Jevian

By Nonatypo

46.4K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... More

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
17. Dia yang Kembali
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak

1.2K 131 78
By Nonatypo

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!

Typo bersebaran, harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

Note; karena aku lama up, jadi aku buat part kali ini cukup panjang. Aku harap kalian nggak bosan bacanya, ya!

Ketika hujan mampu menghapus jejak-jejak kaki. Juga menyamarkan sebuah tangis. Apakah hujan juga mampu menghentikan keresahan yang sedang terjadi?”

˙❥Happy reading❥˙
_____________________


Shaqueen terdiam sembari menatap pantulan dirinya di hadapan cermin dengan resah yang cukup membuat pikirnya berkeliaran tanpa tau tujuan. Ia kembali memandangi jalan dari jendela kamarnya, berharap seseorang yang selalu mengusiknya setiap pagi itu muncul untuk menjemputnya.

Namun, sudah satu minggu ia tak pernah menemui keberadaannya lagi. Pertemuannya waktu hujan sore itu mungkin adalah pertemuan terakhirnya. Sebab, setelah itu, Shaqueen tak pernah melihat keberadaan lelaki itu lagi.

Ia melirik jam yang melingkar di tanganya, sudah jam 06:23 tak ada tanda-tanda lelaki itu akan menjemputnya. Alhasil, ia mendesah dan memutuskan untuk turun ke bawah.

Suara gerung motor membuatnya berlari ke arah pintu, ia segera membuka dan berharap bahwa itu adalah Jevian. Namun, ketika seseorang itu membuka helm-nya membuat Shaqueen kembali berdecak dan membanting pintunya.

“Hei, Sha, kenapa? Gue baru dateng masa udah di tutup lagi pintunya sih!”

Shaqueen tak peduli, ia kembali berjalan ke arah meja makan untuk mengambil bekal yang sudah di siapkan oleh asisten rumah tangganya tadi.

Namun, Mahen malah duduk dan mengoleskan roti dengan selai kacang seperti biasa.

“Santai dulu nggak sih, Sha? Gue laper, tadi nggak sarapan karena di suruh buru-buru ke sini sama Bang Rama.”

“Bang Rama nggak ada.”

I know. Because, gue ke sini buat jemput lo.”

Setelah Mahen mengatakan itu ada jeda di sana, Shaqueen memilih terdiam dengan beberapa pikiran yang cukup berserakan. Dan semuanya hanya tentang Jevian. Hingga akhirnya, suaranya kembali memecah hening dan membiarkan mulutnya berbicara akan sesuatu hal yang cukup mengganggunya akhir-akhir ini.

“Hen ...” Mahen hanya berdeham sebagai jawabannya. “Udah satu Minggu gue nggak ngeliat si Jevian. Dia kemana, ya?”

Mendapatkan pertanyaan itu dari Shaqueen, Mahen tiba-tiba berhenti menyuapkan roti ke dalam mulutnya. Pertanyaan ini kembali terlontar dan ia sendiri pun tak tahu harus menjawab apa.

Gurat kecewa tergambar dengan jelas di wajah Mahen, Shaqueen tahu itu.

“Gue juga nggak tau, gue udah coba dateng ke rumah dia, tapi di sana kayaknya nggak ada siapa-siapa.”

“Gue sama anak-anak udah coba cari dia, tapi kita semua nggak ada yang berhasil nemuin dia.”

“Bahkan, dia ngelewatin kesempatannya buat olimpiade. Padahal, gue sama yang lain tau kalo dia begitu excited banget buat olimpiade kali ini. Sampe-sampe dia jarang banget nongkrong karena sibuk belajar.”

Dadanya terasa seperti di pukul, Shaqueen tidak tau kenapa rasanya terasa sangat sesak. Pertanyaan yang ia utarakan nyatanya tak menuai jawaban. Justru malah menambah kekhawatiran yang entah harus di pecahakan di mana.

Ia segera mengeluarkan handphonenya, membuka aplikasi WhatsApp lalu mencari nama Jevian.

To Jevian:

Jev, lo gapapa, kan?
06.30

Waktu itu lo ngotot bilang ke gue kalo lo nggak bakal nyia-nyain usaha lo buat olimpiade. Tapi, kenapa waktu itu lo gk hadir?
06.31

Lo di mana?
06.31

Kalo semisal lo lihat pesan ini, gue mohon untuk di balas. Kalo enggak, liat aja, beneran gue jadiin lo masako sapi, ya!
06.32

Shaqueen tidak tau kenapa ia bisa sekhawatir ini. Bahkan ia merasa dunia yang ia huni lagi-lagi kembali sepi. Padahal, sedari dulu yang menjadi temannya sehari-hari adalah sunyi. Tetapi, ketika Jevian hadir, semuanya perlahan berubah. Ada secercah warna baru yang mengisi di antara warna putih dan hitam yang ia miliki.

Pertemuannya dengan Jevian memang belum lama, terbilang cukup singkat untuk dua orang asing yang memutuskan untuk saling bercengkrama. Jevian itu unik, dan memiliki cara tersendiri untuk mendekati ia yang rumit.

Satu minggu lebih ia mengenal sosok itu, seperti ada banyak perubahan yang ia miliki. Seperti ... tawa yang kembali terpancar, setelah sekian lama pergi dari kehidupannya kelam.

Cara Jevian itu memang di luar pikirannya, lelaki itu tidak pernah kehabisan akal untuk mencari akses untuk mendekatinya. Meski harus berdebat karena sikap tengilnya, tetapi, akhirnya Shaqueen bisa luluh juga.

Shaqueen tidak mencintai Jevian, dia hanya merasa nyaman dengan lelaki itu. Nyaman yang belum sempat ia rasakan di mana-mana. Bahkan, ketika bersama Aksa sekalipun.

Mengingat Aksa, seperti mengingat luka yang dua minggu lalu. Dari kejadian di dermaga sore itu, sampai sekarang nyatanya lelaki itu sudah tidak pernah menemuinya lagi. Semua akses berkabar seolah putus dengan sendirinya.

Lihat, semua yang ia punya perlahan-lahan pergi. Dari mulai bunda yang entah di mana, Ayah yang sibuk bekerja, Abang yang hampir tidak pernah pulang, Aksa yang tiba-tiba menjauh tanpa penjelasan. Dan juga Jevian yang hilang tanpa sebuah kabar.

Shaqueen tahu, siklus hidup itu memang seperti ini. Tapi, apakah, harus semuanya pergi?

Tetapi, kenapa ketika Jevian yang menghilang, rasa sesak yang pernah ia rasa waktu Bunda pergi dari rumah seolah terulang kembali. Ruang-ruang kosong itu seakan menggema hingga terasa pekak di telinga. Ia tidak tahu kenapa rasanya begitu sesak, mungkin karena ia dan Jevian memiliki paham yang sama, atau memang lelaki itu sudah berhasil menyelami kehidupannya jauh lebih dalam. Hingga membuatnya sudah terbiasa. Dan ketika Jevian menghilang, semuanya kembali seperti mode awal. Senyap.

Beberapa menit dalam hening, Mahen cukup memahami isi pikiran gadis di depannya. Ada gusar yang cukup mengganggunya, apalagi ketika sorot matanya berubah menjadi kelabu. Pasti gadis itu sedang merasakan keresahan yang ia tahu apa penyebabnya.

Ujung bibir Mahen terangkat, roti di mulutnya sudah sepenuhnya ia telan. Ia kembali menatap sepupunya, lalu berbicara dengan gamblang.

“Udah, ya?” tanya Mahen tiba-tiba, hal itu membuat Shaqueen mengerutkan keningnya tak paham.

“Apa?”

“Jatuh cinta sama Jevian.”

•••

Bang Haikal tau nggak kemana bang Jevian? Udah satu minggu dia nggak ke rumah. Aku sama nenek jadi khawatir.

Suara Aji tadi pagi masih terngiang jelas di telinga Haikal. Ia sendiri juga tidak tahu kemana perginya Jevian. Anak itu benar-benar menghilang tanpa sebuah kabar. Haikal dan yang lain sudah berusaha untuk mencari kemana perginya Jevian. Namun, hingga detik ini, tidak ada satu pun tanda-tanda yang berhasil mereka dapat.

Hingga satu lemparan bakwan berhasil membuat lamunanya buyar, ia sempat diam beberapa saat untuk memandangi bakwan tersebut sebelum akhirnya ia lahap sampai habis. Namun, ucapan Aji tadi sama sekali belum enyah dari kepalanya. Hingga berkali-kali ia menghela napasnya kasar, lalu meremat jemari tangannya tanpa sadar.

“Lo kenapa sih, Kal? Diem mulu, kaya manusia punya masalah aja. Sepet banget gue lihat-lihat,” ucap Mahen, sadar bahwa perubahan yang cukup drastis pada sahabatnya. Hal itu berhasil di angguki oleh Rayhan.

“Kalo lo kesulitan buat ngabisin harta, sini biar gua aja yang bantu abisin,” timpal Rayhan, yang sesudahnya lelaki itu tertawa untuk beberapa saat.

Suara Mahen dan Rayhan membuat ia sedikit berdecak. Ia melirik ke arah mereka sebentar, lalu menarik napasnya dengan kasar.

“Gue bingung harus jawab apa kalo Aji terus-menerus nanyain Jevian sama gue. Padahal gue juga nggak tau si brengsek itu kemana.”

Dan hingga sekarang, semua usahanya untuk mencari Jevian sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa khawatir yang kian memuncak di kepalanya. Apalagi, ketika Aji terus-menerus menanyakan hal yang sama sekali ia tidak ketehui jawabannya apa. Karena, dia memang tidak pernah memiliki jawaban yang tepat untuk di suarakan.

Ia selalu menjawab, dan berbicara agar tidak perlu ada yang di khawatirkan. Toh Jevian sudah besar. Namun nyatanya, ia adalah orang yang paling khawatir ketika Jevian menghilang.

Ucapan Haikal tadi berhasil diangguki Mahen, lelaki itu mengingat bahwa tadi pagi sepupunya juga menanyakan hal yang sedemikian rupa kepadanya.

“Tadi juga Shaqueen nanyain dia ke gue,” sahut Mahen, lalu setelah itu ia menunduk untuk beberapa saat.

“Ada yang ganjal nggak sih? Ini nggak biasanya lho dia hilang kayak gini. Lo semua sadar nggak sih, setiap kali kita lihat, hampir setiap hari wajahnya memar-memar kaya gitu. Masa iya jatuh atau kejedot setiap hari, sedangkan kita semua tahu dia bukan orang yang ceroboh.”

Haikal mengangguk setuju, ucapan Rayhan tadi sempat terlintas di belenggunya pada minggu lalu. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, justru Jevian selalu menghindar ketika ia menanyakan hal yang cukup sensitif itu.

“Dari dulu, dari sebelum kalian kenal dia, dia emang nggak pernah terbuka. I mean, untuk perihal luka-luka yang sering kita lihat. Dia selalu bilang itu akibat kecerobohannya, padahal, luka orang jatuh sama luka kena pukulan itu jelas-jelas beda. Tapi, dia selalu ngelak dan enggan kasih tahu ke kita kebenarannya,” kata Mahen, dengan senyum sumir yang entah kenapa terasa lebih gusar dari sebelumnya.

Dari sebrang sana Janu hanya menyimak, lelaki bermata sipit itu sedari tadi tampak tenang-tenang saja. Padahal, teman-temannya yang lain justru sedang kelimpungan karena hilangnya Jevian.

“Nu, gue lihat-lihat, lo dari tadi cuman diem aja. Emangnya lo nggak khawatir?” tanya Mahen, yang diam-diam lelaki itu memperhatikan.

“Ya ngapain harus khawatir? Dia udah gede, nanti juga balik lagi. Nggak usahlah kita cari-cari dia lagi.” Janu menyahut dengan santai, lalu kembali melahap goreng tempe itu ke dalam mulutnya.

Mahen, Rayhan, dan Haikal jelas sepenuhnya menatap ke arahnya dengan tatapan selidik—menuntut penjelasan karena dari awal hanya lelaki itu yang terlihat tenang.

Janu terkekeh beberapa saat, lalu membalas tatapan tajam dari kawannya. “Ada yang salah dari ucapan gue?”

“Yang salah itu sikap lo. Kita semua lagi bingung nyariin Jevian. Tapi lo malah kelewat santai. Lo punya simpati sedikit nggak sih anjing?!” pekik Haikal kesal. Ia tidak tahu bahwa pagi ini semuanya terasa seperti runyam.

Mahen segera berdiri untuk menahan Haikal, sedangkan Rayhan, lelaki itu lebih memilih untuk duduk memperhatikan.

Melihat bagaimana tatapan tajam Haikal, Janu hanya tersenyum. Lelaki itu masih diam di tempatnya. Ia mendongkak hanya untuk menatap wajah Haikal yang kini tampak mulai kesal kepadanya.

“Nyariin orang yang nggak mau kasih tau keberadaannya sama kita itu buat apa? Cuma-cuma doang, capek iya, dapet petunjuk enggak.” setelah mengatakan itu, Janu mulai berdiri dari tempatnya duduk, lalu pergi dari sana tanpa rasa bersalah. Belum sampai jauh, ia berbalik sebentar, menatap satu persatu kawannya. “Dia itu munafik, lo semua udah ketipu.”

Ucapan terakhir Janu membuat tangan Rayhan yang sedang duduk itu diam-diam mengepal. Lelaki itu sudah terlalu muak dengan sikap Janu yang akhir-akhir  sudah kelewat batas. Jadi, tanpa aba-aba dia mulai berdiri dan berjalan ke arah Janu—menarik kerah baju lelaki itu tanpa ragu.

“Gue nggak pernah abis pikir sama lo, Nu. Setelah apa yang udah Jevian lakuin buat lo, dan ini balasannya?”

Janu menyunggingkan bibirnya, lalu membalas tatapan Rayhan dengan tenang. “Gue nggak pernah minta bantuan sama dia.”

Rayhan berdecih sebentar, lalu kembali menatap manik hitam milik Janu. Demi apa pun, ia masih tidak menyangka dengan jawaban brengsek dari sahabatnya itu. Setelah banyaknya hari yang mereka lewati bersama-sama, ternyata tidak ada satu pun hari yang berarti bagi  Janu. Memang benar, tidak semua orang bisa di jadikan sahabat. Justru musuh paling berbahaya bisa saja datang dari orang terdekat. Dan Janu sudah berhasil menyamar layaknya seorang sahabat yang baik. Dan mereka semua sudah terjebak.

Di sisi lain, Haikal yang sedari tadi sudah geram tanpa banyak bicara segera menghajar Janu. Lelaki berkulit sawo matang itu sudah berusaha menahan segala amarahnya, namun ucapan Janu beberapa menit tadi cukup membuat seluruh emosinya runtuh.

“Gue nggak tau lo punya muka dua, atau nggak sama sekali. Soalnya, muka-muka orang kayak lo ini lebih pantes buat gue tonjok!” sarkas Haikal, dengan senyuman miring pada setiap ujung bibirnya. Bahkan lelaki ini sama sekali tidak menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan pada Janu tadi.

“Ada baiknya lo enyah aja dari sini, sebelum tangan gue yang keren ini ngehajar muka munafik lo lagi. Bisa-bisa hilang kekerenannya nanti kalo terus nonjok orang yang nggak tau diri.”

Janu terkekeh, lelaki itu bahkan tidak merasakan perih, padahal ujung bibirnya nampak sedikit robek. Pukulan Haikal tadi cukup keras hingga berhasil membuatnya tersungkur jatuh.

Kali ini, tidak ada yang menengahi. Bahkan Mahen pun larut dalam keterdiamanya sembari memijit pelipisnya yang entah kenapa terasa lebih pening.

Persahabatan yang sudah mereka bangun ternyata bisa hancur dalam hitungan menit. Kesalah pahaman ini selalu memicu argumen yang padahal bisa di bicarakan dengan kepala dingin. Namun, mereka memilih untuk mengatasinya dengan ego yang berujung perpisahan.

“Nanti, akan ada satu masa di mana kalian percaya sama ucapan gue. Dan ketika masa itu habis, lo semua akan nyesel!”

••


Aji dan Raka termenung di sisi jendela dengan resah yang akhir-akhir ini sering mengganggunya. segala cara dan usaha sudah mereka lakukan untuk mencari informasi tentang Jevian. Namun, tidak ada satu pun usahanya yang membuahi hasil.

Bahkan semua sahabat Jevian pun tidak mengetahui di mana keberadaan lelaki itu. Jevian terlalu  rapi bersembunyi hingga membuat mereka semua kelimpungan karena tidak di beri petunjuk apa pun. Jika semuanya saja tidak berhasil menemukan keberadaannya, bagaimana dengan Raka dan Aji yang baru mengenali lelaki itu beberapa bulan yang lalu? Tentu saja apa yang mereka usahakan akan menjadi percuma.

“Apa bang Jevian di sembunyiin alien, ya?” tanya Aji, hal itu berhasil membuat Raka menarik napasnya kasar.

“Alien tuh nggak ada, nggak usah ngaco!”

“Kalo semisal emang beneran ada, gimana?”

“Udahlah, Ji, sekarang bukan waktunya bahas alien. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah gimana caranya kita nemuin bang Jevian. Kalo kamu terus bahas alien lagi, aku sumpel pake cabe sekilo!”

Aji mendengkus, kenapa kakaknya yang satu ini tidak pernah percaya akan keberadaan makhluk lain di dunia ini. Padahal Aji selalu yakin, bahwa di muka bumi ini bukan hanya meliputi manusia, tumbuhan dan hewan saja. Tetapi ada makhluk asing di planet luar sana. Menurutnya, tidak mungkin di suatu tempat tidak memiliki penghuni. Meski keberadaan alien hingga sekarang belum menemui titik terang. Tetapi Aji yakin pasti ada banyak keajaiban-keajaiban lain yang belum ia dan manusia lain ketahui. Kelak, jika ia berhasil menjadi seorang angkasawan, dia akan menunjukkan bahwa alien itu ada. Lihat saja!

Hening kembali memeluk ke duanya. Hingga suara ketukan pintu dari luar kembali mengambil alih atensinya. Tepat pada saat Shaqueen melambaikan tangannya ke arah mereka, dengan satu tangan lain yang menjinjing totebag berwarna biru muda yang entah berisi apa.

Kedatangan Shaqueen yang tiba-tiba itu berhasil membuat keduanya beranjak dari tempat duduknya, lalu mereka segera berlari menghampiri Shaqueen dengan secercah warna yang selalu Shaqueen suka.

“Kak Micin!” panggil Aji, dengan penuh antusias.

“Ish kamu ini, itu panggilan khusus bang Jevian buat kak Shasa tau. Kamu jangan ikut-ikutan!” timpal Raka.

Aji melirik sekilas ke arah samping, “Ya terserah aku dong, kak Micin aja nggak protes, kenapa kamu yang repot!” cibir Aji, seraya mendelikan matanya tak suka.

Melihat perdebatan itu Shaqueen terkekeh beberapa saat sebelum akhirnya memilih untuk sepenuhnya masuk ke dalam rumah. Hatinya selalu menghangat jika selalu berhubungan dengan mereka. Ia selalu merasa hadirnya di butuhkan, dan selalu merasa bahwa kedatangannya adalah suatu hal yang patut untuk di sambut dengan hangat. Senyuman mereka yang merekah indah tanpa adanya sebuah paksaan adalah sebuah obat untuk segala lara yang ia punya. Hal itu yang membuat Shaqueen merasa bahwa inilah yang namanya rumah.

Ketika ke dua anak itu saling memunggungi satu sama lain, Shaqueen langsung berjalan mendekat ke arah ke duanya. Totebag yang ia bawa itu ia letakan di bawah, lalu ke dua tanganya sibuk untuk mengusap kepala ke duanya.

“Nggak boleh berantem, dosa tau.”

“Kalo terjadi perbedaan pendapat itu jangan langsung berseteru. Tetapi, hargai masing-masing pendapat. Lalu setelah itu ambil jalan tengah. Selesaikan dulu dengan kepala dingin, jangan sampai malah memecah belah. Karena hal yang kalian perdebatkan itu cukup sederhana. Hanya perihal nama panggilan aja. Kalian boleh panggil kakak apa aja, selagi itu baik dan buat kalian senang, kakak nggak keberatan kok. Jadi, sekarang ayo baikkan.”

Penjelas Shaqueen membuat keduanya menunduk, lalu dengan ragu-ragu ke duanya saling menautkan kelingkingnya untuk segera berbaikan. Hingga senyum simpul kembali terukir di wajah ke dua anak itu begitu lebar.

“Aku minta maaf ya, bang.”

“Aku juga minta maaf karena dari tadi marahin kamu.”

Aji hanya mengangguk, lalu ke dua anak itu segera melebur ke dalam dekapan Shaqueen. Mendapatkan pelukan yang begitu tiba-tiba membuat Shaqueen tertawa, anak-anak ini sungguh manis.

Saking hebatnya pelukan itu, membuat Shaqueen lama-lama menitikkan air mata. Seketika ruang-ruang kosong yang ia punya kini dalam hitungan menit mampu berubah menjadi hangat. Tidak hampa. Tidak ada luka-luka yang membiru sebab dinginnya hidup yang ia jalankan.

Karena, setelah Bunda memilih meninggalkan rumah. Segala yang ia punya banyak berubah. Tidak ada lagi dekapan hangat. Tidak ada lagi sambutan dari Bunda ketika ia pulang sekolah. Pantas jika kali ini Shaqueen meras hadirnya kembali di butuhkan. Karena sudah lama ia terbuang dan terlupakan.

Tidak ingin Aji dan Raka mengetahui bahwa ia sedang menangis, Shaqueen segera menghapus air matanya. Ia berusaha menghapus jejak-jejak basah di pipinya, namun hanya satu yang tidak bisa hapus— menghapus jejak gelisah yang akhir-akhir menjadi sesuatu hal yang cukup mengganggu segala aktivitasnya.

"Aji, Raka, kakak mau tanya. Kira-kira kalian pernah ketemu sama Jevian, nggak?"

Ke dua anak itu menunduk. Ia kira Shaqueen mengetahui di mana keberadaan Jevian. Tetapi justru malah sebaliknya. Gadis itu sama seperti mereka, yang kini tengah kelimpungan akibat kepergian Jevian yang begitu tiba-tiba. Al hasil, sebagai bentuk jawabannya, kedua anak itu hanya menggelengkan kepalanya.

Lagi dan lagi Shaqueen hanya bisa menarik napasnya dengan gusar, ia tidak tahu harus mencari Jevian kemana untuk saat ini. Jevian itu curang, ia lebih banyak mengetahui Shaqueen lebih dalam, tetapi Shaqueen sama sekali tidak mengetahui  tentang Jevian.

Shaqueen juga sempat meruntuki dirinya sendiri, sebab ia tidak mampu berbuat banyak hal. Ia tidak bisa melakukan apa yang Jevian lakukan untuknya. Di saat-saat seperti ini, ia benar-benar tidak mampu menggunakan otaknya untuk memecahkan setiap kejanggalan.

“Tapi kak, waktu aku pulang ngamen di daerah SCBD. Waktu itu aku sama bang Raka mencar, aku pulang ke jalan yang cukup sepi karena kesasar. Di tepi jalan, aku lihat ada handphone. Awalnya aku nggak berani ambil, karena nenek selalu ngajarin kita untuk jangan mengambil apa yang bukan milik kita. Tapi, setelah lama aku bergelut sama diriku sendiri. Akhirnya aku bawa hp itu, karena aku ngerasa nggak asing. Sebentar, aku ambil dulu hp-nya, ya.”

Raka dan Shaqueen hanya mengerutkan dahinya. Handphone apa yang Aji maksud, di kejauhan radius satu meter dari tempat Raka duduk. Anak itu masih sibuk bergelanyut dalam pikirannya. Kenapa Aji tidak pernah memberi tahu kepadanya masalah ini. Tetapi, alih-alih protes, Raka lebih memilih untuk berdiam di tempatnya. Menunggu Aji yang tampak sudah menggenggam handphone berwarna hitam dengan case kaki kucing di belakangnya.

“Ini kak, hp-nya. Kalo semisal kakak nggak tau ini hp milik siapa, aku akan balikin hp ini ke tempatnya. Atau mungkin, kakak bisa tolong hidupin dan cari tau siapa pemiliknya, biar aku bisa kembaliin ke orang yang tepat.”

Setelah Aji memberikan handphonenya kepada Shaqueen, seketika ada sesuatu yang semakin membuat dadanya terkoyak. Ia meremat handphone itu dengan detak-detak yang terasa seolah melambat. Ia tahu handphone ini milik siapa.

Tetapi, untuk memastikan, ia mencoba menekan tombol power di samping handphonenya cukup lama. Namun, handphone itu nampaknya kehabisan daya sehingga enggan menyala. Shaqueen sempat mendesah beberapa saat, tetapi ia baru ingat bahwa ia membawa charger di dalam tasnya. Ia langsung mengambilnya dan sesegara mungkin untuk mengisi daya. Butuh beberapa menit untuk sepenuhnya menyala, dan Shaqueen selalu berharap semoga ini benar-benar milik dia.

Dan ketika layar dari handphone itu akhirnya berhasil menyala, menampilkan gambar coretan dengan beberapa kata. Membuat Shaqueen semakin berlarut dalam rasa khawatirnya. Dan di saat ia mencoba untuk membuka, dengan kata sandi nama peliharaan yang pernah lelaki itu ceritakan padanya.

Gue punya peliharaan, namanya Lucy. Sebenernya bukan punya gue sih, itu anak kucing dari kucingnya Mama dulu. Karena Mama sayang banget sama ibunya Lucy, jadi gue juga sayang banget sama anaknya. Seenggaknya, gue akan terus rawat kucing-kucing Mama. Biar mama nggak khawatir di sana.

Ketika ingatan itu semakin larut, Shaqueen sesegara mungkin mengetik kata sandi dengan nama 'Lucy,' dan ternyata benar, handphone itu langsung terbuka dan menampilkan sebuah gambar seorang wanita yang hampir persis dengan Jevian. Mungkin ini adalah mendiang mama-nya. Hal ini semakin memperkuat keyakinan Shaqueen, bahwa ponsel ini milik Jevian.

“Kamu nemu hp ini di mana?” tanya Shaqueen.

“Di jalan Gunawarman yang mengarah ke kawasan SCBD, kak.”

“Setiap hari sesudah pulang sekolah, aku selalu ajak bang Haikal untuk pulang lewat jalan itu. Karena aku selalu berharap bahwa pemiliknya akan cari hp ini. Tapi, pemiliknya nggak pernah kembali lagi ke sana. Aku udah nanya ke beberapa petugas pembersih jalan. Dan jawaban mereka tetap sama, nggak pernah ada. Jadi, aku harap setelah hp ini kembali nyala dan kebuka, aku bisa dengan mudah tau pemiliknya. Dan aku juga bisa sesegera mungkin kembaliin hp-nya.”

“Kira-kira, apa kakak udah berhasil tahu ini hp milik siapa?”

Shaqueen terdiam beberapa saat, lalu membalas tatapan Aji dengan senyuman yang entah kenapa terasa lebih gusar. Harusnya, ini adalah salah satu titik terang untuk Shaqueen menemukan Jevian. Tetapi, entah kenapa hatinya justru terasa semakin resah.

Shaqueen merasa ada sesuatu hal yang cukup menjanggal. Jika handphone ini terjatuh, pasti Jevian akan mencarinya. Karena handphone adalah kebutuhan setiap hari bagi manusia. Tetapi, sudah lebih dari 4 hari setelah Aji menemukannya. Setiap anak itu kembali ke tempat yang sama, Aji tidak pernah melihat Jevian mencarinya.

Shaqueen meremat ponsel milik Jevian, lalu menarik napas beberapa saat untuk menetralkan rasa sesak yang kian membuatnya kesulitan berpikir dengan jelas. Hingga suara Aji kembali memecah hening, dan akhirnya Shaqueen menjawabnya dengan tenang.

“Ini punya Jevian.”

Ketika suara Shaqueen menggema, dan ketika nama Jevian di sebutkan. Saat itu juga raut wajah Aji berubah. Bahkan badanya sempat bergetar untuk beberapa saat, membuat Shaqueen dan Raka kebingungan karena di detik selanjutnya anak itu berlari ke luar. Membelah hujan yang saat itu turun dengan cukup deras.

Shaqueen dan Raka segera menyusul, dan ketika Shaqueen berhasil menarik lengan Aji, anak itu justru meraung sembari memeluknya cukup lama. Cukup membuatnya tersedu-sedu hingga membuat Shaqueen semakin banyak menerka-nerka. Sebenernya ada apa?

Tetapi alih-alih untuk menuntut anak itu menjelaskan, Shaqueen segera menarik Aji dan Raka untuk menepi di halte yang tak jauh dari jarak mereka berdiri.

Cukup butuh waktu beberapa menit hingga Aji perlahan mengangkat wajahnya. Anak itu menatap Shaqueen dan Raka secara bergantian, lalu ia membuka suaranya dengan nada yang cukup putus asa. Cukup membuat Shaqueen dan Raka kehilangan kata untuk berbicara.

“Bang Jevian dalam bahaya, kak. Karena waktu aku nemuin hp ini, ada banyak darah di sana.”

Dan ketika suara guntur menggelegar, ketika hujan  jatuh semakin deras. Seketika semua organ tubuhnya terasa lemas. Shaqueen tidak mampu menangkap apa-apa, selain air dari pelupuk matanya yang turun dengan sendirinya.








Bersambung...

Mohon maaf kalo banyak kurangnya, aku udah semaksimal mungkin nulis cerita ini. Untuk kali ini, untuk kalian yang diam-diam baca cerita aku, boleh nggak untuk kali ini aja aku minta kalian buat kasih tau tentang bagaimana cerita ini? Karena, jujur aja, aku butuh itu. Aku harap, kalian mau bantu aku hehe❤️

Continue Reading

You'll Also Like

552K 26.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
3.4K 1.7K 48
❝𝐋𝐚𝐲𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠𝐤𝐮𝐥 𝐛𝐞𝐤𝐚𝐬 𝐥𝐮𝐤𝐚❞ Pertemuan masa kecil di bawah pohon Flamboyan yang dihiasi burung kerta...
29.8K 2.1K 14
Benua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di...
8.5K 1.5K 19
(COMPLETED) Allen Ma seorang lelaki pengidap narcolepsy yang menjalani kehidupannya sehari-hari hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang gadis...