I Hate You, But I Love You |...

By meinuniverse

240 43 3

Kau dan Jimin telah lama berpacaran. Kau bahagia pada awalnya, namun Jimin berpaling darimu. Kau terlalu menc... More

EP. 01
Ep 03
Ep 04.
Ep 05

EP. 02

48 9 0
By meinuniverse

EP. 02

.

.

.

Enam bulan kemudian.

.

.

.

Kau tidak pernah bisa melupakan Jimin si brengsek. Walaupun kau telah menyingkirkan semua hal mengenainya, seperti barang-barang pemberiannya kau buang, kau tetap masih bermimpi buruk dan memperparah insomniamu. Bahkan berat badanmu menurun drastis, sekarang kau hanya punya 45kg. Kurus sekali, punya kantung mata, dan pipimu cekung. Malam hari ketika kau kesulitan tidur kau akan pergi ke perpustakaan kampus alih-alih pergi kebioskop atau diskotik. Kau lebih suka menyelesaikan tugasmu di perpustakaan daripada di rumah yang akan selalu mengingatkanmu akan kehadiran Jimin. Kau lebih bisa berkonsentrasi di sini, dikelilingi buku dan anak-anak kampus lainnya yang sama sibuknya sepertimu.

Kegiatan ini sudah berlangsung lama, kerap kali kau akan ditemani satu laki-laki yang akhir-akhir ini sering menghabiskan waktu denganmu. Selama satu bulan ini, kalian hampir setiap hari berkencan tiap malam minggu, pergi ke café study, nonton film di bioskop, atau pergi jalan-jalan di Myeondong berwisata kuliner. Pada kencan terakhir, di taman bermain Lotte wold, dia menyatakan perasaannya padamu. Kau yang akhirnya bisa tertawa lagi tiap bersamanya memutuskan untuk menerimanya. Kau berasumsi kalau dia akan membuatmu bisa melupakan Jimin dan kau akan merasakan kebahagiaan lagi jika berpacaran dengannya. Dia senang mengetahui kau menerimanya tapi dia tidak tahu akan niat busukmu. Dia juga tidak memberimu ciuman, ketika kau merimanya menjadi pacarmu, dia hanya memelukmu dengan canggung, saat itu kau tahu kalau ini adalah hubungan pertamanya. Kau senang mengetahuinya, tapi kau juga merasa bersalah telah menjadikannya sebagai pelampiasan untuk melupakan Jimin.

Kau mulai resmi berpacaran dengannya pada bulan Februari dan hari ini pacar barumu itu akan mengunjungimu.

Pintu apartemenmu berbunyi, "Hai" dia pacarmu, tidak kalah tampan dari Jimin. Dia tinggi, bermata bulat, dan memiliki senyuman yang akan selalu membuatmu tersenyum.

"Hai. Kau bawa apa?" kau melirik tas keresek ditangan kanannya. Dia hanya menyengir dengan mata menyipit.

"Tteoboki dan jjajjangmyeon!" pacarmu itu bernama Jungkook, dia dua tahun lebih muda dari Jimin. Dia seumuran denganmu.

"Wah~ terimakasih.. kau selalu tahu kalau aku lapar.." kau hendak membawa keresek dari tangannya, tapi Jungkook menyembunyikannya di balik badannya.

"Cium aku dulu." Kata Jungkook. Dia mulai memajukan bibirnya dan kau gugup, kau selalu gugup jika dia bercanda seperti itu. Itu mengingatkanmu pada Jimin yang sama suka bercanda seperti itu dulu.

"Makan dulu, baru nanti aku beri." Katamu, kau mulai mencoba mengikuti caraya bercanda.

Jungkook terkekeh dan dia memberimu kereseknya lalu mencuri ciuman darimu. "Hahaha dapat!" Jungkook berlari menjauh darimu yang terkejut.

Bibir Jungkook masih terasa aneh tiap dia menciummu. Bibirnya tidak setebal bibir Jimin, kau masih beradaptasi dengan bibir baru.

"Awas kau!" tapi kau mencoba untuk terbiasa dengan bibir Jungkook.

Ini adalah bulan pertama kau pacaran dengan Jungkook, kalian sedang merayakan anniversary yang ke satu bulan. Selama berpacaran dengan Jungkook, kau menjadi agak lebih baik, mau makan dan pipimu tidak terlalu cekung, walau kau masih punya kantung mata. Hari ini Jungkook membawa Tteoboki dan Jjajjangmyeon, sementara kau sudah membeli ice cream cake sebagai perayaan. Jungkook menyukainya, dia suka apapun yang kau beri. Dia memang kurang romatis tapi dia pria baik. Ciuman pertamamu dengannya saja adalah pada hari ketiga kalian pacaran, itupun dia meminta izin dulu padamu. Imut sekali kalau dipikir-pikir.

Tapi setelah kau mengatakan bahwa dia tidak perlu meminta izin untuk menciummu, sekarang dia malah dengan seenaknya selalu menciummu. Tapi kau tidak keberatan, toh Jungkook pacarmu sekarang. Walau kau sering teringat akan ciumanmu dengan Jimin. Jungkook tidak kalah pandai berciuman dibanding Jimin. Dia juga tidak kalah tampan dibanding Jimin. Hanya saja kau belum terbiasa walaupun sudah sebulan hubungan kalian. Dan kau masih memikirkan Jimin.

"Ada hadiah untukmu." Jungkook memberimu cincin. Bukan cincin tunangan hanya cincin aksesoris dari brand favoritmu.

"Terimakasih..ini cantik sekali." Kau memujinya, dia terlihat senang kau puas dengan hadiahnya. Jungkook memasangkannya pada jari manismu, itu terlihat mengagumkan.

"Aku memberimu ini." Kau memberinya earphone terbaru yang berwarna biru, cocok sekali untuknya. "Aku tahu kau suka mendengarkan musik. Jadi aku memberimu ini."

"Terimakasih, kau sempurna." Jungkook memelukmu. "sebenarnya kau tidak perlu memberiku apapun, kau sudah merupakan hadiah di hidupku."
Kau tersenyum merona.

Jungkooklah pacarmu paling sempurna, dia tahu aksesoris brand favoritmu walau kau tidak memberitahunya. Pasti para sahabatmu telah memberitahunya. Kalian melepaskan pelukan kalian, saling menatap dan tertawa, namun detik berikutnya kalian diam. Mata Jungkook ada pada bibirmu kau tahu apa yang dia inginkan. Maka kau dengan berani mendekatkan wajahmu padanya, Jungkook menyambut bibirmu dengan lembut. Sentuhan bibirnya dibibirmu begitu terasa lain. Bibir baru itu lebih tipis, menciummu dengan canggung dan pelan. Kau membiarkan telapak tanganmu yang telah terpasang cincin di jari manismu itu mengusap leher Jungkook dan membalas ciuman Jungkook dengan lebih berani. Maka Jungkook akan terbawa arusnya. Dia menciummu dengan gairah yang tidak ditahan-tahan.

Pada akhirnya Jungkook membawamu ketempat tidurmu dan esok paginya kau terbangun dipelukannya.

*****

Pada sore hari ketika kelasmu selesai kau akan bekerja part time, di cafe coffe. Kau pandai membuat kopi, menjadi barista adalah salah satu mimpimu, maka kau memanfaatkan waktu luangmu dengan bekerja di cafe. Irene, dia adalah sepupumu yang ikut bekerja bersamamu hari ini ketika tiba-tiba Jimin masuk ke dalam cafe.

Awalnya kau tidak tahu itu Jimin, namun ekspresi Irene berubah ketika dia menyambut tamu. Lirikan matanya ada padamu. Kau melirik pelanggan terakhir sebelum kalian membereskan mesin kopi. Agaknya kau terkejut mengetahui kalau itu adalah Jimin. Jantungmu seakan hendak berperang. Kau masih berdebar-debar ketika melihatnya, kau juga masih merasakan sakit hatimu. Karena kau tidak sanggup melihatnya dan ingat pada rasa sakit di hatimu, kau berbalik dan pergi ke belakang untuk menyibukkan diri dengan alat kopi yang kau cuci.

Kau dengar suara Irene untuk menyuruh Jimin pergi. Irene juga tahu masalahmu dengan Jimin, dia juga murka pada Jimin namun bisa mengatasi emosinya. Irene selalu menjagamu, dia seperti Kakak bagimu.

"Itu ide buruk." Kata Irene. "Kenapa juga kau baru muncul sekarang? Sudahlah, lebih baik pergi dari sini. Kami sudah tutup, kembali lagi besok saja. Kami lelah." Irene berhasil mengusir Jimin karena setelah percakapan itu lonceng pintu berbunyi lalu semuanya hening.

Kau yang sebenarnya telah selesai mencuci dan diam-diam mendengarkan dari balik dinding merosot begitu saja ke lantai. Kau tidak sadar kalau kau bergetar dan menahan napas.

"Ya ampun, kau baik-baik saja?" Irene muncul dan terlihat mengkhawatirkanmu. "Dia sudah pergi, aku tahu kau tidak mau bertemu dengannya, jadi, dia aku usir. Aku bahkan sudah mengunci pintu. Sudah, tidak apa-apa." Irene memelukmu, kau tidak sadar kalau kau terisak menangis. Kau kesal pada dirimu sendiri bahwa kau ternyata masih lemah bila dihadapan Jimin.

"Aku antar kau pulang oke?" Kata Irene, tapi kau mengeleng, kau ingat kalau Jungkook akan menjemputmu.

"Jungkook.." katamu. Kau tidak mau Jungkook melihatmu berantakkan.

"Akan aku suruh dia untuk tidak menjemputmu, jangan khawatir." Irene menelphone Jungkook, dia mengatakan kalau kau akan menginap di apartemennya dan menyuruh untuk tidak menjemputmu.

Jungkook tidak akan marah, dia tahu kalau kau dan Irene adalah sepupu dekat. Toh, menginap bersama Irene akhir-akhir ini sering menjadi alasanmu pada Jungkook ketika kau ingin menyendiri di apartemenmu.

Irene mengantarmu dan hendak menemanimu sampai kau merasa lebih baik. Tapi, kau mengatakan kalau kau baik-baik saja dan perlu sendiri, maka Irene yang sudah tahu kebiasaanmu itu pulang dan membiarkanmu tenang dalam kesendirian. Kau berpikir kalau mandi air hangat dan tidur di ranjangmu adalah kegiatan yang dapat melupakan kejadian di cafe tadi. Tapi begitu kau selesai mandi dan selesai berpakaian, bel pintu apartemenmu berbunyi. Kau kira itu Irene yang mungkin kembali untuk mengambil sesuatu yang dia lupakan. Sayangnya, itu bukan Irene ketika kau membukanya tanpa mengintip ke interkom.

Dia Jimin. Berdiri di depanmu dengan wajah lelah dan rambut berantakkan. Kau hendak menutup pintumu kembali namun Jimin dengan cepat menahannya.

"Aku perlu bicara denganmu." Katanya.

Setelah enam bulan berlalu, dia dengan gampangnya bicara seperti itu padamu.

"Tidak. Aku tidak mau." Kau memalingkan wajahmu dari Jimin, tidak bisa tidak tersentuh oleh pandangan matanya yang terlihat memelas.

"Ayolah, beri aku waktu lima menit untuk bicara."

"Bicara apa? Tidak ada yang ingin bicara disini. Tidak ada yang perlu dibicarakan." Katamu.

"Maafkan aku, sungguh aku memang brengsek." Dia masih menahan pintumu walau kau sudah mendorongnya.

"Apa yang kau mau?" Kau akhirnya menyerah karena Jimin terlalu kuat menahan pintumu.

"Aku ingin meminta maaf." Katanya. "Secara baik-baik."

Kau sungguh tidak habis pikir dengan Jimin, "Aku sudah memaafkanmu, itu bahkan tidak penting lagi. Sudah, pulanglah, ini sudah malam. Tidak baik kau masih di sini."

"Tunggu, biarkan aku menyelesaikan pembicaraanku."

Kau melihatnya melirik bagian dalam apartemenmu. "Bicara di sini saja. Aku tidak akan mempersilahkanmu masuk."

Jimin terlihat terkejut dengan sikapmu.
"Aku tidak ingin menjadi musuhmu. Selama ini, aku-. Ah, sudahlah. Aku hanya ingin mengatakan kalau kita tidak harus menjadi musuh setelah semuanya."

Keningmu berkerut.
"Apa yang ingin kau sampaikan?" Tanyamu.

"Tidak bisakah kita memiliki hubungan yang normal?" Wajah Jimin terlihat frustrasi. Kau bisa mengenali wajah itu, wajah yang sering kau pasang ketika kau masih mengingat perselingkuhannya.

"Tidak." Katamu. "Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa? Bukankah kau sudah punya pacar baru? Atau kau memang masih menyimpan perasaanmu padaku?"

Kurang ajar!
Jantungmu seakan jatuh ke tanah. Perkataan Jimin tepat sekali. Tapi kau tidak memperlihatkannya, kau pura-pura kalau kau sudah melupakannya.
"Bukankah kau yang belum melupakanku? Kenapa susah-susah pergi ke sini menemuiku lagi? Kau menyesal?" Kau memberanikan diri menantangnya dan kau mendapati Jimin terkekeh.

"Iya, aku masih memiliki perasaan bersalah padamu. Aku hanya ingin meminta maaf dan memperbaiki hubungan denganmu sebagai temanmu, bukan musuhmu."

Sekilas kau sakit hati dengan kenyataan yang keluar dari mulut Jimin.

"Kalau kau menolak berteman, itu mungkin bisa menjawab pertanyaanku." Katanya. Jimin mencoba memancingmu.

Kau sungguh tidak ingin berteman dengan Jimin. Itu akan menyusahkanmu untuk melupakannya. Tapi, kau terpancing untuk berpura-pura sudah melupakannya.
"Tentu, tidak ada salahnya menjadikanmu teman. Tapi, aku akan sangat sibuk dengan pacarku. Jadi, tidak bisa meladeni sembarang teman. Jadi, pulanglah. Sebentar lagi pacarku ke sini."

Jimin malah menyeringaimu, "Bagus, biar aku memperkenalkan diri pada pacarmu."

Kau mengerutkan keningmu. Kenapa Jimin jadi berubah menyebalkan seperti ini? Sejak kapan dia mengibarkan bendera perang?
"Tidak, Jimin. Pergilah, aku serius."

"Kau tidak menceritakan tentangku padanya?"

Kau mendorong dadanya untuk menutup pintumu. Namun, dia menangkap tanganmu.
"Kenapa?" Tanya Jimin dengan sorot mata yang lurus menatapmu.

"Lupakan soal berteman denganmu, kau yang memulai perang, Jimin. Kau sendiri yang menjadikanmu musuhku." Katamu, lalu kau sungguh menutup pintumu. "Pulanglah.." katamu sekali lagi pada Jimin dibalik pintu.

"Kau tidak pernah berubah." Katanya, lalu dia pergi. Kau mengintip dibalik celah pintu intip, Jimin telah berbalik pergi. Lalu kau merosot kembali ke lantai dengan tangan yang menekan dadamu.

Kau tidak akan pernah bisa menenangkan jantungmu jika bertemu dengan Jimin. Kali ini, jantungmu lebih cepat berdetak dari biasanya. Kau mencoba menarik napas teratur agar tidak menjadi serangan panik. Kau tidak mau mengulang masa-masa kelammu. Tapi dengan munculnya Jimin kembali di hadapanmu, kau hampir kembali ke masa kelammu. Kau terpaksa diingatkan kembali bahwa kau pernah hancur gara-gara dia.

Kau tidak bisa di apartemen sendirian. Kau tidak mau sendirian setelah Jimin dengan berani datang ke apartemenmu. Maka kau menelphone Jungkook, mengatakan padanya bahwa malam menginapmu tidak jadi karena Irene mendadak ada pekerjaan lain. Jungkook yang paham langsung mengatakan kalau dia akan datang ke apartemenmu. Dia mengerti dengan kode bahayamu karena kau berucap dengan gemetaran dan tergagap. Hanya saja, Jungkook sering salah arti. Dia mengira kau takut tidur sendirian. Meskipun begitu, kau lega Jungkook tidak curiga pada apapun.

*

Jungkook sampai di apartemenmu. Dia pakai hodie dan celana trainning. Kau tahu kalau Jungkook sudah bangun dari tidurnya gara-gara kau telphone.

"Maaf, aku membangunkanmu?"

"Tidak apa, justru bagus kau menelphoneku." Katanya.
Kau berdiri dari tempat dudukmu, lalu kau memeluknya. "Ada apa? Apa ada masalah?"
Jungkook mengusap kepalamu. Kau tidak menjawabnya tapi malah mengeratkan pelukanmu.
"Kau bertengkar dengan Irene?"
Kau mengangguk, kembali berbohong pada Jungkook.
"Mau cerita?" kali ini kau mengeleng.
"Lalu, apa gunaku di sini?"
Kau mendongkak menatap wajah Jungkook dengan kecewa. "Maksudku, aku harus apa agar kau tidak bersedih lagi?"

Kau mengangkat bahumu. "Menginaplah.."

"Sungguh?"

Kau mengangguk, Jungkook terlihat senang dan tidak percaya. Hal ini, karena kau jarang memintanya menginap secara langsung. Biasanya Jungkooklah yang meminta untuk menginap.

"Iya. Maukan?" Tanyamu.

"Tentu saja."

Wajah ceria Jungkook membuatmu ikut tersenyum, kau lupa kalau punya Jungkook yang bisa kau andalkan dalam segala hal.
Kau menatapnya tanpa ucapkan apapun lagi, Jungkook tahu apa yang harus dia lakukan, maka dia menciummu. Ciuman gemas yang Jungkook berikan padamu.
"Mau tidur sekarang?"

Kau memukul lengannya, tapi kau mengangguk menjawab pertanyaannya.

Jungkook tertawa-tawa saja. Dia menganggapmu imut.

"Jungkook~" kau tidak suka dengan godaannya. "Aku mengantuk."

"Oke, ayo kita tidur.."
Ada tatapan nakal yang Jungkook berikan dan kau tersipu karenanya.

"Ish! Jangan begitu~" kau memukul lengannya lagi.

"Oke-oke, maaf.."
Dia meminta maaf tapi masih terkekeh-kekeh.
Kau pergi menuju kamarmu, Jungkook mengekor. Kau akhirnya tidur dipelukannya. Pelukan Jungkook membuatmu tenang dan nyaman. Kau tidur lelap sekali sampai Jungkook tidak tega membangunkanmu.

"Aku mencintaimu." Tapi kau samar-samar mendengarnya berbisik begitu di telingamu.

"Jimin?"

Kau tidak sadar telah mengumamkan nama Jimin di tidurmu.

****

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

336K 27.9K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
55.1K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
51.1K 3.7K 52
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
185K 15.5K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...