni. Ada yang hitam, putih seperti uban, abu-abu, dan cokelat. Gadis-gadis tampil cantik dengan sackdress yang memamerkan kaki. Banyak juga yang mengenakan kaus dan celana pendek. Matahari musim panas juga memanjakan kaki mereka yang kebanyakan hanya beralas sandal jepit. Warna pakaian-pakaian itu mengingatkan Bunga pada rainbow cake yang baru dua hari lalu dilahapnya.

 Yuhuuuuu! Paris! Bienvenue en France, Bunga. Selamat datang di Prancis, kata Bunga dalam hati sambil mengerjapngerjapkan mata.

Bunga sudah memendam keinginan ini sejak awal masuk SMA. Mengkhayalkan saat-saat yang indah ketika kali pertama menginjakkan kaki di negeri paling romantis sedunia, untuk melanjutkan sekolah di Le Culinaire. Gerai bakery! Keinginannya untuk membuka toko roti sudah tak terbendung lagi.

Apa pun yang terjadi, aku harus punya toko roti. Apalagi, sekarang aku sudah ada di sini, batin Bunga saat melangkahkan kaki sambil menyeret kopernya.

Dan, inilah saatnya. Paris dan dunia kuliner, dua hal yang kini ada di depan mata! Lalu ... well, ini dia. Cinta. Bunga berharap, di tempat ini pemuda yang telah lama diincarnya menyadari bahwa ada gadis sesama orang Indonesia yang jatuh hati kepadanya. Benak Bunga langsung melayang ke pemuda tampan berambut mirip landak. Pemuda itu jugalah yang membuat Bunga semakin menggebu-gebu mewujudkan impiannya.

*****

Tak hanya itu, Bunga juga nggak sabar bertemu Odetta, sahabatnya di SMA. Papa Odetta berasal dari Paris, bekerja dan tinggal di ibu kota Prancis. Semasa sekolah, Odetta yang tinggal bersama mamanya di Jakarta, sering ke Prancis untuk bertemu papanya. Sekarang, semenjak lulus SMA, Odetta resmi tinggal di Paris dan melanjutkan kuliah jurusan mode di Vetements, sekolah mode yang sangat bergengsi di Paris.

Dengan pindahnya Odetta ke Paris, Bunga kecipratan rezeki. Begitu dinyatakan lulus masuk sekolah kuliner di Le Culinaire, Bunga diizinkan untuk ikut tinggal di apartemen Odetta. Bunga tak hanya melonjak-lonjak, tapi juga terbang melayang hingga langit ketujuh!

*****

"Uh! Panas bener!" Bunga mengibaskan tangannya di depan wajah. Berharap angin sejuk keluar begitu saja dari telapaknya. Odetta tertawa. "Sabar, Nga. Lo juga udah biasa sama cuaca kayak gini di Jakarta, kan?"

Bunga mengangguk sambil menyeka keringat. Mereka mengayunkan langkah pendek-pendek. Di belakang tubuh mereka, dua koper superbesar milik Bunga masih terseretseret.

"Semenjak pindah ke Paris, lo tambah cantik. Baju lo makin keren-keren," kata Bunga yang terengah-engah menyeret kopernya.

"Ya, iyalah. Dan, musim panas di sini, tuh, sama kayak cuaca di Jakarta. Puanaas! Nah, sekarang lo, kan, sudah mulai tinggal di Paris, nih. Harus menyesuaikan pakaian dengan musim. Kalau nggak, lo bakalan nggak nyaman. Satu lagi, tinggalin, deh, baju-baju yang nggak modis."

"Huh, mentang-mentang sekolah jurusan mode," Bunga memonyongkan bibir sambil mendorong hidung dengan dua jari tangannya sehingga lubang hidungnya tampak lebih besar.

"Iddiiiihhhh!" Kedua sahabat itu tertawa.Bunga dan Odetta masing-masing menyeret satu koper milik Bunga.

"Duh, ini koper gede banget? Paling isinya baju-baju old school alias kuno. Iya, kan?" Odetta mendekatkan wajahnya ke wajah Bunga.

"Odeeettt! Iya, deh, iya! Sampai apartemen gue langsung kursus mode sama lo!" Bunga mencubit pipi Odetta. Yang dicubit langsung meringis.

Keringat membasahi dahi Bunga, tapi gadis itu berusaha tak peduli. Matanya tak lepas-lepas dari pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan. Bangunan-bangunan yang ada di 59 Rue de la Convention ini tidak seluruhnya bergaya modern. Sebagian dari pemilik bangunan sengaja menyisakan bekas-bekas gaya klasik untuk mempercantik bangunannya.

"Wiiih, bagus banget, ya, bangunan itu. Kayak kastelnya drakula. Kalau malam seram, nggak, ya?" Telunjuk Bunga mengarah ke bangunan ruko bergaya zaman Barok.

Odetta hanya tersenyum.

"Hmm ... pelan-pelan rasa kangen gue terobati nih, lihat tembok-tembok keren di sini. Udah berapa tahun ya dari teakhir kali gue ke sini? Biasanya gue mengobati rasa kangen Paris cuma dengan cara lihat-lihat film Prancis."

"Woi! Norak banget sih, lo? Cerewet lo bisa direm sedikit, nggak?" Odetta mengusap peluh.

"Hahaha ... abis gimana, ya. Paris, maaan! Pariiis! Akhirnya, gue menginjakkan kaki ke sini lagi, setelah bertahun-tahun yang lalu! Mantap!"

Bunga tak henti-henti berdecak kagum melihat suasana di sekitarnya. Wajah gadis-gadis Paris yang berkilau tertimpa sinar matahari membuat Bunga iri dengan warna kulit mereka yang putih. Sebelum melihat gadis-gadis itu secara langsung pun, Bunga sudah rutin mengoleskan krim pemutih setiap habis mandi dan sebelum tidur. Apalagi, sekarang, setelah melihat warna kulit mereka dari dekat. Bunga pasti akan lebih kalap melihat iklan-iklan krim pemutih yang bertebaran di majalah terbitan Indonesia.

"Kulit mereka putih banget, ya, Det. Kapan, ya, kulit gue bisa putih kayak mereka?" Bunga mengelus punggung tangannya, sementara matanya tak lepas memandangi gadis-gadis yang lewat di depannya.

"Di sini cewek berkulit putih, tuh, nggak laku, tauk. Yang laris ditaksir cowok-cowok malah cewek berkulit cokelat, kayak kulit lo," kata Odetta sambil mempercepat langkahnya.

"Eh, serius, Det? Waaahhh, kalau gitu gue nggak usah pakai krim pemutih lagi, deh." Mata Bunga berbinar-binar. Tatapannya langsung berpindah, dari gadis-gadis berkulit putih ke pemuda-pemuda Paris yang berhidung lancip, bermata abu-abu, dan tinggi semampai.

"Ah, cowok-cowok Prancis memang nggak pernag berubah. Gantengnya maksimal!" Bunga tidak peduli saat pemuda itu mengenyit, terheranheran dengan sikap Bunga yang terus menerus menatapnya.

"Heh! Lo gila banget, sih? Ini kampung orang, tauk. Lo diketawain, tuh," sambar Odetta.

"Biarin, ah. Gue nggak tahan, tuh, cowok ganteng bangeett!" Bunga geregetan sendiri.

"Udah, ayo, cepat!" Odetta mempercepat langkah.

*****

Mobil yang lalu-lalang dua arah melaju dengan kecepatan rendah. Saat melihat seorang kakek menyeberang di jalanan bertanda garis hitam putih dengan tenang, Bunga mulai merasa Paris lebih bersahabat dengannya. Lalu, dahi Bunga  berkerut ketika pandangannya beralih ke arah dua orang gadis berkulit pucat yang tertawa-tawa riang sambil sengaja berdiri di bawah terik matahari.

"Ih, gue, sih, nggak mau berjemur pada siang bolong kayak gini," gumam Bunga.

"Yeee, orang-orang sini justru menunggu musim panas untuk berjemur, tauk," Odetta tergelak.

"Waduh! Suruh aja mereka ke Jakarta, biar mateng," Bunga terbelalak sambil terus menatap dua gadis berambut oranye itu.

Bibir Bunga tak henti-henti berdecak ketika mereka melewati berbagai macam toko.

"Hmmmm ... haruuumm." Mata Bunga terpejam dan mulutnya mengerucut menikmati aroma roti yang baru keluar dari oven saat melewati sebuah kedai roti berkanopi hijau bertuliskan Le Pattiserie. Mata Bunga terpaku pada kedai itu. Wangi roti-roti yang baru selesai dipanggang membuat benak gadis itu membentuk bayangan kedai roti yang kelak akan dibangunnya.

Etalase kaca di kedai itu mengingatkan bunga pada akuarium di rumahnya. Tiba-tiba, ada sesuatu yang meledak dari kepala Bunga ketika dia melihat isi di balik etalase itu.

"Wuaah, rainbow cake!" Dengan sekali gerak, kaki Bungamelangkah lebar untuk menghampiri etalase itu. Telunjuknya yang mendarat di dinding etalase kaca membuat beberapa pembeli langsung menatap Bunga dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Itu juga! Tiramisu! Iihhh, hiasan mawar di opera cakeitu juga kelihatan enak banget!" Telunjuk Bunga berpindahpindah. "Sebentar lagi pasti gue bisa bikin kue-kue kayak gini. Kalau di kampus belum diajarin, gue mau minta ajarin Darel. Percuma, dong, gue punya teman chef," Bunga mengoceh sendiri.

"Hush! Bunga!" Odetta menyenggol bahu Bunga, lalu dagunya menunjuk ke arah beberapa pembeli yang masih menatap Bunga. Kali ini mereka senyum-senyum penuh arti.

"Apaan, sih?" Bunga mengikuti arah dagu Odetta, lalu nyengir lebar.

"Yang kita butuhkan, tuh, ini," Odetta menetralisasi keadaan sambil mencomot plastik berisi tumpukan roti tawar di rak dekat etalase kaca. "Buat sarapan, Nga."

Bunga mengangguk dan menunggu Odetta mengantre di kasir. Lalu, mereka bergegas pergi.

Dalam bahasa Prancis, toko roti disebut boulangerie. Selain toko roti, ada beberapa toko lain yang memiliki sebutan khusus.

"Eh, tunggu, Det. Ini toko kartu pos apa agensi bintang sinetron? Pelayannya mirip banget sama Robert Pattinson," tanya Bunga saat melintas di depan toko kartu pos.

"Woi! Tangan lo jangan nunjuk-nunjuk. Orangnya ngelihatin, tuh!" Odetta meraih telunjuk Bunga yang tergantung di udara dan cepat-cepat menurunkannya.

"Kenapa juga, sih? Dia nggak ngerti bahasa gue ini," Bunga pura-pura cemberut dan Odetta langsung melotot.

Setelah puas melihat toko kartu pos yang pelayannya mirip Robert Pattinson, pura-pura menawar buah hanya karena ingin menatap penjual buah yang imut seperti Tom Holland, dan beberapa kali tersandung di trotoar karena terlalu banyak memandangi penjaga toko yang mirip bintang film Hollywood, Bunga pun sampai di apartemen.

"Capek, deh. Gue pikir kebawelan dan kecentilan lo udah lenyap saat kita wisuda SMA kemarin," gerutu Odetta."Ih, rugi banget. Kapan lagi gue bisa ngecengin cowokcowok keren kayak bintang-bintang Hollywood ini," sahut Bunga, cuek

"Ini Paris, Nga. Dari tukang buah, tukang daging, sampai tukang kembang, wajahnya ganteng-ganteng banget," kata Odetta.

"Gantengan mana sama Darel?" Bunga nyengir.Odetta menatap

sahabatnya dengan pandangan ingin menelannya bulat-bulat. "Haduuhh! Lo, ya. Cowok melulu, ah! Memangnya Darel udah ngasih sinyal bakalan membalas perasaan lo?"

Bunga terdiam. Odetta betul. Sampai saat ini Darel tidak menampakkan perasaan apa-apa kepada Bunga. Bunga menghela napas. Dia dan Odetta menunggu di depan lift apartemen. Begitu pintu lift terbuka, mereka masuk dan Odetta menekan tombol bertuliskan angka 2. Pintu lift langsung tertutup rapat. Tak lama, lift membuka lagi. Mereka menyeret kopernya dengan langkah yang lebih panjang dan cepat.

Saat melewati lorong, tiba-tiba sebuah pintu unit terbuka. Muncul sesosok tubuh yang menjulang. Wajah pemuda itu nyaris setipis daun sehingga hidungnya mencuat seperti hidung boneka kayu.

Odetta berbinar-binar menatap pemuda itu.

"Eh, Pascal. Mau ke mana? Oh, iya, kenalkan. Ini sahabatku, baru datang dari Indonesia," Odetta tersenyum kepada pemuda bermata abu-abu itu.

Bunga tersenyum dan menyodorkan tangan, ingin mengajak salaman.

"Dia mau masuk ke Le Culinaire. Keren, ya, Cal. Jadi, kita bertiga bertetangga," kata Odetta lagi.

Pascal terbelalak. Matanya menatap Bunga lekat-lekat. Mata pemuda itu seperti melemparkan tanda tanya besar. Bunga yang tangannya tergantung di udara kebingungan.

"Salaman, dong, Cal," Odetta menunjuk tangan Bunga.

"Oh, iya. Iya. Aku Pascal," dengan tampang kikuk Pascal menyambut tangan Bunga.

"Ya, sudah, kami masuk dulu, ya," Odetta menggandeng Bunga.

Bunga melempar senyum dan sempat menangkap sorot aneh di mata Pascal sebelum pemuda itu masuk lagi ke unitnya.

"Aneh banget, ya. Ganteng-ganteng tapi pelit suara," gumam Bunga."Dia memang begitu. Jarang ngomong. Tapi, nggak apaapa, deh. Yang penting tampangnya ganteng," sahut Odetta.

"Huuuu ... lo juga mata cowokan, ah!" Bunga tergelak.

Odetta ikut tertawa sambil membuka pintu unitnya.

"Eh, Pascal ada darah Indonesia-nya, lho. Neneknya orang Indonesia. Dari Manado. Tapi ya, dari kecil sudah tinggal di sini, terus lahir mama Pascal," kata Odetta.

Bunga mengedikkan bahu. Dia tidak tertarik. Paris itu tempat impian semua orang. Jadi biasa saja kan, kalau ada orang dari belahan dunia mana pun di sini, termasuk Indonesia?

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
853K 64.5K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
517K 19.4K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.3M 98.7K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...