Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

17.4K 2.7K 271

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°1°
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°26°
°27°
°28°
°29°
°30°
°32°
°33°
°34°
°35°
°36°
°37°
°38°
°39°
°40°
°The End°

°31°

311 55 12
By slayernominee

.
.
.
.
.

Midoriya berlari sekuat tenaga menembus kegelapan malam. Dengan sedikit mengangkat rok gaunnya, dia berusaha agar tak dengan ceroboh tersandung jatuh atau semuanya akan kacau.

Usai membuat kegaduhan dengan membakar jerami di lantai penjara, Midoriya yang diam-diam telah merusak kunci sel bergegas melarikan diri melewati jalur belakang penjara yang tidak akan dijaga ketat saat kekacauan terjadi. Sebenarnya itu hanya dugaannya saja, tapi semua berjalan sesuai rencana.

Pelarian berlanjut hingga keluar istana. Kegelapan malam, kekacauan, dan para prajurit lelah berjaga malam membuat Midoriya kabur tanpa halangan.

Kecacatan dalam penjagaan istana biasanya akan membuat Bakugou geram, tapi kali ini hal itu adalah hal melegakan bagi Midoriya. Berkat itu dia berhasil meninggalkan istana.

Namun di tengah seluruh kelancaran rencananya, ada satu masalah. Setelah cukup jauh dari istana dan menemukan tempat aman untuk sementara bersembunyi, Midoriya berhenti setelah memaksa stamina dan napasnya untuk bertahan saat terus berlari.

Midoriya menoleh ke belakang. "Giro-san, kenapa kau mengikutiku?" Tanyanya dengan terengah. "Sudah kukatakan untuk cukup membantuku merusak kunci, kau seharusnya tetap di dalam sel."

Wakil jenderal itu tersenyum di tengah napasnya yang berantakan. "Nona, kau sedang sakit, kan? Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian."

"Kau belum benar-benar sembuh dari lukamu kau juga akan terkena imbas dari mengikutiku pergi."

"Tidak masalah. Itu lebih baik dibanding menetap di penjara penuh bawahan Ren sialan itu."

Midoriya mengernyit cemas mendengar keputusan itu. "Apa kau baik-baik saja? Lukamu terbuka?"

Giro menyentuh perban di dadanya yang sedikit dirembesi warna kemerahan. "Tidak perlu khawatir, ini akan segera sembuh dalam waktu dekat. Tubuhku kuat. Bagaimana dengan Nona sendiri? Nona baik-baik saja?"

Midoriya mengangguk. "Ya." Obat dari tabib bekerja lebih baik dari biasanya. Hasil kerja keras Sumire untuk menyiapkan obat terbaik bersama tabib sebelum dia pergi.

"Kita bisa diam di sini sebentar, tapi prajurit pasti akan segera melakukan pencarian, jadi kita harus pergi ke tempat lain–"

Midoriya berhenti bicara saat Giro tiba-tiba mengisyaratkan untuk diam dan melihat waspada ke sebuah arah. Mereka masuk ke gang kecil. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi menurut saat Giro memintanya bersembunyi di belakang punggungnya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah seseorang. Berlari namun dengan berjinjit.

Giro masih waspada saat Midoriya mendengar sesuatu yang lain.

"Nona. Nona!"

Dia langsung mengenali suara seruan yang lirih itu.

"Sumire. Giro-san, panggil dia ke sini."

Kepala pelayan itu langsung menghamburkan pelukan erat pada Midoriya. "Saya lega Nona berhasil kabur."

"Kenapa kau mengikutiku? Itu bukan rencana kita."

"Saya yakin Giro juga seharusnya tidak ada di sini." Sumire menoleh melihat Giro yang mengangguk. "Saya mencemaskan Nona, harus ada seseorang yang mengurus soal penyakitmu sekarang."

"Aku akan baik-baik saja." Midoriya menghela napas. "Baiklah, kalian sudah terlanjur di sini. Tidak mungkin aku meminta kalian kembali ke istana."

"Ke mana kita harus pergi sekarang?"

"Aku belum ada rencana ke mana jelasnya," jawab Midoriya. "Tapi kita akan menemukan sebuah tempat."

"Kalau belum ada rencana, saya punya ide." Celetuk Sumire.

"Apa itu?"

.
.
.
.
.

Midoriya memandang nanar ke tempat yang terlihat sekitar sepuluh meter dari tempat dia berdiri.

"Sumire, sepertinya ini ide buruk."

"Kenapa? Itu bukan tempat yang jelek."

"Aku tahu, tapi haruskah kita benar-benar meminta bantuan pada keluarga Todoroki??" Midoriya menunjuk ke rumah mewah besar itu. "Aku tidak mau melibatkan lebih banyak orang."

"Sebenarnya itu bukan kediaman Keluarga Todoroki, itu hunian pribadi Tuan Todoroki Shoto." Ujar Giro.

"Nah. Kita tidak melibatkan seluruh keluarganya. Juga, saya tahu hubungan kalian baik, Nona. Tuan Todoroki juga orang yang baik, dia pasti mau membantu jika kita jelaskan dengan benar."

Midoriya menggeleng. "Tidak, kita harus pilih tempat lain. Ayo."

"Kita tidak punya waktu, kali ini tolong menurut saja, Nona." Sumire menarik Midoriya pergi dengan bantuan Giro yang membuatnya lebih mudah. Membuat Midoriya hanya bisa meronta dengan sia-sia.

Melalui jalur belakang, mereka bertiga berhasil menyusup masuk. Sumire dan Giro nampak begitu serius saat Midoriya sangat cemas dengan apa yang tengah mereka lakukan.

Malam itu cerah. Bulan bintang menghiasi langit dengan teduhnya. Tak ingin menyia-nyiakan pemandangan indah itu, Todoroki duduk di teras ruangannya dan menikmati secangkir teh untuk menemani kegiatannya memandangi bulan.

Satu jam pertama dia masih duduk santai betah melakukan hal yang sebagian orang menganggapnya membosankan itu. Saat dia akan menyesap cangkir teh keduanya, pria itu mendengar suara gemerisik di pagar semak terdekat.

Segera dia berdiri waspada. "Siapa di sana?"

Todoroki sudah bersiap untuk menjatuhkan penyusup itu saat kemudian seseorang dilempar keluar dari pagar semak dan dengan kikuk mencoba untuk tak terjatuh.

Manik dwi warna pria itu melebar terkejut. "Midoriya-sama?"

Gadis yang dengan gugup merapikan pakaian dan rambutnya itu berdiri tegak dan tersenyum kaku. "Se-selamat malam... Todoroki-kun..."

Todoroki langsung menghilangkan waspadanya dan berlari mendekat. "Kenapa bisa di sini? Juga, apa kau masuk dari pintu belakang?" Tanyanya penuh keheranan.

"Ah ya... maaf. Sebenarnya aku menyusup masuk..."

Todoroki mengernyit. Dia tahu ada sesuatu yang salah. "Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Uhm... sebelum kujelaskan masih ada dua orang lain yang ikut bersamaku." Midoriya menoleh, Sumire dan Giro keluar dari pagar semak.

Todoroki berpikir masalahnya jauh lebih serius dari dugaan awal. "Kita lebih baik bicara di dalam, ayo."

.
.
.
.
.

Midoriya menjelaskan semua pada Todoroki sampai ke cerita saat dia melarikan diri. Usai bercerita, ruangan menjadi hening. Tak ada yang bicara sepatah kata pun.

Ekspresi Todoroki sulit ditebak. Entah dia marah atau tidak, Midoriya tidak tahu.

"Maaf... aku jadi melibatkanmu dalam masalahku. A-aku tidak berniat untuk menetap lama, segera aku akan pergi. Mungkin besok pagi."

"Tidak." Ujar Todoroki.

"Uhm, kalau begitu aku akan pergi nanti..."

"Tidak, bukan itu maksudku." Todoroki menatap gadis itu. "Kau tidak harus pergi, kau boleh tinggal di sini seperlumu."

Perkataan itu membuat Midoriya menatap cemas. "Todoroki-kun... kau sudah tahu jika aku bukanlah calon permaisuri sebenarnya. Kau akan dalam masalah kalau membantuku seperti itu."

"Lalu bagaimana dengan dua pengikutmu itu?" Todoroki melihat pada Sumire dan Giro yang duduk di belakang Midoriya. "Mereka juga mendapat masalah, kan? Tapi aku yakin mereka tetap mempercayaimu. Begitu juga aku. Aku bersedia membantumu, karena aku yakin kau tidak bersalah, Midoriya."

"Tapi..."

"Lagipula kau tidak punya tempat lain untuk dituju, kan? Juga berbahaya karena aku yakin pihak Hana dan Kisami sudah tengah melakukan pencarian. Lebih aman untukmu ada di sini. Semisal mereka mencurigaiku pun mereka tidak akan bisa sembarangan masuk tanpa izin Yang Mulia."

Midoriya terdiam. Dia tengah berpikir keras. Gadis itu sangat tidak ingin melibatkan siapapun lagi dalam masalahnya, tapi dia juga tak punya pilihan lain dalam situasi darurat itu.

"Baiklah," ujarnya. "Aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari."

Todoroki tersenyum. "Anggap saja rumah sendiri."

.
.
.
.
.

Sehari berada di kediaman Todoroki terasa sangat aman. Bawahan Hana dan Kisami kabarnya berkeliaran di luar mencari keberadaan Midoriya. Namun mereka sama sekali tak akan bisa menemukannya di tempat itu, setidaknya untuk sekarang.

Namun semua hal itu tak benar-benar bisa membuat Midoriya tenang. Dalam hati dia masih sangat cemas dan terus memikirkan soal apa yang harus dia lakukan.

Di sore hari yang cerah, langit kemerahan saat matahari mulai tenggelam. Midoriya mencoba berjalan-jalan keluar di taman pribadi hunian itu untuk meringankan otaknya yang terasa penuh.

Menatap pada pemandangan jingga yang indah, Midoriya menghela napas panjang.

"Sepertinya kau masih banyak pikiran."

Midoriya menoleh, mendapati Todoroki yang baru saja memasuki taman dan berjalan mendekat.

"Oh, itu kau Todoroki-kun." Midoriya tersenyum kecil. "Ya, pikiranku memang agak kacau sekarang."

Todoroki berhenti di sebelahnya. "Aku ingin menjamin kau aman di sini, tapi pikiran buruk memang sulit disingkirkan."

"Maaf... bukannya aku tak menghargai bantuanmu atau menganggap tempat ini berbahaya... tapi memang aku sulit untuk bisa diam."

"Tidak masalah, itu normal untuk kau cemas akan sesuatu." Todoroki ikut melihat ke langit jingga. "Apa tidurmu nyenyak semalam?"

"Cukup nyenyak. Kurasa aku kelelahan sehingga langsung terlelap."

"Baguslah, kau perlu tetap sehat meski dalam masalah."

"Kuharap begitu."

Kalimat itu membuat Todoroki langsung menoleh. "Tunggu, apa kau sedang sakit?"

"Uhm... ya. Semacam itu, tapi aku baik-baik saja sekarang."

Todoroki tidak melihat jika Midoriya tengah demam atau semacamnya, tapi wajah gadis itu memang sedikit pucat.

"Katakan saja jika kau perlu sesuatu, aku juga bisa carikan obat terbaik untukmu."

Midoriya tersenyum. "Terima kasih, kau sangat baik meski aku hanya gadis rendah."

"Aku tidak suka mendiskriminasi. Jika seseorang memang perlu bantuan aku akan berusaha semampuku."

Jawaban itu membuat Midoriya tertawa kecil. "Andai semua bangsawan dan petinggi sepertimu."

"Yah, aku tahu. Dunia konglomerat memang memiliki banyak kebusukan."

Hari mulai gelap. "Ah, aku berjanji akan membantu membuatkan makan malam."

"Huh? Kau sudah berteman dengan pelayan dapurku?"

"Haha, ya. Di istana juga aku sering datang ke dapur saat senggang."

"Kalau begitu aku akan menantikan masakanmu, aku yakin akan terasa lezat."

"Kuharap itu tidak akan mengecewakanmu. Aku permisi."

Todoroki menatap Midoriya pergi meninggalkan taman sampai gadis itu hilang dari pandangannya. Tak lama kemudian Iida, pengawalnya, datang.

"Aku melihat Midoriya datang dari arah sini." Ujar pria bersurai biru tua kehitaman itu.

"Ya, kami baru saja berbicara sebentar. Dia pergi membantu membuat makan malam."

"Kau tidak akan memberi tahu alasan sebenarnya kau membiarkan dia tinggal di sini setelah semua masalah itu?"

"Alasan apa?"

Iida menghela napas. "Kalau kau sebenarnya memendam perasaan padanya."

Wajah Todoroki bersemu kemerahan. "Aku ingatkan kau untuk merahasiakan itu dari semua orang."

"Haha, iya, iya. Aku paham alasanmu menyukainya, dia gadis yang baik. Apa kau terkejut saat tahu kalau dia sebenarnya gadis biasa?"

"Sedikit, tapi seperti yang kau tahu, aku tidak membeda-bedakan."

"Kau bisa mencintai siapa saja, bahkan saat tahu dia tunangan calon kaisar?" Ledek Iida.

Todoroki mendelik sebal. "Perasaan bukanlah hal yang bisa kukendalikan. Lagipula sekarang dia bukan lagi tunangannya, kan?"

"Whoa, kau menganggap Midoriya bukan lagi tunangan calon kaisar?"

"Tidak secara resmi. Nyatanya begitu, kan?"

"Yah, memang benar. Tapi bagaimana jika Bakugou-sama juga orang sepertimu? Mencintai tanpa memandang status sosial?"

"Iida." Todoroki menghela napas. "Bukankah kau seharusnya mendukungku? Kenapa sejak tadi kau terus menyudutkan?"

Iida kembali tertawa. "Maaf, maaf. Kau terlalu menyenangkan untuk diledek."

"Aku akan menendangmu keluar jika kau terus seperti itu."

"Dan aku ragu kau akan menemukan pengawal sebaik diriku."

"Ck, diamlah."

Iida tersenyum, melihat langit yang kini sudah berubah malam. "Tapi, kau harus bersiap."

Todoroki menoleh, menatap heran akan arti dari perkataan itu.

"Jika suatu saat Midoriya masih mau mencoba untuk mencintai seseorang dari kalangan bangsawan, maka kau harus siap jika dia tidak akan membalas cintamu."

Todoroki mendengus. "Aku tahu. Memangnya kau pikir kenapa aku hanya memendam perasaanku sejak dulu?"

"Yah, Bakugou-sama adalah saingan berat. Bisa kubilang dia sebenarnya lebih menarik di mata perempuan dibanding kau."

"Iida." Todoroki mulai kesal. Iida sudah langsung melarikan diri sebelum Todoroki mengomelinya.

.
.
.
.
.

Makan malam selesai setelah penuh dengan percakapan hangat. Giro asik bicara dengan Iida yang merupakan teman dalam pelatihan di dojo Todoroki dulu.

Sumire dengan tenang menyantap makanannya menemani Midoriya yang berbincang dengan Todoroki. Sesekali kepala pelayan itu memamerkan soal kelebihan Midoriya, membuat Midoriya harus memintanya untuk berhenti berceloteh. Meski Sumire sama sekali tak mendengarkan dan terus mengoceh. Todoroki tersenyum saat melihat Midoriya menghela napas lelah pada tingkah laku Sumire.

"Masakanmu enak." Puji Todoroki selesai menyantap makanannya. Mengabaikan Sumire yang sudah ada di dunianya sendiri.

"Aku dulu selalu memasak sendiri, tapi pelayan istana banyak mengajariku resep baru."

"Hal bagus untuk bisa memasak dan melakukan banyak hal sendiri. Itu sangat hebat."

Midoriya tertawa kecil. "Itu bagian dari caraku bertahan hidup."

"Di mana tempat asli kau berasal?"

"Uhm... suatu tempat." Midoriya menolak memberitahukannya.

"Kau tidak ingin aku menyusulmu ke sana suatu saat?"

"Uh...yah... kau tahu... aku tidak ingin melibatkanmu jika saja masalah itu sampai ke sana."

"Aku bisa membantumu. Percayalah, Hana dan Kisami tak akan bisa menghancurkanku."

Gadis itu tersenyum. "Terima kasih, tapi aku akan lebih dulu mencoba mengatasinya sendiri."

Percakapan akhirnya berubah ke topik lain selama sisa makan malam. Setelahnya Midoriya pamit undur diri ke ruangannya, membiarkan Sumire dan Giro yang masih sibuk mengobrol.

Begitu masuk ke kamarnya, Midoriya menyandarkan punggungnya ke dinding dan terduduk lemas. Dia terbatuk pelan.

Dia tidak bisa hanya diam. Midoriya berusaha keras berjalan tanpa terjatuh ke seberang ruangan dan membuka laci mejanya. Dia menyambar segelas air dan meminumnya bersama obat yang tabib istana buat.

Beberapa saat setelah dia meminum obat, Midoriya merasa lebih baik. Gadis itu menghela napas lega. Dia berbalik dan duduk bersandar pada kaki mejanya.

Manik emeraldnya menatap keluar jendela yang masih terbuka. Pemandangan malam yang cerah berbintang tersaji dengan indah.

Midoriya mengangkat sebelah tangannya. Terlihat jari manisnya dihiasi oleh kilauan kecil yang indah.

Cincin pertunangan masih terpasang aman di jarinya. Midoriya menatap sedih pada benda berharga itu.

"Bakugou-sama..."

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

19.9K 960 102
Judul : Mirror Zhu Yan (镜·朱颜) Penulis : Cang Yue (沧 月) Genre : Romance, Fantasy. Bab : °Complete (Sesuai mandarin translate) Drama Life Action = Yu...
53K 2.2K 32
Aira Rosmalina. Siapa sih yang tak mengenal nama itu? ketua OSIS yang dibanggakan di SMA Tarung Tuna. pinter? tentu anak kesayangan guru? pasti cant...
4.3K 578 21
lirik lagu P1HARMONY cek lirik berikut nya di akun @baek_soul, karena di akun ini sudah tidak terpakai.
22.7K 5.9K 82
"Aku tidak terlahir sebagai orang yang beruntung, aku terlalu kuat." Dalam perjalanan pulang larut malam, Xiao Li menemukan surat permintaan bantuan...