Through the Lens [END]

By dindaarula

83.9K 9.2K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

๐Ÿ“ท chapter o n e
๐Ÿ“ท chapter t w o
๐Ÿ“ท chapter t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o u r
๐Ÿ“ท chapter f i v e
๐Ÿ“ท chapter s i x
๐Ÿ“ท chapter s e v e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t
๐Ÿ“ท chapter n i n e
๐Ÿ“ท chapter t e n
๐Ÿ“ท chapter e l e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e l v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f o u r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f i f t e e n
๐Ÿ“ท chapter s i x t e e n
๐Ÿ“ท chapter s e v e n t e e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t e e n
๐Ÿ“ท chapter n i n e t e e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y
๐Ÿ“ท chapter f o r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y f o u r
๐Ÿ“ท f i n a l chapter

๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s e v e n

1.4K 200 21
By dindaarula

Kehadiran Bi Ajeng yang tanpa diduga sangat tertarik untuk bercakap-cakap dengan Alsa sejatinya membuat gadis itu bersyukur--sebab Radya jadi tak punya kesempatan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Ingin memotong, tetapi Radya tak tega juga. Bi Ajeng tampak begitu antusias karena akhirnya ia punya teman bicara sesama perempuan di rumah itu. Alhasil, ia pun mengalah, dan lama-kelamaan dirinya perlahan-lahan memejam hingga betulan terlelap akibat efek samping dari obat yang dikonsumsinya--sebelum Alsa datang--mulai bekerja.

Alsa dan Bi Ajeng yang melihat itu tentu saja memilih untuk pergi dari kamar agar Radya dapat beristirahat dengan tenang. Bi Ajeng pun kembali membawa nampan dengan camilan dan minuman yang tersisa sampai ke ruang tamu di lantai bawah, melanjutkan obrolan dengan Alsa yang sempat terhenti di sana.

"Sebenernya Bibi panik banget Non, waktu Den Radya dianterin pulang sama temennya dalam keadaan udah lemes kayak gitu," ujar Bi Ajeng usai menarik napas pelan seraya menaruh gelas serta toples camilan di atas meja.

"Bi, panggil Alsa aja," Alsa kembali memperingatkan, entah sudah yang ke berapa kali.

"Aduh, iya maaf, lupa terus Bibi."

Alsa tersenyum maklum, lantas melanjutkan pembicaraan, "Bang Radya apa orangnya gampang sakit, Bi?"

"Nggak, Alsa. Cuma memang nggak bisa kena hujan saja. Tapi, kadang sekalinya sakit bisa lama. Untungnya sekarang nggak begitu parah, dua atau tiga hari lagi juga pasti sudah pulih benar."

"Oh, gitu ya, Bi .... Aku baru tau kalau Bang Radya nggak bisa kena hujan. Tau gitu, waktu itu aku nggak ngajakin langsung pulang. Tapi, dianya sendiri nggak ada bilang apa-apa, ya aku mana tau jadinya."

"Yah, memang begitu anaknya, Alsa. Bagi dia, orang lain yang utama, jadi sudah jelas di situasi seperti itu dia nggak akan nunjukin kelemahannya." Bi Ajeng menghela napas sejenak, lalu senyum masamnya mengembang. "Alsa juga tau kalau Den Radya jadiin hobinya sebagai pekerjaan, 'kan? Padahal, tanpa perlu kerja pun, isi rekeningnya nggak akan pernah kosong."

Memang benar-benar orang kaya gabut, pikir Alsa seraya berdecak takjub.

"Tapi," lanjut Bi Ajeng, "sebetulnya hasil yang Den Radya dapatkan dari itu semua bukan untuk dirinya sendiri, Alsa."

"... jadi, untuk siapa, Bi?"

"Untuk Non Risha, kembarannya. Dan, nggak jarang juga untuk mamanya sendiri."

Alsa kontan saja tertegun mendengar hal tersebut.

Kilatan pedih kemudian muncul di kedua mata Bi Ajeng. "Nasib mereka setelah punya keluarga baru ternyata nggak berjalan mulus dan banyak lika-likunya. Hidup mereka berubah total. Den Radya yang tau itu sudah jelas nggak tinggal diam. Bibi yang dengernya aja ikut sedih, Alsa, karena bisa dibilang Bibi udah jadi saksi hidup keluarga ini sejak Den Radya sama Non Risha lahir, sejak hidup mereka cuma penuh sama yang namanya kebahagiaan.

"Nggak lama setelah tau hal itu, Bibi perhatiin Den Radya juga mulai berubah," imbuh Bi Ajeng. "Dari yang asalnya boros minta ampun, gaya hidupnya pelan-pelan jadi lebih sederhana. Bibi sampe nggak percaya liatnya, makanya Bibi iseng tanya, kenapa dia tiba-tiba begitu. Terus, katanya, 'Karena sekarang Risha hidup seperti ini, Bi. Mana bisa aku enak-enak menikmati sesuatu yang nggak bisa dinikmati juga sama Risha'. Duh, rasanya Bibi pengen nangis aja waktu itu, Alsa."

Penuturan Bi Ajeng sekonyong-konyong menghadirkan rasa haru dalam diri Alsa. Ia tarik kembali kata-katanya soal "orang kaya gabut" sebab sejatinya alasan di balik semuanya lebih dalam daripada itu. Alsa pun akhirnya tahu mengapa Radya selalu tampil biasa dalam keseharian. Yang ia lakukan semata-mata karena afeksi tanpa batas untuk saudara kembar serta sang mama--yang tak lagi berstatus sebagai istri papanya.

Alsa sedikit melebarkan mata kala Bi Ajeng tiba-tiba meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat. Sebuah senyum simpul lantas terbit di bibir wanita paruh baya itu.

"Makanya, waktu tadi Bibi tau kalau ternyata Den Radya punya pacar, walaupun Bibi memang sempat kaget, tapi setelahnya Bibi mikir kalau Alsa adalah perempuan yang beruntung. Pasti Alsa ngerti maksudnya, 'kan, setelah dengar cerita Bibi tadi?" Ada jeda sesaat. "Dan, Bibi juga senang sekali, karena Den Radya pasti nggak bakal ngerasa kesepian lagi."

Yah, mungkin Alsa bisa merasa senang sepenuhnya usai mendengar itu jika dirinya adalah benar pacar Radya. Namun, kenyataannya ia bahkan belum bisa menjawab permintaan laki-laki itu. Alhasil, Alsa cuma bisa meringis pelan.

Tapi, lo memang beruntung, Alsanira.

Oh, tentu saja Alsa tak bisa menampik fakta tersebut. Sejak tahu kalau Radya menaruh perasaan terhadapnya saja, Alsa sudah merasa betapa baiknya semesta pada seorang gadis biasa sepertinya. Kini, setelah mengetahui hal baru soal laki-laki itu, Alsa tentu menjadi jauh lebih beruntung lagi.

"Um, tapi, kenapa Bibi sampe ngerasa kaget? Apa sebelumnya ... Bang Radya nggak punya pacar?" tanya Alsa, sedikit mengalihkan topik sekaligus menggali informasi lain.

"Pernah punya, kok."

Alsa menahan napas sesaat.

"Tapi, kalau yang sampai datang ke rumah, memang cuma Alsa."

Oh, ya ampun. Alsa bahkan bukan pacarnya, tetapi ia bahkan sudah selangkah lebih maju dari mantan laki-laki itu?

"Kenapa bisa gitu, Bi? Nggak pernah dibawa ke rumah emangnya? Atau nggak pernah dikasih tau alamat rumah ini, makanya nggak pernah datang?" Rasa penasaran Alsa mendadak kian membengkak.

Bi Ajeng tampak berpikir sejenak, mengingat-ingat sesuatu, sebelum akhirnya menyahut, "Duh, kalau soal itu Bibi kurang tau, Den Radya nggak pernah cerita juga soalnya. Bibi waktu itu cuma dikasih tau kalau dia sudah punya pacar, sudah jalan dua bulan. Pacarnya dulu itu model, Alsa, malah pernah beberapa kali Den Radya jadi fotografernya kalau ada pemotretan untuk apa gitu, lupa Bibi." Jeda sebentar. "Tapi hubungannya nggak bertahan lama. Tau-tau aja waktu itu Den Radya pulang dengan mukanya yang keliatan kecewa berat sambil nahan emosi. Bibi sempet kena imbasnya tuh, ikut dimarah-marahin, padahal Bibi nggak tau apa-apa."

Mencerna semua yang Bi Ajeng sampaikan, Alsa hanya terdiam. Fakta bahwa Radya punya mantan pacar sebetulnya tidak begitu mengganggu sebab ia pun sudah menduga laki-laki itu tak mungkin belum pernah menjalin hubungan sebelumnya. Namun, di antara banyaknya rentetan kalimat, hanya satu saja yang menyangkut dalam benak Alsa.

Mantan pacarnya seorang model, dan Radya pernah menjadi fotografernya.

Alsa tahu bahwa itu hanyalah masa lalu, tetapi entah mengapa rasa tak percaya dirinya mulai menyerang secara perlahan. Bahkan perkataan menyakitkan Sania tempo hari kembali terputar secara berulang dalam kepala bak kaset rusak. Padahal baru beberapa menit lalu Alsa berhasil dibuat abai terhadap hal itu karena keyakinan yang Radya berikan, tetapi kini Alsa justru mulai sedikit paham mengapa kalimat seperti itu dapat terlontar dari mulut Sania.

Keraguan yang menyeruak hebat dalam diri pun membuat Alsa berpikir bahwa mungkin, hari ini Bi Ajeng akan kembali mendapati kekecewaan dalam wajah Radya.

Hanya saja, kali ini adalah Alsa penyebabnya.

-

Radya tak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Yang jelas, gelap ternyata telah menjemput kala ia menengok ke arah jendela yang belum terhalangi gorden. Ia lantas bangkit seraya melawan rasa pusing yang kembali mendera, mencari-cari keberadaan ponsel yang rupanya tergeletak di atas nakas. Setengah tujuh malam, batin laki-laki itu usai dihidupkannya layar yang tak lama kemudian kembali mati.

Terduduk di tepi tempat tidur, sejenak Radya tergeming, mengumpulkan nyawa. Barulah ia mulai teringat bahwa sebelum dirinya terbang ke alam mimpi, ada sosok gadis yang menemaninya di sana.

Dengkusan samar pun lolos. Bagaimana bisa ia terlelap begitu saja di saat sang gadis datang untuk menjenguk? Yah, rasanya pun mustahil juga kalau tidak sampai terjadi oleh sebab pengaruh obat yang dikonsumsi serta dirinya yang memang belum sembuh total. Alhasil, Radya hanya bisa mengembuskan napas panjang-panjang.

Meski masih merasa lemas, Radya memilih untuk beranjak menuju lantai bawah, ingin menemui Bi Ajeng. Tenggorokannya pun terasa kering, dan ia butuh segelas air putih saat ini juga.

Namun, sampai di pertengahan anak tangga, samar-samar Radya mendengar suara lain yang dikenali selain Bi Ajeng. Dan, Radya tahu pasti siapa pemiliknya. Maka dari itu, langkahnya kian dipercepat hingga Radya tiba di tujuan. Kaki-kakinya segera digerakkan menuju dapur, dan benar saja, punggung sempit Alsa terdapat di sana, bersebelahan dengan Bi Ajeng yang tengah berdiri di depan kompor. Gadis itu benar-benar belum meninggalkan rumahnya.

"Lo kenapa belum pulang?" Radya langsung saja bertanya tanpa basa-basi.

Kedua perempuan di sana segera menoleh, tetapi yang lebih dulu memberi jawaban ialah Bi Ajeng. "Tadi sore sempet hujan, Den, makanya Alsa neduh dulu di sini sampe bener-bener berhenti. Tapi berhubung sudah jam segini, sekalian saja Bibi ajakin makan malam sama-sama di sini," jelas Bi Ajeng. "Gimana, Den? Udah enakan habis tidur?"

"Lumayan, Bi," jawab Radya, tetapi matanya terarah pada Alsa yang menyunggingkan senyum kecil. Laki-laki itu lantas menyipitkan mata.

Manik gelapnya tak bisa berbohong. Senyum itu terlihat tidak tulus. Ada apakah dengan sang gadis?

Sayang, keberadaan Bi Ajeng membuat Radya tak bisa bertanya dengan leluasa. Alhasil ia hanya mengambil gelas di lemari rak dan menuangkan air dari dispenser, lalu diteguknya sampai tandas.

Setelahnya, seraya kembali menoleh pada Alsa, Radya berujar pelan, "Sori, gue malah ketiduran."

Alsa turut menengok dan mengangguk paham. "Nggak papa, lo juga kan masih sakit, Bang."

Radya baru hendak kembali melanjutkan konversasi saat Bi Ajeng sudah menyuruh mereka segera menuju meja makan karena hidangan telah siap semua. Sepasang manusia itu pun menurut saja. Dan makan malam pun berlangsung dengan sebagaimana mestinya tanpa ada gangguan atau apa pun. Hingga sekitar tiga puluh menit setelahnya, Radya mendapati Alsa sudah bersiap untuk pulang.

Sebelum Alsa sempat berpamitan, Radya lebih dulu memotongnya dengan berkata, "Tunggu sebentar." Lantas ia cepat-cepat beranjak ke kamarnya guna memakai hoodie, mengambil masker, serta kunci mobil di laci nakas. Laki-laki itu pun kembali menghampiri Alsa seraya mengenakan maskernya.

"Lo mau ke mana, Bang?" tanya Alsa dengan kerutan samar di dahi.

"Nganterin lo," Radya menyahut santai. Kelewat santai.

Kedua mata Alsa pun kontan membulat. "Hah? Eh, nggak usah, Bang, elo kan masih sakit."

"Gue udah mendingan."

"Ya tetep aja lo masih harus banyak istirahat. Lagian udah malem juga, di luar dingin, habis hujan."

"Ya lo pikir gue bakal biarin lo pulang sendiri sementara di luar keadaannya kayak gitu?"

"T-tapi gue bisa pulang sendiri kok, beneran."

"Gua anterin," ujar Radya kembali dengan tegas. Namun sayang, Alsa masih tetap pada pendiriannya.

"Nggak mau."

"Nggak mau pulang?"

Alsa hanya geming.

"Nggak mau? Lo mau nginep di sini jadinya?"

"Ng-nggak gitu!" seru Alsa sembari melotot. "Gue pulang sendiri pokoknya."

Radya menelengkan kepala, ditatapnya Alsa tak habis pikir. Kenapa keras kepala sekali, sih? Menghela napas berat, Radya mengulangi kata-katanya barusan. "Gue anterin, Alsa."

"Nggak. Gue pulang sendiri."

"Pulang sama gue."

"Nggak, Bang."

"Alsanira." Radya benar-benar sudah tampak jengkel bukan main. Perdebatan mereka sebetulnya dapat terselesaikan segera jika salah satu dari mereka ada yang mengalah. Namun, dalam situasi ini, Radya tidak mau melakukannya. Tentu saja, bagaimana bisa ia membiarkan Alsa pulang sendirian malam-malam begini dengan jarak yang tak bisa disebut dekat?

Sekali lagi Radya menghela napas. Kemudian ia maju dan bermaksud untuk meraih lengan Alsa. Sepertinya sedikit paksaan cukup dibutuhkan di sini. "Ayo, pulang."

Tanpa disangka, Alsa malah mundur sehingga Radya hanya menggapai angin. Laki-laki itu kembali maju, dan Alsa turut melakukan hal yang sama. Begitu terus, sampai Alsa tiba-tiba saja berlari kecil menuju ruang tamu, berdiri di balik salah satu sofa. Radya pun semakin terheran saja melihat kelakuannya. Ia lantas menghampiri Alsa. Tanpa berlari, cukup hanya dengan langkah lebar dan cepat saja.

Namun, Alsa lagi-lagi melakukan hal serupa, membuat Radya akhirnya mendengkus kesal.

"Lo ngapain pake kabur segala, sih?"

"Ya elo ngapain ngejar?"

"Menurut lo gue begini gara-gara apa, hah? Kenapa susah banget gue ajak pulang doang?"

"Kan gue udah bilang, gue bisa pulang sendiri!"

Sungguh, Radya betul-betul sudah kehilangan kata sekarang, tak menyangka gadis itu akan terus mempersulit keadaan. Kini ia hanya punya satu jurus terakhir yang dirasa akan berhasil. Maka dari itu, ia lekas menjatuhkan diri di sofa dan memijat-mijat pelipis dengan mata terpejam. "Ya udah, kalau itu mau lo," tukas Radya pasrah, yang tentu hanya ia buat-buat saja. "Lo malah bikin gue tambah pusing yang ada."

Tak perlu menunggu lama, kala coba mengintip, Radya sudah menemukan Alsa yang pelan-pelan menghampirinya dengan sorot khawatir, tanpa tahu bahwa sesungguhnya ia telah masuk perangkap laki-laki itu.

"Lo nggak papa, Bang?" tanya Alsa. "Tuh, kan, makanya gue nggak mau lo nganterin gue karena lo belum sem--eh, eh, lo ngapain, Bang?!"

Sebelum Alsa menyelesaikan apa yang hendak ia katakan, Radya cepat-cepat meraih tubuh mungil gadis itu, mengangkatnya dengan begitu mudah seraya ia bangkit dari sofa. Radya melakukannya dengan cara yang tak romantis karena, kalian tahu 'kan, bagaimana jika seorang lelaki membawa sekarung beras di salah satu pundaknya? Nah, keadaan ini tak jauh berbeda dengan hal tersebut.

"Bang, turunin gue!" Alsa tentu saja memberontak di sana, tetapi Radya hanya pura-pura tak mendengar.

"Bi, aku nganterin bocil pulang dulu, ya," Radya berucap pada Bi Ajeng yang sedari tadi hanya memerhatikan tingkah laku dua insan itu dengan terheran-heran, tetapi sebuah senyum geli tak kuasa ia tahan begitu saja.

Usai berpamitan, Radya segera saja beranjak, hendak menuju mobilnya yang terparkir di carport.

"Iya, gue bakal pulang sama lo, tapi turunin gue sekarang!" pekik Alsa yang lebih terdengar seperti perintah daripada memohon.

"Tanggung, belum sampe mobil."

"TURUNIN GUE!"

"Bentar lagi."

"SEKARANG!"

"Astaga, bentar lagi gue bilang."

"ARGH, FARADYA!"

Seruan keras itu sekonyong-konyong menghentikan langkah Radya yang hanya tersisa beberapa saja dari mobilnya. Alsa langsung terdiam, hening pun mengambil alih selama beberapa detik.

"Lo bilang apa barusan?"

"... ng-nggak bilang apa-apa."

Radya berdecih pelan, lalu salah satu ujung bibirnya terangkat. "How dare you call me by my name like that."

Yang laki-laki itu lakukan setelahnya adalah membiarkan Alsa kembali berpijak pada tanah. Sang gadis langsung berusaha menghindari tatapan Radya dengan raut panik. Radya kemudian mengambil langkah maju, yang membuat Alsa seketika mundur hingga punggungnya bertemu dengan pintu mobil.

Radya menatap Alsa lurus-lurus, lalu ia berkata, "Setelah gue inget-inget, Alsa yang gue kenal pertama kali justru memang begini orangnya. Nggak ada ragu, nggak ada takut, nggak ada sopan-sopannya juga. Selama ini, setelah insiden di kafe itu, lo malah selalu nunjukin yang sebaliknya, yang bikin gue mikir kalau lo ngerasa nggak nyaman ada di deket gue.

"Tapi, di hari Minggu kemarin, gue liat lo mulai keliatan lebih luwes, seolah gue sama lo udah berteman lama," lanjut Radya dengan senyum tipis yang tak mungkin nampak karena tertutup masker. "Gue suka liatnya, dan gue harap lo bakalan terus seperti itu."

Laki-laki itu menarik napas sejenak. Pandangannya masih mengunci Alsa. "Tapi, gue rasa lo memang masih butuh banyak waktu. Jadi, soal permintaan gue sebelumnya ... lo nggak harus jawab sekarang."

Alsa hanya tergeming, memandang Radya dengan sorot tak percaya.

"Lo boleh bilang kalau lo ngerasa terbebani karena gue yang terlalu terburu-buru, dengan begitu gue bakal bersedia buat nunggu sampai lo bener-bener siap untuk datang ke gue. Mau berapa lama pun, gue pasti masih tetap berdiri di tempat yang sama." Ada jeda sesaat yang diisi oleh tarikan napas. "Seenggaknya ... itu lebih baik, daripada nantinya gue harus liat lo perlahan-lahan menjauh dari gue. Lo paham, 'kan?"

📷

author's note:

akhir-akhir ini aku jadi rajin banget ya update-nya wkwk. salah satunya karena aku ngerasa nggak enak udah lama nggak lanjut cerita ini sih huhu :"

tapi, apakah itu artinya setelah ini aku bakal menghilang lagi?

haha, nggak kok. aku usahain buat tetep lanjut secepat yang aku bisa. paling-paling aku cuma melipir ke lapak sebelah yang lagi ongoing juga. kalian boleh banget mampir, chapter-nya udah lumayan banyak. judulnya see you after midnight, kali aja ada yang suka cerita tentang satu kosan sama gebetan hihi.

(hadeh ujung-ujungnya malah promosi wkwk nggak papalah yaa masih di cerita sendiri ini)

oke deh segitu aja, sampe ketemu di next chapter! <3

bandung, 3 maret 2023

love, dinda.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 249K 45
Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia, sudah pasti di depan mata. Namun ternya...
93.6K 9.1K 46
Natasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan be...
308K 26.9K 39
Ellena Reinadeth Sridjaja, shopaholic sejati yang tidak bisa hidup sehari tanpa belanja. Hobinya menghabiskan uang. Cita-citanya pun hanya ada satu...
7.4K 1.1K 24
Katanya kalau kita membuat seribu bangau, harapan kita akan terkabul. Campus Life | Romance Written on : 01 January-01 May 2023 ยฉDkatriana