Bekas Luka

Da EnfiA99

1M 81.2K 1.6K

Riri meninggalkan semua masa lalunya dengan hati yang hancur. Setelah bertahun-tahun mencoba menata hatinya... Altro

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Pengumuman
Pengumuman

Bab 23

26.4K 2.7K 77
Da EnfiA99

Hai Semuanya!!!!

Happy Reading!!!!

Tidak ada suara di ruang tengah apartemen Riri, hal ini berbanding terbalik dengan 30 menit yang lalu. Dimana tangis riri yang menumpuk tertumpah.

Hanya ada Bayu yang sedang menatapnya. Riri juga tahu bahwa situasi mereka tidak bisa terus seperti ini. Dia sebenarnya merasa sangat aneh menangis histeris seperti tadi.

"Bisa kita bicara sekarang?" Tanya Bayu.

Riri tidak menjawab.

"Kalau begitu, biarkan aku bicara, kamu hanya perlu mendengarkan saja." Bayu menjalin kedua telapak tangannya, berusaha terlihat tenang walaupun dia sebenarnya sangat gugup. Jarang ada kesempatan dimana Riri benar-benar ingin mendengarkan penjelasannya.

"Aku tidak tahu Cindy akan datang ke apartemen ini, aku bahkan tidak tahu bagaimana Cindy mengetahui dimana aku tinggal. Sudah cukup lama aku tidak berhubungan dengannya. Dia beberapa kali datang ke Graha Food namun aku tidak menanggapinya. Jadi jangan salah paham.

Riri mengerutkan kening, "Kenapa juga aku harus salah paham? Kita tidak punya hubungan apapun." Ucapannya menatap tajam Bayu dengan mata yang masih sembab.

"Dia datang dengan membawa Dira jadi aku tidak bisa mengusirnya begitu saja, namun aku tidak pernah berhubungan lebih dari itu. Aku selalu menegaskan bahwa aku masih mencintaimu." Jelas Bayu walau Riri tidak memintanya. Dia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Riri yang sudah buruk ini semakin memburuk.

Riri memutar matanya, "Bukanya kamu sangat memperdulikan anak kecil itu, kamu terlihat sangat khawatir ketika mencarinya."

"Tidak ada bedanya dengan kamu yang akan tetap menggendongnya walaupun tahu bahwa dia anak Cindy. Bagiku juga seperti itu. Tidak lebih."

"Itu karena aku tidak tahu bahwa Dira adalah anak Cindy." Ucap Riri melotot pada Bayu.

"Jadi kamu akan mengabaikannya jika sebelumnya kamu tahu bahwa itu adalah anak Cindy?"  Bayu tahu bahwa Riri berbohong. Riri tidak akan bisa mengabaikannya begitu saja.

"Tentu saja. Aku tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan masa lalu."

"Aku juga tidak ingin."

"Jadi semua sudah selesai kan?"

"Tentu, aku tidak akan berhubungan lagi dengan Cindy atau bahkan Dira jika kamu memintaku."

Riri menghela nafas, "Kamu juga termasuk masa lalu, jadi aku juga tidak ingin berhubungan dengan mu Bayu."

Bayu menatap Riri dengan tegas, "Untukku kamu bukan hanya masa laluku. Ketika bersamamu aku telah melihat bagaimana gambaran sisa hidupku. Jadi kamu juga termasuk dalam masa depanku."

Riri merasa tidak nyaman akan tatapan Bayu. Padahal ini adalah tempat tinggalnya namun dia ingin kabur sekarang. Rasanya seperti dia terjebak, kemanapun dia pergi Bayu akan mengikutinya.

"Aku akan pergi untuk sekarang. Istirahat lah jangan berpikir yang macam-macam. Masalah Cindy tidak perlu kamu pikirkan."

Riri menatap punggung Bayu yang menghilang dari pandangannya.

Bisakah?
 

*****
 

"Jadi mau pakai mobil siapa ke Rumah Pak Beni?" Tanya Sinta.

"Pakai mobil gue aja stroller nya kan di mobil Gue." Jawab Denis.

Mereka baru saja selesai bekerja dan sedang berada di dalam lift. Sore ini mereka memang memutuskan untuk mengunjugi Rumah pak Beni yang istrinya baru saja melahirkan. Dua hari yang lalu mereka telah patungan untuk membeli stroller bayi yang cukup mahal.

Sedari tadi Riri seperti merasakan lirikan dari beberapa orang yang berada satu lift dengannya. Namun berusaha dia abaikan, mungkin hanya perasaannya saja. Lagi pula Riri tidak mengenal mereka.

Percakapan teman-temannya mengalihkan perhatian Riri.

"Udah pakai mobil masing-masing aja, ribet banget dah. Denis sama Riri. Gue sama Bella ikut mobil Indra. Selesai. Nggak perlu ribet lah." Sinta mengedipkan mata pada Denis ketika mengatakan hal itu.

"Kok gue?"

"Masa Denis nya sendirian Ri, kasian kan jomblo." Sahut Indra.

"Lo baru pacaran dua hari belagu amat ya. Putus baru tahu rasa. Lagian gue bukan jomblo tapi single." Ucap Denis tidak terima.

"Mau dua hari, dua jam, ataupun dua menit. Status kita tetap beda. Lo jomblo dan gue nggak." Setelah itu Indra tertawa mengejek Denis. Bahkan Sinta dan Bella jua ikut tertawa.

"Ri, bareng gue ya, masa gue sendirian." Denis mengabaikan Indra, memilih berbicara dengan Riri.

Riri mengangguk saja, toh sebenarnya tidak ada bedanya.

*****

Riri menatap lalu lintas Jakarta yang sangat padat saat ini. Riri tidak tahu apa yang orang-orang pikirkan tentang dirinya saat ini. Bahkan Denis sedari tadi terus meliriknya.

"Kalau lo mau bicara sesuatu, katakan saja." Ucap Riri.

"Ehh..Hmm." Denis terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

Riri menatap Denis, mendesak Denis untuk bicara.

"Bicara Denis."

"Gue sebenarnya baru dengar ini 2 hari yang lalu.  Ada beberapa gosip yang gue dengar dari staf lain. Gue dengar Fellisa ngomong ke beberapa staf editing dan kru kalau Lo mantan istri pak Bayu." Ucap Denis pelan.

Riri memejamkan matanya, pantas saja beberapa staf kantor kedapatan sering meliriknya diam-diam. "Pasti dia nggak cuma ngomong itu aja kan?" Riri paham bagaimana watak Fellisa.

Denis tidak menjawab.

"Bukannya setidaknya gue harus tahu gosip apa yang menyebar tentang gue di kantor?"

Denis masih terlihat ragu, "Dia bilang lo ngerebut pak Bayu dari sepupunya."

Riri memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan diri. "Lalu? Nggak mungkin sampai di situ aja kan?"

Denis meneruskan perkataannya, "Setelah bercerai lo masih berusaha mendekati pak Bayu."

Riri bahkan heran dengan dirinya saat ini, sebelumnya dia sangat takut untum menjadi bahan pembicaraan, namun sekarang hal itu bahkan tidak mengejutkannya.

Mungkin Riri sudah lama menyadari bahwa hal ini akan terjadi.
 

*****

Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di unit apartemen milik pak Beni, walaupun jaraknya tidak terlalu jauh namun perjalanan di tengah kemacetan Jakarta di sore hari  tentunya tidak mungkin membutuhkan waktu yang singkat.

Ketik mereka sampai mereka disambut oleh pak Beni yang sudah 3 hari ini mengambil cuti untuk merawat istrinya yang baru saja melahirkan. Penampilannya cukup berantakan, tidak tampak seperti pak Beni yang biasa memimpin mereka. Namun binar bahagia itu juga terlihat di wajahnya, cukup menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini.

"Ayo masuk, Mumpung si bayi lagi bangun." Pak beni langsung mengarahkan mereka menuju ke ruang tengah. Terlihat mbak Desi sedang menggendong bayi sambil duduk, disampingnya ada anak laki-lakinya yang berusia sekitar 9 tahunan

"Duduk dulu aja. Pah, bikinin minum ya." Ucap mbak Desi pada suaminya. Pak Beni pun langsung menuju ke dapur.

"Mah, kapan adeknya bisa aku ajakin main bola?" Ucap anak laki-laki itu menatap adiknya.

"Adeknya masih kecil, lagian adiknya perempuan. Jadi diajakin main boneka aja."

"Nggak bisa gitu dong mah. Aku nggak mau main boneka." Ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.

"Loh kok gitu, adeknya kan mau main bareng kakaknya." Ucap mbak Desi sambil mengusap kepala Ali.

Riri mendengarkan percakapan ibu dan anak tersebut.

"Lucu banget sih, kapan gue punya ya?" Bella memperhatikan bayi itu dengan berbinar.

"Harusnya lo nanya kapan Lo nikah dulu, baru nanya kapan punya bayi." Cibir Indra.

"Gue lebih pengen punya Bayi dibanding punya suami." Jawab Bella santai.

"Gue lebih pengen punya istri dibanding anak." Balas Indra yang dihadiahi tatapan tajam dari Bella.

Aneh sekali mereka ini, padahal mereka baru berpacaran tapi percakapan mereka tidak seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

"Mbak Desi saya mau coba gendong, boleh nggak?" Pinta Sinta.

Mbak Desi menyerahkan Bayi nya dengan perlahan, "Boleh kok, hati-hati yaa. Ali minggir dulu Mama mau kasih adeknya ke tantenya dulu." Ucapnya pada anaknya yang masih menyandar di lengannya.

Sinta memandang Bayi di gendongannya dengan kagum, "Lucu banget sih."

"Diminum dulu ya." Ucap Pak Beni sembari meletakkan beberapa gelas minuman di depan mereka.

"Heran saya satu tim kreatif masa belum ada yang nikah selain saya." Ucap pak Beni duduk di samping istrinya.

Sepertinya pak Beni belum mendengar gosip tentangnya karena terlalu sibuk mengurus kelahiran istrinya.

"Kalian nggak ada yang mau gendong juga?" Pak Beni melirik mereka. "Riri mau coba gendong?"

Riri terpaku mendengar perkataan pak Beni.

Bisakah dia melakukan hal itu?

Dia sebenarnya merasa takut, tapi mencoba melawan rasa itu. Bukankah ini saat yang tepat untuk menghadapi traumanya.

Bukannya bayinya juga ingin Riri merelakannya?

"Iya pak." Ucap Riri mengulurkan tangannya mengambil bayi dari gendongan Sinta dengan perlahan. Ketika bayi itu sampai di pelukannya Riri sempat tertegun. Wajah kecil dengan mata indah itu menatap tepat ke arah Riri. Diusapnya tangan dengan jemari kecil itu. Mata yang berkedip-kedip itu menunjukan kemurniannya. Kelopak matanya yang terbuka mengedip beberapa kali.
Pelukan ini pernah diberikannya pada bayinya, sembari berharap bahwa dia juga akan membuka kelopak matanya.

Tanpa terasa air mata Riri mengalir ketika merasakan kehangatan dari tangan bayi itu. Sesak dirasakannya ketika bayi itu meraih tangannya. Riri kesulitan bernafas. Tangan tak kasat mata seperti mencengkram tenggorokannya. Dia tidak bisa.

Dia tidak sanggup merelakannya.

"Ri! Riri!" Denis menepuk pelan bahunya. Orang-orang di ruangan itu tertegun melihat Riri yang menangis.

Riri menatap mereka dengan pandangan bingung, dia sempat linglung sesaat. Air matanya masi menetes. Ketika Denis mbak Desi memberikannya tisu Riri kembali tersadar. Riri langsung menghapus air matanya dengan terburu-buru. Bagaimana mungkin dia lepas kendali di depan banyak orang.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Denis dengan cemas.

Riri mencoba tersenyum, "I'm Okay." 

Dia mengusap lembut pipi bayi itu, “Dia cantik. Sangat cantik.” Bayi itu menggerakan bibirnya. Melihat bayi ini Riri bisa membayangkan betapa cantiknya bayi miliknya.

"Ini mbak, kayanya dia lapar." Ucap Riri serak, menyerahkan bayi itu kembali ke pelukan ibunya.

Walaupun Riri mengatakan dia baik-baik saja namun mereka semua tahu bahwa Riri tidak baik-baik saja. Terlihat sekali mata Riri yang terlihat tidak rela ketika melepaskan bayi itu.Senyum yang ditampilkannya terlihat sangat kaku.

Riri menatap kedua tangannya, masih merasakan sisa kehangatan yang ditinggalkan oleh Bayi itu.

Jadi seperti ini rasanya.

 **

Jangan Lupa Vote dan Komen, Ya!!

Jum'at, 24 Februari 2023

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

40.8K 6K 39
Prolog... "Kedatangan saya kemari, berniat untuk melamar anak bapak dan ibu..." Sepasang suami istri itu saling pandang, "Kenapa Mas Rakta tiba-tiba...
219K 15.4K 51
Vaxie Athala sosok remaja berusia 15 tahun yang selalu hidup sendirian tanpa kasih sayang orang tua serta anti dengan berteman. Menurutnya teman hany...
482K 2.8K 3
Wiratama Series 1. New Life [Wattpad] 2. Nona Mantan [NovelToon] 3. New Feeling [Wattpad] Blurb: Pernah dengar pepatah yang mengatakan jika buah jatu...
1.1M 55.3K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...